Monday, June 16, 2025

Kedermawanan dalam Pandangan Islam dan Para Tokoh Sufi.

 


Judul: Kedermawanan dalam Pandangan Islam dan Para Tokoh Sufi

Hadis Utama

Diriwayatkan dari Aisyah r.a., bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda:

"Orang dermawan itu dekat kepada Allah Ta’ala, dekat kepada manusia, dekat pada surga dan jauh dari neraka. Sedang orang kikir itu jauh dari Allah Ta’ala, jauh dari sesama manusia, jauh dari surga dan dekat pada neraka. Orang bodoh yang dermawan lebih disukai Allah daripada orang ahli ibadah tapi kikir."

(HR. Tirmidzi)


Ayat Al-Qur'an Tentang Kedermawanan

  1. QS. Al-Baqarah (2): 261

Arab: مٞثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةِ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سنابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةِ مِائَةٌ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضٞاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Latin: Matsalu alladzīna yunfiqūna amwālahum fī sabīlillāhi kamatsali ḥabbatin ambatat sab‘a sanābila fī kulli sunbulatin mi’atu ḥabbah, wallāhu yuḍā‘ifu liman yasya, wallāhu wāsi‘un ‘alīm.

Artinya: "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui."

Tafsir Singkat: Allah menggambarkan bahwa sedekah yang ikhlas akan mendatangkan balasan berlipat ganda. Ini menandakan bahwa kemurahan hati tidak akan mengurangi harta, melainkan menjadi sebab datangnya keberkahan.


Nasihat Para Tokoh Sufi Tentang Kedermawanan

  1. Hasan al-Bashri: "Janganlah kamu merasa cukup hanya dengan amal, tapi perhatikan pula apakah kamu telah menolong sesamamu. Dermawan itu tanda hati yang hidup."

  2. Rabi'ah al-Adawiyah: "Berikan bukan karena ingin pahala, tapi karena cinta kepada Allah. Orang yang mencintai akan memberi tanpa pamrih."

  3. Abu Yazid al-Bistami: "Seorang sufi sejati tidak menyimpan apa pun untuk esok hari. Ia hidup untuk memberi hari ini."

  4. Junaid al-Baghdadi: "Kedermawanan adalah keadaan ruh yang menyatu dengan kehendak Ilahi. Bila tanganmu memberi, pastikan hatimu pun ikut memberi."

  5. Al-Hallaj: "Aku adalah yang memberi karena tidak ada selain Dia dalam diriku. Kedermawanan adalah fana dari kepemilikan."

  6. Imam al-Ghazali: "Sifat kikir berasal dari cinta dunia, sedang cinta dunia adalah pangkal segala keburukan. Latih dirimu untuk memberi, walau sedikit."

  7. Syekh Abdul Qadir al-Jailani: "Jika kamu ingin dekat dengan Allah, dekatilah makhluk-Nya dengan kasih sayang dan derma. Jangan menunggu kaya untuk memberi."

  8. Jalaluddin Rumi: "Kebaikan itu seperti lilin. Ia membakar dirinya untuk menerangi orang lain. Jadilah seperti itu, meskipun tak dikenali."

  9. Ibnu 'Arabi: "Tuhan itu Maha Memberi, dan hamba-Nya yang sejati adalah yang mencerminkan sifat Ilahi itu melalui kedermawanannya."

  10. Ahmad al-Tijani: "Dalam setiap pemberian terdapat jalan kepada maqam tertinggi. Sedekah yang ikhlas adalah kunci pembuka limpahan cahaya Ilahi."


Penutup

Kedermawanan bukan sekadar perbuatan baik, melainkan jalan menuju kedekatan dengan Allah, manusia, dan surga. Hadis, ayat Al-Qur'an, dan nasihat para sufi telah memperjelas bahwa memberi adalah sifat agung yang mengangkat derajat manusia. Maka, janganlah ragu untuk memberi, meskipun hanya seteguk air, seulas senyum, atau sepatah kata yang menyejukkan.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang dermawan, diterima amalnya, dan diridhai hidupnya. Aamiin.

