Sunday, May 25, 2025

Memuliakan Masjid dan Larangan Menjadikan Kubur sebagai Tempat Ibadah.

 Judul Buku: Memuliakan Masjid dan Larangan Menjadikan Kubur sebagai Tempat Ibadah

Bab 1: Hadis Pertama - Perintah Membersihkan dan Memberi Wewangian pada Masjid

Teks Hadis: Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk membangun masjid di perkampungan, dan agar dibersihkan serta diberi wewangian." (HR. Abu Dawud no. 455. Dinilai shahih oleh Al-Albani)

Penjelasan Hadis: Hadis ini menunjukkan perhatian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terhadap kesucian dan kenyamanan masjid sebagai rumah Allah. Beliau tidak hanya memerintahkan pembangunannya, tetapi juga menekankan perawatan, kebersihan, dan penyemprotan wewangian sebagai bentuk penghormatan terhadap tempat ibadah.

Ayat Al-Qur'an yang Berkaitan: "Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian..." (At-Taubah: 18)

Tafsir Singkat: Ibnu Katsir menafsirkan bahwa yang dimaksud "memakmurkan" masjid meliputi membangunnya, merawatnya, membersihkannya, mengisinya dengan shalat, dzikir, dan majelis ilmu.

Hikmah:

1. Masjid adalah pusat spiritual dan sosial umat Islam.

2. Kebersihan masjid mencerminkan kebersihan jiwa jamaahnya.

3. Wewangian menambah kenyamanan dan kekhusyukan ibadah.

Relevansi Saat Ini: Di zaman modern, banyak masjid dibangun megah namun perawatannya minim. Hadis ini menjadi pengingat pentingnya perawatan dan kebersihan masjid, terlebih di masa wabah dan penyakit menular.

Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani: "Siapa yang menjaga rumah Allah, maka Allah akan menjaga hatinya dari kegelapan dunia."

Nasihat Ibnu 'Athaillah as-Sakandari: "Perbaikilah rumah Tuhan di bumi (masjid), maka Dia akan memperbaiki rumahmu di akhirat (surga)."

---

Bab 2: Hadis Kedua - Larangan Menjadikan Kubur sebagai Masjid

Teks Hadis: Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid." (HR. Bukhari no. 435, Muslim no. 531)

Penjelasan Hadis: Hadis ini adalah bentuk larangan tegas agar umat Islam tidak meniru kebiasaan kaum Yahudi yang menyembah dan berdoa di kuburan nabi mereka. Islam menjaga tauhid dari penyimpangan seperti menyekutukan Allah melalui bentuk penghormatan yang berlebihan.

Ayat Al-Qur'an yang Berkaitan: "Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya selain Allah." (Al-Jin: 18)

Tafsir Singkat: Masjid hanya digunakan untuk menyembah Allah semata. Menjadikan kubur sebagai tempat ibadah rawan mengarah pada syirik.

Hikmah:

1. Menjaga kemurnian tauhid.

2. Membedakan antara penghormatan dan pengkultusan.

3. Menutup jalan menuju syirik kecil (syirik khafi).

Relevansi Saat Ini: Fenomena pembangunan kubah dan mihrab di atas makam wali atau tokoh agama masih sering ditemukan. Meski niatnya baik, praktik ini bisa melenceng jika disertai keyakinan berlebihan.

Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani: "Hormatilah wali Allah dengan mengikuti ilmunya, bukan dengan menyembah jasadnya."

Nasihat Ibnu 'Athaillah as-Sakandari: "Kubur adalah tempat istirahat, bukan tempat berhala. Siapa yang menuhankan batu nisan, hilanglah cahaya tauhid dari hatinya."

---

Lampiran Cerita Hikmah:

Judul: Kebersihan yang Mengundang Malaikat Di sebuah desa, masjid tua sering sepi dan kotor. Seorang pemuda tergerak membersihkannya setiap hari, menabur wewangian, dan menyapu lantainya. Tanpa diduga, jamaah mulai berdatangan, anak-anak belajar mengaji, dan masjid menjadi hidup. Suatu malam, ia bermimpi didatangi seorang tua berjubah putih yang berkata, "Karena engkau menjaga rumah Kami, Kami jaga rumah dan keluargamu."

