Monday, December 13, 2010

8 Prinsip Diet untuk Penyandang Autisme

8 Prinsip Diet untuk Penyandang Autisme

Email Cetak PDF

Tentang pola diet untuk pennyandang autisme, setidaknya ada delapan prinsip diet, yaitu:

8 Prinsip Diet untuk Penderita Autisme

1. Diet bebas gluten dan kasein

2. Diet bebas gula

3. Diet bebas jamur/fermentasi

4. Diet bebas zat adiktif

5. Diet bebas fenol dan salisilat

6. Diet rotasi dan eliminasi

7. Pengaturan cara memasak dan penyediaan makanan

8. Pemberian suplemen makanan

Mari kita bahas satu per satu.

Diet bebas gluten dan kasein minimal tiga bulan; yaitu dengan menghindari produk makanan yang mengandung gluten (biskuit, mie, roti, makanan yang mengandung terigu), produk makanan-minuman yang mengandung susu sapi (keju, mozzarella, butter, permen susu, dsb).

Diet bebas gula minimal 2 minggu dan probiotik. Hindari: gula pasir, sirup, soft drink, fruit juice kemasan, aspartam. Untuk pengganti gula, pakailah gula stevia dan xylitol secara bergantian, atau gula jagung (sorbitol). Gula palem (aren) nartural boleh ditambahkan sedikit untuk membuat kue sebatas aroma.

Diet bebas jamur/fermentasi, dengan menghindari: kecap tauco, keju, kue yang dibuat dengan vermipan/baking soda, termasuk makanan yang lama disimpan, buah-buahan yang dikeringkan (kismis, kurma).

Diet bebas zat adiktif, dengan menghindari semua pewarna, penambah rasa, pengawet, pengemulsi, penyedap rasa (MSG), kaldu kemasan, termasuk menghindari produk olahan (sosis, kormet, chicken nugget, dsb). Boleh memakai zat pewarna alami, seperti daun pandan/suji untuk warna hijau, kunyit untuk warna kuning, dan beet untuk warna merah.

Diet bebas fenol dan salisilat. Fenol terkandung di dalam buah berwarna cerah seperti: anggur, apel, cherry, prunes, plum, almond, dsb. Salisilat terkandung di dalam jeruk dan tomat. Adapun pepaya, mangga, beet, wortel aman dikonsumsi.

Diet rotasi dan eliminasi. Diet ini diberikan setelah memperoleh hasil tes sensitivitas makanan IgG (comprehensive food panel). Untuk makanan yang titer IgG-nya tinggi tidak boleh diberikan sama sekali (eliminasi). Sedangkan makanan yang titer IgG-nya rendah boleh diberikan dengan selang waktu 4 hari (rotasi).

Pengaturan cara memasak dan penyediaan makanan, misalnya:

1. Minum air minimal 8 gelas sehari dari air mineral kemasan atau air yang telah disaring (water purifying system).

2. Menu makanan banyak buah dan sayuran segar setiap hari, misalnya: pepaya, kiwi, nanas. Diberikan bergantian dan sesuai selera anak.

3. Sediakan makanan tinggi protein saat sarapan pagi.

4. Sebaiknya semua makanan dipersiapkan dari rumah, sebagai bekal di sekolah.

5. Pilih peralatan memasak yang terbuat BUKAN dari logam berat.

6. Gantilah peralatan yang terbuat dari alumunium dan teflon dengan alat yang terbuat dari STAINLESS STEEL atau KACA (PYREX).

7. Pisahkanlah semua peralatan ini agar tidak terkontaminasi/tercemari.

Pemberian suplemen makanan

Diberikan sesuai gejala klinis, hasil pemeriksaan laboratorium, dan kebutuhan harian anak sesuai dengan usia dan berat badan.Misalnya:

1. Kalsium (1000 mg/hari dosis terbagi).

2. Magnesium glisinat (200-300 mg/hari).

3. Zinc pikolinat dan alfa ketoglutarat (20-50 mg/hari).

4. Selenium (50-100 mg/hari).

5. Vitamin A natural dalam bentuk Cod Liver Oil (dosis sekitar 2500 IU/hari).

6. Vitamin B6 dengan P5P sekitar 50 mg/hari.

7. Vitamin C (dalam bentuk Ester C 500 mg/hari dalam dosis terbagi).

8. Vitamin E (100-200 IU/hari) sebagai antioksidan.

9. Asam Lemak Esensial, diberikan dalam bentuk EPA (Eicosapentoic Acid) 750 mg/hari, DHA (Docosahexanoic Acid) 250-500 mg/hari, dan GLA (Gamma Linoleic Acid) 50-100 mg/hari dalam EPO (Evening Primrose Oil) 1000-1500 mg/hari.

