Wednesday, October 1, 2025

LARANGAN BERANDAI-ANDAI DAN MELUPAKAN ALLAH.




LARANGAN BERANDAI-ANDAI DAN MELUPAKAN ALLAH.

 Diriwayatkan dari Asma binti Umais al-Khots-‘amiah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata:


Saya mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Seburuk-buruknya hamba adalah hamba yang sombong, yang berbuat aniaya, dan yang berlagak menonjolkan diri dan ia lupa dari Allah Yang Maha Besar dan Maha Tinggi. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang sombong dan yang berbuat aniaya dan ia lupa dari Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Luhur. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang lalai dan lupa dengan kuburan dan busuknya jasad. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang bertindak    sewenang-wenang melewati batas dan ia lupa dengan permulaan dan akhir. Seburuk- buruk hamba adalah hamba yang memilih dunia dengan cara (perantara) mengatas namakan agama. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang memanipulasi dunia dengan hal-hal syubhat. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang memilki sifat tamak (rakus) yang dapat menuntunnya ke neraka. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang diperbudak oleh hawa nafsu yang menyesatkannya. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang diperbudak oleh kesenangan yang dapat menghinakannya dan jauh dari kebenaran.”


----

Baik, saya buatkan draf bacaan koran yang lengkap sesuai permintaan Anda. Saya susun dengan gaya artikel koran Islami yang terstruktur: ada ringkasan, analisis, hikmah, muhasabah, doa, nasehat ulama sufi, hingga daftar pustaka.


📰 ISLAMIC DAILY NEWS

LARANGAN BERANDAI-ANDAI DAN MELUPAKAN ALLAH

Oleh: M. Djoko Ekasanu


Ringkasan Redaksi Aslinya

Hadis dari Asma binti Umais radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang sombong, aniaya, menonjolkan diri, lalai dari Allah, lupa pada kuburan dan busuknya jasad, bertindak sewenang-wenang, memilih dunia dengan dalih agama, memanipulasi dunia dengan syubhat, tamak, diperbudak hawa nafsu, serta tenggelam dalam kesenangan yang menyesatkannya.”


Maksud dan Hakikat

Pesan utama hadis ini adalah larangan keras untuk:

  1. Berandaian-andaian berlebihan → karena menunjukkan ketidakpuasan terhadap ketetapan Allah.
  2. Melupakan Allah → karena melupakan Allah berarti melupakan hakikat hidup, mati, dan akhirat.

Hakikatnya, sifat sombong, lalai, dan tamak bukan hanya merusak hati, tetapi juga menjerumuskan ke dalam kehinaan dunia dan azab akhirat.


Tafsir dan Makna Judul

  • “Larangan berandai-andai” bermakna agar manusia tidak hidup dalam angan-angan kosong, tapi bersyukur dan ikhlas menerima takdir Allah.
  • “Melupakan Allah” adalah sumber segala kerusakan akhlak dan perilaku. Allah berfirman:
    “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19).

Tujuan dan Manfaat

  1. Mengingatkan umat agar tidak terjerumus pada kesombongan, rakus, dan tipuan dunia.
  2. Membimbing hati supaya selalu terhubung dengan Allah dalam setiap kondisi.
  3. Menjadi cermin muhasabah agar kita sadar batas diri sebagai hamba.

Latar Belakang Masalah di Jamannya

Pada masa Rasulullah ﷺ, banyak orang Arab yang bangga dengan kekuasaan, harta, dan keturunan. Sebagian ada yang memperalat agama demi kepentingan duniawi. Rasulullah ﷺ menegur keras sikap semacam itu, sebab akan menggelincirkan umat dari tauhid yang murni.


Intisari Masalah

  • Sombong dan tamak menjerumuskan manusia ke neraka.
  • Dunia sering dijadikan alat, bukan jalan, untuk mendekatkan diri kepada Allah.
  • Lalai mengingat Allah menjadikan manusia lupa asal-usul dan akhir kehidupan.

Sebab Terjadinya Masalah

  1. Terlalu cinta dunia dan takut kehilangan kesenangan.
  2. Kurangnya dzikir dan muhasabah diri.
  3. Hawa nafsu yang dibiarkan liar tanpa dikendalikan.

Dalil Qur’an dan Hadis

  1. Al-Qur’an:

    • “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, saling berbangga, dan berlomba dalam harta dan anak-anak.” (QS. Al-Hadid: 20).
    • “Janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya.” (QS. Al-Kahfi: 28).
  2. Hadis:

    • Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang cerdas adalah yang mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR. Tirmidzi).

Analisis dan Argumentasi

  • Analisis Psikologis: Orang yang berandai-andai terlalu jauh cenderung kecewa, stres, dan mudah iri.
  • Analisis Sosial: Melupakan Allah melahirkan ketidakadilan, penindasan, dan kerusakan moral dalam masyarakat.
  • Argumentasi Syariat: Islam memerintahkan dzikir, syukur, dan tawakal sebagai benteng dari sifat buruk.

