Monday, December 14, 2009

Cermat Atur Pola Makan Anak Autis

Cermat Atur Pola Makan Anak Autis

Email Cetak PDF

By Republika Newsroom

JAKARTA--Anak dengan gangguan autis umumnya menderita alergi berat. Sebab itu, perlu perhatian khusus dari para orang tua.

Perlu diketahui, anak-anak dengan gangguan autis memiliki kelainan metabolisme sehingga sulit mencerna makanan yang tergolong kasein (protein dari susu) dan Gluten (protein dari gandum).

Makanan tersebut tidak harus dipantang seumur hidup. Dengan bertambahnya umur anak, makanan tersebut dapat diperkenalkan satu per satu, sedikit demi sedikit.

Berikut beberapa saran yang dari pusat Terapi Tumbuh Kembang Anak (yamet) dan beberapa sumber lainnya untuk mengatur makanan secara umum pada anak-anak dengan gangguan autis, antara lain :

  • Berikan makanan seimbang dengan menggantikan makanan yang mengandung kasein dan gluten dengan bahan-bahan lain untuk menjamin agar tubuh memperoleh semua zat gizi yang dibutuhkan untuk keperluan pertumbuhan, perbaikan sel-sel yang rusak dan kegiatan sehari-hari.
  • Gula sebaiknya dihindari, khususnya bagi yang hiperaktif dan ada infeksi jamur. Fruktosa dapat digunakan sebagai pengganti gula karena penyerapan fruktosa lebih lambat disbanding gula/sukrosa.
  • Gunakan minyak sayur, minyak jagung, minyak biji bunga matahari, minyak kacang tanah, minyak kedelai, atau minyak olive sebagai pengganti minyak goreng konvesional.
  • Konsumsi banyak serat, khususnya serat yang berasal dari sayuran dan buah-buahan segar. Konsumsi sayur dan buah 3-5 porsi per hari.
  • Hindari makanan yang menggunakan food additive (zat penambah rasa, zat pewarna, zat pengawet).
  • Bila keseimbangan zat gizi tidak dapat dipenuhi, lantaran anak terlalu sulit menerima asupan makanan, maka pertimbangkan pemberian suplemen vitamin dan mineral (vitamin B6, vitmin C, seng, dan magnesium). Langkah ini harus dikonsultasikan dengan dokter.
  • Berikan makanan yang cukup bervariasi. Bila makanan monoton, maka anak akan bosan.
  • Hindari junk food seperti yang saat ini banyak dijual, ganti dengan buah dan sayuran segar. cr2/rin

Anak Autisme Tidak Boleh Sembarang Makan

Anak Autisme Tidak Boleh Sembarang Makan

Email Cetak PDF

INILAH.COM, Jakarta - Autis adalah gangguan perilaku yang luas dan berat, mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku motorik, emosi, dan persepsi sensorik yang banyak ditemukan pada anak-anak.

Dalam banyak kasus, gejala autis muncul sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan dalam beberapa kasus gejala autis justru sudah nampak sejak lahir.

Selama puluhan tahun penyebab gejala autis masih misteri dan baru sekitar 10 tahun terakhir diketahui adanya kelainan struktur otak yang menjadi penyebab.

Dr dr Sri Achadi Nugraheni, ahli gizi yang tertarik meneliti tentang autisme, terutama tentang pengaruh makanan dan minuman terhadap autisme. "Saya tertarik dengan persoalan autisme sejak 1985, ketika itu saya masih kuliah," kata Nugraheni yang kini menjabat Kepala Bidang Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Penyandang autisme di dunia kini cenderung meningkat. Penelitian terakhir dari Autism Reseach Centre of Cambridge University menyebutkan ada 58 anak autis per 10.000 kelahiran.

"Padahal, sekitar 10 tahun lalu hanya ada sekitar 2-4 anak autis per 10.000 kelahiran, sehingga di Indonesia diperkirakan lahir 6.900 anak autis per tahun," katanya.

Karena itu, ia terdorong melakukan penelitian tentang pengaruh asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi anak autis dengan mengambil sampel di Semarang dan Solo.

Menurut dia, penyandang autis kemungkinan dapat diatasi dengan makanan atau minuman tertentu, sebab makanan dan minuman memiliki pengaruh cukup besar bagi kehidupan.

Ada penelitian yang menyatakan bahwa diet terhadap makanan dan minuman yang mengandung gluten (protein dari gandum) dan casein (protein dari susu) berpengaruh besar terhadap autisme.

Namun, kata dia, beberapa pendapat justru meragukan kebenaran teori itu karena belum dapat dibuktikan secara ilmiah.

"Penelitian itu sebenarnya sangat membantu para orang tua yang memiliki anak autis, agar mereka tahu makanan dan minuman apa saja yang harus dihindari," katanya.

