Saturday, May 3, 2025

Urutan Prioritas Infak/Sedekah Menurut Syariah

Dalam berinfak dan bersedekah, ada prioritas yang diajarkan oleh Islam. Urutan prioritas ini bersumber dari Al-Qur’an dan hadits, meskipun tidak berbentuk daftar angka, tetapi berdasarkan bimbingan Nabi dan tafsir ulama.

Berikut penjelasannya berdasarkan dalil-dalil syar'i:

---

1. Orang Tua

Prioritas utama dalam berinfak adalah kepada orang tua.

Dalil Hadis:

"Sesungguhnya seutama-utama sedekah adalah sedekah kepada kerabat yang memiliki hubungan keluarga dekat."

(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Dalil Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 215):

"Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: 'Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang dalam perjalanan...'"

---

2. Kerabat

Setelah orang tua, kerabat dekat memiliki hak atas sedekah kita.

Hadis Nabi SAW:

“Sedekah kepada orang miskin bernilai satu sedekah. Tapi jika diberikan kepada kerabat, maka bernilai dua: sedekah dan menyambung silaturrahmi.”

(HR. At-Tirmidzi, Hasan Shahih)

---

3. Fakir dan Miskin

Fakir miskin adalah golongan utama penerima zakat dan juga prioritas dalam sedekah.

QS. At-Taubah: 60

"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, ...”

---

4. Ibnu Sabil (Orang dalam perjalanan)

Orang yang kehabisan bekal saat safar juga berhak mendapat infaq/sedekah.

QS. Al-Baqarah: 215 (lanjutan):

“…dan orang-orang yang dalam perjalanan.”

---

5. Lain-lain (Amal Umum: Masjid, TPQ, dakwah, dll)

Setelah kebutuhan orang-orang di atas, sedekah bisa diperluas ke proyek kebaikan umum seperti pembangunan masjid, TPQ, wakaf buku, dll. Ini termasuk dalam kategori “fi sabilillah.”

---

Kesimpulan Urutan Prioritas Infak/Sedekah Menurut Syariah:

1. Orang tua (ayah & ibu)

2. Kerabat (saudara, paman, bibi, dll)

3. Fakir miskin

4. Ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal)

5. Kepentingan umum dalam jalan Allah (masjid, pendidikan, dakwah, dll)

Semua itu disesuaikan dengan kondisi: siapa yang paling membutuhkan dan dalam keadaan paling darurat.

Zakat Sedekah Infaq.

Memang ada perbedaan prinsipil antara infaq, sedekah, dan zakat, walaupun ketiganya sama-sama amalan memberi harta. Berikut penjelasan yang ringkas namun bersumber dari Al-Qur’an dan hadits, agar mudah dipahami .

---

1. ZAKAT

Definisi:

Zakat adalah kewajiban harta yang harus dikeluarkan oleh seorang Muslim jika sudah mencapai nisab dan haul, serta masuk jenis harta yang wajib dizakati.

Dalil Al-Qur’an:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka...”

(QS. At-Taubah: 103)

Ciri khas zakat:

Wajib hukumnya.

Ada nisab dan haul (batas minimal dan waktu 1 tahun).

Hanya diberikan kepada 8 golongan (asnaf) dalam QS. At-Taubah: 60.

Jika tidak dikeluarkan, berdosa dan ada ancaman di akhirat.

---

2. INFAQ

Definisi:

Infaq adalah pengeluaran harta secara umum, baik wajib maupun sunnah, untuk kepentingan yang dibolehkan syariat.

Dalil Al-Qur’an:

“Dan belanjakanlah (infaqkanlah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu...”

(QS. Al-Munafiqun: 10)

Ciri khas infaq:

Lebih luas dari zakat.

Bisa berupa nafkah kepada keluarga, bantuan ke orang lain, pembangunan masjid, dll.

Bisa wajib (nafkah kepada keluarga) atau sunnah (bantu yatim).

---

3. SEDAKAH

Definisi:

Sedekah adalah pemberian harta atau kebaikan kepada orang lain dengan niat karena Allah.

Dalil Hadis:

“Setiap kebaikan adalah sedekah.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Ciri khas sedekah:

Lebih umum lagi dari infaq.

Tidak hanya harta: senyum, menyingkirkan duri, berkata baik adalah sedekah.