10. Asam amino dalam bentuk amino acid complex 1 kapsul/hari.

11. Kolustrum dalam bentuk liquid 1/2 sendok teh 2x sehari (2,5 gram).

12. Enzim, misalnya: Enzyme-Complete with DPP-IV, 3x sehari, diberikan pada awal makan.

13. Probiotik, diberi preparat yang mengandung 6 jenis mikroorganisme dalam satu kapsul, dosis 1-2 kapsul/hari.

14. Methylulfonylmethane (MSM), diberikan bila pada anak terdapat lingkaran hitam di sekitar atau di bawah mata.

15. Ubiquinone (30 mg 1-2 kapsul/hari).

16. Yeast Control, bila perlu dapat diberikan: oregano, golden seal, dsb.

17. Biotin (300 mg/hari).

18. Taurin, diberikan bila buang air besar (anak penderita autisme) berwarna pucat seperti dempul, sejumlah 1-3 kapsul/hari.

19. Reduced L-Glutathione, 1 kapsul/hari, untuk mencegah kerusakan sel, sebagai antioksidan, dan kelasi alami logam berat.

Setelah pemberian diet di atas, sebaiknya dievaluasi dengan cara mengidentifikasi setiap gejala yang timbul, lalu dibuat perbandingan sebelum dan sesudah melakukan diet.

Bentuk Anak Autis Berpikir Mandiri

Bentuk Anak Autis Berpikir Mandiri

Email Cetak PDF

MEMBESARKAN anak autis memang butuh kesabaran yang tinggi. Selain itu, orangtua juga harus menerapkan metode yang tepat untuk membuat mereka menjadi pribadi yang mandiri. Intinya adalah diagnosa akurat, pendidikan tepat, dan dukungan kuat.


Selama ini begitu banyak stigma negatif tentang autis beredar di masyarakat. Ada yang bilang autis disebabkan santet, autis hanya diderita oleh orang kaya, autis itu sama dengan gila, dan autis itu menular. Stigma tersebut muncul karena pemahaman masyarakat tentang autis ini masih sangat minim.


”Sebenarnya kita tidak juga harus menyalahkan masyarakat luas,” tandas seorang ibu dari anak autis sekaligus pendiri Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) Gayatri Pamoedji SE MHc. Malah, Gayatri mengatakan bahwa tidak sedikit juga orang yang mengatakan autis itu adalah penyakit. Padahal yang benar ialah, anak autis adalah anak yang mengalami gangguan dalam perkembangannya.

”Autis bukan penyakit, autis itu kondisi,” tuturnya dalam acara temu media bertema ”Menciptakan Masa Depan Mandiri bagi Anak Penyandang Autis” yang diadakan oleh MPATI, belum lama ini. Disarankan oleh Gayatri, segera tangani anak autis dengan benar, pastikan bahwa mereka mendapatkan pengasuhan yang tepat. Untuk menangani anak autis, inti dari penanganan itu ialah diagnosa, pendidikan, dan dukungan.

Dalam hal diagnosa, dibutuhkan diagnosa yang tepat dan akurat oleh dokter ahli. Di mana yang bisa dijadikan patokan bahwa seorang anak mengalami autis, bisa dilihat dari tujuh ciri anak autis, dan jika anak mengalami dua atau lebih dari ciri tersebut, maka bisa dikatakan anak tersebut alami autis.

”Lakukan sedini mungkin karena gejala autisme biasanya terlihat sebelum anak mencapai usia tiga tahun,” tutur wanita yang juga pendiri Sekolah Pantara untuk pelatihan para guru dan membuat kurikulum sekolah untuk anak-anak dengan AD/HD.

Selain itu, pendidikan tepat juga harus diberikan untuk membentuk anak autis menjadi mandiri. Gayatri menuturkan, jika anak autis diberikan pendidikan yang tepat, maka mereka mampu mandiri, dapat mengerti dan mengikuti perintah, mampu untuk duduk mendengarkan, serta patuh menunggu giliran.

