Sunday, March 23, 2025

Puasa dan Mati

 Mati dalam keadaan berpuasa memiliki beberapa keutamaan besar dalam Islam. Berikut adalah beberapa keutamaannya berdasarkan hadits dan penjelasan ulama:

  1. Dijamin Masuk Surga Melalui Pintu Ar-Rayyan
    Rasulullah ﷺ bersabda:
    "Sesungguhnya di surga terdapat satu pintu yang disebut Ar-Rayyan. Pada hari kiamat, orang-orang yang berpuasa akan masuk melaluinya, tidak ada seorang pun yang masuk selain mereka. Dikatakan, 'Di mana orang-orang yang berpuasa?' Maka mereka pun masuk, dan setelah mereka masuk, pintu itu ditutup sehingga tidak ada seorang pun yang masuk melaluinya."
    (HR. Bukhari No. 1896, Muslim No. 1152)

  2. Dijauhkan dari Siksa Kubur dan Neraka
    Puasa adalah salah satu amalan yang dapat melindungi seseorang dari azab. Rasulullah ﷺ bersabda:
    "Puasa adalah perisai yang melindungi dari api neraka seperti perisai dalam peperangan."
    (HR. Ahmad No. 8631, An-Nasa'i No. 2235)

  3. Dijaga dari Fitnah dan Adzab di Alam Barzakh
    Orang yang meninggal dalam keadaan berpuasa akan mendapatkan perlindungan dan pahala terus-menerus hingga hari kiamat.

  4. Dihitung Meninggal dalam Keadaan Husnul Khatimah
    Para ulama menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal saat beribadah, termasuk puasa, maka tanda-tanda husnul khatimah lebih kuat padanya.

  5. Dicatat Pahala Puasanya Hingga Hari Kiamat
    Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, Allah berfirman:
    "Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya."
    (HR. Bukhari No. 1904, Muslim No. 1151)

Meninggal dalam keadaan puasa adalah tanda kebaikan dan keberuntungan bagi seorang Muslim. Semoga kita semua bisa mendapatkan husnul khatimah dan termasuk dalam golongan orang-orang yang diridhai Allah.

Dzikir (2)

 Dalam Islam, ada keyakinan bahwa dzikir yang dilakukan dengan ikhlas dan penuh kesungguhan akan naik ke langit dan mendapat perhatian dari Allah serta makhluk-Nya di alam malakut.

1. Dzikir yang Disebut di Langit

  • Rasulullah ﷺ bersabda:
    "Allah berfirman: Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam Diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di hadapan orang banyak, maka Aku mengingatnya di hadapan makhluk yang lebih baik dari mereka (para malaikat).” (HR. Bukhari & Muslim)
    → Ini menunjukkan bahwa siapa pun yang berdzikir di dunia, namanya akan disebut di langit oleh Allah dan para malaikat.

  • Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
    "Tidaklah suatu kaum duduk berdzikir mengingat Allah, kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat meliputi mereka, ketenangan turun kepada mereka, dan Allah menyebut mereka di hadapan makhluk-Nya yang ada di langit." (HR. Muslim)
    → Ini berarti dzikir yang dilakukan di dunia memiliki gema di alam langit.

2. Dzikir yang Dikenal oleh Penduduk Langit

  • Para malaikat mencatat dan membawa dzikir ke hadapan Allah. Dalam hadis disebutkan bahwa ada malaikat yang khusus berkeliling mencari majelis dzikir, lalu melaporkan kepada Allah bahwa mereka menemukan hamba-hamba-Nya yang menyebut nama-Nya. (HR. Bukhari)

  • Jika seseorang istiqamah dalam dzikir, namanya akan dikenal di langit, sebagaimana disebutkan dalam kisah-kisah para wali dan ulama yang namanya sering didengar oleh malaikat karena kekhusyukan ibadahnya.

3. Dzikir yang Menggetarkan Alam Malakut

Beberapa ulama sufi menyebutkan bahwa dzikir yang dilakukan dengan hati yang bersih dan penuh keikhlasan akan menghasilkan resonansi di alam spiritual. Ini seperti gema yang tidak hanya terdengar di dunia tetapi juga di dimensi yang lebih tinggi.

