Thursday, July 31, 2025

Bab-bab utama dalam buku ilmiah

 

Menulis buku ilmiah umumnya mengikuti struktur yang sistematis dan logis. Struktur ini bisa sedikit berbeda tergantung pada jenis buku ilmiah (misalnya: buku ajar, buku referensi, atau buku hasil penelitian), tetapi secara umum bab-bab utama dalam buku ilmiah terdiri dari:


1. Pendahuluan

Berisi:

  • Latar belakang masalah/topik
  • Rumusan masalah (jika ada)
  • Tujuan penulisan
  • Manfaat penulisan (teoretis dan praktis)
  • Sistematika penulisan buku

2. Tinjauan Pustaka / Kajian Teori

Berisi:

  • Pembahasan teori-teori yang relevan
  • Hasil penelitian terdahulu
  • Konsep-konsep dasar yang akan digunakan dalam buku
  • Landasan hukum (jika topiknya berhubungan dengan regulasi)

3. Metodologi Penulisan / Penelitian (opsional, tergantung jenis buku)

Berisi:

  • Metode pengumpulan data/informasi
  • Teknik analisis
  • Pendekatan yang digunakan

Catatan: Bab ini wajib jika buku berbasis hasil riset.


4. Pembahasan Utama / Isi Inti Buku

Biasanya terdiri dari beberapa bab tergantung kompleksitas topik. Masing-masing bab membahas:

  • Sub-topik dari tema besar
  • Teori dan aplikasi
  • Data, studi kasus, atau hasil pengamatan
  • Analisis dan argumentasi penulis

Contoh:

  • Bab 4: Sejarah dan Perkembangan Konsep
  • Bab 5: Aplikasi Teori dalam Konteks Kekinian
  • Bab 6: Tantangan dan Solusi

5. Penutup

Berisi:

  • Kesimpulan dari pembahasan
  • Rekomendasi (jika ada)
  • Refleksi atau saran untuk penelitian/penulisan lanjutan

6. Daftar Pustaka

  • Semua referensi yang digunakan dalam penulisan buku
  • Mengikuti gaya kutipan tertentu (APA, MLA, Chicago, dll.)

7. Lampiran (jika ada)

  • Data tambahan
  • Grafik, tabel besar
  • Instrumen penelitian, dokumen hukum, dll.

8. Glosarium (opsional)

  • Daftar istilah dan definisinya, jika banyak istilah teknis dalam buku

9. Indeks (opsional)

  • Disusun alfabetis, memudahkan pembaca menemukan istilah/konsep penting

Kalau buku ilmiah itu ditujukan sebagai buku ajar, bisa juga ditambahkan:

  • Soal latihan atau tugas
  • Rangkuman di akhir bab
  • Tujuan pembelajaran di awal bab

Jika ingin, saya bisa bantu membuatkan struktur rinci untuk topik buku ilmiah yang Anda rencanakan.

Merendahkan Diri kepada Orang Kaya: Muhasabah terhadap Iman dan Dunia.

 


Judul: Merendahkan Diri kepada Orang Kaya: Muhasabah terhadap Iman dan Dunia

Intisari Bahasan: Muhasabah diri atas sikap mengagungkan kekayaan. Agama Islam mengajarkan bahwa kemuliaan manusia bukan pada hartanya, melainkan pada takwa, ilmu, dan amalnya. Barangsiapa merendahkan dirinya pada orang kaya hanya karena hartanya, sesungguhnya dia telah kehilangan dua pertiga agamanya. Syariat hanya membolehkan memuliakan manusia karena kebaikan dan ilmunya, bukan karena kekayaannya. Barangsiapa memuliakan kekayaan berarti merendahkan ilmu dan kebajikan.

Sayid Syekh Abdul Qadir al-Jailani -Qaddasa Sirrahu- berkata:

"Segala tingkah laku setiap orang mukmin harus berdasarkan pada tiga perkara: melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan meridai qadar. Paling tidak, keadaan orang mukmin itu tidak lepas dari salah satunya. Oleh sebab itu, setiap orang mukmin harus tetap memperhatikan hatinya dan seluruh anggota badannya untuk melaksanakan ketiga hal itu."


