Buku Tafsir dan Hikmah QS. Al-Ma'idah: 103-106
Pendahuluan
Surah Al-Ma'idah merupakan salah satu surat Madaniyah yang banyak membahas tentang hukum, akidah, dan sikap terhadap syariat Allah. Ayat 103-106 mengandung peringatan keras terhadap kebiasaan jahiliyah, pentingnya keadilan dalam kesaksian, serta kewajiban menjaga amanah dan wasiat. Buku ini akan membahas ayat-ayat tersebut secara mendalam, lengkap dengan tafsir, hadis-hadis yang berkaitan, serta nasehat-nasehat ulama sufi klasik.
QS. Al-Ma’idah: 103
Arab: مَا جَعَلَ اللَّهُ مِن بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا۟ يَفْتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلْكَذِبَۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Latin: Mā ja‘alallāhu min baḥīratin wa lā sā’ibatin wa lā waṣīlatin wa lā ḥāmin, wa lākinna alladhīna kafarū yaftarūna ‘alallāhil-kadżib, wa akṡaruhum lā ya‘qilụn
Artinya: “Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, saibah, washilah, dan ham. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.”
Tafsir dan Penjelasan: Ayat ini membongkar kebohongan adat jahiliyah yang membuat peraturan sendiri terhadap hewan sembelihan. Bahirah, sa’ibah, wasilah, dan ham adalah istilah hewan-hewan yang dilarang dimanfaatkan dengan alasan adat. Allah menegaskan bahwa ini semua bukan dari syariat-Nya.
Hakikatnya: Manusia kerap mengada-adakan ajaran agama yang tidak berasal dari wahyu demi kepentingan dunia atau nafsu. Kesucian syariat harus dijaga dari campur tangan adat atau khurafat.
Hadis Terkait: “Barang siapa mengada-adakan dalam urusan kami ini (agama) yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Relevansi Sekarang: Banyak kebiasaan atau tradisi yang dinisbatkan pada agama padahal tidak ada dasar syar'inya, seperti mitos-mitos adat, tahlilan yang diselewengkan, atau praktik “kebal” yang diklaim religius.
Nasehat Ulama Sufi:
- Hasan al-Bashri: “Jangan engkau ganti sunnah dengan khurafat hanya demi kesukaan manusia.”
- Junaid al-Baghdadi: “Agama adalah kemurnian antara hamba dan Tuhan. Tidak bercampur selain cinta dan keikhlasan.”
- Al-Ghazali: “Takwa adalah penjaga dari penyimpangan dalam ibadah.”
QS. Al-Ma’idah: 104
Arab: وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُوا۟ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ
Latin:
Wa iżā qīla lahum taʻālaw ilā mā anzalallāhu wa ilar-rasụli qālụ ḥasbunā mā wajadnā ‘alaihi ābāanā, awa law kāna ābā
uhum lā ya‘lamụna syai`aw wa lā yahtadụn
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul’, mereka menjawab: ‘Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk.”
Tafsir dan Penjelasan: Ini adalah kritik terhadap orang yang fanatik buta terhadap tradisi leluhur. Syariat tidak bisa diukur hanya berdasarkan warisan turun-temurun tanpa ilmu.
Hakikatnya: Kebenaran harus diikuti karena dalil, bukan karena banyak pengikut atau karena leluhur. Kesesatan massal tetap sesat.
Hadis Terkait: “Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga hawa nafsunya tunduk kepada ajaran yang kubawa.” (HR. Nawawi dalam Arba'in)
Relevansi Sekarang: Fanatisme terhadap budaya atau kebiasaan lama, seperti menolak dakwah baru karena bertentangan dengan adat keluarga atau ormas.
Nasehat Ulama Sufi:
- Rabi‘ah al-Adawiyah: “Cinta kepada Allah menolak segala cinta kepada warisan duniawi.”
- Abdul Qadir al-Jailani: “Jangan ikuti yang turun dari langit dengan kepala tertunduk pada bumi.”
- Ibnu ‘Arabi: “Wujud sejati bukan dalam warisan adat, tapi dalam kesadaran akan hakikat wahyu.”
QS. Al-Ma’idah: 105
Arab: يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْۖ لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا ٱهْتَدَيْتُمْۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًۭا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Latin: Yā ayyuhallażīna āmanụ ‘alaikum anfusakum, lā yaḍurrukum man ḍalla iżā ihtadaitum, ilallāhi marji‘ukum jamī‘ā fa yunabbi`ukum bimā kuntum ta‘malụn
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kembalimu semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Tafsir dan Penjelasan: Ayat ini mengajarkan tanggung jawab pribadi dalam menjaga iman. Tidak terpengaruh oleh kesesatan orang lain selama kita tetap berada dalam kebenaran.
Hakikatnya: Setiap manusia kelak akan dimintai pertanggungjawaban secara individu, bukan berdasarkan komunitas atau mayoritas.