Ia mengambil sampel 160 anak autis dari enam empat terapi di Semarang yang dinamakan kelompok intervensi dan 120 anak autis dari lima tempat terapi di Solo yang dinamakan kelompok kontrol.

Lewat penelitian itu, ia menganjurkan diet ketat menghindari asupan mengandungcasein yang berasal dari susu, misalnya susu sapi, susu bubuk, susu skim, susu kambing, mentega, dan keju.

Para orang tua anak penyandang autis juga diminta menghindari pemberian segala macam asupan mengandung gluten yang berasal dari gandum, misalnya sereal kepada anaknya.

"Setelah itu, kami mengadakan pengamatan dan konseling kepada setiap orang tua untuk memantau pelaksanaan diet bebas casein dan gluten, setiap dua minggu sekali selama tiga bulan," katanya.

Pengamatan dan konseling secara rutin dan terus-menerus itu penting, terutama untuk memonitor apakah diet bebas casein dan gluten masih dijalankan dengan benar.

Menggembirakan

Setelah melakukan pengamatan dan pengawasan diet selama tiga bulan itu, ia menemukan perkembangan yang cukup baik bagi penyandang autis, terutama dalam perubahan perilaku yang positif.

"Gangguan perilaku interaksi sosial, antara lain rasa malu tidak wajar, tidak ada kontak mata, suka menyendiri mengalami penurunan signifikan," katanya.

Gangguan komunikasi nonverbal, lanjutnya, seperti bergumam kata-kata tidak bermakna, nada dan volume bicara tidak wajar, menarik tangan orang juga berkurang.

Ia mencatat pula bahwa gangguan perilaku motorik, antara lain hiperaktif dan berjalan secara tidak wajar turut berkurang, seperti halnya gangguan emosi dan persepsi sensorik, misalnya suka menjilat dan tidak merasa sakit jika terluka.

Hasil diet yang menggembirakan itu ditunjang oleh berbagai penelitian di bidang metabolisme yang menunjukkan banyak anak autis mengalami gangguan metabolisme, salah satunya kelainan pencernaan.

"Kelainan pencernaan yang ditemukan pada anak autis adalah adanya lubang-lubang kecil pada saluran pencernaan, tepatnya di mukosa usus," katanya.

Di sisi lain, kata dia, casein dan gluten ternyata merupakan protein yang paling susah dicerna karena termasuk asam amino pendek yang sering disebut peptide.

Ia mengatakan, peptide dalam keadaan normal biasanya hanya diabsorbsi sedikit dan sisanya dibuang, namun karena adanya kebocoran mukosa usus menjadikannya masuk ke dalam sirkulasi darah.

"Di dalam darah peptide ini hanya sebentar, karena sebagian dikeluarkan lewat urin dan sisanya masuk ke dalam otak yang dapat menempel pada reseptor opioid di otak," katanya.

Nantinya, peptide itu akan berubah menjadi morfin yang dapat memengaruhi fungsi susunan syaraf dan dapat menimbulkan gangguan perilaku.

Diet bebas gluten dan casein itu sebenarnya merupakan terapi penunjang yang tidak dapat bersifat langsung menyembuhkan autisme, namun diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan. [*/mor]

Diet, Senjata Utama Penanganan Anak Autis

Diet, Senjata Utama Penanganan Anak Autis

Email Cetak PDF

By Republika Newsroom

SEMARANG--Diet secara teratur bisa menjadi senjata utama penanganan terhadap anak penderita autisme, kata peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang, S.A. Nugraheni."Langkah ini biasanya belum terpikirkan oleh para orang tua yang memiliki anak autis," katanya usai menyampaikan hasil penelitian tentang "Perubahan Perilaku Anak Autis Pascaintervensi Diet Bebas Gluten Bebas Casein", di Semarang, Kamis.

Berdasarkan penelitian, katanya, sebagian besar anak autis, terutama pada tingkat lanjut, memiliki respons yang baik ketika mendapat makanan rendah kadar gandum, susu, dan produk sejenisnya. Beberapa hasil penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa jenis makanan yang harus dihindari oleh penderita autis adalah makanan yang mengandung gluten, casein, glukosa, dan lemak. "Namun belum ditemukan bukti otentik," katanya.

Pihaknya dibantu peneliti dari Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, masing-masing M. Hakimi dan Y. Prawitasari, berinisiatif meneliti pengaruh diet bebas casein dan gluten terhadap perubahan perilaku anak-anak autis. "Kami melakukan konseling terhadap para orang tua yang memiliki anak autis secara mendalam melalui modul dan buku-buku tentang makanan yang bebas gluten dan casein yang dilakukan setiap dua minggu sekali selama tiga bulan," katanya.