Judul: Kubur yang Dituankan Di kota lain, sebuah kuburan ulama besar dijadikan tempat meminta rezeki. Orang-orang datang dengan membawa sesajen dan berdoa di atas pusara. Suatu hari, seorang ulama datang dan berkata, "Beliau tidak pernah mengajarkan menyembah selain Allah. Jangan rusak warisannya dengan perbuatan syirik." Setelah itu, tempat tersebut dikembalikan menjadi tempat ziarah yang murni, bukan tempat ibadah.

---

Penutup: Dua hadis ini mengajarkan keseimbangan antara penghormatan dan tauhid, antara perawatan rumah Allah dan penjagaan dari kesesatan. Semoga menjadi pengingat bagi umat Islam agar tetap lurus di atas ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.


Mencatat ilmu.

 Berikut adalah hadis tentang pentingnya mencatat ilmu, beserta tafsir, hikmah, dan penjelasannya:

---

Hadis tentang Mencatat Ilmu

نَقِّلُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ

Bacaan Latin:

Naqqilū al-‘ilma bil-kitābi

Artinya:

"Sampaikanlah ilmu dengan tulisan."

---

Riwayat Hadis

Hadis ini dikenal sebagai salah satu atsar (perkataan para sahabat) yang masyhur, dan maknanya juga disokong oleh banyak hadis Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:

عن عبد الله بن عمرو قال: كنت أكتب كل شيء أسمعه من رسول الله صلى الله عليه وسلم أريد حفظه...

(HR. Abu Dawud, no. 3646)

Artinya:

Dari Abdullah bin Amr, ia berkata: "Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk aku hafalkan..."

---

Tafsir dan Penjelasan

Para ulama menafsirkan bahwa ilmu adalah cahaya, dan menulis adalah wadah untuk menjaga cahaya itu agar tidak hilang. Mencatat ilmu merupakan sarana untuk menjaga, menata, dan mengamalkan ilmu secara benar.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata:

> “Menulis adalah salah satu nikmat Allah yang paling besar. Dengan menulis, ilmu bisa diwariskan lintas zaman.”

Dalam tafsir QS. Al-‘Alaq: 4-5:

> "Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."

Para mufassir menegaskan bahwa Allah mengajarkan ilmu kepada manusia melalui perantaraan tulisan, sehingga kegiatan mencatat ilmu adalah ibadah dan tanda syukur atas nikmat ilmu.

---

Hikmah Hadis

1. Menjaga Ilmu dari Lupa – Catatan menjadi pengingat ketika hafalan melemah.

2. Memudahkan Penyebaran – Ilmu yang tertulis bisa dibaca dan diajarkan kepada orang lain.

3. Mewariskan Ilmu – Catatan akan tetap hidup meski penulisnya telah tiada.

4. Menghindari Penyimpangan – Tulisan menghindarkan dari salah kutip atau distorsi.

5. Melatih Ketelitian dan Tadabbur – Saat mencatat, seseorang lebih fokus dan merenung.

---

Relevansi di Indonesia Saat Ini

Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, mencatat ilmu sangat penting bagi para santri, guru, maupun pelajar. Banyak pesantren dan majelis ilmu yang menghidupkan budaya mencatat dalam kitab kuning atau catatan pribadi, yang kelak menjadi bekal dakwah dan pengajaran.

---

Nasihat dari Ulama

Syekh Abdul Qadir al-Jailani:

> “Ilmu itu ruh amal. Dan tulisan adalah bekalnya. Jangan engkau remehkan tinta, karena ia yang mengikat ilmu agar tidak pergi.”

Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari:

> “Sesuatu yang tidak engkau tulis, maka akan lepas dari hatimu sebagaimana embun hilang saat terik mentari.”

---

Hadis atau atsar yang Anda maksud sangat terkenal di kalangan penuntut ilmu, dan sering dikutip oleh para ulama salaf. Kalimat tersebut berasal dari perkataan Imam Syafi'i rahimahullah:

---

Perkataan Imam Asy-Syafi’i tentang Ilmu dan Catatan

العِلْمُ صَيْدٌ وَالكِتَابَةُ قَيْدٌ، فَقَيِّدْ صَيْدَكَ بِالْوَثَاقِ الْحَبِيبِ


Bacaan Latin:

Al-‘ilmu shaidun, wal-kitābatu qaydun, faqayyid shaidaka bil-wathāqi al-habīb.