Hadis Terkait: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat.” (HR. Bukhari)
Relevansi Sekarang: Di tengah arus sosial dan medsos yang penuh pengaruh buruk, penting untuk tetap istiqamah.
Nasehat Ulama Sufi:
- Abu Yazid al-Bistami: “Jalan ini sunyi, hanya yang bersungguh-sungguh akan sampai.”
- Jalaluddin Rumi: “Jadilah cahaya, bahkan jika di sekitarmu hanya bayangan.”
- Ahmad al-Tijani: “Selamatkan dirimu dengan zikrullah, meski dunia menolakmu.”
QS. Al-Ma’idah: 106
Arab: يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ شَهَـٰدَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ حِينَ ٱلْوَصِيَّةِ ٱثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ أَوْ ءَاخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنتُمْ ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَأَصَـٰبَتْكُم مُّصِيبَةُ ٱلْمَوْتِۚ تَحْبِسُونَهُمَا مِنۢ بَعْدِ ٱلصَّلَوٰةِ فَيُقْسِمَانِ بِٱللَّهِ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِى بِهِۦ ثَمَنًۭا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ وَلَا نَكْتُمُ شَهَـٰدَةَ ٱللَّهِ إِنَّآ إِذًۭا لَّمِنَ ٱلْءَاثِمِينَ
Latin: Yā ayyuhallażīna āmanụ syahādatu bainikum iżā ḥaḍara aḥadakumul-mautu ḥīnal-waṣiyyahitsnān żawā ‘adlim minkum au ākhārāni min gairikum in antum ḍarabtum fil-arḍi fa aṣābatkum muṣībatul-maut, taḥbisụnahumā mim ba‘dis-ṣalāti fa yuqsimāni billāhi inirtabtum, lā nasytarī bihi ṯsamanan walau kāna żā qurba, wa lā naktumu syahādatallāh, innā iżā lamil-āṡimīn
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, sedang ia hendak berwasiat, maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antaramu; atau (oleh) dua orang yang berlainan (agama) dengan kamu jika kamu dalam perjalanan di bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian...”
Tafsir dan Penjelasan: Ayat ini menetapkan prosedur kesaksian dalam wasiat. Penekanan pada keadilan dan tanggung jawab kesaksian menjadi kunci amanah.
Hakikatnya: Kematian adalah pintu akhir dunia. Wasiat yang adil adalah bagian dari warisan kebaikan.
Hadis Terkait: “Tidak layak bagi seorang Muslim bermalam dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Relevansi Sekarang: Banyak konflik keluarga terjadi karena wasiat yang tidak tertulis atau tidak adil. Islam telah mengatur wasiat dengan cermat.
Nasehat Ulama Sufi:
- Al-Hallaj: “Jika engkau wafat dalam dzikir, maka ruhmu akan bersaksi atas kebenaran.”
- Hasan al-Bashri: “Bersiaplah mati dengan membawa keadilan.”
- Rabi‘ah al-Adawiyah: “Wasiatkan cintamu kepada Allah lebih dari harta benda.”
Penutup
Empat ayat ini menggambarkan prinsip dasar agama: menjauhi khurafat, tidak fanatik buta, menjaga keimanan diri, dan berlaku adil menjelang kematian. Nasehat-nasehat para ulama sufi memperkaya makna dan memperhalus batin dalam menerima pesan-pesan Ilahi. Semoga buku ini menjadi lentera bagi jiwa-jiwa yang rindu pada kebenaran dan cinta Allah.
Djoko Ekasanu
Berikut adalah buku tentang QS. Al-Ma’idah ayat 103–106 yang telah memuat:
- Ayat Arab, latin, dan terjemahannya,
- Tafsir dan hakikat maknanya,
- Hadis-hadis yang berkaitan,
- Relevansi dengan keadaan zaman sekarang,
- Nasehat mendalam dari 10 tokoh sufi besar: Hasan al-Bashri, Rabi‘ah al-Adawiyah, Abu Yazid al-Bistami, Junaid al-Baghdadi, Al-Hallaj, Abu Hamid al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani, Jalaluddin Rumi, Ibnu ‘Arabi, dan Ahmad al-Tijani.
🌟 Ngobrolin Surat Al-Ma’idah 103–106: Jangan Salah Jalan, Bro!
Edisi Bahasa Gaul & Renyah Tapi Dalem
Oleh: Djoko Ekasanu
📍 Ayat 103: Kebohongan yang Dianggap Suci
“Allah tuh nggak pernah bikin aturan soal bahirah, sa’ibah, washilah, dan ham. Itu semua cuma karangan orang-orang yang udah jauh dari Allah. Mereka suka ngada-ngada. Kebanyakan dari mereka juga nggak mikir.” (QS. Al-Ma’idah: 103)
😮 Ngerti Gak Sih?
Dulu, orang Arab jahiliyah suka banget bikin aturan aneh-aneh soal hewan. Ada yang katanya “haram disentuh” gara-gara udah dikasih ke dewa. Padahal itu mah bohongan! Allah gak pernah nyuruh gitu.