”Dan itu semua merupakan kemampuan dasar yang sebaiknya dikuasai anak autis sebelum masuk sekolah,” ujar wanita yang mengambil gelar sarjana ekonomi di Universitas Indonesia ini.

Gayatri menyarankan, apabila ingin memasukkan anak ke sekolah, maka lakukan penanganan dini jauh sebelum anak ini pergi sekolah dan sebelum masuk pada usia sekolah. Ajarkan hal-hal kecil terlebih dahulu, seperti buang air sendiri, makan dan minum sendiri, hingga mampu memasang kancing baju sendiri.

“Ini sangat membantu gurunya kelak sehingga guru pun tidak kewalahan pada saat mereka masuk sekolah, di usia yang seharusnya mereka ada di sekolah,” ujar wanita lulusan Master of Health Conseling, Curtin University of Technology, Perth, Australia Barat ini.

Dan yang terakhir adalah dukungan yang kuat. Tidak hanya dari orangtua atau keluarga, melainkan dari lingkungan sekitarnya termasuk dukungan media.
Dalam bukunya yang bertajuk 200 Pertanyaan & Jawaban Seputar Autisme, Gayatri menuliskan bahwa dalam merawat anak autis, orangtua sebaiknya saling berbagi tugas.

Pembagian tugas ini bisa dijalankan sesuai dengan kelebihan dari masing-masing karakter ibu atau ayah serta waktu yang mereka miliki. Semisal jika ayah pandai matematika, maka tugas mendampingi anak membuat pekerjaan rumah matematika dilakukan sang ayah.

Sama halnya dengan ibu, jika ibu lebih mahir dalam hal berkomunikasi, ibulah yang menjadi manajer dan juru bicara (jubir) anak untuk urusan sekolah. Idealnya, dilakukan komunikasi yang jujur dan terbuka. Atau ibu juga bisa membantu agar ayah lebih percaya diri dan mau lebih dekat dengan anak, misal dengan melakukan tugas menyenangkan, seperti bermain video gamebersama.

Di saat ayah bermain dengan anak, ibu bisa menggunakan waktu senggang untuk beristirahat. Buatlah daftar dari pekerjaan atau tugas yang diperlukan untuk mendidik anak. ”Dengan penanganan terpadu, anak penyandang autis punya masa depan. Harapan selalu ada, pasti ada kemajuan jika orangtua mau terlibat,” pesannya.

Sementara psikolog dari Universitas Indonesia, Dra Dyah Puspita MSi menyatakan bahwa pola asuh dalam merawat anak autis sama saja dengan anak biasa.

“Namun, ada beberapa aturan yang harus dipatuhi serta ada konsekuensi untuk perilaku baik atau buruk,” ucap psikolog yang juga sebagai penanggung jawab pendidikan di Sekolah Khusus Autisma Mandiga. Dengan penuh semangat, percaya diri, serta kesabaran tinggi, maka yakinlah jika membesarkan anak autis menjadi pribadi yang mandiri bukanlah suatu impian belaka.
(Koran SI/Koran SI/tty)

Mutasi Protein Berkaitan Dengan Autis

.Kalbe.co.id - Para ahli telah menemukan bagaimana mutasi dalam 2 protein kunci mengarah pada autis.
Mereka telah menunjukkan satu protein yang meningkatkan kamampuan rangsangan sel-sel saraf, sedangkan yang lain menghambat aktivitas sel saraf. Tim dari Universitas Texas menemukan bahwa dalam keadaan normal, protein-protein tersebut dalam keseimbangan. Studi yang dipublikasi dalam jurnal Neuron mengemukakan bahwa keseimbangan antara protein ini rusak pada orang dengan autis.

Temuan ini bertolak belakang dengan teori bahwa autis melibatkan ketidakseimbangan antara hubungan perangsangan dan penghambatan antar sel saraf. Protein yang secara fisik menghubungkan sel-sel saraf bersama, ditemukan oleh tim dari UniversitasSouthwestern Medical Center lebih dari satu decade lalu. Namun demikian, sampai studi terakhir, fungsi tepatnya tidak jelas.

Pimpinan penelitian Dr. Ege Kavalili mengatakan, “Mutasi dalam protein-protein ini berkaitan dengan variasi tertentu dari autis. Kerja ini menghasilkan pandangan jelas tentang bagaimana protein bekerja. Kita tidak pernah dapat merancang strategi terapi tanpa mengetahui apa yang mutasi lakukan.”