Relevansi Saat Ini

Di era modern, manusia sibuk mengejar gaya hidup, jabatan, dan harta. Banyak yang rela menghalalkan segala cara, bahkan menjual agama demi kepentingan dunia. Media sosial pun sering memperkuat sifat pamer, sombong, dan lalai dari Allah. Hadis ini menjadi peringatan keras bagi umat agar tidak terjebak.


Hikmah

  • Hidup ini sementara, jangan tertipu oleh gemerlap dunia.
  • Seorang hamba sejati adalah yang rendah hati, bersyukur, dan selalu mengingat Allah.

Muhasabah dan Caranya

  1. Membiasakan dzikir pagi-petang.
  2. Menulis jurnal syukur harian.
  3. Membatasi hawa nafsu dengan puasa sunnah.
  4. Menjauhi syubhat dan pergaulan buruk.

Doa

اللَّهُمَّ اجعلنا من عبادك المتواضعين، وذكّرنا بك في كل حال، ولا تجعلنا من الغافلين.
“Ya Allah, jadikanlah kami hamba-Mu yang rendah hati, selalu mengingat-Mu dalam setiap keadaan, dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk golongan orang yang lalai.”


Nasehat Para Ulama Sufi

  • Hasan al-Bashri: “Janganlah engkau tertipu dengan dunia, sebab ia hanya tempat singgah, bukan tempat tinggal.”
  • Rabi‘ah al-Adawiyah: “Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu, dan tidak pula karena berharap surga-Mu, tetapi karena aku cinta kepada-Mu.”
  • Abu Yazid al-Bistami: “Hancurkan dirimu, maka akan tampak Tuhanmu.”
  • Junaid al-Baghdadi: “Tasawuf adalah Allah menjadikanmu mati dari dirimu dan hidup bersama-Nya.”
  • Al-Hallaj: “Tiada aku selain Engkau, wahai Allah.”
  • Imam al-Ghazali: “Dunia itu racun, hanya sedikit yang selamat darinya.”
  • Syekh Abdul Qadir al-Jailani: “Bersihkan hatimu dari selain Allah, niscaya Dia akan memenuhinya dengan cahaya.”
  • Jalaluddin Rumi: “Jangan terjebak pada bayangan, carilah matahari.”
  • Ibnu ‘Arabi: “Hati yang suci adalah cermin tempat cahaya Tuhan memantul.”
  • Ahmad al-Tijani: “Jalan tasawuf adalah dzikir, syukur, sabar, dan tawakal.”

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al-Karim.
  2. Shahih al-Bukhari & Muslim.
  3. Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din.
  4. Abdul Qadir al-Jailani, Al-Fath ar-Rabbani.
  5. Jalaluddin Rumi, Matsnawi.
  6. Ibnu ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyah.
  7. Nashaihul ‘Ibad, Ibnu Hajar al-Asqalani.
  8. Mukasyafatul Qulub, al-Ghazali.

Ucapan Terima Kasih

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para ulama dan pembaca setia yang terus menghidupkan nilai dzikir, syukur, dan kesadaran spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Semoga artikel ini bermanfaat sebagai peringatan dan pencerahan.


🖋 Penulis: M. Djoko Ekasanu



Meragukan adanya Alloh.

 


📰 Maksiat Hati: Ragu Bahaya yang Sering Terlupakan

Penulis: M. Djoko Ekasanu

Meragukan adanya Alloh (kesempurnaanNya dan sifat-sifat yang wajib bagi Nya),
Merasa aman dari murka Alloh SWT padahal dosanya melimpah dan amal ibadahnya tidak sempurna atau malas, putus asa dari rahmat Alloh, padahal Alloh itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.


📌 Ringkasan Redaksi Aslinya

Para ulama menyebutkan bahwa maksiat tidak hanya terjadi pada anggota badan, tetapi juga pada hati. Bentuknya antara lain:

  1. Meragukan Allah dan sifat-sifat-Nya,
  2. Merasa aman dari murka Allah, padahal dosa menumpuk,
  3. Putus asa dari rahmat Allah, padahal Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Inilah penyakit hati yang jauh lebih berbahaya dibanding dosa fisik, karena merusak fondasi iman.


📖 Maksud dan Hakikat

Maksiat hati berarti pembangkangan batin terhadap Allah. Jika anggota badan berbuat maksiat masih mungkin ditebus dengan taubat, maka keraguan, putus asa, dan merasa aman dari murka Allah bisa menghancurkan iman dari dalam.


📜 Tafsir dan Makna Judul

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

  • “Maka janganlah kamu merasa aman dari makar Allah. Tiada yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A‘raf: 99)
  • “Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar: 53)

Dari sini jelas: rasa aman yang berlebihan maupun keputusasaan sama-sama bentuk maksiat hati.