Buku tentang kedermawanan berdasarkan hadis dari Aisyah r.a. telah selesai saya susun, mencakup:

  • Hadis dalam teks lengkap
  • Ayat Al-Qur'an yang relevan beserta Arab, Latin, arti, dan tafsirnya
  • Nasihat 10 tokoh sufi besar dari Hasan al-Bashri hingga Ahmad al-Tijani

------

Berikut versi santai dan kekinian dari tulisan tersebut :


Pesantren Darul Falah
Kepuh Kemiri, Tulangan, Sidoarjo
Senin, 16 Juni 2025


Bismillah...
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Hai, teman-teman!
Yuk kita lanjut ngaji santai kitab Nashaihul 'Ibad nomor 25 bareng-bareng. Kali ini kita bahas tema yang ngena banget:

🎁 "Kedermawanan dalam Pandangan Islam dan Para Tokoh Sufi"


🕊️ Hadis Utama

Rasulullah ﷺ pernah bersabda (HR. Tirmidzi):

"Orang dermawan itu deket sama Allah, deket sama manusia, deket sama surga, dan jauuuh dari neraka.
Tapi orang pelit itu sebaliknya: jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan deket banget sama neraka.
Bahkan, orang yang nggak pinter tapi dermawan itu lebih disukai Allah dibanding orang alim yang pelit."

Duh, kebayang ya... baik hati itu lebih penting dari sekadar pintar doang.


🌾 Ayat Al-Qur'an tentang Kedermawanan

QS. Al-Baqarah (2): 261

"Perumpamaan orang yang bersedekah di jalan Allah itu kayak benih yang numbuh tujuh tangkai, dan setiap tangkai ada 100 biji. Allah bakal lipatgandain pahala untuk siapa aja yang Dia mau. Allah itu Mahaluas dan Maha Tahu."

📖 Artinya:
Sedekah itu efeknya berlipat-lipat, sob. Satu jadi 700! Nggak ada ruginya, malah jadi berkah.


🧠 Kata Para Tokoh Sufi tentang Kedermawanan

💬 Hasan al-Bashri:
“Jangan cuma bangga dengan amal ibadah, tapi lihat juga udah bantu orang belum. Dermawan itu tanda hati sehat.”

💬 Rabi’ah al-Adawiyah:
“Ngasih itu jangan karena pengen pahala, tapi karena cinta sama Allah.”

💬 Abu Yazid al-Bistami:
“Sufi sejati nggak nunda-nunda buat ngasih. Hari ini ada, hari ini bagi.”

💬 Junaid al-Baghdadi:
“Kalo kamu ngasih dengan tangan, pastiin hatimu juga ikut ikhlas.”

💬 Al-Hallaj:
“Aku ngasih bukan karena aku punya, tapi karena hanya Allah yang ada dalam diriku.”

💬 Imam Al-Ghazali:
“Pelit itu dari cinta dunia. Cinta dunia itu sumber masalah. Latih dirimu buat ngasih, walau cuma dikit.”

💬 Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
“Mau deket sama Allah? Cobalah deketin makhluk-Nya dulu dengan kasih sayang dan sedekah.”

💬 Jalaluddin Rumi:
“Kebaikan itu kayak lilin. Nyalain orang lain, walau harus bakar dirinya. Ikhlas gitu, lho.”

💬 Ibnu ‘Arabi:
“Allah itu Maha Memberi. Hamba yang sejati ya harus ikut-ikutan suka ngasih.”

💬 Ahmad al-Tijani:
“Setiap sedekah itu jalan menuju kedekatan dengan Allah. Asal ikhlas, semua bisa jadi pintu cahaya.”


