Wednesday, December 15, 2010

Anak dengan Autisme Bisa Maju

Anak dengan Autisme Bisa Maju

Email Cetak PDF

Jakarta, Kompas - Anak dengan autisme bisa mencapai kemajuan dan mengatasi ketertinggalan. Di Indonesia, akses masyarakat pada informasi ataupun tenaga pendukung penanganan anak penyandang autis masih terbatas. Hal ini menimbulkan rasa putus asa, keresahan, dan kebingungan orangtua.

Demikian diungkapkan Gayatri Pamoedji, pendiri Masyarakat Peduli Autisme (Mpati) sekaligus konselor keluarga, di sela acara ”Tanya Jawab Seputar Autisme”, Sabtu (3/4). Dalam kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Autisme Sedunia 2010 itu diluncurkan pula buku karya Gayatri Pertanyaan dan Jawaban Seputar Autisme.

Autisme merupakan gangguan perkembangan yang kompleks pada anak. Gejala kerap tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan itu memengaruhi kemampuan berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan perilaku (hidup dalam dunianya sendiri). Diperkirakan, sekitar 67 juta orang di dunia menyandang autisme. Autisme diyakini sebagai gangguan perkembangan serius yang meningkat pesat di dunia.

Gayatri mengatakan, anak dengan autisme dapat mencapai kemajuan. Untuk itu, dibutuhkan diagnosis akurat, pendidikan yang tepat, dan dukungan yang kuat. ”Hanya saja, orangtua harus bersabar. Tidak ada terapi bagus yang sifatnya memberi perbaikan secara instan,” ujar Gayatri, ibu dari remaja penyandang autis.

Dalam bukunya, Gayatri memaparkan, di negara maju tidak sedikit anak dengan autisme tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berhasil.

Tidak semua anak dengan autisme memiliki intelegensia rendah. Ada yang rata-rata, normal, bahkan di atas rata-rata. Secara umum, anak dapat dikatakan ”sembuh” jika mampu hidup mandiri (sesuai tingkat usia), berperilaku normal, berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan lancar. Hal itu bergantung pada derajat keparahan autis, usia, tingkat kecerdasan, dan kemampuan berbahasa anak. Ciri autisme tidak akan hilang sepenuhnya.

Gayatri meyakini, dengan tersedianya cukup informasi akurat, sarana pendidikan, dan pelatihan yang tepat serta dukungan kuat dari pemerintah dan masyarakat luas, masa depan anak penyandang autis akan lebih baik.

Belum bisa dipastikan

Igor Tabrizian, pakar autisme dan nutrisi dari Australia, yang menjadi salah satu pembicara, mengatakan, penanganan autisme pada dasarnya harus dilakukan secara sistemik dengan penekanan kepada perbaikan sistem pencernaan, otak, pengurasan racun, terutama logam berat dari dalam tubuh.

Dia juga meyakini, diet yang tepat dapat sangat bermanfaat bagi anak dengan autisme.

Sementara penyebab autisme masih belum dapat dipastikan. Beberapa pemicu yang dicurigai, antara lain genetik, kandungan logam berat, permasalahan selama dalam kandungan. (INE)

Detoks Pengusir Racun Logam pada Anak Autis

Detoks Pengusir Racun Logam pada Anak Autis


JAKARTA, KOMPAS.com - Anak-anak autis biasanya mengalami alergi dan MEMILIKI kondisi pencernaan yang jelek. Sekitar 88 persen anak autis memiliki kondisi usus rusak (autistic colistic). Ada kecurigaan mereka mengalami keracunan logam berat.

Pakar analisa rambut dari Australia, Dr.Igor Tabrizian, mengatakan, logam berat dalam tubuh anak autis baru bisa dikeluarkan melalui proses detoks. "Sebelum mengetahui program detoks yang tepat, perlu diketahui dulu tingkat keracunan yang dialami anak," paparnya dalam sebuah seminar autis 'Menyambut Hari Autisme Sedunia 2010' di Jakarta beberapa waktu lalu.