Jembatan antar sel

Protein neuroligin-1 dan neuroligin-2 membuat jembatan fisik pada sambungan sel-sel saraf (sinaps), yang membuat sel-sel saraf berhubungan satu sama lain. Dalam studi pada tikus, para peneliti menunjukkan peningkatan kadar kedua protein dalam sel-sel saraf yang mengarah pada pembentukkan sinaps tambahan. Neuroligin-1 berkaitan dengan koneksi rangsangan dan neuroligin-2 dengan koneksi penghambatan.

Ketika dipaparkan denganbentuk mutasi neuroligin-1 yang diperkirakan terdapat pada beberapa orang autis, sejumlah sinaps berkurang secara dramatis dan sel-sel menjadi kurang dapat dirangsang secara bermakna. Bayi dilahirkan dengan jumlah sinaps lebih banyak dari yang bertahan pada orang dewasa. Sinaps aktif berkembang selama masa pengembangan, tapi sinaps tidak aktif disisihkan.

Penelitian terakhir mengemukakan bahwa kandungan mutan pada neuroligin-1 dapat menekan sejumlah sinaps sampai masa dewasa. Hal ini dapat menghambat kemampuan sel-sel saraf melakukan koneksi biasa dan mengarah pada kekurangan yang terlihat pada orang dengan autis. Dampaknya pada cara seseorang berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.

Masalah komunikasi

Orang-orang autis tidak dapat berhubungan dengan orang lain dalam cara yang dipahami. Mereka juga memiliki masalah besar dalam memahami dunia. Sebagai hasilnya, kemampuan mengembangkan persahabatan menjadi kurang. Mereka juga memiliki kemampuan terbatas untuk memahami perasaan orang lain. Autis sering dikaitkan dengan ketidakmampuan belajar.

Profesor Simon Baron-Cohen, Direktur Pusat Penelitian Autis dari Universitas Cambrigde mengatakan bahwa penelitian peran protein neuroligin dalam autis sangat penting. Menurutnya, “Kita perlu tahu lebih banyak kedua gen yang mengkode neuroligin dan protein neuroligin-nya juga untuk menentukan apakah mereka memainkan peran khusus dalam menyebabkan kondisi spektrum autis dan dalam sub kelompok mana. Pemahaman bagaimana otak seorang autis berbeda dengan otak normal akan berdampak bermakna dalam pendidikan dan pengobatan.”

Nao-Paro, Robot Penyembuh Alzheimer dan Autis

.Andrian Fauzi - detikinet
Robot Nao-Paro Valencia, Spanyol - Campus Party adalah acara teknologi tahunan di sejumlah region di Spanyol yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar di dunia. Dan tahun ini, sejumlah robot 'penyembuh' beraksi dan menarik minat pengunjung yang datang.

Salah satu dari robot-robot unit itu adalah Nao. Dengan tinggi 58 cm dan tubuh berbalut plastik, dengan lihainya ia bisa menari mengikuti irama hit Billie Jean milik Michael Jackson.

Namun, ini hanya salah satu keahliannya. Ternyata di luar itu, ia bisa membantu para penyandang Alzheimer. Hal ini dilakukan Nao dengan cara pelatihan ingatan yang memicu atau menstimulasi para penderita untuk kembali ke ingatan normal mereka.

Nao akan dijual dengan kisaran harga US$ 4.200 hingga US$ 4.900. Selain Nao, ada juga Paro. Dikutip detikINET dari AFP, Senin (3/8/2009), robot dari Jepang yang berbentuk seperti anak anjing laut ini diciptakan untuk membantu orang-orang yang mengalami masalah kognitif, seperti Autis atau Dementia.

Untuk penderita dementia, Paro bekerja dengan cara menenangkan dan mengubah mood mereka yang kehilangan ingatan, mengalami gangguan kejiwaan atau semacam halusinasi dan perubahan kepribadian.

Nah, sedangkan bagi penyandang Autis, Paro bisa membantu mereka belajar untuk bisa berinteraksi dengan lebih baik terhadap lingkungannya. Sayang, hingga saat ini Paro hanya bisa didapatkan di Jepang dan beberapa negara Eropa saja.