🎯 Tujuan dan Manfaat

  • Menyadarkan umat bahwa dosa hati lebih berbahaya dari dosa jasmani.
  • Menghidupkan harap (raja’) dan takut (khauf) secara seimbang.
  • Membimbing agar hati selalu tunduk pada Allah, bukan kepada hawa nafsu.

🕰️ Latar Belakang Masalah di Jamannya

Di masa Nabi dan para salaf, banyak orang yang terjebak antara dua kutub:

  • Khawarij → terlalu mudah mengkafirkan dan menutup pintu rahmat Allah.
  • Murji’ah → merasa aman karena menganggap iman cukup tanpa amal.

Keduanya lahir dari penyakit hati: berlebihan dalam putus asa atau berlebihan dalam rasa aman.


🌿 Intisari Masalah

Maksiat hati menimbulkan:

  • Keraguan iman → melemahkan keyakinan.
  • Kesombongan batin → merasa ibadah cukup.
  • Keputusasaan → membuat enggan bertaubat.

⚠️ Sebab Terjadinya Masalah

  1. Kurang mengenal Allah dan sifat-Nya.
  2. Terlalu cinta dunia.
  3. Tidak pernah bermuhasabah.
  4. Lalai dari zikir.

📚 Dalil Qur’an dan Hadis

  • “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Yusuf: 87)
  • “Tidak ada dosa besar bila diiringi istighfar, dan tidak ada dosa kecil bila dilakukan terus menerus.” (HR. Ahmad)

🔎 Analisis dan Argumentasi

Maksiat hati menutup jalan taubat. Bahkan, iblis terlaknat bukan karena maksiat fisik, melainkan kesombongan hatinya. Oleh karena itu, penyakit hati harus lebih ditakuti dibanding dosa jasmani.


🌍 Relevansi Saat Ini

Di era modern:

  • Banyak orang terlalu percaya diri dengan teknologi dan harta, hingga merasa aman dari murka Allah.
  • Sebaliknya, ada juga yang putus asa melihat dosa-dosanya, merasa tidak mungkin diampuni.
    Keduanya perlu diluruskan agar umat tetap berada di tengah: takut dan berharap.

💎 Hikmah

  • Hati yang sehat adalah hati yang seimbang antara khauf dan raja’.
  • Semakin besar dosa, semakin besar peluang taubat.

🧭 Muhasabah dan Caranya

  1. Setiap malam introspeksi diri.
  2. Catat dosa dan target taubat.
  3. Perbanyak istighfar dengan hati yang hadir.
  4. Meningkatkan ilmu tauhid agar hati mantap.

🙏 Doa

“Ya Allah, jangan biarkan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk, karuniakanlah rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (QS. Ali Imran: 8)


🌹 Nasehat Ulama Sufi

  • Hasan al-Bashri: “Hati yang keras lahir dari merasa aman dari dosa.”
  • Rabi‘ah al-Adawiyah: “Aku beribadah bukan karena takut neraka atau berharap surga, tapi karena cinta kepada Allah.”
  • Abu Yazid al-Bistami: “Siapa yang mengenal Allah, tidak akan putus asa dari-Nya.”
  • Junaid al-Baghdadi: “Tanda orang mengenal Allah adalah takut dan berharap sekaligus.”
  • Al-Hallaj: “Jangan biarkan hati kosong dari Allah, sebab kosong itulah dosa sejati.”
  • Imam al-Ghazali: “Penyakit hati lebih halus dari langkah semut di atas batu hitam.”
  • Syekh Abdul Qadir al-Jailani: “Jangan putus asa walau dosa setinggi langit, karena ampunan Allah lebih luas.”
  • Jalaluddin Rumi: “Luka hatimu adalah tempat cahaya Allah masuk.”
  • Ibnu ‘Arabi: “Jangan membatasi rahmat Allah dengan akalmu yang sempit.”
  • Ahmad al-Tijani: “Berharaplah pada Allah setiap saat, karena rahmat-Nya tiada batas.”

📑 Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an al-Karim
  • Shahih Bukhari & Muslim
  • Ihya’ Ulumuddin – Imam al-Ghazali
  • Al-Fath ar-Rabbani – Syekh Abdul Qadir al-Jailani
  • Risalah al-Qusyairiyah – Imam al-Qusyairi
  • Mawaqif – Ibnu ‘Arabi
  • Masnawi – Jalaluddin Rumi

🙌 Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada para ulama, guru, dan pembimbing ruhani yang telah mewariskan ilmu tentang hati. Semoga tulisan ini menjadi cermin bagi kita semua untuk menjaga hati dari maksiat batin.


✍️ Penulis: M. Djoko Ekasanu


Apakah mau saya buatkan juga dalam format layout koran (dengan heading gaya kolom, subjudul seperti artikel feature), atau cukup gaya artikel panjang seperti ini?