Artinya:

"Ilmu itu bagaikan buruan, dan tulisan adalah ikatannya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat."

---

Penjelasan Makna

Perkataan ini adalah tamsil (perumpamaan) yang indah dari Imam Syafi'i, menggambarkan bahwa:

Ilmu seperti hewan buruan: jika tidak segera diikat, ia akan lari dan hilang.

Menulis atau mencatat ilmu adalah cara terbaik untuk mengikatnya, agar tetap bisa dimanfaatkan dan tidak dilupakan.

---

Hikmah dari Perkataan Ini

1. Ilmu cepat hilang tanpa dicatat – Seperti buruan lepas dari tangan.

2. Tulisan menjadi penyelamat ilmu – Bahkan ketika usia tua datang dan daya ingat melemah.

3. Motivasi untuk disiplin mencatat – Karena mencatat sama pentingnya dengan mencari ilmu itu sendiri.

4. Tulisan bisa diwariskan – Sedangkan hafalan akan terkubur bersama pemiliknya jika tidak dicatat.

---

Pendapat Ulama Lain

Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

"Setiap ilmu yang tidak ditulis, maka ia akan hilang."

Al-Khatib Al-Baghdadi dalam "Al-Jāmi’ li Akhlāq ar-Rāwī" menuliskan banyak atsar tentang pentingnya mencatat ilmu.

---

Relevansi di Masa Kini

Di era digital saat ini, "mencatat" bisa dalam bentuk:

Menulis tangan di buku catatan.

Mengetik di laptop/gadget.

Merekam suara/materi dan mengarsipkannya. Namun esensinya tetap sama: mengikat ilmu agar tidak lenyap.

---

Nasihat Hikmah

Syekh Abdul Qadir al-Jailani:

> “Jangan biarkan ilmu sekadar lewat di telinga. Ikatlah ia dengan tinta, agar menjadi lentera sepanjang usia.”

Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari:

> “Tidak ada yang lebih mulia dari ilmu yang disimpan dalam dada dan ditulis dengan pena, karena keduanya saling menguatkan.”

---

Adzan.

Bab Kedelapan, Menerangkan Tentang Keutamaan Adzan

Nabi Muhammad SAW bersabda :
مَنْ أَذَّنَ لِلصَّلاَةِ سَبْعَ سِنيْنَ مُحْتَسِبًا كَتَبَ الله لَهُ بَرَاءَةً مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang mengumandangkan adzan selama 7 tahun dengan mengharap ridlo Allah, maka Allah mencatat baginya terbebas dari neraka”.

Nabi Muhammad SAW bersabda :
مَنْ أَذَّنَ ثِنْتَيْ عَشَرَةَ سَنَةً وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Barang siapa mengumandangkan adzan selama 12 tahun, maka wajib baginya surga”.

Nabi Muhammad SAW bersabda :
مَنْ أَذَّنَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ إيْمَانًا واحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa mengumandangkan adzan di dalam sholat 5 waktu karena iman dan mengharap ridlo Allah, maka diampuni baginya dosanya yang terdahulu (dosa yang sudah dilakukan)”.

Nabi Muhammad SAW bersabda :
ثَلاَثَةٌ يَعْصِمُهُمُ اللهُ تَعَالٰى مِنْ عَذَابِ القِبْرِ الشَّهِيْدُ وَالْمُؤَذِّنُ وَالْمُتَوَفَّى يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الجُمُعَةِ
“Ada 3 golongan yang mana Allah yang Maha Luhur akan menjaga mereka dari siksa kubur, yaitu orang yang mati syahid, mu’adzin (tukang adzan), dan orang yang meninggal pada hari Jum’at dan malam Jum’at”.

Nabi Muhammad SAW bersabda :
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ والصَّفِّ الْاَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوْا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوْا، وَلَوْ يَعْلَمُوْنُ مَا فِي التَّهْجِيْرِ لَاسْتَبِقُوْا إِلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعِتْمَةِ وَالصُّبْحِ لَأٰتُوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Jikalau manusia mengetahui apa yang ada di dalam panggilan adzan dan shof pertama kemudian mereka tidak mendapatkannya kecuali dengan mengundinya, niscaya mereka akan mengundi (1). Jikalau mereka mengetahui apa yang ada di dalam menyegerakan (waktu sholat), niscaya mereka akan berlomba-lomba kepadanya. Jikalau mereka mengetahui apa yang ada di dalam sholat isya’ dan subuh (2) niscaya mereka akan mendatangi keduanya meskipun dengan merangkak”.