Sifatnya sunnah (tidak wajib), tapi sangat dianjurkan.

---

Dengan memahami perbedaan ini, kita bisa lebih tepat dalam menyalurkan harta, sesuai dengan hak dan keutamaannya.

Al-Mā'idah ayat 52

 Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai Q.S. Al-Mā'idah ayat 52: tafsir, asbāb an-nuzūl (sebab turunnya), perintah dan larangan, serta hadis yang 

Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai Q.S. Al-Mā'idah ayat 52: tafsir, asbāb an-nuzūl (sebab turunnya), perintah dan larangan, serta hadis yangberkaitan.

---

Teks Q.S. Al-Mā'idah ayat 52:

آ۞ يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ دِينَكُمْ هُزُوًۭا وَلَعِبًۭا مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلۡكِتَـٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ وَٱلۡكُفَّارَ أَوۡلِيَآءَۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٥٧

(Namun, ayat 52 yang dimaksud adalah ini):

الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللَّهِ قَالُوا أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ وَإِنْ كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُوا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Artinya: "Yaitu orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi padamu. Jika kamu mendapat kemenangan dari Allah mereka berkata: 'Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?' Dan jika orang-orang kafir mendapat bagian mereka berkata: 'Bukankah kami turut memenangkan kamu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?' Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu pada hari Kiamat. Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan orang-orang mukmin."

---

Asbāb an-Nuzūl (Sebab Turunnya)

Menurut riwayat dari Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdullah bin Ubay bin Salul dan orang-orang munafik. Mereka bersikap oportunis; ketika kaum Muslim menang, mereka ikut bergembira dan berpura-pura setia. Tapi ketika orang kafir menang, mereka mengaku sebagai pendukung kafir agar tetap mendapat perlindungan dan manfaat.

---

Tafsir Ringkas

1. "Orang-orang yang menunggu-nunggu peristiwa": Maksudnya adalah orang munafik yang tidak berkomitmen, menunggu siapa yang menang antara Muslim dan kafir.

2. "Jika kalian menang, mereka berkata...": Mereka ingin ikut bagian dari kemenangan tanpa ikut berjuang.

3. "Jika kafir menang...": Mereka membela diri agar tetap aman dan dianggap sekutu oleh orang kafir.

4. "Allah akan memberi keputusan...": Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat.

5. "Allah tidak akan memberi jalan kepada kafir atas mukmin": Yakni tidak akan membiarkan orang kafir menguasai dan mengalahkan orang beriman dalam arti yang hakiki dan abadi.

---

Perintah dan Larangan dalam Ayat Ini

Perintah:

Bertawakal kepada keputusan Allah.

Berhati-hati terhadap orang munafik yang bermain dua kaki.

Larangan:

Larangan mempercayai dan menjadikan orang munafik sebagai sekutu atau pemimpin.

Larangan tertipu dengan mereka yang hanya mencari keuntungan tanpa iman yang tulus.

---

Hadis Terkait Ayat Ini

1. Hadis Riwayat Muslim: "Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia ingkari, jika dipercaya dia khianat."

(HR. Muslim, No. 59)

Hadis ini menguatkan ciri-ciri orang munafik seperti disebutkan dalam ayat: oportunis, tidak tulus dalam iman, dan suka berkhianat demi keuntungan pribadi.

---

Kesimpulan

Q.S. Al-Mā'idah ayat 52 adalah peringatan tegas terhadap kaum Muslim agar tidak tertipu oleh orang munafik dan tidak menjadikan mereka sebagai sekutu. Ayat ini juga menunjukkan keadilan Allah yang akan membalas segala bentuk kemunafikan di akhirat.

-------

Ayat ini mengkritik orang-orang munafik yang lebih loyal kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, daripada kepada kaum Muslimin. Mereka merasa takut jika Islam kalah, maka mereka tidak akan mendapat perlindungan atau keuntungan duniawi, sehingga mereka mencari dukungan kepada pihak luar yang dianggap lebih kuat.

Relevansi dengan Zaman Sekarang

Ayat ini bisa dikaitkan dengan fenomena umat Islam yang kehilangan kepercayaan pada agamanya sendiri dan lebih mengandalkan atau bergantung pada sistem, ideologi, atau negara-negara non-Muslim karena dianggap lebih kuat atau maju.