JANGAN MEREMEHKAN DOSA KECIL.

 




📰 JANGAN MEREMEHKAN DOSA KECIL

Penulis: M. Djoko Ekasanu


Ringkasan Redaksi Aslinya

Para hukama mengingatkan, “Jangan meremehkan dosa kecil, sebab darinya bersemi dosa-dosa besar. Bahkan kemurkaan Allah bisa muncul akibat dosa yang tampak kecil.” Pesan ini mengajarkan bahwa setiap kesalahan, sekecil apapun, jika dibiarkan, akan berkembang menjadi besar dan berbahaya.


Maksud

Tulisan ini ingin menegaskan bahwa dosa tidak boleh dianggap sepele. Dosa kecil, jika dilakukan terus-menerus tanpa taubat, akan menumpuk hingga menutupi hati dan menyeret kepada dosa besar.


Hakikat

Hakikat dosa kecil adalah pelanggaran terhadap perintah Allah yang tampak ringan, tetapi di sisi Allah tetap tercatat sebagai maksiat. Yang berbahaya bukan hanya besarnya dosa, melainkan sikap meremehkan dosa itu sendiri.


Tafsir dan Makna Judul

  • “Jangan meremehkan dosa kecil” berarti setiap amal salah memiliki dampak spiritual.
  • Seperti bara api kecil, jika dibiarkan, dapat membakar rumah besar.
  • Dosa kecil yang dianggap biasa akan mengikis rasa takut kepada Allah.

Tujuan dan Manfaat

  1. Menumbuhkan kewaspadaan diri dari jebakan dosa kecil.
  2. Mendidik umat agar tidak menganggap ringan kesalahan.
  3. Menghidupkan kembali budaya taubat dan istighfar.

Latar Belakang Masalah di Jamannya

Pada masa ulama salaf, manusia hidup sederhana namun godaan tetap ada. Mereka menekankan bahayanya dosa kecil karena kebiasaan melalaikan hal-hal ringan akan membuka jalan bagi kehancuran moral.


Intisari Masalah

  • Dosa kecil menjadi besar bila:
    1. Dikerjakan terus-menerus.
    2. Diremehkan.
    3. Dilakukan terang-terangan tanpa rasa malu.
  • Dosa kecil menjadi terhapus bila:
    1. Disertai taubat.
    2. Ditutupi dengan amal kebaikan.

Sebab Terjadinya Masalah

  1. Hawa nafsu yang tidak terkendali.
  2. Lingkungan yang permisif.
  3. Kurangnya kesadaran akan akibat dosa.
  4. Menunda-nunda taubat.

Dalil al-Qur’an dan Hadis

  • Al-Qur’an:
    “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7–8).

  • Hadis Nabi SAW:
    “Jauhilah dosa-dosa kecil, karena perumpamaannya bagaikan sekelompok orang yang mengumpulkan ranting-ranting kecil, hingga mereka membakarnya dan akhirnya memasak apa yang mereka inginkan. Sesungguhnya dosa-dosa kecil bila dikumpulkan atas diri seseorang akan membinasakannya.” (HR. Ahmad).


Analisis dan Argumentasi

  • Psikologis: manusia terbiasa dari yang kecil, hingga tanpa sadar mampu berbuat besar, termasuk dalam dosa.
  • Spiritual: dosa kecil menghitamkan hati setitik demi setitik, hingga akhirnya gelap gulita.
  • Sosial: masyarakat yang terbiasa menoleransi dosa kecil akan menuju kehancuran moral kolektif.

Relevansi Saat Ini

Di era modern, dosa kecil sering hadir dalam bentuk kebiasaan digital: ghibah lewat media sosial, menunda shalat karena sibuk, melirik maksiat lewat gadget. Jika dianggap sepele, hal ini akan menjadi jalan menuju dosa besar.


Hikmah

  1. Allah Maha Teliti, sekecil apapun amal akan dibalas.
  2. Kesadaran menjaga diri dari yang kecil adalah benteng besar dari kehancuran.
  3. Dosa kecil adalah pengingat bahwa kita butuh taubat setiap saat.

Muhasabah dan Caranya

  • Periksa setiap hari: adakah dosa kecil yang dilakukan?
  • Tutupi dengan amal shalih: shalat sunnah, sedekah, dzikir.
  • Segera bertaubat, jangan menunda.

Doa

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذُنُوْبِيْ كُلَّهَا، كَبِيْرَهَا وَصَغِيْرَهَا، أَوَّلَهَا وَآخِرَهَا، سِرَّهَا وَعَلاَنِيَتَهَا.

“Ya Allah, ampunilah seluruh dosaku; yang besar maupun kecil, yang awal maupun akhir, yang terang maupun tersembunyi.”