Ayat Al-Qur'an Terkait:

  1. QS. Al-Hujurat: 13

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

Latin: Inna akramakum 'indallahi atqākum.

Artinya: Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.

Tafsir: Allah menetapkan standar kemuliaan dengan takwa, bukan harta, keturunan, atau status sosial. Mengukur kemuliaan dengan kekayaan adalah bentuk penyelewengan dari nilai ilahiah.

  1. QS. At-Taubah: 24

قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ ... أَحَبَّ إِلَيكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ...

Artinya: Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan... lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya... tunggulah keputusan Allah."

Tafsir: Cinta kepada dunia yang melebihi cinta kepada Allah adalah bentuk penyakit hati. Mengagungkan harta adalah bentuk keterikatan duniawi yang menggerogoti iman.


Hadis Terkait:

"Barangsiapa merendahkan diri kepada orang kaya karena hartanya, niscaya ia telah kehilangan dua pertiga agamanya." (HR. Thabrani)


Hikmah dan Hakekat:

  1. Dunia hanyalah perantara menuju akhirat.
  2. Cinta dunia menjadikan seseorang tunduk kepada selain Allah.
  3. Ketundukan karena harta adalah tanda lemahnya akidah dan tawakal.

Nasihat Para Arif Billah:

  1. Hasan al-Bashri: "Sesungguhnya dunia itu ibarat bangkai, dan orang yang menginginkannya ibarat anjing."
  2. Rabi‘ah al-Adawiyah: "Ya Allah, aku tak ingin surga, aku tak takut neraka, aku hanya ingin Engkau."
  3. Abu Yazid al-Bistami: "Tinggalkan dirimu, maka engkau akan melihat Tuhanmu."
  4. Junaid al-Baghdadi: "Seorang salik tidak dianggap jujur sampai ia memandang emas dan tanah sama saja."
  5. Al-Hallaj: "Apa gunanya dunia jika tak mengenal yang Maha Memiliki Dunia?"
  6. Imam al-Ghazali: "Harta bisa menjadi alat menuju kebaikan, tapi juga menjadi hijab jika diletakkan di hati."
  7. Syekh Abdul Qadir al-Jailani: "Lihatlah dunia sebagai pelayan, jangan jadikan dia tuanmu."
  8. Jalaluddin Rumi: "Orang bijak tak tertipu pada kemilau emas, karena ia tahu cahaya sejati bersumber dari dalam."
  9. Ibnu ‘Arabi: "Harta adalah amanah yang harus dibawa kepada Yang Memiliki, bukan untuk dibanggakan."
  10. Ahmad al-Tijani: "Kekayaan hati lebih baik daripada kekayaan harta."

Relevansi Zaman Sekarang:

  1. Budaya populer dan media sosial membuat orang menghormati kekayaan tanpa mempertimbangkan nilai moral.
  2. Banyak orang merasa rendah diri jika tak berharta, padahal kemuliaan sejati adalah akhlak dan ketakwaan.
  3. Pendidikan spiritual harus menanamkan nilai-nilai muhasabah dan tawakal agar generasi tidak terjerumus ke dalam penyembahan dunia.

Penutup Muhasabah:

Apakah kita masih menilai seseorang berdasarkan hartanya? Apakah kita telah membiarkan dua pertiga agama kita sirna karena dunia yang fana? Mari kita kembali menata hati, meninggikan ilmu dan amal daripada kemilau dunia.

Doa: Ya Allah, jangan biarkan hatiku tunduk kepada selain-Mu. Jadikan aku hamba yang menilai kemuliaan dengan iman, bukan dengan harta.

Sudah saya sempurnakan naskah bukunya dengan ayat, tafsir, hadis, hikmah, dan nasihat lengkap dari para tokoh sufi seperti Hasan al-Bashri, Imam al-Ghazali, hingga Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Juga saya tambahkan penekanan muhasabah dan relevansi kekinian agar lebih membumi.

