Tuesday, May 20, 2025

Al Maidah ayat 69-71

Petunjuk untuk Semua Umat: Tafsir dan Nasihat dari Surat Al-Ma’idah Ayat 69–71


---


Bagian 1: Teks dan Terjemahan


Surat Al-Ma’idah Ayat 69

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلصَّـٰبِـِٔينَ وَٱلنَّصَـٰرَىٰ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ وَعَمِلَ صَـٰلِحًۭا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ


Artinya:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabi’in, dan Nasrani; siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan beramal shalih, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.


---


Ayat 70

لَقَدْ أَخَذْنَا مِيثَـٰقَ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ وَأَرْسَلْنَآ إِلَيْهِمْ رُسُلًۭا ۖ كُلَّمَا جَآءَهُمْ رَسُولٌۢ بِمَا لَا تَهْوَىٰٓ أَنفُسُهُمْ فَرِيقًۭا كَذَّبُوا۟ وَفَرِيقًۭا يَقْتُلُونَ


Artinya:

Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan Kami telah mengutus rasul-rasul kepada mereka. Setiap kali datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, (sebagian) mereka mendustakan dan (sebagian lainnya) membunuhnya.


---


Ayat 71

وَحَسِبُوٓا۟ أَلَّا تَكُونَ فِتْنَةٌۭ فَعَمُوا۟ وَصَمُّوا۟ ثُمَّ تَابَ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ عَمُوا۟ وَصَمُّوا۟ كَثِيرٌۭ مِّنْهُمْ ۚ وَٱللَّهُ بَصِيرٌۢ بِمَا يَعْمَلُونَ


Artinya:

Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi bencana, maka mereka menjadi buta dan tuli (terhadap kebenaran), kemudian Allah menerima tobat mereka, lalu kebanyakan dari mereka kembali menjadi buta dan tuli; dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.


---


Bagian 2: Sebab Turunnya Ayat (Asbabun Nuzul)


Menurut beberapa riwayat tafsir, ayat 69 turun sebagai penguatan bahwa keselamatan di sisi Allah tidak hanya bagi umat Islam saja, tetapi juga berlaku bagi umat terdahulu (Yahudi, Nasrani, Shabi’in) selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan melakukan amal shalih sesuai masa kerasulan mereka. Ayat ini sekaligus menegur mereka yang menyimpang setelah datangnya Rasul terakhir (Muhammad SAW).


Ayat 70–71 adalah lanjutan teguran kepada Bani Israil atas pengkhianatan mereka terhadap nabi-nabi, bahkan sampai membunuhnya.


---


Bagian 3: Hikmah dan Pelajaran


1. Kebenaran itu universal dan lintas zaman: Siapa saja yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh, akan selamat—tak peduli suku atau bangsanya.


2. Umat terdahulu banyak ingkar: Bani Israil diberi banyak nabi, tapi malah membunuh sebagian dari mereka karena tak sesuai hawa nafsu.


3. Peringatan terhadap sifat keras hati: “Buta dan tuli” dalam ayat 71 adalah kiasan untuk sikap keras kepala terhadap kebenaran.


4. Rahmat Allah luas: Allah menerima tobat mereka, tapi banyak yang kembali menyimpang—menunjukkan bahwa petunjuk butuh usaha terus-menerus.


---


Bagian 4: Hadis yang Berkaitan


1. Hadis tentang umat yang selamat:


> "Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang selamat."

Ketika ditanya siapa yang selamat itu, Rasul menjawab:

"Yang mengikuti aku dan para sahabatku."

(HR. Tirmidzi)

2. Hadis tentang pentingnya amal shalih:


> "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian."

(HR. Muslim)


---


Bagian 5: Nasehat Syekh Abdul Qadir al-Jailani


> “Kebenaran tidak mengikuti hawa nafsu. Maka buanglah kehendakmu, dan gantilah dengan kehendak Tuhanmu, agar engkau termasuk orang yang selamat.”

(Al-Fath ar-Rabbani)



> “Bersihkan hatimu dari keinginan dunia, sebab banyak umat sebelum kamu binasa karena mereka mengutamakan dunia daripada kebenaran yang dibawa para nabi.”


---


Bagian 6: Nasehat Ibnu 'Athaillah as-Sakandari


> “Jangan merasa aman dari makar Allah hanya karena kamu merasa sedang baik. Lihatlah bagaimana umat-umat sebelum kamu: mereka diberi kitab, diberi nabi, tapi tetap disesatkan karena hati mereka condong pada nafsu.”

(Al-Hikam)



> “Kebenaran tidak berubah karena zaman atau pendapat manusia. Hati yang bersih akan condong kepada cahaya-Nya meski tersembunyi. Dan hati yang kotor akan menolak kebenaran meski jelas seperti matahari.”