Nasehat Para Sufi

  • Hasan al-Bashri: “Jangan pandang kecilnya dosa, tapi pandanglah kepada kebesaran Zat yang engkau durhakai.”
  • Rabi‘ah al-Adawiyah: “Dosa kecil yang membuatmu menangis lebih baik daripada ibadah besar yang membuatmu sombong.”
  • Abu Yazid al-Bistami: “Barangsiapa terbiasa dengan yang ringan, ia akan tergelincir pada yang berat.”
  • Junaid al-Baghdadi: “Dosa kecil adalah pintu yang membuka jalan syahwat.”
  • Al-Hallaj: “Hati yang ternoda dosa kecil sulit menerima cahaya Ilahi.”
  • Imam al-Ghazali: “Kebiasaan menyepelekan dosa adalah penyakit hati yang berbahaya.”
  • Syekh Abdul Qadir al-Jailani: “Setiap dosa kecil adalah rantai yang mengikatmu dari derajat wali.”
  • Jalaluddin Rumi: “Luka kecil bila tidak diobati akan jadi borok yang merusak tubuh.”
  • Ibnu ‘Arabi: “Dosa kecil adalah bayangan yang menutupi pandanganmu dari Nur Allah.”
  • Ahmad al-Tijani: “Setiap saat engkau harus istighfar, karena manusia tidak lepas dari dosa kecil yang tersembunyi.”

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al-Karim.
  2. Musnad Ahmad bin Hanbal.
  3. Ihya’ Ulum al-Din – Imam al-Ghazali.
  4. Al-Fawaid – Ibnul Qayyim.
  5. Risalah Qusyairiyah – Imam al-Qusyairi.
  6. Futuhat al-Makkiyah – Ibnu ‘Arabi.
  7. Diwan Rumi – Jalaluddin Rumi.

Ucapan Terima Kasih

Tulisan ini terwujud berkat ilham dari Allah, bimbingan guru-guru ruhani, serta doa orang-orang shalih. Terima kasih kepada para ulama dan pembaca yang terus menjaga semangat taubat dan muhasabah.


📌 Apakah Anda ingin saya lengkapi artikel ini dengan ilustrasi visual (misalnya karikatur koran atau cover gaya komik realistik) agar lebih menarik untuk format bacaan koran?

QS. Al-An‘am Ayat 27–30: Penyesalan Orang Kafir di Akhirat

 




📰 QS. Al-An‘am Ayat 27–30: 

Penyesalan Orang Kafir di Akhirat


Penulis: M. Djoko Ekasanu


📌 Ringkasan Redaksi Aslinya

Ayat ini menggambarkan keadaan orang-orang kafir pada hari kiamat. Mereka menyesali kekafiran ketika melihat neraka dengan mata kepala, hingga berharap bisa kembali ke dunia untuk beriman dan beramal saleh. Namun Allah menegaskan bahwa penyesalan itu hanyalah ucapan belaka, sebab andai mereka dikembalikan pun, tetap akan mengulangi kekufuran.


🎯 Maksud

Ayat ini menekankan kepastian azab bagi yang ingkar dan kesia-siaan penyesalan di akhirat. Iman hanya bermanfaat ketika masih hidup di dunia.


🌿 Hakekat

Hakikat yang tersingkap adalah:

  1. Dunia tempat amal, akhirat tempat hisab.
  2. Penyesalan tidak berguna setelah ajal menjemput.
  3. Hati yang keras akan tetap kufur meski diberi kesempatan kedua.

📖 Tafsir Singkat

  • Ayat 27: Orang kafir berharap kembali ke dunia setelah melihat azab.
  • Ayat 28: Allah menegaskan, meski dikembalikan, mereka akan mengulangi kekufuran.
  • Ayat 29: Mereka dahulu mendustakan kebangkitan.
  • Ayat 30: Di hadapan Allah, mereka tak bisa berdusta lagi; semua amal dihadirkan.

🔖 Makna dari Judul

Penyesalan di Akhirat” adalah tema besar dari ayat ini. Ia menegaskan bahwa kesempatan hanya ada di dunia, bukan di kubur atau di padang mahsyar.


🎯 Tujuan dan Manfaat

  • Mengingatkan manusia agar tidak menunda taubat.
  • Menanamkan keyakinan bahwa kehidupan dunia hanya sekali.
  • Membentuk kesadaran untuk serius beriman dan beramal saleh.

📜 Latar Belakang Masalah di Zamannya

Ayat ini turun menghadapi kaum musyrikin Mekah yang keras kepala, meski Nabi Muhammad ﷺ telah menunjukkan bukti kebenaran. Mereka menolak kebangkitan, menganggap hidup hanya di dunia.


🧾 Intisari Masalah

  • Kekufuran lahir dari kerasnya hati.
  • Penyesalan datang terlambat.
  • Azab Allah pasti terjadi.