Contoh Kontemporer:

1. Ketundukan Politik dan Ekonomi:

Beberapa pemimpin negara Muslim lebih condong kepada kekuatan Barat (misalnya AS atau negara Eropa) dalam membuat keputusan politik atau ekonomi, meskipun bertentangan dengan nilai Islam atau merugikan umat Islam.

2. Budaya Takut dan Minder:

Banyak umat Islam merasa malu atau tidak percaya diri dengan ajaran Islam, lalu meniru total budaya Barat, bahkan dalam hal yang bertentangan dengan nilai Islam (gaya hidup bebas, konsumsi alkohol, seks bebas, dll).

3. Ketergantungan pada Sistem Hukum Non-Islami:

Dalam beberapa kasus, umat Islam sendiri menolak hukum Islam (syariat) dan lebih memilih hukum buatan manusia dari luar Islam karena dianggap lebih modern atau adil, padahal tidak selalu demikian.

4. Media dan Pendidikan:

Banyak lembaga pendidikan dan media di negeri-negeri Muslim lebih mengagungkan pemikiran filsuf Barat daripada ulama dan cendekiawan Muslim, sehingga generasi muda lebih mengenal Plato, Nietzsche, atau Freud daripada Al-Ghazali atau Ibnu Sina.

Pelajaran dari Ayat Ini

Umat Islam harus percaya dan bangga dengan agamanya, tidak merasa rendah diri.

Loyalitas (wala’) dan permusuhan (bara’) dalam Islam memiliki batas dan prinsip, tidak boleh menggadaikan keimanan demi dunia.

Allah bisa memberi kemenangan kapan saja, dan orang-orang yang bergantung pada selain Allah akan menyesal.


Orang Mulia dan Orang Bijaksana.

 Dari Yahya bin Mu'adz ra:

“Orang mulia tidak berani berbuat maksiat kepada Allah dan orang yang bijaksana tidak akan mementingkan dunia atas akhirat.”

Orang yang mulia adalah orang yang baik perbuatannya, yang memuliakan dirinya dengan cara mempertebal ketakwaan dan kewaspadaan – dalam menghadapi maksiat.

Pernyataan ini mencerminkan nilai-nilai utama dalam Islam: kemuliaan sejati tidak diukur dari harta, nasab, atau jabatan, melainkan dari akhlak, ketakwaan, dan kepekaan terhadap dosa (wara’). Mari kita uraikan beserta ayat dan hadisnya.

---

Penjelasan:

1. Orang yang baik perbuatannya:

Islam sangat menekankan amal salih dan akhlak yang baik. Kemuliaan seseorang terlihat dari perbuatannya kepada Allah dan sesama manusia.

2. Memuliakan dirinya dengan ketakwaan:

Ketakwaan adalah menjaga diri dari maksiat dengan mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah ukuran kemuliaan dalam pandangan Allah.

3. Kewaspadaan terhadap maksiat (wara’):

Wara’ berarti hati-hati terhadap perkara yang syubhat (samar) atau yang bisa menjerumuskan ke dosa. Inilah bentuk penghormatan terhadap diri sendiri di hadapan Allah.

---

Dalil Al-Qur'an:

1. Kemuliaan dengan takwa:

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa."

(QS. Al-Hujurat 49:13)

Ayat ini menegaskan bahwa takwa adalah standar kemuliaan dalam Islam.

2. Perbuatan baik membawa kemuliaan:

"Barang siapa yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik."

(QS. An-Nahl 16:97)

Perbuatan baik yang didasarkan pada iman akan menghasilkan kehidupan yang mulia di dunia dan akhirat.

---

Hadis Nabi Muhammad SAW:

1. Tentang menjaga diri dari maksiat (wara’):

"Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara yang samar (syubhat)... Barang siapa yang menjaga diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya."

(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa kewaspadaan terhadap maksiat adalah bentuk memuliakan diri.

2. Tentang kemuliaan dengan akhlak:

"Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku di hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya."

(HR. Tirmidzi, Hasan Sahih)

---

Kesimpulan:

Orang yang benar-benar mulia di sisi Allah:

Baik amalnya (akhlak dan ibadahnya),

Menjaga kehormatan dirinya dengan takwa,

Berhati-hati dalam urusan dosa (wara’).