---

Penutup Sementara

Ayat 69–71 dari surat Al-Ma’idah mengajarkan prinsip keselamatan berbasis iman dan amal, memperingatkan bahaya keras hati, dan membuka ruang bagi siapa saja untuk bertobat dan kembali kepada cahaya petunjuk.


---




Cahaya Petunjuk dari Sabda Nabi

 Berikut ini adalah draft awal buku berdasarkan hadis-hadis yang Anda sebutkan. Buku ini disusun dengan struktur:

1. Teks Hadis

2. Tafsir dan Penjelasan

3. Hikmah dan Pelajaran

4. Relevansi di Indonesia Saat Ini

5. Nasihat dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani

6. Nasihat dari Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari.


JUDUL: "Cahaya Petunjuk dari Sabda Nabi"

Hadis 120

Teks Hadis:

“Apabila anak Adam membaca ayat As-Sajdah, lalu ia sujud, syaitan menangis. Ia berkata: Aduh celaka! Anak Adam disuruh sujud, lalu ia sujud, maka baginya surga. Sedangkan aku disuruh sujud, tetapi aku menentang, maka bagiku neraka.”

(HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Tafsir dan Penjelasan:

Ayat As-Sajdah dalam Al-Qur’an memuat perintah untuk sujud sebagai bentuk ketundukan pada Allah. Setiap kali manusia patuh dan sujud, syaitan merasa hina karena ia dahulu enggan sujud pada perintah Allah terhadap Adam.

Hikmah:

Ketaatan membawa kemuliaan. Sujud bukan hanya gerakan, tetapi bentuk kerendahan hati. Di sanalah letak perbedaan besar antara insan yang tunduk dan makhluk sombong.

Relevansi di Indonesia Saat Ini:

Banyak orang terburu-buru dalam membaca Al-Qur’an tanpa merenungi makna dan meninggalkan adab sujud tilawah. Menghidupkan kembali sujud tilawah akan memperkuat keimanan masyarakat.

Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani:

“Jadilah engkau hamba yang merasa hina saat sujud, karena di situlah engkau berada paling dekat dengan Tuhanmu.”

Nasihat Ibnu 'Athaillah as-Sakandari:

“Bukan tubuhmu yang agung karena sujud, tetapi hatimu yang tunduk karena mengenal siapa dirimu di hadapan-Nya.”

---

Berikut kelanjutan buku “Cahaya Petunjuk dari Sabda Nabi” yang memuat tafsir, hikmah, relevansi, dan nasihat-nasihat ulama:

---

Hadis 121

Teks Hadis:

“Apabila shalat didirikan, janganlah kamu mendatanginya sambil berlari, datangilah shalat dengan berjalan dan hendaklah kamu bersikap tenang. Bagian mana yang kamu dapati dari shalat itu, maka kerjakanlah. Dan bagian mana yang tertinggal, maka sempurnakanlah.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Tafsir dan Penjelasan:

Hadis ini mengajarkan adab menuju shalat berjamaah. Islam memerintahkan ketenangan dan kehormatan dalam mendekati ibadah. Shalat bukan perlombaan, tetapi perjumpaan suci dengan Allah.

Hikmah:

Allah menyukai ketenangan. Berlari menunjukkan tergesa-gesa, yang bertentangan dengan sifat khusyuk. Ketika datang dengan tenang, hati pun bersiap untuk menghadap-Nya.

Relevansi di Indonesia Saat Ini:

Banyak umat Islam masih merasa canggung datang ke masjid saat shalat sudah dimulai. Padahal, Allah tetap menerima amal selama dilakukan dengan adab. Ini penting untuk ditekankan dalam pendidikan anak-anak dan remaja.

Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani:

“Jangan tergesa menuju rumah Allah, karena Dia tidak memanggilmu agar kamu berlari, tetapi agar hatimu tenang menghadap-Nya.”

Nasihat Ibnu 'Athaillah as-Sakandari:

“Siapa yang bersungguh-sungguh mendatangi Allah dengan hati tenang, maka ia akan sampai pada-Nya dengan selamat.”

---

Hadis 122

Teks Hadis:

“Apabila shalat didirikan, maka bertakbirlah, kemudian bacalah Al-Qur’an yang mudah bagimu, kemudian rukuklah hingga kamu rukuk dengan tenang, kemudian bangkitlah hingga engkau berdiri tegak, kemudian sujudlah hingga engkau sujud dengan tenang, kemudian bangkitlah hingga engkau duduk dengan tenang, kemudian sujudlah hingga engkau sujud dengan tenang, kemudian lakukanlah itu dalam shalatmu seluruhnya.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Tafsir dan Penjelasan:

Rasulullah menjelaskan rukun-rukun shalat dengan penekanan pada tuma’ninah (ketenangan dalam setiap gerakan). Ini adalah syarat sah shalat yang sering dilalaikan.