Analisa rambut dapat dilakukan untuk mengidentifikasi kekurangan nutrisi jangka panjang yang merupakan akar dari penyakit yang ada, serta menemukan logam berat beracun yang bisa mencetuskan penyakit.

Proses pembuangan racun (detoks), menurut Igor, dilakukan dengan pemberian suplemen yang dibagi menjadi beberapa kategori, yakni memperbaiki, memberi nutrisi esensial, pembersih racun, serta memperbaiki neurotransmitter.

Nutrisi yang mampu memperbaiki antara lain zinc, aloe vera, prebiotik dan probiotik, vitamin E, zat besi, magnesium, vitamin E, dan vitamin B. Program detoks ini dilakukan selama 6-48 bulan, tergantung derajat keparahan logam berat yang menumpuk.

Sebelum pemberian suplemen detoks, masalah pencernaan anak autis sebaiknya diperbaiki dengan cara melakukan pantang produk gluten atau tepung dan produk susu. Menurut Igor, sistem pencernaan pada anak autis tidak dapat memisahkan protein, sehingga beberapa jenis asam amino justru bergabung.

"Reaksi penggabungan ini akan ditangkap otak seperti narkotik sehingga menimbulkan halusinasi dan menimbulkan gangguan perilaku, akibatnya anak menjadi hiperaktif," paparnya.

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses detoks ini, orangtua bisa melakukan analisa rambut secara berkala. "Selama proses pembuangan racun, kadar polutan dalam tubuh anak akan naik turun. Jadi tak perlu kaget jika hasilnya menunjukkan kadar logam beratnya masih tinggi," katanya.

Penulis: AN | Editor: acandra

Menonton Kartun Bantu Penderita Autis

.Rachmatunnisa - Okezone LONDON - Orang tua seringkali khawatir jika anak terlalu banyak menonton kartun. Namun jika porsi dan jenis tontonan diatur dengan tepat, menonton kartun juga dapat bermanfaat. Selain menghibur, ternyata menonton kartun juga dapat menjadi terapi bagi anak autis.

Penderita autis umumnya mengalami gangguan yang disebut dengan autism spectrum disorders (ASD), akibatnya saat mereka berhadapan dengan seseorang cenderung lebih sering memperhatikan mulut ketimbang mata orang dihadapannya, demikian yang dilansir Times of India, Selasa (30/3/2009).

Penelitian terbaru pada anak autis berusia dua tahun menemukan bahwa gerakan mulut serta suara pecakapan yang dikeluarkannya begitu menarik perhatian penderita autis.

Tim peneliti yang diketuai Ami Klin dari Yale Child Study Center meneliti dua orang anak berusia dua tahun dengan gangguan sulit bersosialisasi, dibandingkan dengan dua anak lainnya yang tidak menderita autis. Mereka memperhatikan gerakan mata mereka pada saat menonton kartun animasi pada tampilan layar yang terpisah.

Kartun ini ditayangkan secara normal. Demikian juga dengan suara aktor kartun yang direkam bersamaan ketika animasi tersebut dibuat.

Anak penderita autis lebih fokus pada satu tokoh yang lebih kuat menarik perhatian mereka, yaitu tokoh yang bergerak sambil bertepuk tangan berkali-kali. Hal ini menjadi petunjuk bahwa penderita autis lebih menyukai audio visual yang dilihatnya berbarengan dengan keluarnya suara. (srn)

Dampingi Anak Berkebutuhan Khusus

.PERLU perhatian khusus untuk membesarkan anak berkebutuhan khusus. Bila dibimbing secara maksimal, mereka bisa tumbuh seperti anak normal lainnya.

Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia terus meningkat jumlahnya. Pada Hari Autis Sedunia yang jatuh pada 8 April lalu diketahui bahwa prevalensi anak berkebutuhan khusus saat ini mencapai 10 anak dari 100 anak. Berdasarkan data ini menunjukkan 10 persen populasi anak-anak adalah anak berkebutuhan khusus dan mereka harus mendapatkan pelayanan khusus.

Anak yang dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar atau gangguan atensi, gangguan emosional atau perilaku, hambatan fisik, komunikasi, autisme, traumatic brain injury, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan, dan anak-anak yang memiliki bakat khusus.