Kemuliaan lahir dari hubungan yang lurus dengan Allah dan manusia, bukan dari duniawi.

----------------------

Sedangkan orang bijaksana adalah orang yang tidak mendahulukan mengutamakan dunia dan yang menahan nafsunya dari perbuatan yang menyeleweng dari petunjuk akalnya yang sehat.

Pernyataan ini mengandung nilai luhur dalam Islam: kebijaksanaan sejati adalah kemampuan mengendalikan nafsu dan tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama, melainkan sebagai sarana menuju akhirat. Mari kita jabarkan dengan penjelasan, ayat Al-Qur’an, dan hadis.

---

Penjelasan:

1. Orang bijaksana tidak mengutamakan dunia:

Orang yang bijak menyadari bahwa dunia hanyalah tempat singgah, bukan tujuan akhir.

Ia menempatkan dunia sebagai alat untuk meraih keridhaan Allah dan kebahagiaan akhirat.

2. Menahan nafsu dari menyimpang dari akal sehat:

Nafsu yang tidak dikendalikan akan mendorong manusia ke jalan yang menyalahi akal dan hati nurani.

Akal yang sehat senantiasa mengarahkan manusia kepada kebaikan dan ketakwaan.

---

Dalil Al-Qur’an:

1. Tentang kehidupan dunia sebagai ujian:

"Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?"

(QS. Al-An’am 6:32)

Ayat ini mengingatkan bahwa dunia tidak layak dijadikan tujuan utama, hanya tempat ujian.

2. Tentang orang yang menahan hawa nafsunya:

"Dan adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya."

(QS. An-Nazi’at 79:40–41)

Orang yang bijaksana akan menahan nafsunya, karena menyadari akibatnya di akhirat.

---

Hadis Nabi Muhammad SAW:

1. Orang cerdas adalah yang menyiapkan akhirat:

"Orang yang cerdas (bijaksana) adalah orang yang menundukkan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Dan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya lalu berangan-angan kepada Allah (tanpa amal)."

(HR. Tirmidzi, Hasan)

Hadis ini secara langsung menegaskan bahwa orang bijak adalah yang menahan hawa nafsu dan tidak terperdaya oleh dunia.

---

Kesimpulan:

Orang yang bijaksana dalam pandangan Islam:

Tidak menjadikan dunia sebagai prioritas,

Menahan hawa nafsunya agar tidak melenceng dari petunjuk akal sehat,

Mengarahkan hidupnya untuk meraih akhirat.

Inilah bentuk hikmah (kebijaksanaan) yang lahir dari iman dan takwa.

Ilmu dan Maksiat

 Dari Ali r.a.: ,

“Barangsiapa mencari ilmu, maka surgalah yang dicari dan barangsiapa mencari maksiat, maka nerakalah yang dicarinya.”

Maksudnya, barangsiapa yang sibuk mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu pengetahuan-pengetahuan yang harus diketahui orang dewasa, maka pada hakikatnya dia tengah mencari surga dan rida Allah. Sebaliknya, siapa yang ingin melakukan maksiat, pada hakikatnya dia ingin menuju neraka dan murka Allah.

Gelisah Duniawi dan Ukhrawi

 Bingung memikirkan dunia akan menjadikan hati gelap, sedangkan bingung memikirkan akhirat akan menjadikan hati terang

Pernyataan ini mengandung hikmah yang dalam: bahwa fokus hidup kita menentukan kondisi hati dan spiritualitas kita. Mari kita telaah dan jelaskan dengan penjelasan, ayat Al-Qur'an, dan hadis.

---

Penjelasan:

1. Bingung memikirkan dunia:

Ketika seseorang terlalu larut memikirkan urusan dunia (harta, jabatan, ketenaran), hatinya bisa menjadi gelap karena dihantui kecemasan, ketakutan, dan ketamakan.

Dunia bersifat fana, dan mengejarnya tanpa arah spiritual bisa menjauhkan seseorang dari Allah, sehingga hatinya tidak mendapat cahaya petunjuk.

2. Bingung memikirkan akhirat:

Kebingungan memikirkan akhirat biasanya berkaitan dengan keinginan memperbaiki diri: takut azab, ingin pahala, ingin ridha Allah.

Ini justru membuka hati terhadap cahaya taufik dan hidayah.