⚠️ Sebab Terjadinya Masalah

  • Kesombongan dan cinta dunia.
  • Menolak wahyu karena mengikuti hawa nafsu.
  • Mendustakan kebangkitan.

📚 Dalil Al-Qur’an dan Hadis

  • QS. Yasin: 65: “Pada hari itu, mulut mereka dikunci, tangan berkata, kaki bersaksi.”
  • HR. Muslim: Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang yang paling menyesal pada hari kiamat adalah orang yang berkesempatan berbuat baik tetapi ia abaikan.”

🧠 Analisis dan Argumentasi

Ayat ini bukan sekadar ancaman, tapi realitas psikologis manusia: banyak orang baru sadar setelah terlambat. Namun, taubat harus sebelum ajal karena Allah tidak menerima taubat di ujung nafas (QS. An-Nisa: 18).


🌍 Relevansi Saat Ini

  • Banyak orang menunda taubat dengan alasan “masih muda”.
  • Materialisme modern membuat manusia lalai dari akhirat.
  • Fenomena meremehkan agama sama dengan sikap kaum musyrik dahulu.

🌺 Hikmah

  1. Kesempatan hidup sangat berharga.
  2. Setiap detik adalah peluang mendekat kepada Allah.
  3. Penyesalan di dunia lebih baik daripada penyesalan di akhirat.

🧭 Muhasabah dan Caranya

  • Rutin menghisab amal setiap malam.
  • Menulis dosa harian dan berusaha memperbaikinya.
  • Memperbanyak istighfar dan shalawat.

🤲 Doa

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الَّذِينَ يَسْتَعِدُّوْنَ لِلْقَاءِكَ قَبْلَ أَنْ يُدْعَوْا إِلَيْكَ
“Ya Allah, jadikan kami termasuk orang yang bersiap bertemu dengan-Mu sebelum Engkau memanggil kami.”


💡 Nasehat Para Sufi

  • Hasan al-Bashri: “Dunia hanyalah mimpi, orang berakal baru sadar saat mati.”
  • Rabi‘ah al-Adawiyah: “Aku beribadah bukan karena takut neraka atau berharap surga, tetapi karena cinta pada Allah.”
  • Abu Yazid al-Bistami: “Penyesalan setelah mati adalah racun, maka bertaubatlah sebelum ajal.”
  • Junaid al-Baghdadi: “Tasawuf adalah mati sebelum mati.”
  • Al-Hallaj: “Yang benar-benar hidup hanyalah yang fana dalam Allah.”
  • Imam al-Ghazali: “Manusia tidur, bila mati baru terjaga.”
  • Syekh Abdul Qadir al-Jailani: “Jangan tunda taubat, karena ajal tidak pernah menunda.”
  • Jalaluddin Rumi: “Kesempatan hanya sebentar, jadikan napasmu zikir.”
  • Ibnu ‘Arabi: “Dunia adalah bayangan, jangan kau kejar bayangan.”
  • Ahmad al-Tijani: “Taubat adalah pintu terbesar menuju Allah, jangan sampai tertutup.”

📖 Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an al-Karim
  • Tafsir Ibn Katsir
  • Tafsir al-Jalalayn
  • Ihya Ulumuddin – Imam al-Ghazali
  • Al-Fath ar-Rabbani – Syekh Abdul Qadir al-Jailani
  • Fihi Ma Fihi – Jalaluddin Rumi
  • Risalah al-Qusyairiyah – Imam al-Qusyairi

🙏 Ucapan Terimakasih

Terima kasih kepada para guru, ulama, dan para pembaca yang masih mau menegakkan kalam Allah dalam hidupnya. Semoga kita tidak menjadi hamba yang menyesal di akhirat.


Apakah Anda mau saya tambahkan juga teks Arab QS. Al-An‘am ayat 27–30 beserta terjemahan lengkapnya di bagian awal agar lebih komplit seperti bacaan koran Islami?

Bersihkan Hati dari Ketergantungan pada Selain Allah.

 


Bersihkan Hati dari Ketergantungan pada Selain Allah

Penulis: M. Djoko Ekasanu
(Edisi Khusus — Tafsir Tasawuf & Wejangan Para Waliyullah)


Ringkasan redaksi

Wejangan para sufi besar menekankan satu tuntutan pokok: mensucikan hati dari segala bentuk ketergantungan kepada selain Allah — baik itu harta, status, cinta makhluk yang berlebihan, rasa takut akan makhluk, maupun mencari pertolongan yang menyingkirkan pertolongan Ilahi. Dari Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani hingga para khalifah tasawuf seperti Rabi‘ah al-Adawiyah, pesan yang sama berulang: hakikat iman adalah serah diri total kepada Allah (tawakkul), dan pembersihan hati (tazkiyah) adalah jalan menuju kebebasan batin dan kebergantungan tunggal kepada Pencipta.