Catatan (1) :
Lafadz “istahama” merupakan bentuk undian dengan mengunakan panah pada zaman dulu. Dalam keterangan Kitab Tanqihul Qoul oleh Imam Nawawi Al-Banteni, jika manusia mengetahui pahala dalam adzan dan shof pertama, sedangkan mereka tidak mendapatkannya karena sempitnya waktu atau tidak adanya orang yang adzan di masjid, maka seseorang akan melakukan undian untuk mendapatkan keduanya.
Catatan (2) :
Dalam keterangan Kitab Tanqihul Qoul oleh Imam Nawawi Al-Banteni, maksudnya adalah sholat isya’ dan subuh secara berjamaah.

Nabi Muhammad SAW bersabda :
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَقَبَّلَ إبْهَامَيْهِ فَوَضَعَ عَلَى عَيْنَيْهِ وَقَالَ مَرْحَبًا بِذِكْرِ اللهِ تَعَالٰى قُرَّةُ أَعْيُنِنَا بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَأَنَا شَفِيْعُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَقَائِدُهُ إِلَى الْجنَّةِ
“Barang siapa mendengar panggilan adzan kemudian dia mencium kedua jempolnya, kemudian meletakkan (mengusapkan) keduanya di kedua matanya seraya berkata “marhaban bidzikrillahi ta`ala qurratu a`yunina bika ya rasulullaah” (selamat datang dengan mengingat Allah yang Maha Luhur, penenang hatiku adalah Engkau wahai Rosulullah), niscaya aku adalah pemberi syafa’atnya di hari kiamat dan penuntutnya ke surga”.

Nabi Muhammad SAW bersabda :
إذَا كَانَ وَقْتُ الأَذَانِ فُتِحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَاسْتُجِيْبَ الدُّعَاءُ وَإِذَا كَانَ وَقْتُ الْإِقَامَةِ لَمْ تُرَدَّ دَعْوَتُهُ
“Tatkala telah datang waktu adzan, maka terbukalah pintu-pintu langit dan dikabulkannya doa, dan tatkala telah datang waktu iqamah, maka tidaklah ditolak doa-doanya”.

Nabi Muhammad SAW bersabda :
مَنْ قَالَ عِنْدَ الأَذَانِ مَرْحَبًا بِالْقَائِلِيْنَ عَدْلاً، مَرْحَبًا بِالصَّلَوَاتِ وَأَهْلاً، كَتَبَ اللهُ تَعَالٰى لَهُ أَلْفَ حَسَنَةٍ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ سَيِّئَةٍ، وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ دَرَجَةٍ
“Barang siapa berkata ketika adzan “marhaban bil qoilina adlan, marhaban bissholawati waahlan” (selamat datang orang-orang yang mengucapkan dengan keadilan, selamat datang shalat-shalat dan keluarga), maka Allah yang Maha Luhur mencatat baginya seribu kebaikan, menghapus darinya seribu keburukan, dan mengangkat baginya seribu derajat”.

Nabi Muhammad SAW bersabda :
مَنْ سَمِعَ الأَذَانَ وَلَمْ يَقُلْ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ فَإنَّهُ يُمْنَعُ مِنَ السُّجُوْدِ يَوْمَ القِيَامَةِ إذَا سَجَدَ الْمُؤَذِّنُوْنَ
“Barang siapa mendengar adzan dan tidak mengucapkan seperti apa yang diucapkan mu`adzin, maka dia dicegah bersujud di hari kiamat ketika para muadzin bersujud”.

Nabi Muhammad SAW bersabda :
ثَلاَثَةٌ فِي ظِلِّ العَرْشِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إلاَّ ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَمُؤَذِّنٌ حَافِظٌ وَقَارِئُ الْقُرْآنِ يَقْرَأُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِائَتَيْ اٰيَةً
“Ada tiga golongan dalam naungan Arsy di hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil, muadzin yang menjaga (beristoqamah), dan pembaca Al-Qur`an yang membaca 200 ayat setiap malam”.