Wednesday, April 9, 2025

Larangan putus asa dari rahmat Allah.

  Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA bahwa ia berkata, “Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallama bersabda, ‘Seorang pendosa yang mengharapkan rahmat Allah Ta’ala adalah lebih dekat kepada-Nya dari pada seorang ahli ibadah yang putus asa dari rahmat-Nya.’”


a. Rahmat Allah yang Menjamin Kebahagiaan Hamba.


Ibnu Mas’ud berkata, “Aku diberitahu bahwa diriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari Umar, bahwa ada seorang laki-laki hidup pada zaman dahulu. Ia selalu rajin melakukan    ibadah.    Ia membebankan dirinya sendiri untuk melakukan ibadah yang tidak henti-hentinya ia lakukan sehingga menyebabkan orang- orang berputus asa dari rahmat Allah. Kemudian ia meninggal dunia.


“Ya Tuhanku! Apa yang aku dapatkan di sisi-Mu?” tanya si laki-laki.


Allah menjawab, “Neraka”.


“Ya Tuhanku! Lantas bagaimana dengan ibadahku dan kesungguh-sungguhanku dalam beribadah?” tanya si laki-laki.


Allah menjawab, “Kamu telah membuat orang-orang putus asa dari rahmat-Ku di dunia, maka sekarang Aku membuatmu putus asa dari rahmat-Ku”.


b. Seorang Pendosa yang Selamat Berkat Tauhidnya


Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bahwa beliau bersabda, “Ada seorang laki-laki yang tidak pernah melakukan suatu amal kebaikan sama sekali. Hanya saja ia memiliki tauhid. Ketika kematian akan mendatanginya, ia berwasiat kepada keluarganya, “Hai keluargaku! Ketika aku telah mati nanti maka bakarlah jasadku di atas api sampai kalian melihatnya telah berubah menjadi abu. Kemudian tebarkanlah abu jasadku ke laut di musim angin.” Setelah ia benar-benar mati, keluarganya pun melakukan apa yang ia wasiatkan. Tiba-tiba ia berada dalam kuasa Allah.


“Apa yang membuatmu berwasiat seperti apa yang telah kamu wasiatkan (meminta di bakar dst)?” tanya Allah.


“Aku melakukannya karena takut kepada-Mu,” jawab si laki-laki.


Kemudian Allah mengampuninya karena rasa takutnya kepada-Nya. Padahal ia tidak memiliki amal kebaikan sama sekali kecuali tauhid.


c. Jenazah yang Terasingkan 


Ada sebuah cerita yang berkaitan dengan hadis di atas bahwa ada seorang laki-laki fasik yang mati pada zaman Nabi Musa ‘alaihi as-salam. Pada saat itu, orang-orang enggan memandikan dan menguburkan jenazahnya karena kefasikannya. Kemudian mereka memegang kakinya, menyeretnya dan membuangnya di tempat kotoran. Kemudian Allah memberikan wahyu kepada Musa ‘alaihi as-salam:


“Hai Musa! Ada seorang laki-laki yang telah mati di kampung ini dan dibuang di tempat kotoran ini. Ia adalah salah satu kekasih-Ku. Orang-orang enggan memandikan, mengkafani, dan menguburkan. Pergilah! Mandikanlah ia! Kafanilah ia! Sholatilah ia! Dan kuburkanlah ia!” perintah Allah.


Kemudian Musa ‘alaihi as-salam mendatangi kampung tersebut dan bertanya kepada penduduk tentang mayit laki-laki itu.


“Laki-laki itu telah mati dalam keadaan demikian dan demikian. Ia adalah orang fasik dan terlaknati,” kata penduduk.


Musa ‘alaihi as-salam bertanya, “Dimana tempat mayitnya? Allah telah memberiku wahyu untuk mengurusnya. Beritahu aku dimana mayit itu berada?”


Lalu penduduk memberitahu dan mengantarkan Musa ke tempat mayit laki-laki itu berada. Akhirnya, Musa pergi ke tempat itu.


Sesampainya Musa di tempat yang diberitahukan oleh penduduk, ia pun melihat mayit laki-laki itu terbuang di tempat kotoran. Penduduk memberitahu kepada Musa tentang keburukan perbuatan-perbuatan si mayit ketika ia masih hidup.


Setelah    mereka    selesai menjelaskan, Musa bermunajat kepada Allah:


“Ya Allah! Engkau memerintahku untuk mengubur dan mensholati mayit laki-laki itu. Sedangkan orang-orang telah memberikan kesaksian keburukan atasnya. Engkau adalah Dzat yang lebih tahu daripada mereka tentang perihal    memuji    dan merendahkan,” kata Musa.


Lalu Allah berfirman, “Hai Musa! Benar apa yang telah dikatakan oleh penduduk tentang keburukan perbuatan-perbuatan laki-laki itu, hanya saja laki-laki itu meminta syafaat dari-Ku pada waktu kematiannya dengan merayu-Ku melalui tiga hal yang mana andai seluruh pendosa meminta-Ku dengan rayuan tiga hal tersebut, maka Aku akan memberikannya. Lantas bagaimana bisa Aku tidak mengasihi laki-laki itu? Padahal ia meminta kepada-Ku dengan hatinya. Sedangkan Aku adalah Allah Dzat Yang Maha Paling Mengasihi.”