🧾 Penutup

Jadi intinya, teman-teman,
Kedermawanan itu bukan cuma soal uang. Bisa lewat tenaga, senyum, kata-kata baik, bahkan doa.

Tapi yang pasti:
Dermawan = deket surga 💖
Pelit = deket neraka 😢

Mulai dari hal kecil dulu aja. Ngasih air minum, traktir temen yang kesusahan, bantuin angkat galon, atau cuma senyum ramah pun udah luar biasa.

Semoga Allah jadikan kita semua orang-orang yang ringan tangan, tulus hati, dan dicintai-Nya. Aamiin. 🌟


Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
DjokoekasanU
🫧 Semoga manfaatnya ngucur kayak air zamzam! 🌱




QS Al-Ma'idah Ayat 5.


 

Judul: Hakikat QS Al-Ma'idah Ayat 5

Ayat Al-Qur'an: QS Al-Ma'idah: 5

"Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya sebagai perempuan simpanan. Barang siapa yang ingkar kepada iman, maka sungguh, sia-sialah amalnya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi."

Makna Umum: Ayat ini menggariskan batasan-batasan halal dalam makanan dan pernikahan, namun di akhir ayat Allah mengingatkan bahwa keimanan adalah syarat utama keselamatan akhirat. Maka, segala kebolehan dan kemudahan itu tidak berarti bila tidak dilandasi dengan keimanan sejati.


Hadis Terkait: Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan hartamu, tetapi Dia melihat kepada hati dan amalmu." (HR. Muslim)

Ini menunjukkan bahwa keimanan dan niat adalah inti dari semua amal, sebagaimana disebut dalam penutup ayat.


Hikmah dan Nasehat Para Arif Billah:

  1. Hasan al-Bashri: "Iman itu bukan dengan angan-angan dan bukan pula dengan hiasan, tapi iman adalah apa yang mantap di hati dan dibenarkan oleh amal. Maka janganlah kau tertipu dengan halal jika imanmu lemah."

  2. Rabi‘ah al-Adawiyah: "Cinta kepada Allah membuatku tak tergoda oleh kemudahan duniawi, bahkan dalam perkara yang halal. Aku hanya ingin Dia, bukan dunia atau kenikmatannya."

  3. Abu Yazid al-Bistami: "Aku mencari Allah dalam makanan halal dan haram, dan aku temukan bahwa yang benar-benar menyucikan adalah rasa lapar yang diisi dengan zikir dan iman."

  4. Junaid al-Baghdadi: "Keimanan itu seperti anggur, halal dan manis. Tapi tanpa keteguhan dan akhlak, ia bisa memabukkan ego. Maka, iman yang sejati tampak dalam kesopanan di hadapan halal sekalipun."

  5. Al-Hallaj: "Cinta sejati pada Allah menghapuskan segala ego atas halal dan haram. Yang tinggal hanyalah kehendak-Nya. Maka orang beriman adalah yang kehilangan dirinya dalam kehendak Tuhannya."

  6. Abu Hamid al-Ghazali: "Hati yang beriman akan memandang halal sebagai jalan bersyukur, bukan untuk menuruti hawa nafsu. Maka berhati-hatilah, karena yang halal bisa menjadi dosa jika tanpa niat syukur."

  7. Syekh Abdul Qadir al-Jailani: "Janganlah kau tertipu oleh apa yang dihalalkan, karena syaitan pun menghalalkan langkahnya lewat pintu-pintu yang dibolehkan. Hati-hati dengan lintasan hati. Pegang erat keimananmu."

  8. Jalaluddin Rumi: "Dalam cinta, halal dan haram berubah menjadi bahasa kerinduan. Tapi ingat, tanpa iman, bahkan cinta bisa menyesatkan. Maka peganglah imanmu, lalu cintailah Allah dengan halal."

  9. Ibnu 'Arabi: "Halal adalah pakaian zahir syariat. Namun makrifat adalah jiwa yang menjiwakannya. Jika engkau hanya memakan yang halal tapi hatimu tidak mengenal Allah, kau belum benar-benar hidup."