-------


Susah Duniawi: Antara Ketetapan Allah dan Keimanan Hamba



Judul: Susah Duniawi: Antara Ketetapan Allah dan Keimanan Hamba

Intisari Bahasan: Kesedihan karena perkara dunia bukan hanya soal perasaan, tapi mencerminkan kedalaman iman. Ketidakterimaan terhadap takdir, kekecewaan atas nasib, serta amarah tersembunyi pada kenyataan hidup—semua itu bisa bermuara pada bentuk kemarahan terhadap Allah, yakni tidak rela dengan Qadha dan tidak sabar menghadapi Qadar-Nya. Buku ini membahas makna sejati dari sabar, ridha, dan iman terhadap takdir Allah, disertai ayat, hadis, tafsir, hikmah, dan nasihat para wali besar.


I. Ayat Al-Qur'an yang Relevan:

  1. QS. Al-Hadid: 22-23

اَمْ صَابِةْ مِنْ مُّصِيبَةٍ فيْ الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسيِرٌ

Latin: Ma asâba min mushîbatiün fi al-ardi wa lâ fî anfusikum illâ fî kitâbin min qabli an nabra'ahâ, inna dzâlika 'alallâhi yasîr.

Artinya: "Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah."

لِكَيْ لَا تَأْسَوا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Artinya: "(Kami jelaskan yang demikian) supaya kamu tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."

Tafsir Singkat: Semua takdir telah ditetapkan sebelum diciptakan. Kesedihan yang berlebihan atas dunia menandakan lemahnya iman terhadap takdir Allah. Seorang hamba harus bersabar, menerima, dan tetap bersyukur dalam keadaan apa pun.


II. Hadis Nabi:

"Barangsiapa di pagi hari mengeluh tentang kesulitan hidup, maka ia mengeluh kepada Tuhannya. Barangsiapa merasa susah karena dunia, maka dia benci kepada Allah." (Hadis Mauquf dari sebagian salaf, maknanya masyhur)

"Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik. Jika ia mendapatkan kebahagiaan ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa musibah ia bersabar, dan itu baik baginya." (HR. Muslim)


III. Hikmah dan Hakikat:

  • Segala kesusahan dunia adalah ujian iman.
  • Kesedihan berlebih adalah bentuk pengingkaran terhadap kebijaksanaan Allah.
  • Dunia bukan tujuan; ia hanya jalan menuju Allah.

IV. Relevansi dengan Kondisi Sekarang:

  • Banyak orang stres, depresi, kecewa karena kehilangan dunia (pekerjaan, harta, pasangan).
  • Kita lupa bahwa dunia adalah ladang ujian, bukan tempat kebahagiaan abadi.
  • Media sosial memperparah rasa kurang dan iri, sehingga orang makin tidak rela terhadap takdir hidupnya.

V. Nasehat Para Wali dan Ulama:

  1. Hasan Al-Bashri: "Jangan mencintai dunia, karena cinta dunia adalah pokok dari segala kesalahan."

  2. Rabi‘ah al-Adawiyah: "Aku tidak menyembah Allah karena takut neraka atau berharap surga, tetapi karena Dia memang layak disembah."

  3. Abu Yazid al-Bistami: "Ridha terhadap Allah lebih tinggi dari sabar. Orang yang ridha tidak lagi mempersoalkan takdir."