---

Dalil Al-Qur'an:

1. Tentang kegelapan hati karena dunia:

 "Barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."

(QS. Thaha 20:124)

Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengingat Allah (sibuk dengan dunia) akan hidup dalam kesempitan batin (gelap hati).

2. Tentang cahaya karena mengingat akhirat:

 "Apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dia dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia bisa berjalan di tengah-tengah manusia...?"

(QS. Al-An'am 6:122)

Orang yang mengingat Allah dan fokus pada kehidupan akhirat akan diberi cahaya oleh Allah.

---

Hadis Nabi Muhammad SAW:

1. Tentang siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan:

"Barang siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di depan matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali sekadar yang telah ditetapkan."

(HR. Tirmidzi, Hasan)

2. Tentang siapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan:

"Barang siapa yang niatnya adalah akhirat, maka Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan tunduk."

(HR. Ibnu Majah, sahih)

---

Kesimpulan:

Memikirkan dunia secara berlebihan menjauhkan dari cahaya ilahi, menyebabkan gelapnya hati dan kecemasan. Sebaliknya, merenungkan akhirat mendekatkan kepada Allah, menenangkan hati, dan menerangi jiwa dengan cahaya iman.

Umar dan Abu Bakar r.a.

 Mengutip dari Syekh Abdul Mur’thi As Samlawi, diriwayatkan dari Umar r.a., sesungguhnya Nabi saw. bertanya kepada Malaikat Jibril a.s.:

“Kemukakan kepadaku tentang kebaikan Umar, lalu Jibril menjawab: Andaikata lautan menjadi tintanya dan pohon-pohon menjadi penanya, niscaya aku tidak akan mampu menghitungnya. Lalu Nabi bertanya lagi kepadanya: Sekarang, kemukakanlah kebaikan Abu Bakar! Berkata Jibril: Umar adalah salah satu kebaikan dari beberapa kebaikan “Abu Bakar.”

Dalam hal ini dinyatakan sebagai berikut:

“Keluhuran dunia dicapai dengan harta, sedang keluhuran akhirat dicapai dengan amal saleh.”

Urusan dunia tidak akan menjadi kuat dan maslahat melainkan dengan harta, seperti halnya urusan akhirat akan menjadi kuat dan maslahat hanya jika dicapai dengan amal saleh.

------

Dirawayat lain :

Hadis yang Anda maksud adalah hadis tentang keutamaan amal-amal kebaikan, di mana Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu disebut sebagai orang yang paling pertama melakukannya dalam berbagai jenis amal. Berikut teks hadisnya:

Hadis Lengkap (versi ringkas):

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"Siapa yang hari ini menjenguk orang sakit?"

Abu Bakar berkata, “Saya, ya Rasulullah.”

Beliau bersabda, "Siapa yang hari ini ikut mengantar jenazah?"

Abu Bakar menjawab, “Saya.”

Beliau bersabda, "Siapa yang hari ini memberi makan kepada orang miskin?"

Abu Bakar menjawab, “Saya.”

Beliau bersabda, "Siapa yang hari ini berpuasa?"

Abu Bakar menjawab, “Saya.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"Tidaklah semua itu berkumpul pada seseorang melainkan dia akan masuk surga."

HR. Muslim no. 1028

---

Hadis ini menunjukkan keluasan amal dan keutamaan Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang selalu berlomba dalam kebaikan dan menjadi yang terdepan dalam amal shalih.

____

Doriwayat lain :

Hadis yang dimaksud merujuk pada kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang berniat mengalahkan Abu Bakar dalam sedekah, namun ternyata Abu Bakar sudah mendahuluinya dan memberi lebih banyak. Ini bukan berbentuk hadis marfu’ (sabda Nabi langsung), tapi termasuk atsar shahih (riwayat sahabat) yang diriwayatkan oleh para perawi tepercaya.

---

Teks Riwayatnya:

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

 "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk bersedekah. Saat itu aku punya harta. Aku berkata (dalam hati), 'Hari ini aku akan mengalahkan Abu Bakar, kalau memang ada saatnya aku bisa mengalahkannya.'

Maka aku datang membawa setengah hartaku. Rasulullah bertanya: 'Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?' Aku jawab: 'Sebanyak ini juga, ya Rasulullah.'