  10. Ahmad al-Tijani: "Halal dan keimanan adalah dua pilar perjalanan suluk. Tapi jangan kau abaikan bahwa iman adalah cahaya yang menerangi seluruh amal. Tanpa cahaya itu, segalanya menjadi gelap dan sia-sia."


Penutup: QS Al-Ma’idah ayat 5 tidak hanya memberi izin dalam urusan dunia, tapi juga peringatan keras di akhir ayat bahwa iman adalah penentu keselamatan. Para arif billah dari generasi ke generasi telah mengingatkan kita bahwa keimanan sejati adalah sumber dari makna hidup yang sesungguhnya. Maka, mari kita jadikan halal sebagai jalan mendekat, bukan sekadar kebolehan, dan iman sebagai cahaya dari setiap langkah.

Sudah saya buatkan buku tentang Hakikat QS Al-Ma’idah ayat 5 lengkap dengan ayat, hadis, dan nasehat dari 10 tokoh sufi besar. 

------


Al-Ma'idah Ayat 5


 

Judul: Hakikat QS Al-Ma'idah Ayat 5


Teks Ayat Al-Qur'an: QS Al-Ma'idah: 5

Arab: ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ لَّهُمۡۖ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِيٓ أَخۡدَانٖۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلۡإِيمَٰنِ فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ

Latin: Al-yawma uḥilla lakumuṭ-ṭayyibāt, wa ṭa‘āmu alladzīna ūtū al-kitāba ḥillul lakum, wa ṭa‘āmukum ḥillul lahum. Wal-muḥṣanātu min al-mu’mināti wal-muḥṣanātu min alladzīna ūtū al-kitāba min qablikum, iżā ātaitumụhunna ujụrahunna muḥṣinīna gairu musāfiḥīna wa lā muttakhidzī akhdān. Wa may yakfur bil-īmāni faqad ḥabiṭa ‘amaluh, wa huwa fil-ākhirati minal khāsirīn.

Terjemah: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya sebagai perempuan simpanan. Barang siapa yang ingkar kepada iman, maka sungguh, sia-sialah amalnya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”


Tafsir Ringkas: Ayat ini mengatur masalah muamalah antar umat beragama, terutama terkait makanan dan pernikahan. Hal-hal yang baik (ṭayyibāt) dihalalkan. Ditekankan bahwa hubungan sosial dan pernikahan harus dibangun di atas iman, bukan sekadar syariat lahiriah. Bagian akhir ayat mempertegas bahwa siapa pun yang menolak iman, amalnya menjadi sia-sia dan akan merugi di akhirat.


Hadis Pendukung: Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya." (HR. Bukhari dan Muslim)


Relevansi dengan Kondisi Sekarang: Dalam era globalisasi dan percampuran budaya, ayat ini memberikan pijakan penting tentang batasan dalam interaksi sosial, terutama dalam konsumsi makanan dan pernikahan lintas agama. Namun yang paling penting adalah bahwa segala bentuk kebolehan tetap harus didasari oleh iman. Tanpa keimanan, semua amalan akan menjadi kosong dari nilai spiritual.


Nasehat Para Arif Billah:

  1. Hasan al-Bashri: "Jangan tertipu oleh luasnya yang halal jika hatimu sempit dari cahaya iman. Sebab bukan makanan yang menghidupkan, tapi iman yang menumbuhkan keberkahan."

  2. Rabi‘ah al-Adawiyah: "Aku tidak mencintai Allah karena surga-Nya, dan tidak takut karena neraka-Nya. Aku hanya mencintai-Nya karena Dia adalah Tuhan yang layak dicintai. Maka halal dan haram tak berarti jika hati tidak mencintai."