"Mereka secara fisik, psikologis, kognitif atau sosial terhambat dalam mencapai aktualisasi potensinya secara maksimal," ucap Dra Psi Heryanti Satyadi MSi saat acara seminar bertema "Mengatasi Anak Berkebutuhan Khusus/Special Needs" yang diselenggarakan KiddyCuts.

Psikolog yang berpraktik di Jalan Paku Buwono VI Nomor 84 Kebayoran Baru ini juga mengatakan, eningkatnya populasi anak berkebutuhan khusus ini salah satunya karena perubahan gaya hidup. "Banyak penyebab meningkatnya angka populasi ini. ang pertama adalah karena semakin banyaknya orang yang peduli terhadap anak berkebutuhan khusus dan adanya perubahan gaya hidup yang memang berbeda pada zaman dulu," ujarnya psikolog dari I Love My Psychologist ini.

Di zaman sekarang ini, banyak orang tua yang hanya memiliki sedikit waktu untuk keluarga. Hal tersebut juga berdampak pada anak-anak yang menjadi kurang perhatian, terutama pada anakanak yang berkebutuhan khusus. "Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya," papar psikolog yang berpraktik di Kawasan Kelapa Gading ini.

Penyebab seorang anak mengalami keterbelakangan mental ini disebabkan beberapa hal. Antara lain dari dalam dan dari luar. Jika dari dalam adalah karena faktor keturunan.

Sedangkan dari luar memiliki banyak penyebab. Penyebab dari luar ada beberapa faktor. Satu di antaranya karena maternal malanutritisi (malanutrisi pada ibu). Ini biasanya terjadi pada ibu hamil yang tidak menjaga pola makan yang sehat, keracunan atau efek substansi.

Hal tersebut bisa memicu kerusakan pada plasma inti, kerusakan pada otak waktu kelahiran, gangguan pada otak. Misalnya tumor otak, bisa juga karena gangguan fisiologis seperti down syndrome.

"Penyebab dari luar juga bisa. Misalnya karena pengaruh lingkungan dan kebudayaan. Biasanya ini terjadi pada anak yang dibesarkan di lingkungan yang buruk. Kasus abusif, penolakan atau kurang stimulasi yang ekstrem dapat berakibat pada keterbelakangan mental," katanya.

Pada umumnya, anak-anak yang berkebutuhan khusus dan sebagian anak normal mengembangkan suatu bentuk perilaku yang perlu perhatian dan penanganan secara khusus dan hati-hati.

Perilaku tersebut bisa saja terjadi karena anak merasa frustrasi tidak dapat mengekspresikan dirinya dengan kata-kata yang komunikatif agar dipahami orang lain. Akhirnya amarahnya meledak dan mengamuk.

"Banyak anak berkebutuhan khusus mengalami masalah serius dalam pengendalian perilaku dan memerlukan bantuan untuk mengendalikan ledakan-ledakan perilaku agresif, yang tidak relevan dengan situasi sosial sehari-hari," papar ibu dua anak ini.

Dokter ahli kejiwaan Dr Ika Widyawati SpKJ (K) mengatakan, anak yang perlu penanganan khusus tidak harus belajar di sekolah khusus. Mereka bisa saja disekolahkan di sekolah umum bersama anak normal lainnya.

"Jika anak disekolahkan di sekolah umum, itu adalah langkah yang tepat dilakukan orang tua asalkan mereka bisa mengikuti pelajarannya," ujar Kepala Divisi Psikiatri Anak Departemen Psikiatri FKUI/RSCM tersebut.
(Koran SI/Koran SI/tty)

Kasih Sayang, Kunci Menangani Anak Autis

.Jakarta, Kompas - Kasih sayang serta kesabaran ekstra merupakan pendekatan yang kerap terabaikan dalam pendidikan anak autis di sejumlah klinik terapi. Karena upaya membentuk perilaku positif terhadap mereka tanpa sadar cenderung bernuansa kekerasan, maka anak menjadi trauma, takut mengikuti terapi, atau orangtuanya yang tidak terima."Bahkan, terkesan pembentukan perilaku pada anak autis seperti mendidik perilaku hewan. Misalnya, menyuruh duduk dengan mata melotot, bentakan, teriakan. Kalau tidak menurut disentil, dijewer, dan tindakan kekerasan lain," ungkap psikolog anak Dra Psi Hamidah MSi dalam seminar "Pendidikan Anak Autis dengan Pendekatan Humanistik" yang digelar Perhimpunan Autisme Indonesia pada Kongres Nasional Autisme Indonesia I di Jakarta, Sabtu (3/5).