Lalu datang Abu Bakar membawa seluruh hartanya. Rasulullah bertanya: 'Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?' Abu Bakar menjawab: 'Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.'

Maka aku berkata: 'Demi Allah, aku tidak akan bisa mengalahkannya dalam hal apa pun selama-lamanya.'”

HR. Tirmidzi no. 3675

Dinyatakan hasan oleh Tirmidzi dan shahih oleh Al-Albani.

Ini menunjukkan keikhlasan dan kesungguhan Abu Bakar dalam sedekah, serta pengakuan Umar tentang keutamaan Abu Bakar.

____

Dari catatan itu, ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil:

1.  

Kebaikan tak selalu bisa dihitung dengan logika manusia – Bahkan Jibril pun bilang nggak sanggup ngitung kebaikan Umar r.a. Ini menunjukkan bahwa amal saleh yang tulus dan konsisten bisa punya nilai yang luar biasa di sisi Allah.

2.  

Abu Bakar r.a. punya kedudukan yang sangat agung – Kalau Umar saja luar biasa, dan beliau disebut sebagai "salah satu" dari kebaikan Abu Bakar, artinya Abu Bakar punya level keimanan dan amal yang super istimewa.

3.  

Dunia butuh harta, tapi akhirat butuh amal – Nggak salah cari rezeki, tapi jangan sampai lupa investasi akhirat. Keseimbangan antara dua ini yang jadi kunci.

4.  

Jangan meremehkan amal kecil – Bisa jadi amal yang sederhana tapi rutin dan ikhlas justru paling berat timbangannya nanti di akhirat.

5.  

Jadikan kisah para sahabat sebagai motivasi hidup– Mereka bukan cuma tokoh sejarah, tapi contoh nyata bagaimana seharusnya kita hidup sebagai umat Nabi Muhammad SAW.

 

Masuk ke Kubur Tanpa. Bekal, Laksana Mengarungi Lautan Tanpa, Bahtera

 Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. mengatakan: 

“Barangsiapa yang masuk ke kubur tanpa membawa bekal, maka seolah-olah ia mengarungi lautan tanpa bahtera.”

Dia akan tenggelam dan tidak akan selamat, kecuali jika diselamatkan oleh Allah swt.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw.:

 “Mayat di alam kuburnya, seperti orang yang tenggelam yang meminta pertolongan.”

Dekat dengan Ulama dan Memperhatikan Nasihat Hukama

 Nabi saw. bersabda:

“Hendaklah kalian bergaul dengan ulama dan mendengarkan ucapan hukama, karena Allah Ta’ala menghidupkan kembali hati yang mati dengan cahaya hikmah, sebagaimana Dia menghijaukan tanah gersang dengan air hujan.”

Hikmah adalah ilmu yang bermanfaat, sedang hukama adalah orangorang ahli hikmah. Dalam hadis ini hukama ialah ahli hikmah yang. mengetahui Dzat Allah Ta’ala, selalu tepat ucapan dan perbuatannya. Sedangkan ulama, adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya.

Dalam riwayat Ath-Thabrani dari Abi Hanifah disebutkan:

“Hendaklah kalian bergaul dengan para pemimpin, bertanyalah kalian kepada para ulama dan bergaullah kalian dengan hukama.”

Menurut riwayat lain:

“Bergaullah dengan ulama, bersahabatlah dengan. hukama dan bercampurlah dengan kubara.”

Ulama itu terbagi tiga, yaitu:

Ulama, yaitu orang yang alim tentang hukum-hukum Allah swt., mereka berhak memberikan fatwa. .

Hukama, yaitu orang-orang yang mengetahui Zat Allah saja. Bergaul dengan mereka ini membuat perangai menjadi terdidik, karena dari hati mereka bersinar cahaya makrifat (mengenali Allah dan rahasiarahasia) dan dari jiwa mereka membias sinar keagungan Allah.

Kubara, yaitu orang yang diberi anugerah keduanya.

Bergaul akrab dengan ahli Allah akan mendatangkan tingkah laku yang baik. Hal ini karena mengambil manfaat dengan pengawasan itu lebih baik daripada dengan lisan. Jadi, seseorang yang pengawasannya bermanfaat kepadamu, niscaya bermanfaat pula ucapannya bagimu. Sebaliknya, jika pengawasannya tidak bermanfaat, maka tidak bermanfaat pula ucapannya.