Ia mengatakan, konseling tersebut perlu terus menerus untuk memonitor apakah diet bebas gluten dan casein masih dijalankan mereka. Hasil pengamatan, katanya, ternyata menunjukkan perubahan perilaku yang positif secara signifikan.

Dugaan sebelumnya, katanya, faktor psikologis memegang peranan penting terhadap timbulnya gejala autisme. Namun, katanya, berbagai penelitian dalam bidang metabolisme menunjukkan banyak anak autis yang mengalami berbagai gangguan metabolisme."Gangguan metabolisme yang banyak ditemui pada anak autis di antaranya alergi terhadap berbagai jenis makanan, pertumbuhan jamur dan 'yeast' yang berlebihan, gangguan pencernaan, dan keracunan logam berat," katanya.

Selain itu, katanya, terdapat kelainan yang ditemukan di usus anak autis berupa lubang-lubang kecil di mucosa usus dan meningkatnya permeabilitas usus yang dikenal dengan nama "leaky gut". Ia mengatakan, gluten (protein dari gandum) dan casein (protein dari susu sapi), keduanya adalah protein yang susah dicerna (peptide), terutama karena kebocoran mukosa usus yang berakibat masuk ke sirkulasi darah.

Namun, katanya, peptide tersebut tidak lama berada dalam darah, karena sebagian dari peptide itu dikeluarkan lewat urine dan sebagian lainnya masuk ke otak yang akan menempel pada reseptor opioid. "Apabila sudah seperti itu, peptide ini akan berubah fungsi menjadi morfin yang dapat memengaruhi fungsi susunan syaraf pusat, sehingga timbul gangguan perilaku," kata Nugraheni. ant/kpo

Anak Autis Banyak Lahir dari Orangtua Berpendidikan Tinggi

Anak Autis Banyak Lahir dari Orangtua Berpendidikan Tinggi

Email Cetak PDF

Nurul Ulfah - detikHealth


California, Studi terkini menemukan anak autis banyak dilahirkan dari pasangan yang berpendidikan tinggi dan sudah tua. Peneliti menggunakan data sekitar 2,5 juta kelahiran di California selama 5 tahun.

Dan ternyata ditemukan sekelompok anak autis pada daerah dimana rata-rata penduduknya berpendidikan tinggi. Orang tua anak-anak autis tersebut ternyata kebanyakan berlatar belakang pendidikan lebih tinggi (di atas S1) dibanding orang tua di daerah yang tidak terdapat anak autis.

"Studi ini cocok dengan apa yang kami perkirakan sebelumnya, yaitu pasangan orang tua yang berpendidikan tinggi cenderung menghasilkan anak autis," ujar Karla Van Meter, epidemiolog dari Sonoma County Department of Public Health University of California seperti dilansir Healthday, Rabu (6/1/2010).

Suami istri yang sudah berumur tua saat memiliki anak juga dilaporkan lebih banyak mempunyai anak autis. Tapi faktor pendidikan jauh lebih besar risikonya dalam menghasilkan anak autis.

"Tidak ada yang benar-benar tahu penyebabnya apa. Tapi mungkin faktor genetik berperan. Mungkin juga karena orang tua berpendidikan tinggi memiliki harapan yang terlalu berlebih pada anaknya sehingga psikologisnya terganggu atau karena mereka lebih banyak terpapar dengan bahan kimia di rumahnya. Semuanya bisa saja terjadi, tapi kami masih meneliti penyebab pastinya," kata Van Meter.

Namun kabar baiknya adalah, orang tua yang berpendidikan tinggi lebih tahu tentang penyakit autis dan lebih baik dalam menangani anaknya yang autis.

"Penyakit autis sudah menembus batas demografis dan sosial ekonomi. Kita bisa melihatnya di lingkungan sekitar dimana pasangan orang tua yang pintar dan berpendidikan tinggi justru lebih banyak melahirkan anak autis," kata Lee Grossman dari Autism Society of America.

Jumlah anak autis memang meningkat akhir-akhir ini. Hingga Desember 2009, Centers for Disease Control and Prevention mencatat 1 dari 110 anak di Amerika terdiagnosa autis. Faktor genetik dan cemaran bahan kimia masih menjadi penyebab utamanya.(fah/ir)

Penyebab Penderita Autis Sulit Berkomunikasi

Penyebab Penderita Autis Sulit Berkomunikasi

Email Cetak PDF

Vera Farah Bararah - detikHealth

Cambridge, Penderita autis terlihat sangat tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Kini peneliti menemukan penyebab kenapa penderita autis harus berjuang keras dalam lingkungan sosialnya.

Peneliti dari University of Cambridge yang melakukan penelitian dengan scan otak yang canggih menemukan bahwa ada bagian otak penderita autis yang memang tidak mengenali kesadaran tentang dirinya sendiri. Akibatnya, jangankan untuk berkomunikasi, untuk mengenali kesadaran terhadap pribadinya saja, penderita sudah kesulitan.