Autisme merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang berat atau luas, dan dapat terjadi pada anak dalam tiga tahun pertama kehidupannya. Penyandang autis memiliki gangguan berkomunikasi, interaksi sosial, serta aktivitas dan minat yang terbatas serta berulang-ulang (repetitif). Gejalanya misalnya, anak tidak bisa bicara atau terlambat bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti, tidak mau kontak mata, tidak mau bermain dengan teman sebaya.

Ada juga yang gemar melakukan aktivitas berulang-ulang tanpa mau diubah, terpukau pada bagian-bagian benda, seperti senang melihat benda berputar, jalan berjinjit, menatapi telapak tangan, serta berputar-putar. Hal tersebut membuat anak autis seperti hidup pada dunianya sendiri.Metode yang sering diterapkan untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, yaitu Applied Behavior Analysis (ABA) atau metode bivavioristik yang dikenalkan Prof Dr Lovaas di Amerika Serikat. Metode bertujuan membentuk atau menguatkan perilaku positif anak autis dan mereduksi perilaku negatifnya. Namun, pada pelaksanaannya tidak jarang terapis menerapkannya dengan cara-cara yang relatif keras."Memang benar harus tegas dan konsisten. Tetapi juga harus telaten, sabar, dan penuh kasih sayang. Prinsipnya mengajarkan dengan perasaan. Metode ABA sebenarnya tidak keras seperti itu. Dengan pendekatan lebih manusiawi, kita bisa membentuk perilaku positif pada anak autis," kata Hamidah.

Menurut dia, apa yang diajarkan terapis harus dilanjutkan orangtua di rumah. Tanpa peran orangtua itu bisa sia-sia. "Waktu di tempat terapi paling hanya empat jam. Sisanya ketelatenan dan kesabaran orangtua sangat amat penting demi kesembuhan dan perkembangan si anak," tegas Hamidah.

Namun, sejauh yang diketahuinya biaya terapi di berbagai klinik terapi di Indonesia masih relatif mahal sehingga hanya mampu menjangkau kalangan mampu.

Sumber : Kompas.com)

Game Bantu Penanganan Anak Autis

.Fransiska Ari Wahyu - detikinet
Inggris - Anak-anak autis cenderung apatis terhadap lingkungan sekitarnya. Sebuah cara unik pun telah dikembangkan untuk membantu anak-anak ini untuk berkomunikasi, yakni lewat game komputer.

Studio animator yang merancang game komputer kartun ini adalah Catalyst Video. Mereka mengembangkan game komputer yang diberi nama Space Place untuk penyandang autis. menghadirkan 12 cerita yang berfokus pada kaitan antara emosi dan ekpresi wajah.

Menurut Nik Lever, managing director Catalyst, anak penyandang autis bermasalah dengan pengenalan emosi. Game ini diharapkan menjadi alat bantu bagi orang tua dan guru untuk membangun kemampuan empati pada anak autis.

"Dengan menggunakan alat bantu semacam ini secara teratur, anak penyandang autis dapat mengembangkan kepekaan dan emosi mereka sehingga dapat menerapkannya dalam situasi yang berbeda," ujar Lever, seperti dikutip detikINET dari Tameside Advertiser, Jumat (25/7/2008).

Lebih lanjut Lever menambahkan bahwa anak-anak yang menyandang autis kemungkinan besar akan menyukai program macam Thomas the Tank Engine dan Roary the Racing Car. Kami menyediakannya di internet. Sembari menonton, mereka dapat meningkatkan kemampuan sosialnya.

Space Place direkomedasikan oleh psikolog Dr Janine Spencer, yang mendirikan Centre for Research in Infant Behaviour lab di Brune University.

