Friday, December 11, 2009

Jarang Menguap Bisa Jadi Pertanda Anak Autis

Jarang Menguap Bisa Jadi Pertanda Anak Autis

Email Cetak PDF
Merry Wahyuningsih - detikHealth
Randolph, Tanpa disadari, seringkali saat melihat orang lain menguap akan ikut-ikutan menguap, karena menguap memang dapat menular. Bagi anak yang jarang menanggapi respons menguap orang lain, bisa jadi anak tersebut mengalami autisme.

Menguap adalah tindakan refleks yang terjadi pada semua orang, biasanya dilakukan untuk menghirup udara dalam jumlah banyak dan diikuti dengan pernapasan.

Menguap itu menular karena dipicu oleh mekanisme empatik yang berfungsi untuk menjaga kewaspadaan kelompok. Karenanya, menguap adalah tanda empati.

Selain itu, penyebab lain menularnya menguap karena aktifnya sistem saraf cermin (mirror neurons system), yaitu neuron yang terletak di bagian depan setiap belahan otak vertebrata tertentu.

Namun, sebuah studi yang telah dipublikasikan dalam edisi terbaru jurnal Child Development menemukan bahwa anak dengan autisme ringan akan lebih sering menanggapi respons menguap ketimbang anak dengan autisme parah.

Artinya, menguap bisa menjadi suatu pertanda anak tidak menanggapi respons sosial yang terjadi di sekitarnya. Menurut peneliti, respons terhadap menguap yang menular terjadi secara signifikan dimulai pada usia 4 tahun.

Para pakar mengatakan hasil ini menambahkan pemahaman tentang autisme. Meski temuan ini belum bisa diaplikasilan secara praktis, tapi para pakar percaya bahwa ketidakmampuan menanggapi sesuatu yang sederhana seperti menguap, bisa menjadi pertanda adanya gangguan autis pada anak.

"Bila kesadaran sosial berkurang atau semakin parah, maka dapat mempengaruhi suatu respons neurologis menular seperti menguap," tutur Susan Wilczynski, direktur eksekutif National Autism Center di Randolph, Massachusetts, seperti dilansir dari ABC News, Senin (20/9/2010).

Peneliti utama Molly Helt, seorang calon doktor di University of Connecticut, memutuskan untuk fokus pada penularan menguap setelah menemukan bahwa anak-anak dengan autisme tidak menanggapi ketika ia mencoba untuk membuatnya menguap.

Ahli autisme lain juga setuju dan menambahkan bahwa pemahaman respons terhadap isyarat-isyarat tertentu, seperti menguap, penting untuk memahami aspek kunci di balik autisme.



(mer/ir)

LENA, Piranti Deteksi Dini Autisme

LENA, Piranti Deteksi Dini Autisme

Email Cetak PDF

JAKARTA--Gejala autisme mulai tampak pada anak sebelum berusia 3 tahun. Namun, gejala umum yang paling jelas terlihat antara umur 2 - 5 tahun. Namun, pada kasus tertentu, gejala autisma baru terlihat saat si kecil memasuki jenjang sekolah.

Sejumlah riset deteksi dini autisma baru bisa dilakukan pada bayi berumur 18 bulan ke atas. Sehingga orang tua kerap terlambat menyadari bahwa anak-anak mereka menyandang autisma.


Kini, kecenderungan terlambat menyadari bisa dikurangi. Lembaga non profit di AS, Lena Foundation menemukan metode baru untuk mendeteksi gejala dini tiga tahun lebih cepat.

Metode ini bernama LENA Autism Screening Service, sebuah sistem yang merekam keseharian anak dengan menggunakan alat perekam khusus. Alat ini bukan alat biasa, karena mampu menangkap tanda-tanda dari prilaku anak tiga tahun lebih awal. Artinya, bayi berusia setahun mampu dianalis LENA untuk mengetahui apakah prilaku si kecil menunjukan gejala autisma.