Hikmah:

Shalat bukan sekadar bacaan dan gerakan, melainkan penyucian jiwa. Tanpa ketenangan, shalat kehilangan ruhnya.

Relevansi di Indonesia Saat Ini:

Fenomena "shalat kilat" banyak terjadi, terutama di tempat umum. Penting adanya edukasi ulang dari masjid-masjid dan sekolah agar umat memahami esensi ketenangan dalam ibadah.

Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani:

“Berhentilah pada setiap gerakan shalat seperti engkau berdiri di hadapan raja yang melihat isi hatimu.”

Nasihat Ibnu 'Athaillah as-Sakandari:

“Bila engkau mendirikan shalat, maka jangan biarkan hatimu berdiri di pintu dunia.”

---

Hadis 123

Teks Hadis:

“Apabila dihidangkan kepada seseorang dari kamu makanannya dan pada kedua kakinya ada sepasang sandalnya, maka hendaklah ia melepas kedua sandalnya, karena hal itu lebih nyaman bagi kedua telapak kaki dan itu termasuk sunnah.”

(HR. Abu Ya’la dari Anas)

Tafsir dan Penjelasan:

Hadis ini menyinggung aspek adab dan kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk saat makan. Melepas sandal bukan hanya kebersihan, tapi juga kenyamanan dan sunnah.

Hikmah:

Islam mengajarkan kesempurnaan adab, bahkan dalam hal-hal yang tampak sepele. Sunnah bukan sekadar ibadah formal, tetapi gaya hidup.

Relevansi di Indonesia Saat Ini:

Di banyak budaya lokal, makan dengan alas kaki dianggap tidak sopan. Ini sejalan dengan nilai Islam. Menanamkan sunnah dalam keseharian membuat agama tampak akrab dan manusiawi.

Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani:

“Kesempurnaanmu tidak terletak pada ilmu yang kau simpan, tapi pada sunnah yang kau lestarikan.”

Nasihat Ibnu 'Athaillah as-Sakandari:

“Yang kecil dari sunnah lebih baik daripada besar dari nafsu.”

---

Hadis 124

Teks Hadis:

“Apabila dosa-dosa hamba menjadi banyak dan ia tidak mempunyai amal yang bisa menghapusnya, maka Allah mengujinya dengan kesedihan untuk menghapus dosa-dosa itu darinya.”

(HR. Ahmad dari Aisyah)

Tafsir dan Penjelasan:

Kesedihan yang menimpa seorang mukmin bisa menjadi kafarah (penebus) dosa-dosanya. Hadis ini menunjukkan bahwa musibah bukan selalu hukuman, bisa jadi tanda cinta Allah.

Hikmah:

Dalam setiap kesedihan, ada pengampunan. Jangan pandang ujian sebagai keburukan, tetapi sebagai jalan menuju pembersihan diri.

Relevansi di Indonesia Saat Ini:

Di tengah banyaknya krisis ekonomi, bencana, dan tekanan sosial, umat Islam perlu disadarkan bahwa kesedihan bisa menjadi cara Allah membersihkan mereka, asal dihadapi dengan sabar dan tawakal.

Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani:

“Ujian yang mendekatkanmu kepada Allah lebih mulia daripada nikmat yang menjauhkanmu dari-Nya.”

Nasihat Ibnu 'Athaillah as-Sakandari:

“Kesedihan adalah air wudhu bagi hati yang kotor.”

---

Hadis 125

Teks Hadis:

“Pada akhir zaman, yang menjadi penegak agama umat manusia dan dunia mereka adalah dirham dan dinar.”

(HR. Thabarani)

Tafsir dan Penjelasan:

Hadis ini menunjukkan betapa uang akan menjadi pusat kehidupan umat manusia di akhir zaman. Bahkan agama dijadikan alat mencari harta.

Hikmah:

Waspadalah terhadap kecintaan berlebih pada harta, karena ia bisa mengaburkan niat ibadah. Uang adalah alat, bukan tujuan.

Relevansi di Indonesia Saat Ini:

Fenomena komersialisasi dakwah, ibadah yang dipaketkan, dan orientasi dunia dalam kegiatan keagamaan sering terlihat. Umat perlu diingatkan untuk menjaga niat dan mengutamakan akhirat.

Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani:

“Jangan kau jadikan dunia di tanganmu lebih dari kadar keperluanmu, dan jangan kau letakkan akhirat di belakangmu.”

Nasihat Ibnu 'Athaillah as-Sakandari:

“Yang membuatmu hina bukan sedikitnya harta, tapi banyaknya harapan pada dunia.”

---

PENUTUP: Semoga hadis-hadis ini menjadi lentera dalam hidup kita, menyinari jiwa dengan adab, ketenangan, dan hikmah. Semoga kita dapat menghidupkan kembali sunnah Nabi dengan cinta dan keikhlasan, serta meneladani nasihat para wali Allah sebagai bekal menuju akhirat.

---