"Space Place sungguh fantastis, ekspresi wajah karakter menunjukkan emosi penting untuk menguatkan cerita," tandas Dr Janine Spencer.

Anak autis juga bisa belajar

Anak autis juga bisa belajar

Email Cetak PDF

Saat si kecil terdiagnosa mempunyai bakat khusus berupa autisme, rasa kaget tak dapat dipungkiri pasti ada di pikiran Anda. begitu juga dengan kehidupannya nanti. Bagaimana caranya belajar? Bagaimana nanti dengan perkembangannya? Apa yang sesungguhnya dibutuhkan anak autis? Semoga yang di bawah ini dapat membantu menjawab berbagai pertanyaan Anda.


1. Terapi apa yang paling cocok bagi anak autis?
Untuk menentukan terapi yang paling cocok bagi anak autis pada awalnya perlu dilakukan asesmen atau pemeriksaan menyeluruh terhadap anak itu sendiri. Asesmen itu bertujuan untuk mengetahui derajat keparahan, tingkat kemampuan yang dimilikinya saat itu, dan mencari tahu apakah terdapat hambatan atau gangguan lain yang menyertai. Biasanya terapi yang diberikan adalah terapi untuk mengembangkan ketrampilan-keterampilan dasar seperti, ketrampilan berkomunikasi, dalam hal ini keterampilan menggunakan bahasa ekspresif (mengemukakan isi pikiran atau pendapat) dan bahasa reseptif (menyerap dan memahami bahasa). Selain itu, terapi yang diberikan juga membantu anak autis untuk mengembangkan ketrampilan bantu diri atau self-help, ketrampilan berperilaku yang pantas di depan umum, dan lain-lain. Dengan kata lain, terapi untuk anak autis bersifat multiterapi.

2. Apa kendala paling sulit pada saat terapi anak autis?
Kendala pada terapi anak autis tergantung pada kemampuan unik yang ia miliki, ada anak autis yang dapat berkomunikasi, ada yang sama sekali tidak. Namun sebagian besar anak autis memiliki keterbatasan atau hambatan dalam berkomunikasi sehingga ini menjadi kendala besar saat terapi. Anak belum dapat mengikuti instruksi guru dengan baik. Bahkan anak kadang tantrum saat diminta mengerjakan tugas yang diberikan. Terkadang anak autis suka berbicara, mengoceh, atau tertawa sendiri pada waktu belajar.

3. Bagaimana sikap anak autis saat menjalani terapi?
Biasanya anak autis memiliki hambatan atau keterbatasan dalam berkomunikasi. Hal tersebut terlihat dari perilaku mereka yang cenderung tidak melihat wajah orang lain bila diajak berinteraksi, sebagian besar kurang memiliki minat terhadap lingkungan sekitar, dan sebagian cenderung tertarik terhadap benda dibandingkan orang.

4. Apa perubahan yang diharapkan setelah terapi?
Pada akhirnya, anak autis diharapkan dapat memiliki berkomunikasi, yang tadinya cenderung bersifat satu arah menjadi dua arah. Dalam artian ada respon timbal balik saat berkomunikasi atau bahasa awamnya “nyambung”. Kemudian perubahan lain yang juga diharapkan adalah memiliki ketrampilan bantu diri, kemandirian, serta menyatu dan berfungsi dengan baik di lingkungan sekitarnya. Hasil yang menggembirakan tentu sangat diharapkan orang tua anak penderita autis. Ini terlihat bila anak tersebut sudah dapat mengendalikan perilakunya
sehingga tampak berperilaku normal, berkomunikasi dan berbicara normal,
serta mempunyai wawasan akademik yang cukup sesuai anak seusianya.