Frank J. Sulloway, doktor dari Institute of Personality and Social Research, University of California, Berkeley menilai LENA merupakan metode radikal yang begitu potensial mengubah gaya pengasuhan dan pendidikan anak sekaligus pula sebagai pionir pengembangan teknologi yang begitu bernilai.

Sementara itu, John H.L Hanses dari Erik Jonsson School of Engineering and Computer Science berpendapat," Keberadaan LENA seperti pisau Swiss Army yang membantu peneliti atau ahli bahasa untuk menangani anak atau bayi."

Kehadiran LENA tentu berdampak strategis. Keterlambatan penanganan dapat dicegah sehingga orang tua dapat fokus memberikan anak-anak pelatihan berbicara dan berbahasa dengan tepat dan cepat. Apalagi akurasi alat ini diklaim mencapai 90%.

Cara menggunakannya pun cukup mudah. Orang tua cukup mengikuti tiga langkah sederhana untuk bayi mereka yang berusia 2-3 bulan.

Pagi hari, selipkan Prosesor Bahasa Digital LENA (DLP) ke dalam saku yang didesain khusus untuk baju LENA. Di akhir hari, colokkan DLP ke komputer anda.

Data audio akan menransfer dan software di komputer anda segera menganalisa. Perhatikan laporan tersebut untuk menganalisa percakapan yang dilakukan si kecil sekaligus untuk mengidentifikasi pola bicara di sepanjang hari. Dari laporan tersebut anda juga memperoleh informasi dalam prosentase.

LENA sudah beredar di AS dengan banderol harga 130 Pounds, atau setara dengan 1. 8 juta rupiah. Selain di AS, LENA bakal diperkenalkan kepada publik Inggris dalam waktu dekat.

Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Rep: cr2/LenaFoindation/Telegraph

Tatapan Bayi Jadi Indikator Awal Autisme

Tatapan Bayi Jadi Indikator Awal Autisme

Email Cetak PDF
Merry Wahyuningsih - detikHealth
Delaware, Tanda-tanda autisme pada anak sudah bisa diamati sejak dini atau usia bayi. Tatapan bayi bisa menjadi indikator awal untuk autisme.

Peneliti di Kennedy Krieger bekerjasama dengan rekan-rekan di University of Delaware, berusaha membuat penelitian yang menyelidiki tentang tatapan bayi.

Dalam penelitian tersebut, peneliti membuat suatu pembelajaran sosial multi-stumulus, menempatkan bayi di kursi rancangan khusus dengan joystick (mainan gantung) yang terpasang dan mudah dijangkau, dan menaruh mainan musik terletak di sebelah kanan dan pengasuhnya (misalnya ibu) di sebelah kiri.

Peneliti mengevaluasi seberapa cepat bayi belajar dengan joystick untuk mengaktifkan mainan musik dan bagaimana tingkat keterlibatan sosial bayi dengan pengasuhnya.

Tim peneliti menemukan bahwa bayi yang berisiko tinggi autisme akan menghabiskan lebih sedikit waktu untuk mencari dan terlibat dengan pengasuhnya. Bayi akan lebih fokus pada rangsangan non-sosial (mainan musik atau joystick).

Hal ini menunjukkan adanya gangguan dalam pertumbuhan yang terkait dengan perhatian si bayi. Dalam perkembangannya, kondisi ini akan berkembang menjadi autisme. Dan sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan bayi, akan terlihat tanda-tanda autisme lainnya.

"Studi ini menunjukkan bahwa kelemahan tertentu pada anak, khususnya autisme, sudah bisa dideteksi sejak anak berusia enam bulan (saat interaksi harusnya sudah terjadi)," ujar Dr Rebecca Landa, pemimpin studi, seperti dilansir dari TopNews, Jumat (3/9/2010).

Menurut Dr Landa, bayi autisme biasanya tidak berinteraksi sosial atau bergerak sendiri. Tetapi bayi autisme ini terkadang masih bisa merespons bila ibu atau pengasuhnya memberikan rangsangan, sehingga perbedaan halus ini dapat dengan mudah diabaikan oleh beberapa orangtua.