Scan otak canggih yang didapatkan peneliti menunjukkan penderita autis terlihat kurang aktif bila terlibat dalam hal pemikiran tentang kesadaran diri. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnalBrain.

Penelitian ini telah menunjukkan adanya masalah pada penderita autis yaitu dalam hal kesulitan memikirkan sesuatu dan membuat rasa mengenai dirinya sendiri dan orang lain.

Para peneliti menggunakan scan resonansi magnetik fungsional untuk mengukur aktivitas otak dari 66 relawan laki-laki yang sekitar 50 persennya telah didiagnosis mengalami gangguan spektrum autis.

Para relawan ini diminta untuk memberikan penilaian mengenai pikiran dirinya sendiri, opini, preferensi, karakteristik fisik serta diharuskan memberikan penilaian terhadap orang lain.

Dengan melakukan scan terhadap otak para relawan dalam menanggapi berbagai pertanyaan tersebut, maka peneliti bisa melihat adanya perbedaan aktivitas otak antara penderita autis dengan yang tidak.

Peneliti sangat tertarik mengenai bagian dari otak yang disebut dengan ventrodial pre-frontal cortex (vMPFC) yang dikenal aktif ketika seseorang berpikir mengenai dirinya sendiri.

"Penelitian ini menunjukkan bahwa otak autis harus bekerja keras dalam memproses informasi mengenai dirinya sendiri, sedangkan untuk menjelajahi interaksi sosial dengan orang lain diperlukan usaha yang lebih keras lagi," ujar Michael Lombardo dari University of Cambridge, seperti dikutip dari BBC, Senin (14/12/2009).

"Kita tahu banyak penderita autis sangat sulit untuk berinteraksi dengan orang lain dan membangun pertemanan, ini dikarenakan mereka mengalami kesulitan dalam mengenali dan memahami pikiran serta perasaan orang lain," ujar Dr Gina Gomez de la Cuesta dari National Autistic Society.

(ver/ir)

1 Dari 100 Anak Menderita Autis

1 Dari 100 Anak Menderita Autis

Email Cetak PDF

Vera Farah Bararah - detikHealth


Jakarta, Kenaikan jumlah angka penderita autis sungguh mencengangkan. Bagaimana tidak, rasio anak yang terkena autis semakin banyak dengan perbandingan 1 dari 100 anak terdiagnosa positif autis.

Berdasarkan laporan berita dari Institute Nasional Kesehatan Mental dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, didapatkan bahwa telah terjadi peningkatan yang cukup besar dalam jumlah anak yang didiagnosis mengalami autis.

Kini ditemukan rata-rata penderita autis adalah 1 dari 100 anak-anak, sedangkan perkiraan sebelumnya adalah 1 dari 150 anak-anak dan dulu orang beranggapan penderita autis adalah 1 dari 500 anak-anak.

Apa yang sebenarnya terjadi? Saat ini ada kesepakatan secara umum bahwa faktor genetik diperkirakan turut menyempurnakan risiko anak-anak autis, faktor lainnya adalah meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai penyakit ini sehingga meningkatkan pula diagnosis untuk gangguan spektrum autis (autism spectrum disorders). Tapi ada juga pemicu lain yang belum dapat diidentifikasi, seperti lingkungan, makanan atau faktor keturunan.

Faktor pemicu lainnya tersebut seperti dikutip dari Thedailygreen, Selasa (6/10/2009) adalah lingkungan yang sudah terpapar merkuri atau logam berat lainnya, air yang terkontaminasi, pestisida atau juga karena pengguaan antibiotik.

Segala macam limbah beracun yang ada di lingkungan diduga sebagai penyebab yang potensial. Dengan perkembangan penelitian termasuk penelitian yang menonjol mengenai kesehatan anak-anak, ada salah satu penyebab yang sudah tidak dipercaya lagi yaitu penggunaan pengawet vaksin thimerosal yang diduga menyebabkan anak autis. Kini pengawet tersebut sudah tidak digunakan dan tidak ada bukti yang menunjukkan thimerosal menyebabkan anak autis.

Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Anak yang menderita autis jika kepalanya diperiksa dengan menggunakan CT Scan semuanya akan terlihat normal-normal saja. Diduga autis terjadi karena jembatan yang menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat, dan sampai saat ini belum diketahui apa yang membuatnya terhambat.

Sampai saat ini belum ada satu penyebab yang pasti mengakibatkan anak autis. Tapi orangtua sebaiknya secara bijaksana mengurangi paparan bahan kimia beracun selama masa kehamilan dan masa perkembangan anak-anak.