5. Seberapa cepat perubahan akan terlihat?
Perubahan atau kemajuan yang terjadi tentunya bersifat individual. Hal tersebut tergantung pada hasil asesmen, gaya belajar anak autis, dan intensitas dari terapi atau pendidikan yang diberikan serta kerjasama antara orangtua, pengasuh anak dengan para pendidik, terapis atau ahli kesehatan

6. Bagaimana mengenai pendidikan anak autis?
Perlu diketahui bahwa setiap anak autis memiliki kemampuan serta hambatan yang berbeda-beda. Ada anak autis yang mampu berbaur dengan anak-anak ’normal’ lainnya di dalam kelas reguler dan menghabiskan hanya sedikit waktu berada dalam kelas khusus namun ada pula anak autis yang disarankan untuk selalu berada dalam kelas khusus yang terstruktur untuk dirinya. Anak-anak yang dapat belajar dalam kelas reguler tersebut biasanya mereka memiliki kemampuan berkomunikasi, kognitif dan bantu diri yang memadai. Sedangkan yang masih membutuhkan kelas khusus biasanya anak autis dimasukkan dalam kelas terpadu, yaitu kelas perkenalan dan persiapan bagi anak autis untuk dapat masuk ke sekolah umum biasa dengan kurikulum umum namun tetap dalam tata belajar anak autis, yaitu kelas kecil dengan jumlah guru besar, dengan alat visual/gambar/kartu, instruksi yang jelas, padat dan konsisten, dsb).

7. Bagaimana metode belajar yang tepat bagi anak autis?
Metode belajar yang tepat bagi anak autis disesuaikan dengan usia anak serta, kemampuan serta hambatan yang dimiliki anak saat belajar, dan gaya belajar atau learning style masing-masing anak autis. Metode yang digunakan biasanya bersifat kombinasi beberapa metode. Banyak, walaupun tidak semuanya, anak autis yang berespon sangat baik terhadap stimulus visual sehingga metode belajar yang banyak menggunakan stimulus visual diutamakan bagi mereka. Pembelajaran yang menggunakan alat bantu sebagai media pengajarannya menjadi pilihan. Alat Bantu dapat berupa gambar, poster-poster, bola, mainan balok, dll. Pada bulan-bulan pertama ini sebaiknya anak autis didampingi oleh seorang terapis yang berfungsi sebagai guru pembimbing khusus

8. Pengajar seperti apa yang dibutuhkan bagi anak autis?
Pengajar yang dibutuhkan bagi anak autis adalah orang-orang yang selain memilii kompetensi yang memadai untuk berhadapan dengan anak autis tentunya juga harus memiliki minat atau ketertarikan untuk terlibat dalam kehidupan anak autis, memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, dan kecenderungan untuk selalu belajar sesuatu yang baru karena bidang autisma ini adalah bidang baru yang selalu berkembang.

9. Suasana belajar seperti apa yang dibutuhkan anak autis?
Tergantung dengan kemampuan dan gaya belajar masing-masing anak autis. Ada anak autis yang mencapai hasil yang lebih baik bila dibaurkan dengan anak-anak lain, baik itu anak ’normal’ maupun anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya. Ada anak autis yang lebih baik bila ditempatkan pada suasana belajar yang tenang, tidak banyak gangguan atau stimulus suara, warna, atau hal-hal lain yang berpotensi mengalihkan perhatian.

10. Apa saja yang diajarkan dalam pendidikan anak autis?
Komunikasi (bahasa ekspresif dan reseptif), ketrampilan bantu diri, ketrampilan berperilaku di depan umum, setelah itu dapat diajarkan hal lain yang disesuaikan dengan usia dan kematangan anak serta tingkat inteligensi,.

11. Sampai umur berapa tahun anak autis mendapat pendidikan khusus?
Semua itu sekali lagi tergantung pada kemampuan anak, gaya belajar anak, serta sejauh mana kerjasama antara orangtua atau pengasuh dengan pendidik atau terapis.

12. Umur berapa anak sudah dapat dilepas masuk ke sekolah umum?
Lagi-lagi hal ini tergantung pada kemampuan anak.

13. Berapa besar kemungkinan anak autis berbaur dengan murid lain di sekolah biasa?
Kemungkinan selalu ada. Akan tetapi semua itu tergantung pada kemampuan anak autis tersebut dan apakah sistem pendidikan atau fasilitas di sekolah ’biasa’ itu mendukung berbaurnya anak autis dengan murid-murid lain dalam kelar reguler.