Namun, penelitian ini tidak menunjukkan bukti adanya gangguan belajar pada bayi berisiko tinggi autisme. "Baik bayi autisme ataupun tidak, keduanya mempelajari tugas multi-stimulus dengan tingkat yang sama," tambah Dr Landa.

Temuan ini menunjukkan bahwa seperti halnya anak autis yang lebih tua, bayi yang berisiko tinggi autisme masih dapat mengambil manfaat dari kuantitas pembelajaran atau rangsangan yang diberikan, sehingga menyebabkan efek sederhana dan memberi kesempatan untuk membantu perkembangannya.

Bila sejak dini sudah diketahui bahwa bayi berisiko tinggi autisme, orangtua sebaiknya sering memberi rangsangan, baik secara sosial (interaksi dengan orangtua) atau non-sosial (menggunakan mainan). Hal ini bisa mengurangi risiko bayi mengembangkan autisme.

Untuk menindaklanjuti studi, temuan ini akan segera diterbitkan pada Center for Autism and Related Disorders di Kennedy Krieger Institute.





(mer/ir)

Kenali Gejala Autis Sejak Anak Usia 12 Bulan

Kenali Gejala Autis Sejak Anak Usia 12 Bulan

Email Cetak PDF

Deteksi beberapa gejala gangguan pada bayi di tahun-tahun awal kehidupan mereka.

Petti Lubis, Anda Nurlaila

VIVAnews - Gangguan perilaku interaksi dan komunikasi atau autisme masih menjadi tanda tanya dalam dunia medis. Meski penyebabnya belum diketahui secara pasti, ada cara untuk mengenali gejala autisme pada anak secara dini. Deteksi dan terapi autisme lebih cepat memberi hasil terbaik bagi perkembangan anak autis.

Neurolog Anak Dr Hardiono D Pusponegoro menyatakan spektrum autisme umumnya terdiri dari beberapa jenis, di antaranya gangguan autistik, sindroma Asperger, Pervasive Development Disorder (PDD NOS), sindroma Rett dan Childhood Disintegrative Disorder.


Peran orangtua sangat penting dalam upaya deteksi awal gejala autisme pada anak. Orangtua harus mewaspadai apabila dalam masa awal pertumbuhan bayi mulai menunjukkan gejala autisme.

Terdapat beberapa gejala gangguan pada bayi di tahun-tahun awal kehidupan mereka. Tidak adanya 'babbling', atau tidak dapat menunjuk dengan jari atau mimik yang kurang pada usia 12 bulan. Juga tidak ada kata berarti pada usia 16 bulan.

Di usia yang lebih tinggi 24 bulan misalnya, balita belum mampu mengucapkan dua kata yang bisa dimengerti. Atau, bisa juga anak kehilangan kemampuan bicara atau kemampuan sosial di berbagai usia.

"Gejala-gejala ini adalah tanda bahaya (red flags) yang memberi informasi pada orang tua bahwa anak kemungkinan mengidap autisme," ungkapnya pada konferensi pers Autism Now di FX Lifestyle Jakarta, Senin, 14 Juni 2010.

Untuk memastikan, skrining tanpa instrumen dinilai mampu mendeteksi lebih jauh gejala autisme anak. Bila diagnosis membuktikan anak mengalami gejala autisme seperti gangguan perilaku, interaksi, dan komunikasi perlu segera dilakukan terapi.

Intervensi sejak dini, menurut Dr. Hardiono berpengaruh signifikan terhadap perbaikan perilaku. Terapi dan edukasi yang tepat akan memperbaiki anak dengan autisme. "Dari pengalaman saya, pasien autisme sebagian besar tidak memerlukan obat. Yang diperlukan adalah terapi dan edukasi yang baik," katanya menambahkan.

Terapi medis diberlakukan apabila anak berperilaku maladaptif seperti agresif, repetitif, menyakiti diri sendiri, mengalami gangguan tidur atau hiperaktif atau memiliki penyakit penyerta lainnya.