Terapi Autis Dengan Binatang Peliharaan

Terapi Autis Dengan Binatang Peliharaan

Email Cetak PDF

Vera Farah Bararah - detikHealth

Jakarta, Memelihara binatang peliharaan di rumah selain sebagai hobi juga memiliki manfaat lain, salah satunya adalah sebagai terapi bagi anak autis. Terapi ini dilakukan oleh bocah penderita autis berusia 11 tahun bernama Milo yang melakukannya bersama anjingnya bernama Chad.

Hubungan yang terjadi antara manusia dengan binatang peliharaannya memang memiliki efek yang langsung, meskipun efek ini belum bisa dijelaskan melalui penelitian ilmiah. Tapi hubungan yang terjalin antara Milo dan Chad melampaui hubungan yang secara umum terjadi.

"Dalam seminggu saya melihat perubahan yang sangat besar pada dirinya, setelah sebulan dia menjadi lebih tenang serta bisa berkonsentrasi dan berkomunikasi dalam jangka waktu yang lebih lama," ujar Nyonya Vaccaro yang merupakan ibu dari Milo, seperti dikutip dari New York Times, Jumat (9/10/2009).

Dr Melissa A Nishawala seorang direktur klinis pelayanan autis-spectrum di Child Study Center at New York University menambahkan dirinya melihat perubahan yang nyata pada diri Milo yang menjadi lebih tenang dan bisa berkomunikasi meskipun yang terlihat anjing tersebut hanya duduk diam di dalam ruangan. Akibat perubahan yang mendalam pada diri Milo, kini Vaccaro dan Dr Nishawala mulai mencoba untuk menghentikan pengobatan yang digunakan oleh Milo.

Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development yang merupakan bagian dari Institut Kesehatan Nasional juga memulai usaha untuk mempelajari apakah hewan-hewan peliharaan ini dapat memiliki efek nyata terhadap kesejahteraan dari anak-anak.

Untuk itu diperlukan lebih banyak lagi penelitian ilmiah yang bisa menjelaskan manfaat dari terapi tersebut, terutama pengaruhnya terhadap perkembangan anak. Karena selama ini sebagian penelitian hanya berfokus pada interaksi negatif dari hewan peliharaan saja, seperti memelihara binatang bisa menyebarkan penyakit.

Di Children's Hospital of Orange County di California Selatan, misalnya, puluhan relawan secara rutin membawa anjingnya untuk mengunjungi pasien anak-anak yang dirawat karena penyakit serius. Biasanya anak-anak tersebut sering mengalami sedih, cemas atau depresi. Hal terpenting adalah binatang peliharaan tersebut harus bebas dari segala macam penyakit dan telah mendapatkan vaksinasi dengan benar.

"Anjing-anjing yang dibawa oleh para relawan tersebut bisa mencerahkan anak-anak," kata Emily Grankowski, yang mengawasi program terapi hewan peliharaan di rumah sakit.

Diharapkan nantinya terapi binatang peliharaan ini bisa memunculkan pengobatan baru dalam menyembuhkan anak yang sering mengalami depresi, sedih atau anak dengan autis. Namun, tidak menutup kemungkinan terapi ini juga bisa dilakukan untuk orang dewasa.

Tingkatkan Keterampilan Anak Autis dengan Occupational Therapy

Tingkatkan Keterampilan Anak Autis dengan Occupational Therapy

Email Cetak PDF
Terapi Okupasi SESEORANG dengan autisme seringkali mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Sebagai gangguan perkembangan yang kompleks, daya tarik, aktivitas dan keterampilan bermain penderita autisme juga biasanya sangat terbatas. Untuk memperbaiki kondisi ini, Anda bisa mencoba occupational therapy.

Terapis untuk occupational therapymempelajari pertumbuhan dan perkembangan. Mereka ahli di bidang sosial, emosional dan psikologis yang mempengaruhi penyakit dan cedera. Ilmu ini membantu mereka mengembangkan kemampuan penderita autisme untuk hidup mandiri.

Terapis biasanya bekerja dalam tim yang melibatkan orangtua, guru, dan profesional lainnya. Mereka membantu meningkatkan kemampuan berinterkasi, perilaku dan performa penderita autisme.

Terapis mengamati anak-anak untuk melihat kemampuan mereka dalam mengerjakan tugas sesuai dengan usia. Hal ini bisa berkaitan dengan keahlian dalam mengurus diri sendiri, seperti berpakaian. Selain itu, terapis akan merekam keseharian anak dalam video.

Video ini selanjutnya digunakan untuk mempelajari reaksi anak terhadap lingkungan yang kemudian menjadi alat analisa untuk mengukur tingkat perhatian, keterampilan bermain, respon terhadap sentuhan atau stimulus lainnya. Termasuk keahlian motorik seperti postur, keseimbangan, agresi atau tipe tingkah laku lainnya serta interaksi antara anak dan pengasuhnya.