14. Apakah pada akhirnya anak autis dapat hidup di lingkungan umum tanpa perlakuan khusus?
Untuk beberapa kasus yang amat jarang terjadi (sampai saat ini), ada individu dengan autisma dengan kemampuan berkomunikasi yang memadai, tingkat inteligensi yang memadai, serta pendidikan dapat mendukung dirinya untuk mandiri dan berbaur dengan lingkungan tanpa perlakuan khusus. Hal ini bergantung pada faktor internal (diri anak autis sendiri) dan faktor eksternal, yaitu lingkungan, apakah sistem di lingkungan mendukung atau memungkinkan anak autis untuk dapat berfungsi secara baik dalam kesehariannya.

Sumber : Parenting Indonesia

Merkuri Bukanlah Penyebab Autisme?

Merkuri Bukanlah Penyebab Autisme?

Email Cetak PDF

Benarkah merkuri bukanlah penyebab autis yang selama ini dipercaya banyak orang?

Petti Lubis, Mutia Nugraheni

VIVAnews - Kesimpulan tentang merkuri sebagai penyebab autis yang selama ini dipercaya banyak orang 'dipatahkan' dengan penelitian yang dimuat dalam jurnal Environmental Health Perspective pada 19 Oktober lalu.


Sebelumnya, sebuah penelitian mengungkapkan merkuri adalah 'biang keladi' autisme, karena kadar merkuri pada anak penderita autis sangat tinggi. Namun, pada penelitian terbaru ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan level merkuri pada anak yang normal dan anak penderita autis.

"Penelitian ini sangat penting untuk menjawab pertanyaan banyak orang, mengenai peran merkuri sebagai pemicu autisme pada anak," kata Dr. Patricia Manning-Courtney, kepala The Kelly O'Leary Center for Autism Spectrum Disorders di Cincinnati Children's Hospital Medical Center, Amerika Serikat seperti vivanews kutip dari Health.com.

Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat perbandingan kadar merkuri pada anak yang menderita autis dan anak yang normal. Sebanyak 452 anak yang berusia antara 2 hingga 5 tahun dilibatkan dalam penelitian.

Sampel darah mereka diambil dan beberapa pertanyaan diajukan pada ibu-ibu mereka. Pertanyaan tersebut terkait kebiasaan makan saat hamil, penggunaan obat-obatan atau vaksin, serta produk kecantikan yang digunakan.

"Interpretasi dari penelitian memang menunjukkan tidak ada hubungan antara kadar merkuri dengan autisme. Tetapi, jika dilihat kembali kadar merkuri pada anak penderita autis lebih tinggi setelah terdiagnosa. Untuk lebih mendapatkan hasil yang akurat perlu dilakukan penelitian lanjutan," kata Sallie Bernard, kepala SafeMinds (Sensible Action for Ending Mercury-Induced Neurological Disorders), seperti vivanews kutip dari Health.com.

Yang jadi masalah, setelah penelitian ini polemik tentang penyebab terjadinya autisme pada anak tampaknya akan terus menjadi misteri.

• VIVAnews

Siapa Bilang "Autis" Tak Bisa Disembuhkan

Siapa Bilang "Autis" Tak Bisa Disembuhkan

Email Cetak PDF

Terutama jika anak yang mengalami autisme sudah diterapi sejak usia kurang dari 3 tahun.

Amril Amarullah

SURABAYA POST -- Punya anak autis kerap menjadi beban pikiran orangtua. Mereka khawatir anaknya tidak bisa hidup normal, padahal autisme bisa disembuhkan.

Hingga saat ini belum ditemukan penyebab autisme yang kebanyakan diderita anak sejak lahir. Gejala autisme seringkali sudah terlihat saat anak belum berusia 2 tahun. Tapi pada beberapa kasus, ada yang baru terdiagnosis ketika memasuki taman kanak-kanak atau usia awal sekolah dasar.


Akibat gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat kompleks, anak autis tidak bisa senormal anak pada umumnya. Mereka seperti hidup dalam dunianya sendiri dan kadang bertingkah hiperaktif. Namun jika ditangani lebih dini melalui terapi kejiwaan, anak autis bisa pulih seperti anak normal.