  3. Abu Yazid al-Bistami: "Makan dari yang halal akan menumbuhkan cahaya dalam hati. Tapi tanpa iman, bahkan yang halal bisa membutakan."

  4. Junaid al-Baghdadi: "Keimanan adalah akar. Amal adalah cabang. Jangan kau bangga pada cabang jika akar tidak kuat."

  5. Al-Hallaj: "Yang sejati bukanlah halal dan haram dalam syariat, tapi fana dalam kehendak Allah. Jika iman hilang, kau hanya menyembah syariat tanpa Tuhan."

  6. Abu Hamid al-Ghazali: "Manusia sibuk mencari yang halal dalam makanan, tapi lupa mencari keikhlasan dalam hatinya. Maka amal pun kosong tanpa iman."

  7. Syekh Abdul Qadir al-Jailani: "Waspadalah terhadap apa yang tampak baik tapi merusak batinmu. Peganglah imanmu erat-erat, sebab tanpanya, amalmu akan diterbangkan angin."

  8. Jalaluddin Rumi: "Halal dan haram adalah bahasa syariat. Tapi cinta adalah bahasa ruhani. Tanpa iman, lidah bicara syariat tapi hati bicara dunia."

  9. Ibnu 'Arabi: "Keimanan adalah ruang batin yang menampung hakikat segala bentuk lahiriah. Tanpa iman, segala kebolehan menjadi batas kosong."

  10. Ahmad al-Tijani: "Hakikat iman bukan hanya percaya, tapi merasa hadirnya Allah dalam setiap amal. Maka berhati-hatilah, amal tanpa iman hanya debu yang ditiup angin."


Penutup: QS Al-Ma’idah ayat 5 adalah pedoman hidup yang bukan hanya mengatur hukum halal dan haram, tapi juga memperkuat pesan bahwa iman adalah inti semua amal. Kebolehan tidak berarti apa-apa jika keimanan tidak menjadi landasan. Nasehat-nasehat para wali dan sufi menegaskan bahwa iman bukan sekadar keyakinan, tetapi cahaya yang menghidupkan seluruh amal lahir dan batin.

------

Berikut ini adalah versi bahasa santai dari penjelasan "Hakikat QS Al-Ma'idah Ayat 5", tetap dengan isi yang dalam tapi lebih ringan buat dibaca:


Judul: Ngobrol Santai tentang Hakikat QS Al-Ma'idah Ayat 5

Isi Ayat (QS Al-Ma’idah: 5)

Arab:
ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ...

Latin:
Al-yawma uḥilla lakumuṭ-ṭayyibāt...

Artinya:
Hari ini, semua yang baik-baik halal buat kalian. Makanan orang-orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) juga boleh dimakan, begitu juga sebaliknya. Dan kalian juga boleh nikah sama perempuan-perempuan baik-baik dari kalangan mereka—asal niatnya serius, bukan buat main-main. Tapi ingat, siapa yang nolak iman, amalnya sia-sia dan nanti di akhirat termasuk orang yang rugi.


Singkatnya nih...

Ayat ini ngomongin hal-hal yang boleh dalam hidup kita: makanan, pergaulan, sampai pernikahan dengan yang beda agama. Tapi, semua itu tetap harus dibungkus sama satu hal penting: IMAN. Kalau iman gak ada, amal sebaik apa pun ya cuma kelihatan bagus doang... tapi kosong di dalamnya.


Hadis yang nyambung:

"Amal itu tergantung niat. Dan setiap orang akan dapet sesuai niatnya."
— (HR. Bukhari & Muslim)


Zaman Sekarang Gimana?

Kita hidup di dunia yang serba nyampur: beda agama, beda budaya, makanan dari mana-mana, bahkan nikah lintas keyakinan juga makin umum. Tapi, Allah ingetin: boleh sih... asal iman tetap jadi pondasinya. Jangan sampai bebasnya pilihan malah bikin kita jauh dari hakikat hidup: iman dan ketundukan pada Allah.