As-Sahrawardi meliput ke sebagian mesjid AlKhaif di Mina sambil memandang wajah orang-orang yang ada di sana. Beliau ditanya oleh seseorang: Mengapa tuan memandang wajah-wajah orang lain!

Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah memiliki beberapa orang yang jika memandang orang lain maka mendatangkan kebahagiaan bagi yang dipandang dan aku mencari orang yang demikian itu.

Nabi saw. bersabda:

“Akan datang suatu zaman kepada umatku, “mereka lari dari para ulama dan fukaha, maka Allah akan menurunkan tiga macam bencana kepada mereka: Pertama, dicabut kembali berkah dari usahanya, kedua, dia kuasakan penguasa zalim atas mereka, ketiga, mereka meninggal dunia tanpa membawa iman.”

Iman dan Kepedulian Sosial

 Nabi saw. bersabda:

“Ada dua perkara yang tiada sesuatu pun melebihi keunggulannya, yaitu: Iman kepada Allah dan membuat manfaat untuk kaum muslimin.”

Nabi saw. bersabda: .

“Barangsiapa bangun di pagi hari tidak berniat aniaya kepada seseorang, maka diampuni dosanya yang dia perbuat. Dan-barangsiapa bangun di pagi hari dengan niat menolong orang yang dianiaya dan mencukupi kebutuhan orang muslim, maka memperoleh pahala seperti pahala haji mabrur.”

Nabi saw. bersabda lagi:

“Hamba-hamba yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah orang yang paling bermanfaat untuk manusia, perbuatan yang paling utama ialah memasukkan (menghadirkan) rasa senang ke dalam hati orang mukmin berupa membasmi kelaparan, menyingkap kesulitan atau membayar utangnya. Dan dua hal yang tiada sesuatu pun melebihi jahatnya ialah menyekutukan Allah dan mendatangkan bahaya kepada kaum muslimin.”

Membahayakan orang-orang muslim dapat berupa membahayakan badan dan hartanya. Segala perintah Allah swt. mengacu pada dua perkara, yaitu mengagungkan Allah swt. dan kasih sayang kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah:

“Tunaikanlah salat dan bayarlah zakat”

“Hendaklah engkau bersyukur kepadaKu dan berterima kasih kepada kedua orangtuamu.”

Diriwayatkan dari Al-Qarni, beliau berkata: Aku bersua dalam suatu perjalananku dengan seorang pendeta, lalu aku bertanya kepadanya: Wahai, Pendeta! Perkara apakah yang menaikkan derajat seseorang?

Pendeta itu menjawab: Mengembalikan hak-hak orang lain yang dianiaya olehnya dan meringankan punggung dari tanggung jawab, karena amal perbuatan hamba tidak akan naik (ke sisi Tuhan), jika dia masih : mempunyai tanggungan atau dia berbuat zalim. 

Kejujuran.

 Berikut adalah Hadis ke-52 Riyadhus Shalihin, yang termasuk dalam Bab Kejujuran (Bab Ash-Shidq), lengkap dengan tafsir/syarah dan pelajaran yang bisa diambil:

---

Hadis 52 – Tentang Kejujuran

عَنْ أَبِي سُفْيَانَ صَخْرِ بْنِ حَرْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فِي حَدِيثِهِ الطَّوِيلِ فِي قِصَّةِ هِرَقْلَ، قَالَ:


*فَسَأَلَنِي عَنْ مَا يَأْمُرُ بِهِ -يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَقُلْتُ: يَقُولُ: اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ، وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ، وَالصِّدْقِ، وَالْعَفَافِ، وَالصِّلَةِ.

(Muttafaqun ‘alaih – HR. Bukhari dan Muslim)

---

Terjemahan:

Dari Abu Sufyan Shakhr bin Harb radhiyallahu ‘anhu, dalam kisah panjangnya tentang Heraklius (Kaisar Romawi), dia berkata:

"Ia (Heraklius) bertanya kepadaku tentang apa yang diperintahkan oleh Nabi (Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam). Maka aku jawab: 'Beliau mengatakan: Sembahlah Allah saja dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Tinggalkanlah apa yang dikatakan oleh nenek moyang kalian. Beliau juga memerintahkan kami untuk shalat, jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung silaturahmi.'"