"Semakin dini seorang anak terdiagnosis mengalami autisme, penanganan bisa makin optimal. Terutama jika anak yang mengalami autisme sudah diterapi sejak usia kurang dari 3 tahun," kata dr Yunias Setiawati SpKJ, supervisor Day Care Psikiatri Anak RSUD dr Soetomo Surabaya.

Pasalnya, menurut dia, dalam usia tersebut perkembangan otak belum optimal. Yunias mengaku, pada beberapa pasien autis yang ia tangani sejak dini, kondisinya sekarang sudah seperti anak normal. Bahkan ada yang IQ-nya bertambah dan mampu mengenyam pendidikan di sekolah internasional.

Dalam penanganan anak autis, ada beragam terapi. Di antaranya terapi biomedis, perilaku, okupasi, wicara dan musik serta edukasi keluarga. Dalam terapi medis, anak biasanya diberi obat untuk membuang kandungan logam berat dari tubuhnya. Anak autis kebanyakan memiliki kadar logam berat lebih banyak dari anak lain. Hal ini menyebabkan berubahnya susunan dan fungsi sel otak.

Banyaknya kadar logam berat dalam tubuh seorang anak bisa disebabkan banyak hal. Namun yang paling utama adalah polusi. Bahkan seorang ibu yang mengonsumsi ikan laut dari perairan yang sudah tercemar limbah atau polusi bisa menyebabkan anaknya menderita autisme.

Selain membuang zat berbahaya dalam tubuh, anak autis juga harus menjalani diet rendah casein dan gluten. Artinya, mereka tidak boleh mengkonsumsi susu sapi dan tepung terigu. Termasuk makanan yang terbuat dari kedua bahan tersebut seperti es krim dan roti.

Sebagai ganti, anak autis bisa minum susu kedelai. Untuk tepung, mereka masih bisa mengkonsumsi tepung ketan, beras, sagu, tapioka, hunkwe, bihun, kentang dan suun. Selama menjalani diet, orangtua memegang peranan penting. Pasalnya, orangtua harus disiplin dan tegas dalam mengawasi makanan yang dikonsumsi anaknya.

Laporan: Reny Mardiningsih

• VIVAnews

Deteksi Autisme dalam Sekejap

Deteksi Autisme dalam Sekejap

Email Cetak PDF

Dengan metode terbaru, deteksi gejala autisme bisa dilakukan dalam waktu lima menit.

Pipiet Tri Noorastuti, Anda Nurlaila

VIVAnews - Tes untuk mengetahui gejala autisme pada anak yang ada saat ini rata-rata memakan waktu hingga dua jam. Untuk itu, tim peneliti dari Universitas Emory dan Georgia Tech mencoba menawarkan cara baru yang lebih cepat.

Dengan metode 'Rapid Attention Back and Forth Communication Test' atau "Rapid ABC", uji gejala autisme anak hanya berlangsung selama lima menit. Caranya, anak dilibatkan dalam kegiatan yang sederhana yang memerlukan konsentrasi, komunikasi, dan pengenalan.


Tes sangat efektif untuk mengetahui gejala awal autisme pada anak usia 18 bulan hingga dua tahun. Meski begitu, tes ini tidak dapat menggantikan screening autisme secara komprehensif. Setelah mengidentifikasi cepat anak yang berisiko autisme di awal perkembangan, mereka harus segera mendapat terapi.

Dokter anak, Alana Levine, mengatakan, "Gejala gangguan spektrum autisme mencakup gangguan dalam interaksi sosial dan komunikasi, tetapi juga dicirikan oleh perilaku yang tidak biasa seperti gerakan berulang, mengepakkan tangan dan kurangnya kontak mata. Sebelumnya diagnosis dan intervensi terkait dengan hasil jangka panjang lebih baik, " katanya seperti dikutip dari Momlogic.

Levine juga mencatat bahwa jika orangtua curiga anak mereka mungkin terkena autisme, tes Rapid ABC hanyalah tes cepat. Kemudian harus dilanjutkan dengan uji diagnostik untuk evaluasi emosional dan fisik secara menyeluruh. (pet)

• VIVAnews