Manfaat terhadap anak

Secara umum, terapi ini bertujuan membantu penderita autisme memperbaiki kualitas hidup, baik di rumah maupun di sekolah. Terapis akan membantu mengenalkan, mempertahankan, dan meningkatkan keterampilan. Dengan cara ini, penderita autisme diharapkan bisa hidup semandiri mungkin. Terapi ini membantu meningkatkan keterampilan penderita autisme di bidang: Keterampilan sehari-hari, seperti latihan menggunakan toilet, berpakaian, menggosok gigi, dan keterampilan lainnyaKeterampilan motorik halus yang diperlukan untuk memegang objek saat menulis atau memotong sesuatu dengan guntingKeterampilan motorik kasar yang digunakan untuk berjalan atau mengendarai sepedaDuduk, postur atau keterampilan persepsi, seperti menerangkan perbedaan antara warna, bentuk, dan ukuranKeahlian visual seperti membaca dan menulisBermain, mengatasi masalah, mengurus diri sendiri, berkomunikasi dan keterampilan sosial
Dengan membantu keterampilan di atas, penderita autisme bisa melakukan hal-hal berikut: Berteman dan membangun hubunganBelajar fokus dalam mengerjakan tugasBelajar mengontrol keinginanMengekspresikan perasaan dengan cara-cara yang lebih tepatBermain dengan temanBelajar mengontrol diri sendiri

Anda tertarik? Terapi ini telah tersedia di Jakarta, berkonsultasilah dengan dokter untuk menemukan rujukan terapis yang tepat. (IK/OL-08)

Sumber : http://www.mediaindonesia.com
Penulis : Ikarowina Tarigan

Asperger, Gangguan Anak Antisosial

Asperger, Gangguan Anak Antisosial

Email Cetak PDF

JAKARTA-- Autisme seakan-akan jadi momok menakutkan bagi banyak orang tua. Tidak heran, karena jumlah angka penderitanya di seluruh dunia terus meningkat, termasuk di Indonesia. Meskipun belum ada angka pasti yang menyebutkan penderita autis di Indonesia.

Nyatanya tidak hanya penderitanya saja yang bertambah, kini varian autisme juga semakin banyak diketahui. Sindrom asperger merupakan salah satu varian autisme yang lebih ringan dibandingkan kasus autisme klasik.

Gangguan Asperger berasal dari nama Hans Asperger, seorang dokter spesialis anak asal kota Wina, Austria. Pada tahun 1940, Asperger ialah orang pertama yang menggambarkan pola perilaku khusus pada pasien-pasiennya, terutama pasien laki-laki.

Asperger memperhatikan, meskipun anak laki-laki tersebut memiliki tingkat intelegensia yang normal serta kemampuan bahasa yang baik, namun mereka memiliki kekurangan dalam kemampuan bersosialisasi. Umumnya mereka tidak mampu berkomunikasi secara efektif serta kemampuan koordinasi yang kurang baik.

Sindrom asperger banyak disebut sebagai varian dari autisme yang lebih ringan. Para ahli mengatakan, pada penderita sindrom asperger memiliki kondisi struktural otak secara keseluruhan lebih baik dibandingkan pada penderita autisme.

Menurut Clinical Assistant Professor of Pediatrics Jefferson Medical College Philadelphia, Susan B. Stine, MD karakter dari anak-anak yang mengalami sindrom asperger ialah kurangnya kemampuan berinteraksi sosial, pola bicara yang tidak biasa dan tingkah laku khusus lainnya.

Kemudian, anak-anak dengan sindrom asperger biasanya sangat sulit untuk menampilkan ekspresi di wajahnya serta sulit untuk membaca bahasa tubuh pada orang lain.
“Mereka kemungkinan juga merasa nyaman dengan rutinitas tertentu yang harus dilakukan setiap hari serta sensitif terhadap stimulasi sensori tertentu, misalnya mereka akan tertanggu oleh nyala lampu redup yang mungkin tidak diperhatikan oleh orang lain. Bisa saja mereka menutup kuping agar tidak dapat mendengarkan suara di sekitarnya atau mereka mungkin lebih memilih pakaian dari bahan-bahan tertentu saja,” jelas Stine.
Selain itu, tambah Stine, ciri dari anak yang mengalami sindrom asperger adalah terlambatnya kemampuan motorik, ceroboh, minat yang terbatas dan perhatian berlebihan terhadap kegiatan tertentu.
Hal senada diungkapkan oleh dokter spesialis anak konsultan Neurologi, dr Hardiono D Pusponegoro, Sp.A(K). Dia memaparkan, sindroma asperger adalah gangguan perkembangan dengan gejala berupa gangguan dalam bersosialisasi, sulit menerima perubahan, suka melakukan hal yang sama berulang-ulang, serta terobsesi dan sibuk sendiri dengan aktivitas yang menarik perhatian.