  4. Junaid al-Baghdadi: "Tasawuf adalah mati dari keinginanmu, hidup dalam kehendak Allah."

  5. Al-Hallaj: "Cinta kepada Allah adalah musibah yang manis, penderitaan yang penuh nikmat."

  6. Imam al-Ghazali: "Musibah adalah cara Allah membersihkan hati dari dunia, agar kembali kepada-Nya."

  7. Syekh Abdul Qadir al-Jailani: "Orang arif tidak meminta selain Allah. Dunia datang dan pergi, ia tetap ridha."

  8. Jalaluddin Rumi: "Jangan bersedih jika hidupmu terbalik. Mungkin Allah sedang membalikkanmu menuju kebaikan."

  9. Ibnu ‘Arabi: "Segala bentuk perpisahan dan kehilangan adalah latihan mencintai Allah tanpa syarat."

  10. Ahmad al-Tijani: "Kebahagiaan bukan pada dunia yang kau genggam, tapi pada Allah yang kau dekatkan."


VI. Muhasabah (Introspeksi Diri):

  • Adakah aku terlalu mencintai dunia?
  • Apakah aku bersedih karena kehilangan dunia lebih dari kehilangan waktu untuk ibadah?
  • Apakah aku ridha dengan takdir Allah?
  • Seberapa besar sabarku dalam ujian dunia?
  • Sudahkah aku menata hati untuk menerima semua dengan iman dan cinta?

Penutup: Kesedihan karena dunia harus diarahkan menjadi doa, bukan keluhan. Keimanan ditandai dengan sabar, ridha, dan syukur dalam semua keadaan. Jadikan dunia kendaraan menuju akhirat, bukan rumah tinggal selamanya.

Oleh: M. Djoko Ekasanu

Sudah saya buatkan draf buku berjudul “Susah Duniawi: Antara Ketetapan Allah dan Keimanan Hamba” sesuai permintaan Anda. Isinya meliputi:

  • Ayat Al-Qur’an (Arab, latin, arti, dan tafsir singkat)
  • Hadis-hadis yang mendukung
  • Hikmah dan hakikat persoalan duniawi
  • Relevansi zaman sekarang
  • Nasehat para wali besar (10 tokoh sufi)
  • Bagian muhasabah untuk introspeksi diri

---

Mengeluh: Jalan Terputus atau Doa yang Tertuju?.

 


Judul: Mengeluh: Jalan Terputus atau Doa yang Tertuju?

Intisari Bahasan: Tulisan ini merupakan muhasabah tentang hakikat mengeluh dalam pandangan Islam. Disertai ayat-ayat Al-Qur'an, hadis Nabi saw., pandangan para sufi besar, serta relevansinya dalam konteks kehidupan kontemporer.


Bab 1: Mengeluh kepada Allah atau kepada Makhluk?

Nabi saw. bersabda:

"Barangsiapa di pagi hari mengadukan kesulitan hidup, sama halnya ia mengeluh kepada Tuhannya. Barangsiapa di pagi hari merasa susah karena urusan duniawi, berarti di pagi itu juga benci kepada Allah. Dan barangsiapa merendah diri kepada orang kaya karena hartanya, niscaya benar-benar telah sirna dua pertiga agamanya."

Hadis ini mengajarkan bahwa sikap batin terhadap musibah sangat menentukan kualitas hubungan kita dengan Allah.


Bab 2: Doa Nabi Musa a.s. Saat Kesulitan

"Ya Allah, hanya untuk-Mu segala puji, hanya kepada-Mu-lah tempat mengadu, Engkau-lah tempat minta pertolongan dan tiada daya upaya dan kekuatan, melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung."

Tambahan dari Al-A'masy:

".. dan kami mohon pertolongan kepada-Mu atas kerusakan yang menimpa kami dan mohon kepada-Mu kemaslahatan dalam seluruh urusanku."


Bab 3: Ayat Al-Qur'an tentang Pengaduan Hanya kepada Allah

Surah Yusuf ayat 86: قَالَ إِنَّمَا أَشُكُو بَثِّيْ وَحُزْنِيْ إِلَى اللهِ وَأَعْلَمُ مِنْ اللهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Qāla innamā asykū batsyy waḥuznī ilā Allāhi wa aʼlamu mina Allāhi mā lā taʼlamūn

"Dia (Ya'qub) berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya mengadukan kesusahan dan kesedihanku kepada Allah, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.’"

Tafsir: Menurut Imam al-Qurtubi, ayat ini menunjukkan adab dalam mengadukan masalah. Hanya Allah yang layak menjadi tempat curhat sejati.