Maksud dan hakekat dari judul

“Bersihkan hati dari ketergantungan pada selain Allah” berarti menyingkap dua lapis yang sering bercampur di jiwa manusia:

  1. Ketergantungan lahir — bergantung pada benda, jabatan, jaringan sosial, atau obat-obatan untuk rasa aman.
  2. Ketergantungan batin/ruh — ketika cinta, takut, berharap kepada makhluk menjadi pusat orientasi hati sehingga Allah bukan lagi tumpuan utama.

Hakekatnya: tazkiyah al-qalb (pembersihan hati) ialah mengembalikan kecintaan, penyerahan, dan pengharapan hanya kepada Allah, sambil tetap berfungsi secara bijak di dunia. Bukan memusnahkan fungsi sosial atau kerja sebab-akibat, tetapi mengubah pusat ketergantungan dari makhluk ke Rabb.


Tafsir singkat & makna spiritual

Secara spiritual, kalimat ini mengandung beberapa dimensi:

  • Tawakkul: bersandar pada Allah setelah berikhtiar.
  • Fakr (kefakiran rohani): menyadari kefakiran mutlak di hadapan Allah, bukan sekadar miskin materi.
  • Zuhud: tidak melekat pada keuntungan dunia sebagai tujuan utama.
  • Ma‘rifah: mengenal Allah sehingga sumber ketenangan hati ditemukan hanya pada-Nya.

Para sufi mematahkan dualisme palsu: ketergantungan pada Allah tidak meniadakan usaha; malah ia menempatkan usaha dalam dimensi ibadah dan penyerahan.


Tujuan dan manfaat

Tujuan utama:

  • Mengembalikan hati kepada fitrah: bergantung hanya kepada Sang Pencipta.
  • Menetapkan ketenteraman batin (sakinah) dan kejelasan tujuan hidup.

Manfaat praktis:

  • Mengurangi kecemasan yang didorong oleh obsesi duniawi.
  • Memperkuat ketabahan menghadapi ujian.
  • Memperdalam ibadah yang tulus karena tidak bercampur motivasi duniawi semata.

Latar belakang masalah pada zamannya

Pada masa para wali klasik seperti Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani dan pendahulu mereka, masyarakat menghadapi:

  • Kecenderungan materialisme lokal (kejar dunia), dan tekanan sosial terhadap status.
  • Praktik religius yang ritualis tanpa pembersihan batin.
  • Kekacauan politik dan ekonomi yang memaksa manusia mencari keamanan pada penguasa atau harta, bukan pada Allah.

Wejangan-wejangan para sufi muncul sebagai koreksi moral-spiritual: mengingatkan bahwa ketenangan sejati tak tergadai pada dunia.


Intisari masalah

Manusia kerap salah tempatkan “pusat kebergantungan” — ketika makhluk menjadi jawaban atas kecemasan eksistensial. Akibatnya: ketergantungan sosial menguasai hati, memicu riyak, takabur, cinta dunia berlebih, dan jarak dari Tuhan.


Sebab terjadinya masalah

  • Pendidikan religius yang hanya ritualistik tanpa etika ihsan.
  • Kultur konsumerisme (walau berbeda bentuk zaman dulu vs sekarang).
  • Kepemimpinan yang korup sehingga percaya pada penguasa sebagai penyelamat tunggal.
  • Kurangnya suluk (jalan rohani) dan bimbingan murshid yang menuntun tazkiyah.

Dalil: Al-Qur’an dan Hadis (pilihan)

  • Al-Qur’an mengarahkan kepada tawakkul dan pengingkaran pada kecintaan berlebihan pada dunia: “Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya” (القرآن).
  • Ayat-ayat tentang qalb yang tenang bila mengingat Allah: “Innamaa tuhammidu li-llahi” (makna umum: hati tenang pada mengingat Allah).
  • Hadis Nabi saw. tentang tawakkul dan sebab-akibat: Beliau menasehati untuk berusaha dan percaya kepada Allah.
    (Catatan: Untuk bacaan akademis, rujuk Al-Qur’an dan koleksi Hadis shahih seperti Bukhari dan Muslim.)

Analisis dan argumentasi

Secara rasional dan psikologis, ketergantungan pada makhluk menciptakan fragilitas: saat makhluk itu hilang atau berubah, hati terombang. Ketergantungan tunggal kepada Allah memberi stabilitas internal: karena hanya Allah yang Hakiki dan Abadi. Para sufi menyusun latihan mental (muraqabah), pengurangan lampiran duniawi (zuhud praktis), serta praktik doa dan dzikr untuk merestrukturisasi fokus kognitif-emosional.


Relevansi saat ini

Zaman modern menghadirkan bentuk-bentuk baru ketergantungan: media sosial, status online, ketergantungan ekonomi pada pasar yang fluktuatif, dan obat-obatan/hiburan yang menjadi pengalih hati. Wejangan para wali tetap relevan: pembersihan hati adalah antidot terhadap kecemasan zaman now, burnout, dan krisis makna.