Selain Paro dan Nao, masih ada sederet penemuan teknologi dan robot-robot lain yang berlomba menunjukkan aksi mereka di acara yang berdiri pertama kali di Spanyol pada tahun 1997. Pihak penyelenggara berharap, akan ada 6.000 pengunjung yang datang di tahun ini.
( afz / ash )

Robot Berkulit Bantu Anak Autis Berinteraksi

.Fransiska Ari Wahyu - detikinet
robot Jakarta - Anak autis seringkali bermasalah dalam melakukan interaksi sosial. Sebuah robot dengan kulit buatan dikembangkan untuk membantu anak-anak penyandang autis dalam berinteraksi sosial. Para peneliti di University of Hertfordshire’s School of Computer Science yang diketuai Professor Kerstin Dautenhahn mengerjakan sebuah proyek untuk mengembangkan robot berkulit dan dilengkapi sensor peraba. Robot humanoid seukuran anak kecil ini dinamakan Kasper. Dikutip detikINET dari Sciencedaily, Senin (4/5/2009), teknologi sensor akan memberikan feedback sentuhan dari berbagai bagian tubuh robot. Kulit robot yang berpadu dengan sensor peraba akan mendeteksi berbagai jenis sentuhan. "Anak-anak autis seringkali bermasalah dengan sentuhan. Ide untuk melapisi robot dengan kulit buatan akan membantu pengembangan komunikasi dan interaksi sosial. Sensor peraba akan memungkinkan robot mendeteksi berbagai tipe sentuhan, dan menanggapinya dengan cara-cara yang berbeda," ujar Professor Kerstin Dautenhahn. Para peneliti berharap, robot ini akan dapat menanggapi berbagai macam gaya permainan anak-anak saat bermain dengannya, sehingga dapat membantu anak-anak mengembangkan interaksi sosial yang sewajarnya (tidak terlalu agresif) saat berhadapan dengan orang-orang. ( faw / faw )

Awas, Lantai Berbahan PVC Tingkatkan Risiko Autis

.Amelia Ayu Kinanti - detikhot
Autis Child Jakarta Perhatian bagi Anda para orang tua. Sebuah penelitian mengejutkan membuktikan bahwa lantai berbahan PVC dapat meningkatkan risiko anak terkena autis.

PVC atau Vinyl merupakan bahan yang telah dikenal sejak dulu. Biasanya PVC digunakan untuk alat-alat rumah tangga seperti pipa hingga bahan dasar lantai. Namun peneliti asal Swedia, Denmark serta Amerika Serikat menemukan sesuatu yang berbeda.

Dikutip dari Independent, Selasa (14/4/2009) para peneliti tersebut bermaksud menemukan penyebab penyakit autis pada anak-anak. Di Inggris, jumlah anak yang menderita autis sudah mencapai 200 ribu. Oleh karena itu, para peneliti merasa perlu mengetahui penyebab gangguan tersebut.

Selain faktor genetik, para peneliti juga menganggap autis dapat disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya racun dari polusi.

Dari penelitian itu terbukti bahwa lantai vinyl yang biasa dipakai di rumah-rumah sangat berbahaya. Dalam lantai tersebut bisa terjadi endapan debu yang mengandung phthalates.

Phthalates merupakan bahan kimia yang dapat membuat plastik menjadi lembut dan fleksibel dan telah digunakan selama bertahun-tahun. Di beberapa negara maju, pemakaian bahan kimia ini sudah dilarang karena efeknya yang buruk bagi kesehatan.

Yang berbahaya, debu yang mengandung Phthalates itu bisa tersedot melalui saluran pernapasan. Debu tadi akan berpengaruh pada kandungan di ibu hamil. Dan kebanyakan, mereka kemudian melahirkan anak yang menderita autis.

Phthalates tak hanya ada di lantai PVC, beberapa barang seperti mainan anak, kosmetik, kemasan makanan, farmasi dan perangkat, serta produk pembersih rumah dan bangunan juga mengandung zat kimia berbahaya tersebut. Ayo lebih hati-hati memilih produk rumah tangga Anda!
(kee/kee)

Tatapan Mata Ibu Kurangi Risiko Bayi Derita Autis

. Mom & Son Inilah.com, Jakarta - Kontak mata sebanyak mungkin dengan bayi yang berisiko tinggi menyandang autis, amat sangat dianjurkan kepada orangtua, terutama jika sebelumnya telah memiliki anak autis.