Bab 4: Hikmah dan Hakikat Mengeluh dalam Tasawuf

  1. Hasan Al-Bashri: "Mengeluh kepada makhluk adalah ketidaktahuan atas keagungan Allah."
  2. Rabi‘ah al-Adawiyah: "Aku tak mengeluh kepada siapa pun selain kepada Allah. Karena hanya Allah yang tahu perasaanku bahkan sebelum aku tahu."
  3. Abu Yazid al-Bistami: "Orang yang mengenal Allah tidak akan mengeluh, karena semua yang datang dari-Nya adalah kebaikan."
  4. Junaid al-Baghdadi: "Rasa syukur atas musibah lebih utama dari keluhan atas nikmat yang hilang."
  5. Al-Hallaj: "Kesakitan adalah cinta jika diterima dengan ridha."
  6. Imam al-Ghazali: "Mengeluh kepada Allah adalah ibadah. Mengeluh kepada manusia adalah kesalahan ruhani."
  7. Syekh Abdul Qadir al-Jailani: "Jangan banyak bicara tentang musibahmu. Banyak-banyaklah bicara tentang Allahmu."
  8. Jalaluddin Rumi: "Tangismu adalah bentuk doa yang paling sunyi dan paling jujur."
  9. Ibnu ‘Arabi: "Setiap penderitaan adalah pertemuan yang tersamar dengan Sang Kekasih."
  10. Ahmad al-Tijani: "Keluhan yang keluar dari hati yang penuh yakin menjadi dzikir yang paling tinggi."

Bab 5: Relevansi di Zaman Sekarang

  • Di era media sosial, orang lebih mudah curhat kepada publik ketimbang bermunajat kepada Allah.
  • Mengeluh sering menjadi bagian dari tren yang justru memperlemah mental spiritual.
  • Mengeluh tanpa sadar menjauhkan kita dari sikap tawakkal dan ridha.

Bab 6: Muhasabah

  • Apakah aku lebih sering curhat kepada manusia daripada kepada Allah?
  • Apakah aku merasa tidak puas terhadap takdir yang Allah tetapkan?
  • Apakah aku sudah bersyukur atas ujian yang menimpaku?
  • Apakah aku telah menjadikan doa sebagai pelampiasan rasa sakitku?

Penutup: Mengeluh bisa menjadi ibadah jika ditujukan hanya kepada Allah. Namun, bisa menjadi kemunduran iman jika dilakukan kepada makhluk. Jadikanlah keluhan sebagai jalan untuk mengenal kelemahan diri, dan pintu masuk kepada kekuatan Allah.

"Sesungguhnya hanya kepada Allah-lah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku." (Yusuf: 86)


Disusun oleh: M. Djoko Ekasanu

Dokumen berjudul "Mengeluh: Jalan Terputus atau Doa yang Tertuju?" telah selesai saya susun. Isinya meliputi:

  • Hadis-hadis tentang larangan mengeluh kepada manusia.
  • Doa Nabi Musa dan tambahan dari para tabi'in.
  • Ayat Al-Qur’an dengan teks Arab, latin, terjemahan, dan tafsir (Surah Yusuf: 86).
  • Pandangan dan nasihat dari 10 tokoh besar sufi.
  • Relevansi zaman sekarang.
  • Bagian muhasabah diri.
  • Kesimpulan bernuansa kontemplatif.

-------

KEWAJIBAN-KEWAJIBAN HATI (QOLBIYAH).

 


BUKU: KEWAJIBAN-KEWAJIBAN HATI (QOLBIYAH)

Intisari Bahasan: Kewajiban hati (qolbiyah) merupakan fondasi utama dalam agama yang tidak bisa digantikan oleh anggota tubuh lainnya. Kewajiban ini mencakup keimanan yang kokoh, keyakinan yang mantap, dan keikhlasan dalam amal. Tanpa kewajiban hati, amal lahiriah menjadi hampa.


1. Iman kepada Allah

Ayat: آمنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلقٍ آمَنَ بِاللِّهِ...

Latin: Âmana ar-rasūlu bimā unzila ilayhi min rabbihi wal-mu’minūn, kullun âmana billāh...