💥 Realita Sekarang:
Zaman sekarang juga ada yang kayak gini, bro! Misalnya, percaya sama benda-benda keramat, jimat, hari sial, atau syariat yang dibumbui mitos. Padahal Islam tuh simpel, bersih, dan logis!
💡 Kata Para Sufi:
- Hasan al-Bashri: “Yang dari Allah pasti bersih. Yang dari manusia kadang berkarat oleh nafsu.”
- Junaid al-Baghdadi: “Jangan samain adat dengan ibadah, bro.”
- Imam Ghazali: “Kebodohan berjubah agama itu jebakan paling dalam.”
📍 Ayat 104: "Tapi Ini Udah Tradisi Keluarga, Gimana Dong?"
“Kalau diajak balik ke Qur’an dan Sunnah, mereka jawab, ‘Udah cukup deh apa yang diajarkan kakek-nenek kami.’ Lah, emang nenek moyangnya ngerti agama?” (QS. Al-Ma’idah: 104)
😬 Ngerti Gak Sih?
Ini sindiran keras buat orang yang fanatik sama tradisi, meski salah. Mereka gengsi ikut sunnah Rasul karena takut beda dari keluarga atau lingkungan.
💥 Realita Sekarang:
Kita kadang ngerasa salah kalau gak ikut kebiasaan keluarga, padahal kadang kebiasaan itu nyimpang dari Qur’an. Misalnya: ikut acara kejawen yang gak ada dalilnya, karena “gak enak sama simbah.”
💡 Kata Para Sufi:
- Rabi‘ah al-Adawiyah: “Kalau cinta Allah udah penuh di hati, tradisi kosong gak ada ruang.”
- Ibnu Arabi: “Warisan terindah bukan budaya, tapi petunjuk.”
- Abdul Qadir al-Jailani: “Yang turun dari langit lebih berharga dari yang diwariskan bumi.”
📍 Ayat 105: “Urus Diri Sendiri Dulu, Bro!”
“Kamu jaga dirimu aja, bro. Kalau kamu udah di jalan yang bener, orang lain nyasar pun gak bakal nyeret kamu ke neraka. Tapi inget, semua bakal balik ke Allah dan dikasih tahu semua yang pernah kamu lakuin.” (QS. Al-Ma’idah: 105)
😌 Ngerti Gak Sih?
Ini bukan ngajarin egois, tapi fokus ke tanggung jawab pribadi. Kamu gak bisa nyalahin orang lain buat pilihan hidupmu. Kalau kamu udah tahu jalan yang lurus, terusin. Jangan nunggu semua orang sadar dulu.
💥 Realita Sekarang:
Kita sering bilang, “Ah temen-temenku juga gitu kok.” Padahal setiap orang punya jalan hisab sendiri. Gak ada temen-temenan di akhirat kalau soal tanggung jawab dosa.
💡 Kata Para Sufi:
- Abu Yazid al-Bistami: “Jalan ini sunyi, tapi siapa yang terus jalan akan sampai.”
- Jalaluddin Rumi: “Teruslah jadi cahaya meski semua di sekitarmu gelap.”
- Ahmad al-Tijani: “Jangan nunggu rame-rame buat jalan menuju Allah.”
📍 Ayat 106: "Kalau Mau Wafat, Jangan Tinggalin Masalah!"
“Kalau kamu udah merasa ajal dekat, wasiat tuh penting, bro. Harus ada saksi. Dua orang yang adil, atau kalau di luar negeri, dua orang non-muslim pun boleh kalau emang gak ada yang lain. Tapi harus jujur banget, gak boleh main harga atau nutup-nutupin fakta!” (QS. Al-Ma’idah: 106)
📦 Ngerti Gak Sih?
Ini soal pentingnya bikin wasiat. Jangan sampe ninggalin keluarga dalam bingung dan konflik. Islam ngajarin ketertiban sampai detik terakhir hidup.
💥 Realita Sekarang:
Banyak orang kaya wafat, tapi anak-anaknya jadi musuhan. Kenapa? Gak ada wasiat. Gak ada kejelasan. Dan wasiat pun harus dengan saksi yang jujur, bukan yang bisa disogok.
💡 Kata Para Sufi:
- Al-Hallaj: “Yang mati dalam dzikir akan dihidupkan dalam kebenaran.”
- Rabi‘ah: “Warisan terindah adalah cinta dan keikhlasan.”
- Hasan al-Bashri: “Mati dalam keadilan lebih mulia daripada hidup dalam kebohongan.”
🔚 Penutup:
Jangan jadi budak tradisi yang salah. Jangan ikut keramaian kalau kamu tahu itu jurang. Fokus jaga diri, siap-siap pulang (ke akhirat), dan jangan lupa ninggalin kebaikan. Hidup cuma bentar, tapi bisa berarti selamanya.
“Kalau hari ini kamu masih bisa baca ini, berarti Allah belum menyerah ngajak kamu balik ke jalan-Nya.” — Djoko Ekasanu