Bagi peneliti dari University of Washington, hal itu tidak sekadar anjuran,, melainkan dengan dukungan penelitian pada 200 bayi yang mempunyai saudara sekandung autis.

Di Amerika Serikat, setiap satu dari 150 bayi lahir menyandang autis. Persentasenya menjadi lebih tinggi yakni satu dari 20 bayi baru lahir, jika salah satu kakaknya mempunyai autis.

Semua bayi itu dimonitor oleh para ahli, dibagi dalam kelompok usia 6, 12, dan 24 bulan. Setengah dari para ibu dilatih teknik tertentu untuk 'menangkap' komunikasi yang disampaikan oleh bayinya.

Para ibu itu juga dilatih menarik perhatian bayi, ketika mereka keasyikan sendiri. Dengan mengeluarkan suara pelan berirama serta bertatapan mata. Ini diyakini dapat mempermudah bayi belajar mengenal bahasa.

"Kami ingin para oarangtua ada ketika bayi meraih mainan dan mencari keberadaan orangtuanya melalui tatapan mata," kata Prof Annette Estes dari Pusat Autis University of Washington.

Lebih lanjut ia mengatakan, orangtua mesti benar-benar hadir ketika bayi memasuki dunianya dan tengah mencari tahu apa yang mesti dilakukan selanjutnya.

Ihwal berguman, memainkan nada suara, kontak mata dan model interaksi lainnya antara orangtua terutama ibu dan dengan bayi, diyakini dapat menekan derajat perkembangan autis. Terapi perilaku dan bicara juga dapat mendeteksi gejala autis tahap awal.

Menurut Prof Estes, autis muncul karena ada kelainan pada sistem komunikasi. Jika disadari sejak awal, maka dapat diterapkan pola komunikasi sosial yang tepat sehingga gejala dan perkembangan autis dapat ditekan sedikit mungkin. Ini berkaitan dengan perkembangan komunikasi sosial pada otak.

Prof Estes mengatakan, pengamatan perkembangan otak dilakukan pada semua bayi yang menjadi subyek penelitian. Namun pada bayi yang terlahir dari orangtua yang sebelumnya telah melahirkan anak autis, orangtua tidak punya pilihan lain kecuali menunggu dengan harap-harap cemas akan nasib buah hatinya.

Sayangnya, sampai saat ini seperti diakui Prof Estes, belum ada metode tepat untuk membantu orangtua yang memiliki anak autis melewati masa-masa sulit. [ES/L1]

Autistik: Dampak Komplikasi Kehamilan?

. Ibu Hamil KOMPAS.com - Komplikasi yang dialami saat mengandung dan usia calon ibu saat hamil diduga jadi penyebab gangguan autistik pada anak. Begitulah kesimpulan yang dibuat berdasarkan hasil analisa terhadap 40 studi mengenai autisme.

Menurut peneliti dari Harvard School of Public Health, kebanyakan studi mengenai austime menyebutkan usia calon ibu dan juga calon ayah berpengaruh pada kejadian autisme. Ibu hamil yang mengalami perdarahan atau diabetes juga berpeluang memiliki anak autis. Hasil studi ini dilaporkan dalam jurnal ilmiah British Journal of Psychiatry.

Walaupun para peneliti menyadari kaitan autis dan kondisi kehamilan belum memiliki bukti yang kurang kuat, namun 9 dari 13 studi menyebutkan usia calon ibu saat hamil berpengaruh. Hal ini sesuai dengan demografi calon ibu dalam tiga dekade terakhir ini yang rata-rata hamil di usia 30 tahun ke atas.

Ibu hamil yang berusia 30-34 tahun beresiko 27 persen untuk memiliki anak autis. Risiko ini makin meningkat pada ibu hamil yang berusia di atas 40 tahun. Untuk calon ayah, setiap lima tahun risikonya bertambah hampir 4 persen.

Secara biologi memang belum jelas benar mengapa hal itu terjadi. Tetapi para ahli menduga ini disebabkan faktor kromosom yang abnormal pada sel telur wanita paruh baya dan mutasi sel sperma pada pria.

Sementara itu diabetes gestasional, yang terjadi pada 4 dari 100 kehamilan, menyebabkan risiko gangguan autisme dua kali lipat. Sedangkan perdarahan pada kehamilan beresiko 81 persen. Sayangnya tidak dijelaskan apakah perdarahan itu terjadi di awal kehamilan atau masa akhir kehamilan.