Musa bertanya, “Apa tiga hal tersebut? Ya Allah!”


Allah menjelaskan, “(Pertama) Ketika ajal laki-laki itu telah dekat. Ia berkata, ‘Ya Allah! Engkau adalah lebih mengetahui daripadaku. Sesungguhnya aku telah melakukan kemaksiatan dengan keadaan hatiku membenci kemaksiatan tersebut. Akan tetapi, ada tiga hal yang terdapat pada diriku hingga aku berani melakukan kemaksiatan itu dengan kondisi hati yang membencinya. Pertama adalah hawa nafsu. Kedua adalah teman buruk. Ketiga adalah Iblis, Semoga laknat Allah menimpanya. Tiga hal ini telah menjerumuskanku ke dalam lubang kemaksiatan. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang mengetahui apa yang aku ucapkan. 


Oleh karena itu ampunilah aku!’. (Kedua) Ketika ajal laki-laki itu telah dekat, ia berkata, ‘Sesungguhnya Engkau mengetahui kalau aku telah melakukan kemaksiatan- kemaksiatan dimana posisiku saat itu adalah bersama orang-orang fasik. Akan tetapi aku senang berteman dengan orang-orang sholih dan aku menyukai kezuhudan meraka. 


Posisiku bersama mereka adalah lebih aku sukai daripada bersama orang- orang fasik’. (Ketiga) Ketika ajal laki-laki itu telah dekat, ia berkata, ‘Ya Allah! Sesungguhnya Engkau tahu daripadaku kalau orang- orang sholih adalah lebih aku sukai daripada orang-orang fasik hingga andai ada dua orang, yang satu adalah orang sholih dan yang satunya adalah orang buruk, mendatangiku, maka aku akan mendahulukan memenuhi hajat orang satu yang sholih dan mengakhirkan hajat orang satunya yang buruk.’”


(Dalam riwayat Wahab bin Munabbah, perkataan laki-laki yang ketiga adalah) “Ya Allah! Andai Engkau memaafkan dan mengampuni dosa-dosaku maka para wali dan para nabi-Mu akan senang dan setan, musuhku dan musuh-Mu, akan bersedih. Tetapi apabila Engkau menyiksaku, maka setan dan teman-temannya akan senang dan para nabi dan para wali-Mu akan bersedih. Dan aku tahu kalau rasa senang para wali kepada-Mu adalah lebih Engkau sukai daripada rasa senang setan dan teman-temannya. 


Oleh karena itu ampunilah aku! Ya Allah! Sungguh Engkau mengetahui apa yang aku ucapkan. Kasihilah aku! Dan maafkanlah aku!” Kemudian Allah berkata, “Aku telah mengasihinya, memaafkannya dan mengampuninya. Sesungguhnya Aku adalah Dzat Yang Pengasih dan Penyayang, terutama kepada orang yang mengakui dosanya di hadapan-Ku. Oleh karena laki-laki ini telah mengakui dosanya maka Aku mengampuni    dan memaafkannya. Hai Musa! Lakukanlah apa yang telah Aku perintahkan! Sesungguhnya Aku akan mengampuni orang-orang yang mau mensholati jenazah laki- laki itu dan menghadiri penguburannya dengan perantara kemuliaannya”

Surah Al-Baqarah ayat 258

Surah Al-Baqarah ayat 258 berisi tentang dialog antara Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan seorang raja yang mengaku sebagai tuhan. Ayat ini bukan hanya narasi, tapi juga mengandung pelajaran, perintah, larangan, dan nasihat yang sangat dalam.

Bunyi ayatnya (QS. Al-Baqarah: 258):
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepadanya kerajaan? Ketika Ibrahim berkata, ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,’ dia berkata, ‘Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,’ lalu bingunglah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”


Perintah dalam ayat ini:

  1. Gunakan akal untuk berpikir dan memperhatikan kisah-kisah orang terdahulu (termasuk debat Nabi Ibrahim).
  2. Berdakwah dengan hikmah dan logika yang kuat, seperti Nabi Ibrahim berdiskusi dengan hujjah yang jelas.

Larangan yang dapat diambil dari ayat ini:

  1. Larangan sombong karena kekuasaan, seperti raja yang merasa dirinya bisa "menghidupkan dan mematikan".
  2. Larangan mendebat kebenaran dengan kesombongan, karena itu hanya akan membawa kesesatan.
  3. Larangan berlaku zalim, karena Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Nasihat dan pelajaran:

  1. Jangan tertipu oleh kekuasaan dunia — itu hanyalah ujian.
  2. Kebenaran pasti menang jika disampaikan dengan bijak dan benar.
  3. Manusia tidak bisa menandingi kekuasaan Allah, meski mereka mengaku bisa.
  4. Allah memberi contoh nyata dalam alam semesta (matahari, hidup-mati) sebagai bukti keesaan-Nya.