“Umumnya, tingkat kecerdasan si kecil baik atau bahkan lebih tinggi dari anak normal. Selain itu, biasanya ia tidak mengalami keterlambatan bicara,” kata Hardiono.
Jika dilihat secara sekilas, lanjutnya, anak tersebut tidak berbeda dengan anak yang pintar dan kreatif. Hanya saja, anak tersebut biasanya memiliki satu minat tertentu saja untuk dikerjakannya.
Memang secara keseluruhan anak-anak yang mengalami gangguan sindrom asperger mampu melakukan kegiatan sehari-hari, namun terlihat sebagai pribadi yang kurang bersosialisasi sehingga sering dinilai sebagai pribadi eksentrik oleh orang lain.
Menurut Stine, jika penderita sindrom asperger beranjak dewasa, biasanya mereka akan merasa kesulitan untuk mengungkapkan empati kepada orang lain serta tetap kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain.
“Pada ahli mengatakan bahwa penderita sindrom asperger biasanya akan menetap seumur hidup. Namun, gejala tersebut dapat dikurangi dan diperbaiki dalam kurun waktu tertentu terutama deteksi dini sindrom asperger akan sangat membantu,” pungkasnya.

Gangguan sindrom asperger pada umumnya akan terus mengikuti perkembangan usia seseorang. Meski tidak membahayakan jiwa, namun gangguan itu bisa membuat anak takut berada di keramaian dan membuat anak depresi.

Ciri yang menonjol pada anak asperger adalah mereka tidak bisa membaca kode-kode atau ekspresi wajah seseorang. Karena ketidakmampuannya itu, anak asperger dijauhi teman-temannya.

"Biasanya mereka jadi anak yang antisosial, sulit berinteraksi dengan orang lain," kata Hardiono.

Ketika anak asperger tidak mempunyai teman, lalu tidak tahu harus bersikap bagaimana untuk menghadapi sebuah situasi, dia akan merasa putus asa dan akhirnya depresi.

Sesuai dengan perkembangan otak, kalau kelainan itu diketahui lebih dini, maka bisa distimulasi atau diberi obat agar berkembang ke arah yang baik.

Namun, kalau sudah terlambat deteksinya, yaitu sudah berusia lima atau enam tahun, maka sulit penanganannya karena perkembangan otak sudah berhenti. Pada umur lima tahun, bagian otak yang disebut sinaps-sambungan antar saraf di mana bahan kimia serotonin bekerja-akan berhenti.
Kini teknik-teknik terapi sudah jauh lebih maju dan fasilitas sudah banyak. Hardiono menuturkan, salah satu terapi yang bisa dilakukan adalah dengan mengajak si anak bermain. Stimulasi ini diketahui memperbaiki sinaps dan meningkatkan kadar serotonin.
Menurut Hardiono, anak asperger masih bisa diterapi, terutama dalam hal kemampuan bersosialisasi. Pasalnya, kemampuan mereka bersosialisasi sangat kurang.
"Cara terapi yang paling baik adalah mengajarkan anak bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Terapi dalam bentuk peer group akan lebih baik lagi," paparnya.
Anak asperger biasanya memiliki kecerdasan yang tinggi, maka orangtua akan dengan mudah mengajarkan emosi sosial. Misalnya, mengajarkan bagaimana harus bersikap jika menghadapi situasi tertentu.

R. Kaan Ozbayrak,MD, Assistant Professor of Psychiatry University of Massachusetts Medical School menambahkan, beberapa hal lain yang dapat dilakukan untuk membantu anak-anak penderita sindrom asperger. Terapi atau pengobatan yang dilakukan juga harus disesuaikan.
Secara umum Ozbayrak mengatakan, anak-anak penderita sindrom asperger akan banyak terbantu oleh orangtua yang memahami dan mampu membantunya. Kemudian, mereka juga membutuhkan pendidikan yang diperuntukan khusus bagi kebutuhannya. Selain itu, anak memerlukan latihan kemampuan untuk bersosialisasi serta terapi wicara.
"Terapi sensori integrasi juga dapat berguna bagi anak-anak yang masih kecil untuk meminimalisir kondisinya yang terlalu sensitif. Sementara itu, untuk anak-anak yang lebih tua dapat mendapatkan terapi kognitif atau psikoterapi,” papar Ozbayrak. (ri)

Sumber : www.republika.co.id

Kenali Ciri Asperger

Kenali Ciri Asperger

Email Cetak PDF

Penulis : Ikarowina Tarigan

ISTILAHAsperger's Syndrome sebelumnya mungkin masih asing di telinga Anda. Akan tetapi, penayangan film Bollywood My Name is Khan turut mengingatkan kembali tipe autisme ringan ini.