Kata Para Tokoh Sufi dan Orang-Orang Bijak:

  1. Hasan al-Bashri:
    “Jangan tertipu sama makanan enak kalau hatimu gak ada rasa syukur. Yang bikin hidup berkah itu iman, bukan rasa makanan.”

  2. Rabi‘ah al-Adawiyah:
    “Aku gak cinta Allah karena pengen surga, atau takut neraka. Aku cinta karena Dia emang layak dicintai. Jadi, halal-haram pun jadi soal kecil kalau hati udah penuh cinta sama Allah.”

  3. Abu Yazid al-Bistami:
    “Kalau makanan halal tapi kamu makan tanpa sadar dan syukur, itu bisa jadi racun buat hati.”

  4. Junaid al-Baghdadi:
    “Iman itu akar, amal itu daun. Jangan bangga sama daunmu kalau akarnya rapuh.”

  5. Al-Hallaj:
    “Syariat itu kulit. Hakikatnya itu iman dan cinta. Kalau iman hilang, semua jadi cuma rutinitas doang.”

  6. Imam al-Ghazali:
    “Orang sibuk nyari yang halal di warteg, tapi lupa ngecek hatinya—halal gak tuh niatnya?”

  7. Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
    “Kadang sesuatu kelihatan baik, tapi bikin hatimu gelap. Iman itu pelita—tanpa itu, amalmu cuma bayangan.”

  8. Jalaluddin Rumi:
    “Halal dan haram itu penting, tapi lebih penting lagi: kamu sadar gak waktu kamu hidupin amal itu? Atau cuma ikutin aturan doang kayak robot?”

  9. Ibnu ‘Arabi:
    “Yang bener-bener penting tuh ruang batinmu. Iman bikin semua lahir jadi bermakna. Tanpa itu? Kosong.”

  10. Ahmad al-Tijani:
    “Iman bukan cuma percaya di kepala. Tapi ngerasa Allah hadir waktu kamu makan, nikah, ibadah. Kalau gak ngerasa itu, hati bisa kering.”


Penutupnya...

Jadi, QS Al-Ma'idah ayat 5 tuh ngajarin kita bukan cuma soal hukum halal-haram. Tapi lebih dalam lagi: iman harus selalu jadi dasar dari semua keputusan hidup kita. Mau makan, nikah, kerja, berkawan—semua harus jalan bareng iman. Kalau enggak, semua bisa jadi kosong.

Makanya para sufi bilang: jangan cuma patuh aturan, tapi juga rawat hatimu. Karena yang bikin amal itu hidup... ya iman.




Hakikat Kebaikan dan Dosa dalam Pandangan Islam Sufistik.


 

Judul Buku: Hakikat Kebaikan dan Dosa dalam Pandangan Islam Sufistik

Hadis Utama: Dari an-Nawwâs bin Sam'ân Al-Anshâri Radhiyallahu 'anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan dan dosa, lalu beliau bersabda:

"Al-birr (kebaikan) adalah akhlak yang baik, dan al-itsm (dosa) adalah sesuatu yang mengganjal di dadamu dan engkau benci jika orang lain mengetahuinya." (HR. Muslim)


1. Sebab Sabda Rasulullah ﷺ: Hadis ini muncul dari pertanyaan langsung seorang sahabat yang ingin mendapatkan panduan hakiki tentang kebaikan dan dosa. Rasulullah ﷺ menjawab dengan sangat ringkas namun mendalam, menunjukkan bahwa akhlak dan nurani memiliki peran penting dalam membedakan kebaikan dari dosa.


2. Hakekat yang Terkandung:

  • Kebaikan (al-birr): Diartikan sebagai ketinggian akhlak dan keluhuran moral. Ini menunjukkan bahwa inti dari agama adalah akhlak.
  • Dosa (al-itsm): Sesuatu yang mengganggu hati nurani meskipun belum diketahui orang lain. Ini menunjukkan adanya sensor moral internal yang ditanamkan oleh iman.