ANJURAN BAGI ORANG YANG BERUMUR UNTUK KEMBALI KEPADA ALLAH

 Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA bahwa ia berkata, “Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallama bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala melihat wajah orang yang sudah berusia tua di pagi hari dan sore hari. Dia berfirman: Hai hamba-Ku! Usiamu telah tua. Kulit tubuhmu telah keriput. Tulangmu telah rapuh. Ajalmu telah mendekat. Sudah waktunya kamu menemui-Ku. Maka merasa malulah kamu kepada-Ku karena Aku malu menyiksamu di neraka karena ubanmu.’”

A. Ali dan Laki-Laki Tua Nasrani 

Diceritakan bahwa suatu ketika Ali rodhiyallahu ‘anhu pergi berjalan cepat untuk menunaikan sholat berjamaah Subuh. Di tengah-tengah jalan, ia melihat orang yang sudah tua tengah berjalan pelan dan tenang di depannya. Ali radhiyallahu ‘anhu tidak mau mendahuluinya karena memuliakan dan mengagungkan orang tua itu karena ubannya. Ali sabar menanti hingga waktu terbit matahari akan menjelang. Ketika orang tua itu sudah sampai di depan pintu masjid, ia tidak masuk ke dalamnya. Ali radhiyallahu ‘anhu tahu kalau orang tua itu ternyata adalah orang Nasrani. Setelah itu, Ali segera masuk masjid dan melihat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sedang rukuk. Kemudian Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama    memperlamakan rukuknya seukuran waktu melakukan dua rukuk hingga akhirnya Ali pun mendapati rukuknya shollallahu ‘alaihi wa sallama. Ketika Ali radhiyallahu ‘anhu selesai dari sholatnya, ia bertanya kepada Rasulullah SAW

“Wahai Rasulullah! Mengapa anda tadi memperlamakan rukuk? Padahal anda biasanya tidak seperti itu?” tanya Ali.

Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallama menjawab, “Ketika aku rukuk    dan    membaca

Subhanarobbiya    al-‘Adzimi sebagaimana bacaan rutinku, kemudian aku mau bangun dari rukuk, maka tiba-tiba Malaikat Jibril 14datang dan meletakkan sayapnya di punggungku dan menahannya lama. Ketika Jibril telah mengangkat sayapnya, maka aku pun bangun dari rukukku.

Kemudian orang-orang bertanya ‘Mengapa anda memperlamakan rukuk?’.

Rasulullah SAW menjawab, “Aku tidak mempertanyakan kepada Jibril tentang mengapa ia menahanku. Kemudian Jibril datang dan berkata, ‘Hai Muhammad! Sesungguhnya Ali tengah cepat-cepat pergi untuk berjamaah. Hanya saja, di tengah jalan, ia melihat orang tua Nasrani yang berjalan pelan di depannya sedangkan ia sendiri tidak tahu kalau orang tua itu adalah orang Nasrani. Ia pun tidak mau mendahuluinya demi memuliakan orang tua itu karena ubannya. Ia mengedepankan hak orang tua itu. Kemudian Allah memerintahku untuk menahanmu saat rukuk agar Ali mendapati jamah sholat Subuh bersamamu. Ini bukanlah hal yang aneh. Yang lebih anehnya adalah Allah memerintahkan Mikail menahan matahari agar tidak terbit terlebih dahulu demi Ali.”

 Cerita di atas menunjukkan betapa tingginya derajat atau keutamaan memuliakan orang yang sudah tua padahal orang tua itu adalah orang Nasrani.

B. Introspeksi Diri

(Cerita lain) Menjelang masa-masa kewafatan guru Abu Mansur al-Maturidi, Semoga Allah mengasihinya, saat itu ia berusia 80 tahun. Saat itu, gurunya jatuh sakit. Ia menyuruh Abu Mansur mencarikan budak yang berusia sama dengannya, yaitu 80 tahun, dan menyuruh untuk membeli dan memerdekakannya untuk gurunya itu. Dengan segera, Abu Mansur pun mencari-cari budak yang gurunya inginkan. Ia bertanya-tanya kepada orang- orang, “Dimanakah aku bisa mendapati seorang budak yang berusia 80 tahun?”

“Bagaimana ada budak yang berusia 80 tahun masih dalam berstatus sebagai budak dan belum merdeka?” kata orang- orang.

Kemudian Abu Mansur pun pulang dan memberitahukan jawaban orang-orang kepada gurunya kalau budak yang ia inginkan tidak ada. Ketika mendengar penjelasan Abu Mansur, gurunya meletakkan kepala di atas tanah atau bersujud dan bermunajat kepada Allah.

“Ya Allah! Sesungguhnya budak yang telah berusia 80 tahun tidak ada, kecuali ia sudah dimerdekakan. Sedangkan aku sudah berusia 80 tahun, bagaimana    tidak    Engkau memerdekakanku dari api neraka? Padahal Engkau adalah Dzat yang Maha Pengasih, Dermawan, Agung, Pengampun dan Penerima Syukur,” kata guru Abu Mansur dalam munajatnya.

Akhirnya Allah memerdekakan sang guru dari neraka karena kebaikan munajatnya.