Namun, perdarahan pada ibu hamil diketahui memengaruhi oksigen pada janin (fetal hypoxia) untuk perkembangan otak janin yang pada akhirnya meningkatkan risiko autisme.

Tim peneliti juga menemukan hubungan antara penggunaan obat-obatan, seperti obat depresi atau gangguan emosional lain terhadap kejadian austime. Mengenai hal ini, para peneliti menyatakan belum bisa disimpulkan apakah autisme terjadi akibat efek samping obat atau pengaruh kondisi kejiwaan calon ibu saat hamil.

Dalam 30 tahun terakhir, jumlah anak autis terus mengalami peningkatan. Namun menurut para ahli hal ini disebabkan karena faktor deteksi dan diagnosa yang lebih baik sehingga makin banyak kasus terungkap.

Untuk mengetahui penyebab autisme, ungkap Richard Mills dari Research of Autism, bagaikan menyusun puzzle raksasa karena melibatkan banyak faktor yang dicurigai. "Kita masih belum tahu apakah tiap bagian sesuai satu sama lain," katanya.

Jumlah Anak Autis Meningkat

. KOMPAS.com - Setiap tahun, angka kejadian autisme meningkat pesat. Data terbaru dari Centre for Disease Control and Prevention Amerika Serikat menyebutkan, kini 1 dari 110 anak di sana menderita autis. Angka ini naik 57 persen dari data tahun 2002 yang memperkirakan angkanya 1 dibanding 150 anak.

Di Indonesia, tren peningkatan jumlah anak autis juga terlihat, meski tidak diketahui pasti berapa jumlahnya karena pemerintah belum pernah melalukan survei.

Menurut data resmi yang dikeluarkan pemerintah AS tersebut, disebutkan satu persen anak di sana kini menunjukkan beberapa gejala autisme, seperti gangguan berkomunikasi, bahasa, dan kemampuan kognitif, mulai dari yang ringan sampai berat.

Data ini juga menguatkan temuan berbagai studi yang menyebutkan gejala autis lebih sering terlihat pada anak laki-laki dibanding perempuan. Menurut data CDC ini, pada anak laki-laki prevelansinya naik 60 persen dibanding dengan data tahun 2002. Sementara pada anak perempuan hanya 48 persen.

Yang menarik untuk diketahui adalah mengapa kini makin banyak anak yang menderita autis? Yang pasti jawabannya tidak sederhana karena banyak faktor yang terlibat di dalamnya.

Berbagai studi menyatakan naiknya jumlah anak autis bisa dijelaskan lewat luasnya karateristik yang dipakai untuk menentukan diagnosa anak austis serta peningkatan akses informasi pada kondisi autis. Meski begitu, masih ada tanda tanya besar mengenai penyebab meningkatnya tren gangguan kondisi ini.

Beberapa penelitian menunjukkan, perubahan genetik merupakan penyebab gangguan autis. Namun beberapa pakar menyatakan kurang yakin dengan penjelasan ini. "Bila kita melihat peningkatan tren seperti ini, maka kita harus mulai mengarahkan fokus pada isu lingkungan," kata Dr.Thomas Insel, direktur National Institute of Mental Health.

Karena kebanyakan gejala autis didiagnosa sebelum anak berusia dua tahun, kebanyakan pakar percaya bahwa faktor pencetusnya terjadi pada masa kehamilan atau pada bulan-bulan awal kehidupan bayi. Usia ibu yang terlalu tua saat hamil, selain juga paparan lingkungan yang dialami bayi, misalnya pola makan atau terjadinya infeksi pada bayi, diduga berpengaruh besar pada timbulnya autis.

Karena belum jelasnya penyebab penyakit ini, orangtua belum bisa menentukan tindakan preventif apa yang bisa dilakukan. Namun para ahli berpendapat terapi perkembangan terpadu sebaiknya langsung dilakukan begitu anak didiagnosa autis. Dengan terapi terpadu, diharapkan kemampuan anak dalam bersosialisasi dan berkomunikasi akan meningkat.

Kerjasama yang erat antara orangtua, terapis, dokter, psikolog, serta guru di sekolah diperlukan agar penanganan anak autis bisa lebih baik lagi.