Dalam film ini, tokoh utama Rizwan Khan didiagnosis menderita Asperger's syndrome. Khan digambarkan sebagai anak dengan perilaku agak aneh (sering meremas-remas batu) tetapi berbakat (memperbaiki setiap mesin yang rusak).

Apa itu Asperger's syndrome?Asperger's syndrome merupakan salah satu tipe pervasive development disorder (PDD). PDDs merupakan sekelompok kondisi termasuk keterlambatan perkembangan keahlian dasar seperti keterampilan bersosialisasi dengan, berkomunikasi dan menggunakan imajinasi.

Meskipun Asperger's syndrome mempunyai kesaman dengan autisme (jenis PPDs yang lebih parah), gangguan ini juga memiliki perbedaan di beberapa bidang. Anak-anak dengan Asperger's syndrome pada umumnya mempunyai fungsi lebih baik dibandingkan anak-anak autisme.

Selain itu, anak-anak dengan Asperger's syndrome umumnya mempunyai kecerdasan normal. Dan meskipun mereka kemungkinan mengalami gangguan berkomunikasi setelah dewasa, anak dengan Asperger's syndrome cenderung mempunyai perkembangan bahasa yang mendekati normal.

Nama gangguan ini diambil dari nama dokter Asal Austria, Hans Asperger, yang pertama kali menggambarkan gangguan ini pada 1944.

Gejala

Gejala Asperger's syndrome bervariasi dan mempunyai rentang dari ringan hingga berat. Gejala-gejala umum termasuk:

Gangguan keterampilan sosial. Anak-anak dengan Asperger's syndrome pada umumnya kesulitan berinteraksi dengan orang lain dan seringkali kaku dalam situasi sosial. Pada umumnya mereka sulit berteman.

Perilahu eksentrik atau kebiasaan yang berulang-ulang. Anak-anak dengan kondisi ini kemungkinan melakukan gerakan yang berulang-ulang, seperti meremas-remas atau memutar jari tangan.

Ritual yang tidak biasa. Anak dengan Asperger's syndrome kemungkinan mengembangkan ritual yang selalu diikuti, seperti mengenakan pakaian dengan urutan tertentu.

Kesulitan komunikasi. Orang-orang dengan Asperger's syndrome kemungkinan tidak melakukan kontak mata saat berbicara dengan seseorang. Mereka mungkin bermasalah menggunakan ekspresi dan gerak tubuh serta kesulitan memahami bahasa tubuh. Selain itu, mereka cenderung bermasalah memahami bahasa dalam konteks.

Keterbatasan ketertarikan. Anak dengan Asperger's syndrome kemungkinan memiliki ketertarikan yang intens bahkan terobsesi terhadap beberapa bidang, seperti jadwal olahraga, cuaca atau peta.

Masalah koordinasi. Gerakan anak dengan Asperger's syndrome kelihatan ceroboh dan kaku.

Berbakat. Banyak anak dengan Asperger's syndrome sangat berbakat di bidang tertentu, seperti musik atau matematika.

Penyebab

Penyebab pasti gangguan ini masih belum diketahui. Akan tetapi, fakta menunjukkan adanya kecenderungan bahwa gangguan ini diturunkan dalam keluarga.

Frekuensi

Jumlah pasti orang yang mengalami gangguan ini belum diketahui. Tapi, gangguan ini dinyatakan lebih umum dibandingkan autisme. Berdasarkan perkiraan yang dikutip situs webmd.com, sindrom ini dialami oleh 0,024 hingga 0,36 persen dari anak-anak. Gangguan ini lebih umum dialami laki-laki dibandingkan perempuan dan biasanya terdiagnosis saat anak berusia antara dua dan enam tahun.

Terapi

Asperger's syndrome belum bisa disembuhkan sepenuhnya. Akan tetapi, Anda bisa mencoba penanganan yang bisa meningkatkan fungsi dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. Orang dengan Asperger's syndrome biasanya ditangani dengan kombinasi dari langkah-langkah berikut:

Pendidikan khusus: Pendidikan yang didisain untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak yang unik.

Modifikasi perilaku: Hal ini meliputi strategi untuk mendukung perilaku positif dan mengurangi perilaku bermasalah.

Terapi bicara, fisik dan terapi okupasional: Terapi ini didisain untuk meningkatkan kemampuan fungsional anak.

Obat-obatan. Tidak ada obat yang khusus untuk menangani Asperger's syndrome. Tapi, obat-obatan bisa digunakan untuk mengatasi gejala khusus, seperti kecemasan, depresi, serta perilaku yang hiperaktif dan terobsesi. (IK/OL-08)