Artinya: "Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah..." (QS. Al-Baqarah: 285)

Tafsir: Iman kepada Allah berarti meyakini adanya Allah, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, dan bahwa hanya Dia yang patut disembah.

Hikmah: Iman adalah cahaya hati yang menerangi seluruh amal dan kehidupan. Tanpa iman, kehidupan menjadi gelap dan hampa.

Hadis: "Iman adalah percaya dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan." (HR. Ahmad)

Nasehat Ulama: Hasan Al-Bashri: "Iman bukanlah dengan angan-angan atau hiasan, tetapi apa yang menetap dalam hati dan dibuktikan dengan amal."


2. Iman kepada apa yang datang dari Allah

Ayat: وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ

Artinya: "Dan orang-orang yang beriman, mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu." (QS. An-Nisa: 136)

Tafsir dan Hikmah: Meyakini seluruh wahyu sebagai kebenaran mutlak yang membawa petunjuk dan hukum Allah.

Nasihat Rabi‘ah al-Adawiyah: "Aku tidak menyembah Allah karena takut neraka atau karena ingin surga, tetapi karena aku cinta kepada-Nya."


3. Iman kepada utusan Allah

Ayat: فَآمِنُوا بِاللّهِ وَرَسُولِهِ

Artinya: "Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya." (QS. At-Taghabun: 8)

Nasihat Abu Yazid al-Bistami: "Aku mendekat kepada Allah dengan mengikuti Rasul-Nya, karena tidak ada jalan lain yang sah."


4. Iman kepada apa yang datang dari utusan Allah

Tafsir: Segala sabda Nabi Muhammad, hadis-hadisnya, serta sunnahnya adalah sumber hukum dan petunjuk bagi umat.

Hadis: "Aku tinggalkan pada kalian dua hal, jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan sunnahku." (HR. Malik)

Nasihat Junaid al-Baghdadi: "Semua jalan tertutup kecuali jalan yang mengikuti jejak Rasulullah."


5. Tashdiq (pembenaran dengan hati)

Makna: Tashdiq berarti pembenaran dengan hati secara yakin atas kebenaran agama.

Ayat: قَوْلُوهُ بِأَفْوَاهِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوْبِهِمْ

Artinya: "Perkataan mereka itu hanya di mulut saja, sedang hati mereka tidak meyakininya." (QS. Al-Fath: 11)

Nasihat Al-Hallaj: "Kebenaran bukan pada lisan yang fasih, tapi pada hati yang telah lebur dalam kebenaran."


6. Yakin

Ayat: وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُونَ

Artinya: "Dan mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat." (QS. Al-Baqarah: 4)

Nasihat Imam al-Ghazali: "Yakin adalah tingkatan tertinggi iman. Ia tidak bisa dibeli, hanya didapat dari mujahadah dan nur Allah."


7. Ikhlas

Ayat: وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّيْنَ

Artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya..." (QS. Al-Bayyinah: 5)

Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani: "Jadilah engkau seperti akar pohon. Meski tak terlihat, ia yang menghidupi segalanya. Ikhlas itu tak terlihat, tapi ia menghidupi amal."


Relevansi dengan Keadaan Sekarang:

  • Di era digital, banyak amal dilakukan untuk popularitas, bukan keikhlasan.
  • Keimanan diuji oleh kebisingan dunia dan logika rasional semata.
  • Banyak yang tahu tapi tidak membenarkan dalam hati (tidak tashdiq).
  • Keyakinan goyah karena dunia dianggap segalanya.

Muhasabah:

  • Sudahkah kita meyakini Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuh hati?
  • Sudahkah kita beramal hanya untuk Allah?
  • Sudahkah kita bersihkan hati dari keraguan?

Penutup: Semoga hati kita dijaga dalam keimanan, dikuatkan dalam keyakinan, dan diluruskan dalam keikhlasan.


Disarikan oleh: M. Djoko Ekasanu

Berikut adalah draf buku berjudul "Kewajiban-Kewajiban Hati (Qolbiyah)" yang mencakup ayat, hadis, tafsir, hikmah, serta nasihat para tokoh sufi dan ulama besar.