---

Tafsir dan Penjelasan Hadis:

Hadis ini merupakan bagian dari kisah pertemuan Heraklius dengan Abu Sufyan, sebelum Abu Sufyan masuk Islam. Heraklius sedang menyelidiki kenabian Muhammad saw. Ia menanyai Abu Sufyan, musuh Nabi saat itu, tetapi Abu Sufyan tetap berkata jujur, karena malu jika diketahui berbohong oleh rombongannya.

Isi ajaran yang dijawab Abu Sufyan menunjukkan inti dakwah Rasulullah:

1. Tauhid: Menyembah Allah semata dan meninggalkan syirik.

2. Pemurnian Aqidah: Meninggalkan tradisi nenek moyang yang menyimpang.

3. Amal Shalih: Menegakkan shalat.

4. Akhlak Mulia: Jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung silaturahmi.

---

Pelajaran yang Dapat Diambil:

1. Kejujuran adalah ciri utama dakwah Islam. Nabi saw meletakkan kejujuran sebagai ajaran pokok bersama tauhid dan shalat.

2. Jujur itu memikat, bahkan musuh pun mengakuinya. Abu Sufyan jujur di hadapan Heraklius walaupun belum Islam.

3. Kejujuran adalah bagian dari keimanan, bukan sekadar akhlak sosial.

4. Dakwah Islam itu menyeluruh: mencakup akidah, ibadah, dan akhlak.

5. Pemimpin seperti Heraklius pun bisa mengakui kebenaran Islam jika mendengar kesaksian jujur tentang Nabi.

6. Menjaga kehormatan dan silaturahmi termasuk inti ajaran Islam, bukan sekadar perbuatan baik biasa.

---

Berikut ini nasihat dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari yang selaras dengan makna Hadis ke-52 Riyadhus Shalihin, khususnya tentang kejujuran (ash-shidq) sebagai inti dakwah dan akhlak Islam.

---

1. Nasehat Syekh Abdul Qadir al-Jailani tentang Kejujuran (Ash-Shidq):

Dalam kitabnya Al-Fath ar-Rabbani, Syekh Abdul Qadir berkata:

> "Jadilah engkau orang yang jujur, maka engkau akan selamat. Jujurlah kepada Allah dalam setiap keadaanmu. Jujurlah dalam niatmu, ucapanmu, dan amalmu. Sebab, orang yang jujur akan diberi jalan keluar walau dalam kesempitan."

Penjelasan:

Syekh Abdul Qadir memandang kejujuran sebagai landasan utama perjalanan menuju Allah.

Jujur bukan hanya dalam kata-kata, tapi dalam niat, amal, dan posisi hati.

Hal ini selaras dengan Hadis 52 yang menggambarkan bahwa Nabi memerintahkan umatnya untuk jujur sebagai bentuk dari iman dan akhlak utama.

---

2. Nasehat Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari dalam al-Hikam:

> "Ash-shidq (kejujuran) adalah paku dari segala amal. Maka barangsiapa yang tidak jujur, amalnya tidak akan kokoh."

Dan dalam hikmah lainnya:

> "Orang yang jujur bersama Allah, dia akan sampai kepada-Nya, meskipun amalnya sedikit."

Penjelasan:

Ibnu ‘Atha’illah menekankan bahwa kejujuran adalah ruh ibadah dan amal saleh.

Orang yang berjuang jujur dalam beragama, walau sederhana amalnya, akan diberi jalan oleh Allah karena dia tidak berpura-pura dalam hubungannya dengan-Nya.

Ini sesuai dengan Hadis 52: Rasulullah memerintahkan kejujuran sebagai bagian dari dakwah dan tanda kesempurnaan iman.

---

Kesimpulan Hikmah dari Hadis 52 serta Nasehat Ulama:

Jujur adalah pilar akhlak dan inti dakwah.

Jujur kepada Allah lebih utama daripada hanya jujur kepada manusia.

Kejujuran membawa keberkahan, memperkokoh amal, dan mengantarkan seseorang kepada maqam tinggi di sisi Allah (shiddiqin).

Orang jujur dihormati, bahkan oleh musuhnya (seperti dalam kisah Abu Sufyan dan Heraklius).

---