Kesimpulan

Jika seseorang merasakan bahwa dzikirnya "memanggil-manggil namanya di langit", itu bisa menjadi tanda:

  1. Dzikirnya diterima oleh Allah, dan namanya disebut oleh para malaikat.
  2. Ia mulai merasakan getaran spiritual dari dzikir yang dilakukan dengan tulus.
  3. Hatinya semakin bersih, sehingga mulai merasakan hubungan lebih dekat dengan Allah.

Jika ini terjadi, teruslah istiqamah dalam dzikir, perbanyak keikhlasan, dan tingkatkan kualitas ibadah. Itu bisa menjadi tanda bahwa Allah sedang menarik hamba-Nya lebih dekat kepada-Nya.

Zakat (yang berhak menerima)

 Dalam fiqih Islam, zakat umumnya diberikan kepada delapan golongan yang disebutkan dalam Al-Qur'an (QS. At-Taubah: 60). Mayoritas ulama sepakat bahwa zakat wajib (zakat mal dan zakat fitrah) harus diberikan kepada kaum Muslim, tetapi ada beberapa kondisi di mana zakat dapat diberikan kepada non-Muslim, tergantung pada jenis zakat dan kebutuhannya.

1. Pendapat Mayoritas Ulama

Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa zakat hanya boleh diberikan kepada Muslim, karena zakat adalah bentuk solidaritas dalam Islam dan merupakan hak orang-orang yang membutuhkan di dalam komunitas Muslim.

2. Pendapat yang Membolehkan

Beberapa ulama, termasuk dalam mazhab Hanafi dan tafsiran sebagian ulama kontemporer, memperbolehkan pemberian zakat kepada non-Muslim dalam kondisi tertentu:

  • Mualaf yang Hatinya Perlu Ditenangkan
    → Dalam kategori mu'allafatu qulubuhum (orang yang hatinya perlu dilembutkan), beberapa ulama memperbolehkan zakat diberikan kepada non-Muslim jika dapat mendukung keharmonisan sosial atau menarik hati mereka kepada Islam.

  • Fakir dan Miskin Non-Muslim dalam Keadaan Darurat
    → Jika dalam suatu wilayah tidak ada Muslim yang membutuhkan dan ada non-Muslim yang sangat membutuhkan, maka sebagian ulama memperbolehkan zakat diberikan kepada mereka atas dasar kemanusiaan.

  • Dalam Bentuk Fasilitas Umum
    → Jika zakat digunakan untuk membangun fasilitas umum seperti rumah sakit, jalan, atau sumur yang bisa digunakan oleh semua orang (Muslim dan non-Muslim), maka ini termasuk bentuk zakat yang bisa bermanfaat bagi non-Muslim juga.

3. Alternatif: Sedekah dan Infaq

Jika ada non-Muslim yang membutuhkan, Islam lebih menganjurkan untuk membantu mereka melalui sedekah dan infaq, karena keduanya tidak memiliki batasan sebagaimana zakat wajib. Rasulullah ﷺ sendiri sering memberi bantuan kepada non-Muslim dalam bentuk hadiah atau sedekah.

Jadi, meskipun zakat umumnya diberikan kepada Muslim, dalam kondisi tertentu bisa diberikan kepada non-Muslim dengan niat kemanusiaan dan dakwah, terutama dalam bentuk infaq dan sedekah.

Ilmu (1)

 Nasihat Syekh Abdul Qodir Jaelani tentang Menuntut Ilmu

Dalam berbagai kitabnya, termasuk Al-Fath ar-Rabbani dan Jala’ al-Khawathir, Syekh Abdul Qodir Jaelani memberikan banyak nasihat tentang menuntut ilmu, di antaranya:

  1. Ilmu Harus Dibangun di Atas Takwa

    "Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan."
    → Menurut beliau, ilmu harus diamalkan dengan penuh ketakwaan. Ilmu yang hanya untuk kebanggaan atau sekadar wawasan duniawi bisa menjadi bumerang di akhirat.

  2. Ikhlas dalam Menuntut Ilmu

    "Jika engkau menuntut ilmu untuk dunia, ilmu itu akan menjadi hijab bagimu dari Allah. Tetapi jika engkau menuntut ilmu untuk Allah, ilmu itu akan mendekatkanmu kepada-Nya."
    → Ilmu harus dipelajari dengan niat karena Allah, bukan untuk mencari popularitas atau kekayaan.