Hikmah

  • Hati yang bersih dari ketergantungan lain membuka pintu kreativitas, keberanian moral, dan kepedulian tanpa pamrih.
  • Ketergantungan pada Allah tidak melemahkan tanggung jawab sosial; ia malah memurnikan niat untuk berkhidmat.

Muhasabah dan caranya (langkah praktis)

  1. Inventarisasi keterikatan: tuliskan 5 hal yang membuat hatimu gelisah saat hilang.
  2. Latihan tawakkul terukur: berikhtiar nyata—lalu ucapkan doa penyerahan (tawakkul) setelahnya.
  3. Zikir harian: set waktu dzikir dan muhasabah setiap malam.
  4. Kurangi paparan pemicu: media, konsumsi, lingkungan kompetitif yang memompa identitas pada status.
  5. Bergaul dengan orang-orang yang mengingatkan Allah: majelis ilmu, pengajian, mursyid.
  6. Amal sosial tanpa riya: sedekah rahasia, pelayanan tanpa publisitas.
  7. Suluk praktis: bimbingan seorang mursyid bila memungkinkan.

Doa singkat (untuk dimunajatkan)

Ya Allah, sucikanlah hati kami dari kecintaan yang menyalahi cinta kepada-Mu; ajarkan kepada kami tawakkul yang menenangkan; jauhkanlah kami dari bergantung pada selain-Mu. Jadikanlah kami hamba yang kembali selalu kepada-Mu dalam tiap detak nafas. Amin.


Nasehat dari para ulama & sufi (parafrasa ajaran mereka)

  • Hasan al-Basri: Ingatkan diri pada kefanaan dunia; takutlah kepada Allah dalam hal kecil dan besar.
  • Rabi‘ah al-Adawiyah: Cinta kepada Allah karena Allah sendiri, bukan karena surga atau takut neraka — cinta yang memerdekakan hati.
  • Abu Yazid al-Bistami: Ketergantungan mutlak kepada Allah membawa fana (luluhnya diri) dan kebebasan spiritual.
  • Junaid al-Baghdadi: Sufi yang menekankan keseimbangan (sober) — tawakkul disertai adab dan aturan syariat.
  • Al-Hallaj: Puncak pengalaman mistik adalah penyatuan hati, meski harus berhati-hati dalam istilah supaya tidak tercampur kefanatikan.
  • Imam al-Ghazali: Tazkiyah adalah ilmu praktis: perbaiki niat, amalan, dan hatimu lewat ilmu dan dzikir (lihat Ihya' Ulum al-Din).
  • Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani: Tegaskan tawakkul, zuhud, dan bimbingan murshid; ajarkan agar ikhtiar diselaraskan dengan penyerahan total.
  • Jalaluddin Rumi: Cinta yang melepaskan ketergantungan duniawi membuka pintu tarbiyah batin.
  • Ibnu ‘Arabi: Menyadarkan bahwa realitas hakiki adalah Tuhan; pembersihan hati mengarah pada penglihatan haqiqi.
  • Ahmad al-Tijani: Penekanan pada wirid, tazkiyah dan ketundukan pada Sunnah sebagai jalan mengurangi ketergantungan pada selain Allah.

(Semua ringkasan di atas adalah parafrasa ajaran luas para figur—untuk kutipan langsung, rujuk karya-karya mereka.)


Daftar pustaka singkat (untuk bacaan lanjut)

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Shahih al-Bukhari; Shahih Muslim (koleksi hadis).
  • Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din.
  • Jalaluddin Rumi, Mathnawi (terjemahan/tafsir).
  • Ibn ‘Arabi, Fusūs al-Hikam (terjemahan/tafsir).
  • Karya-karya tentang Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani: kompilasi khotbah dan wasaya (sebagai rujukan umum: Al-Fathur Rabbani, Al-Ghunya li-Talibin — periksa edisi terjemahan).
  • Studi-studi klasik dan modern tentang tasawuf dan tazkiyah.

(Catatan: rujukan di atas bersifat tematik; untuk penelitian akademis gunakan edisi kritis, penerbit ilmiah, dan terjemahan yang dapat dipertanggungjawabkan.)


Ucapan terima kasih

Terima kasih kepada para ulama, mursyid, dan para pembaca yang terus menjaga cahaya hikmah agar tetap hidup. Semoga tulisan ringkas ini menjadi pemantik untuk menata hati kembali kepada Allah, sumber segala ketenangan.


Jika Bapak ingin, saya bisa:

  • Menyusun versi yang lebih singkat untuk lembar khutbah atau pamflet masjid.
  • Menyertakan kutipan asli dari karya Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani dan para sufi yang Anda minta (perlu penelusuran teks untuk kutipan persis).

Mau saya lanjutkan ke salah satu opsi tersebut?