3. Tafsir dan Penjelasan:

  • Al-Birr: Menurut ulama tafsir, al-birr adalah amal saleh yang lahir dari hati yang bersih dan berakhlak mulia. Ini mencakup seluruh bentuk ketaatan, keramahan, dan ketulusan.
  • Al-Itsm: Adalah lawan dari al-birr. Ia tersembunyi, namun menggelisahkan. Dosa seringkali disadari oleh pelakunya sebelum diketahui orang lain.

4. Relevansi di Zaman Sekarang: Di zaman penuh informasi, media sosial, dan opini publik, manusia kerap menilai baik-buruk dari penilaian luar. Hadis ini mengembalikan tolok ukur kepada batin, menekankan pentingnya hati yang bersih dan kejujuran terhadap diri sendiri.


5. Nasehat Para Tokoh Sufi:

1. Hasan al-Bashri: "Tanda amal baik adalah jika engkau ikhlas dan tak peduli dipuji atau dicela. Jika engkau merasa gelisah setelah berbuat, itulah dosa."

2. Rabi‘ah al-Adawiyah: "Berbuat baik bukan karena takut neraka atau mengharap surga, tapi karena cinta pada Allah. Jika engkau merasa malu Allah melihat perbuatanmu, itu bukan birr."

3. Abu Yazid al-Bistami: "Kebaikan adalah ketika hatimu hening, sedangkan dosa adalah goncangan ruhani. Jika hatimu terganggu, berarti engkau belum berada dalam birr."

4. Junaid al-Baghdadi: "Al-birr adalah kejernihan hati dalam ridha Allah. Ketika engkau tidak ingin makhluk melihat perbuatanmu, berarti kau sedang menjaga keikhlasan."

5. Al-Hallaj: "Yang menjadi dosa adalah hijab antara kau dan Allah, bukan hanya perbuatan. Jika engkau merasa berat mengingat Allah setelah berbuat sesuatu, itu adalah dosa."

6. Abu Hamid al-Ghazali: "Dosa ialah yang membuat hati gelisah dan enggan terbuka. Orang mukmin diberi cahaya yang membuatnya merasa sempit ketika melanggar." (Ihya Ulumuddin)

7. Abdul Qadir al-Jailani: "Lihatlah kepada hatimu! Jika ia gelisah, tinggalkan itu. Kebaikan akan membawa ketenangan, dosa membawa kegelisahan yang mendalam."

8. Jalaluddin Rumi: "Dosa bukan hanya perbuatan, tapi keadaan hatimu saat jauh dari Cinta Ilahi. Jika hatimu sunyi dari kehadiran-Nya, itulah itsm."

9. Ibnu ‘Arabi: "Al-birr adalah kesesuaian antara lahir dan batin dalam penghambaan. Al-itsm adalah perbedaan antara apa yang engkau tampakkan dan yang tersembunyi."

10. Ahmad al-Tijani: "Jangan ukur kebaikan dari amal yang tampak, tapi dari nur di hatimu. Jika hatimu bercahaya setelah berbuat, itulah birr sejati."


Penutup: Hadis ini adalah kompas bagi jiwa. Dalam dunia yang semakin kompleks, ia menjadi penuntun agar manusia selalu mengevaluasi diri, bukan berdasarkan pujian manusia, tapi dari bisikan hatinya yang bersih. Sufi-sufi agung telah memperkaya pemahaman hadis ini dengan pandangan batin yang dalam dan pencerahan rohani yang menyentuh.

"Barangsiapa menginginkan cahaya Allah, maka hendaklah ia jujur pada nuraninya."

-----

Berikut versi bahasa santai :

🧕👳‍♂️ Judul: “Kebaikan Itu Lembut, Dosa Itu Ganjel”


Hadis Utama:

Dari sahabat An-Nawwâs bin Sam'ân radhiyallahu ‘anhu:
"Aku pernah nanya ke Rasulullah ﷺ tentang apa itu kebaikan dan apa itu dosa."