AN

Editor: acandra

Terapi Komprehensif Autisme

.Penulis : Eni Kartinah

BAGI kalangan pemerhati autisme nama Oscar Yura Dompas tentu tidak asing lagi. Oscar adalah penyandang autisme yang bisa mencapai pendidikan tinggi. Pada 2007, ia menyandang gelar sarjana pendidikan yang diraihnya dari Universitas Atmajaya.

Pencapaian tersebut hanyalah satu dari banyak kisah sukses penyandang autisme. Banyak pihak membuktikan penyandang autisme juga bisa berprestasi."Dengan penanganan yang tepat, gejala-gejala autisme dapat diminimalkan dan potensi penyandangnya dapat diminimalkan," ujar Ketua Yayasan Autisme Indonesia dr Melly Budhiman SpKJ di Jakarta, beberapa waktu lalu.


Menurut Melly, ada beberapa terapi yang perlu diterapkan pada penyandang autisme. Meliputi terapi dari dalam dan luar. Salah satu terapi dari dalam adalah terapi biomediak. Tujuan terapi itu adalah mencari faktor gangguan dalam tubuh anak autis yang bisa mengganggu fugsi otaknya. Terapi ini dijalankan dengan analisis laboratorium terhadap darah, rambut, urine, dan feses. Juga, pemeriksaan kolonoskopi bila ada indikasi.

"Dari penelitian, makin banyak ditemukan adanya gangguan biomedis pada anak-anak autis yang menyebabkan gangguan pada fungsi otaknya. Seperti, morfin yang berasal dari susu sapi (casomorphin) dan dari gandum (gluteomorphin), adanya logam beracun seperti merkuri, timbal hitam, dan arsenik," jelas melly.

Selain itu, penelitian menunjukkan penyandang autisme kerap kali memiliki pencernaan yang buruk, metabolisme yang kacau, dan alergi terhadap banyak jenis bahan makanan. Banyak pula yang mengalami peredaran darah dan oksigenasi di otak kurang bagus.

Analasisi yang digunakan dalam terapi biomedis berguna untuk mengetahui faktor gangguan mana saja yang terdapat dalam tubuh si anak. Bila sudah ditemukan, faktor gangguan tersebut harus dihilangkan atau diminimalkan.

Sebagai contoh, bila hasil analisis menyatakan anak alergi susu, pemberian susu harus disetop. Demikian juga bila hasil analisi menyatakan adanya logam berat dalam tubuh si anak maka harus dilakukan upaya menghilangkannya. Dengan perbaikan tersebut, diharapkan fungsi otak akan membaik dan gejala autisme dapat ditekan.

Sayangnya, tidak semua analisis dalam terapi biomedis bisa dilakukan di di Indonesia. Beberapa analisis harus dilakukan di luar negeri. Selain terapi biomedis, ada pula terapi oksigen hiperbarik yang bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi otak penyandang autisme.

Terapi luar

Pada kesempatan terpisah, psikolog Tri Gunadi dari Pusat Terapi Tumbuh Kembang Anak Yayasan Medical Excercise Therapy (Yamet) mengungkapkan penyandang autisme juga memerlukan terapi luar. Meliputi, terapi wicara, perilaku, okupasi, dan terapi integrasi sensori.

"Terapi sensori integrasi menekankan pada kemampuan sensorik, adaptasi, dan regulasi diri untuk memperbaiki emosi dan kontrol diri," ujar Tri di Jakarta beberapa waktu lalu.

Sedang terapi perilaku bertujuan memperbaiki perilaku, kontak mata, pemahaman instruksi, menanamkan konsep, dan inisiasi untuk bicara. Sementara itu, terapi okupasi bertujuan meningkatkan atensi, konsentrasi, kemampuan adaptasi, kemadirian, dan persiapan motorik halus.

"Selanjutnya terapi wicara untuk membantu kemampuan berkomunikasi," terang Tri.

Tri menegaskan orang tua penyandang autisme harus memiliki pola asuh yang jelas, tegas, dan konsisten.

Melly menambahkan jumlah penyandang autisme terus meningkat di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Sayangnya sampai saat ini Indonesia belum pernah melakukan survei.

"Penyandang autisme tersebar dari Sabang sampai Merauke, sedangkan jumlah dokter yang mempelajari autisme sangat sedikit dan terbatas di kota-kota besar."

Terapi autisme membutuhkan biaya yang sangat besar, mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah."Sampai saat ini, bantuan dari pemerintah untuk penanggulangan autisme sama sekali belum ada," kata Melly.