  3. Ilmu Harus Dibarengi dengan Adab
    → Syekh Abdul Qodir menekankan bahwa seorang murid harus memiliki adab sebelum ilmu. Kesopanan kepada guru, menjaga hati dari kesombongan, dan selalu rendah hati adalah bagian dari jalan ilmu.

  4. Belajar dengan Kesabaran dan Ketekunan
    → Ilmu tidak bisa diperoleh dengan tergesa-gesa. Beliau sering mengingatkan bahwa seseorang harus bersabar dalam menuntut ilmu, seperti halnya seorang petani yang menunggu hasil panennya.


Nasihat Ibnu Atha'illah as-Sakandari tentang Menuntut Ilmu

Ibnu Atha'illah dalam Al-Hikam juga memiliki banyak petuah bijak tentang ilmu. Beberapa di antaranya:

  1. Ilmu yang Bermanfaat Adalah Ilmu yang Menyadarkan akan Kebutuhan kepada Allah

    "Ilmu yang tidak membuatmu takut kepada Allah dan semakin bergantung kepada-Nya adalah ilmu yang tidak bermanfaat."
    → Ilmu yang sejati bukan hanya sekadar informasi, tetapi yang membawa seseorang lebih dekat kepada Allah dan menyadarkan dirinya akan kelemahan sebagai hamba.

  2. Ilmu Harus Melahirkan Rasa Tawakal dan Zuhud

    "Ilmu yang sejati bukan sekadar mengetahui, tetapi juga mengamalkan dan merasa cukup dengan Allah."
    → Ilmu yang benar akan membimbing seseorang untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia, tetapi lebih kepada Allah.

  3. Ilmu Tanpa Amal Hanya Menjadi Beban di Akhirat

    "Ilmu yang tidak diamalkan adalah penghinaan bagi pemiliknya."
    → Seseorang yang memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya akan dimintai pertanggungjawaban yang lebih berat di akhirat.

  4. Hati yang Kotor Tidak Akan Menerima Cahaya Ilmu

    "Bagaimana mungkin cahaya ilmu masuk ke dalam hati yang masih dipenuhi dengan kecintaan kepada dunia?"
    → Sebelum mencari ilmu, seseorang harus membersihkan hatinya dari penyakit hati seperti sombong, riya, dan cinta dunia berlebihan.

Dari kedua ulama besar ini, kita bisa memahami bahwa menuntut ilmu bukan sekadar mencari pengetahuan, tetapi harus dilandasi dengan ketakwaan, niat yang lurus, serta diiringi dengan amal dan adab.

Zakat

 Syekh Abdul Qodir Jaelani dan Ibnu Atha'illah as-Sakandari adalah dua ulama besar yang memiliki banyak nasihat tentang zakat, baik dalam aspek hukum maupun hakikat spiritualnya.

1. Syekh Abdul Qodir Jaelani tentang Zakat

Dalam kitab Al-Fath ar-Rabbani, Syekh Abdul Qodir Jaelani menekankan bahwa zakat bukan hanya kewajiban lahiriah, tetapi juga bentuk penyucian jiwa dan harta. Beberapa nasihat beliau terkait zakat:

  • Zakat adalah pembersih harta dan jiwa: Beliau menjelaskan bahwa harta yang tidak dikeluarkan zakatnya bisa menjadi sebab kehancuran dan kesusahan di dunia dan akhirat.
  • Keikhlasan dalam berzakat: Jangan berzakat hanya karena kewajiban semata, tetapi niatkan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan kepedulian terhadap sesama.
  • Jangan menunggu kaya untuk bersedekah dan berzakat: Menurutnya, banyak orang menunda zakat dan sedekah dengan alasan belum cukup harta, padahal harta yang ada harus disucikan dengan zakat.
  • Zakat bukan hanya harta, tapi juga tenaga dan ilmu: Beliau mengajarkan bahwa zakat bisa berupa bantuan dalam bentuk ilmu dan tenaga bagi mereka yang membutuhkan.