Nabi jawab:
"Kebaikan itu akhlak yang baik. Dosa itu sesuatu yang bikin hati nggak tenang, dan kamu nggak nyaman kalau orang lain tahu."
(HR. Muslim)


💡 Ngobrolin Makna Hadisnya

1. Kok bisa ada hadis ini?
Karena sahabat pengin tahu secara jujur, gimana caranya bedain mana yang baik dan mana yang salah, nggak cuma dari tampak luar. Nabi ﷺ jawabnya simpel banget, tapi dalem:
➡️ Kebaikan itu soal akhlak.
➡️ Dosa itu bukan sekadar hukum, tapi rasa gak enak di hati.

2. Intinya nih ya...

  • Kebaikan (Al-Birr): Akhlak baik, hati adem, nggak drama.
  • Dosa (Al-Itsm): Bikin was-was, hati kayak keteken, dan malu kalau orang lain tahu.

3. Tafsir Mini

  • Kalau kamu ngerasa adem setelah ngelakuin sesuatu, kemungkinan besar itu baik.
  • Tapi kalau kamu ngerasa gelisah, walaupun nggak ada yang tahu, hati-hati... itu bisa jadi dosa.

🔎 Zaman Sekarang Gimana?

Di era medsos, kadang orang lebih takut viral jelek daripada takut dosa. Hadis ini ngajarin kita buat jujur sama diri sendiri. Jangan cuma mikir “apa kata orang?”, tapi tanya juga “apa kata hatiku?”.


🧠 Kata Para Tokoh Sufi:

1. Hasan al-Bashri:
"Kalau setelah berbuat kamu gelisah, bisa jadi itu dosa. Amal baik itu tenang, nggak butuh pujian."

2. Rabi‘ah al-Adawiyah:
"Berbuat baik bukan karena takut neraka, tapi karena cinta. Kalau kamu malu Allah lihat, itu tandanya ada yang salah."

3. Abu Yazid al-Bistami:
"Kalau hati damai, itu tandanya kamu dekat dengan kebaikan. Kalau hati gelisah, itu alarm dari Allah."

4. Junaid al-Baghdadi:
"Kebaikan itu ketika kamu pengin Allah aja yang tahu, bukan orang lain."

5. Al-Hallaj:
"Dosa itu kadang bukan tindakan, tapi perasaan jauh dari Allah."

6. Imam Al-Ghazali:
"Hati yang gelisah setelah ngelakuin sesuatu, itu tanda dosa. Mukmin itu peka karena Allah kasih cahaya di hatinya."

7. Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
"Kalau kamu ngerasa nggak nyaman, tinggalin. Kebaikan itu bikin hati ringan."

8. Jalaluddin Rumi:
"Dosa itu bukan sekadar perbuatan, tapi saat hati kamu kosong dari Cinta Allah."

9. Ibnu ‘Arabi:
"Kalau luar dan dalam kamu selaras dalam mengabdi ke Allah, itu al-birr. Kalau nggak sinkron, itu itsm."

10. Ahmad at-Tijani:
"Jangan ukur kebaikan dari tampilan. Ukur dari cahayanya. Kalau hati kamu terang setelah berbuat, itu tanda birr."


🏁 Penutup

Hadis ini bukan cuma buat dipajang di dinding, tapi jadi kompas batin.
🌙 Jangan ukur hidup dari “apa kata netizen”, tapi dari “apa kata hati”.
Kalau hati kamu bersih, itu udah separuh jalan menuju Allah.

📌 “Kalau kamu pengin deket sama cahaya Allah, jujurlah sama nuranimu.”


Semoga jadi pengingat, bukan cuma buat kamu, tapi juga buat aku yang nulis ini.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
✍️ Djoko EkasanU