2. Ibnu Atha'illah as-Sakandari tentang Zakat

Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu Atha'illah as-Sakandari memberikan pandangan mendalam tentang makna zakat:

  • "Jangan menganggap bahwa yang memberi zakat itu lebih tinggi daripada yang menerima."
    → Beliau menekankan bahwa zakat bukan hanya kewajiban, tetapi juga ujian bagi yang mampu, karena harta sejatinya adalah titipan Allah.
  • "Apa yang kau keluarkan karena Allah tidak akan berkurang, tetapi justru bertambah."
    → Ini selaras dengan janji Allah bahwa zakat dan sedekah tidak akan mengurangi harta, tetapi justru akan memberkahi hidup seseorang.
  • "Ketika engkau memberi, ingatlah bahwa yang sejatinya memberi adalah Allah."
    → Ibnu Atha'illah mengajarkan agar seseorang tidak sombong ketika berzakat atau bersedekah, karena sejatinya itu adalah pemberian Allah melalui dirinya.

Dari kedua ulama ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa zakat bukan hanya kewajiban syariat, tetapi juga sarana mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan hati dari cinta dunia, dan membangun kepedulian sosial.

Guru

 Benar, manusia sejak lahir sering kali terpesona oleh dunia dan lupa akan hakikat penciptaannya. Dunia dengan segala keindahannya bisa menjadi penghalang dari mengenal Allah, kecuali bagi mereka yang diberikan hidayah untuk kembali kepada-Nya.


Pentingnya Mursyid dalam Perjalanan Ruhani


Dalam perjalanan menuju Allah, seorang murid membutuhkan bimbingan dari seorang mursyid (guru spiritual) yang telah lebih dahulu mencapai ma'rifatullah. Hal ini sesuai dengan ajaran tasawuf yang menekankan pentingnya talqin (pengajaran) dari guru yang bersambung sanadnya kepada Rasulullah ﷺ.


Sebagaimana disebutkan oleh para ulama:


Imam Al-Ghazali berkata:

"Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah setan."

Ini menunjukkan bahwa tanpa bimbingan seorang yang arif, seseorang bisa tersesat dalam perjalanan spiritualnya.


Syekh Abdul Qodir Jaelani berkata:

"Jadilah seperti mayit di tangan orang yang memandikan. Tundukkan dirimu di hadapan guru yang benar agar ia membimbingmu menuju Allah."


Ibnu Atha’illah As-Sakandari dalam Al-Hikam berkata:

"Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan seseorang yang keadaannya akan membangkitkanmu kepada Allah dan ucapannya akan menunjukkanmu kepada Allah."



Tanda-Tanda Seorang Mursyid Sejati


Dalam mencari mursyid, kita harus berhati-hati agar tidak tertipu oleh orang yang hanya mengaku sebagai guru tetapi tidak memiliki bimbingan yang hakiki. Berikut ciri-ciri mursyid yang sejati:


1. Sanad keilmuan yang jelas – Ia memiliki hubungan keilmuan yang bersambung kepada Rasulullah ﷺ melalui para ulama dan wali Allah.



2. Memiliki ilmu yang luas – Tidak hanya dalam ilmu syariat tetapi juga dalam ilmu hakikat dan makrifat.



3. Akhlaqnya mencerminkan sunnah Rasulullah ﷺ – Ia zuhud, tidak mengejar dunia, dan selalu mengajak kepada taat kepada Allah.



4. Mampu membimbing muridnya menuju Allah – Bukan sekadar memberikan nasihat, tetapi juga memberikan latihan ruhani yang membawa perubahan dalam diri murid.



5. Tidak mencari kepentingan duniawi dari muridnya – Ia tidak meminta kekayaan, penghormatan, atau ketundukan buta dari muridnya, tetapi hanya menginginkan mereka semakin dekat kepada Allah.




Menemukan Mursyid dan Memulai Perjalanan Ruhani


Jika kita ingin kembali mengenal Allah, kita harus mencari majelis ilmu yang benar, bergaul dengan orang-orang saleh, dan berdoa agar Allah mempertemukan kita dengan guru yang sejati. Karena sejatinya, mursyid bukan hanya seorang guru, tetapi juga seorang pembimbing yang mengantarkan ruhani kita kembali kepada Allah dengan selamat.


Sebagaimana doa para pencari jalan Allah:

اللهم دلني عليك، اللهم عرفني بك

"Ya Allah, tunjukkan aku kepada-Mu, Ya Allah, perkenalkan aku kepada-Mu."