Jika anak positif terdeteksi mengidap autis, Dr. Hardiono menjelaskan terapi perlu untuk membantu sesuai kebutuhan anak. "Terapi integrasi, floor time, terapi perilaku serta melibatkan orangtua serta edukasi yang tepat membantu anak mengatasi keadaan dalam dirinya sesuai usia." (umi)

Terapi-Edukasi, Obat Mujarab untuk Anak Penyandang Autis

Terapi-Edukasi, Obat Mujarab untuk Anak Penyandang Autis

Email Cetak PDF

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dalam perkembangannya, terapi autisme kian maju dan inovatif. Sebut saja terapi akustik, dolphin Theraphy atau terapi lain. Namun, yang terpenting, perhatian dan bantuan untuk mengarahkan anak autistik menjadi obat paling mujarab hingga saat ini.

Dokter spesialis anak, Hardiono D Pusponegoro berpendapat tidak semua anak yang telah menjalani terapi dapat langsung terjun ke kehidupan normal. "Ada juga anak autis yang setelah terapi dapat langsung di sekolah negeri. Tetapi, ada juga yang membutuhkan sekolah berkebutuhan khusus, sekolah peralihan, dan sekolah inklusi," ujarnya saat berbicara dalam sebuah acara di Jakarta, Selasa (15/6).


Namun, dia menuturkan, gabungan antara terapi dan edukasi yang tepat membuat anak berkebutuhan khusus mampu tumbuh dan belajar sesuai dengan kemampuan dan keadaan mereka. "Makin lama saya bekerja dengan pasien autisma, makin yakin bahwa sebagian besar pasien tidak memerlukan obat melainkan terapi dan edukasi yang tepat," imbuhnya.

Ia menyayangkan posisi sekolah berkebutuhan khusus tak lebih sebagai rumah penitipan anak bukan mengutamakan pendidikan yang tepat bagi anak-anak autisma. Sistem pendidikan khusus seharusnya dibentuk bagi anak berkebutuhan khusus yang lengkap dengan terapi, medis, dan edukasi memberikan perubahan terhadap perkembangan mereka.

"Masalahnya, di Indonesia sendiri, sekolah insklusi untuk gangguan prilaku seperti halnya autisma masih sulit untuk ditemukan,l kata dia.

Sementara itu, pakar Pendidikan asal Singapura, Prof. Eric Lim berpendapat intervensi sejak dini terhadap anak berkebutuhan khusus mutlak diperlukan. Intervensi tersebut diberikan dalam bentuk terapi dan pendidikan yang efektif seperti membangun kognisi, latihan, bahasa, sentuhan, dan pijat hingga terapi musik dan instrumen sesuai dengan tingkatan usia dan kemampuan.


"Program pendidikan benar-benar mengakomodasi anak dengan kebutuhan khusus yang tidak bisa mengikuti kehidupan normalnya. Disamping itu, pendidikan juga memiliki evaluasi dalam waktu tertentu untuk melihat kemajuan anak," kata dia.

Sekolah Khusus


Minimnya pendidikan yang mengakomodasi anak-anak berkebutuhan khusus mengilhami Klinik 'Anakku dan lembaga pendidikan khusus 'kits4kids' mengembangkan terapi-edukasi bagi anak-anak berkebutuhan spesial itu.

Di sekolah yang diberinama 'Anakku Kits4kits", anak diberikan terapi dan pendidikan yang efektif seperti membangun komunikasi, kognisi, latihan, bahasa, sentuhan dan pijat sesuai dengan tingkatan usia dan kemampuan.

Adapaun program yang ditawarkan antara lain, 'Early Intervention program for Infant and Childreen (EIPIC)', sebuah program khusus anak berusia 2-6 tahun dan program junior, untuk anak usia 7-12 tahun serta program care, untuk anak usia 10-18 tahun.

Rencananya, sekolah segera dibuka awal Juli 2010 di Cibubur, Depok dan Pulo Mas, Jakarta Timur yang mampu menampung 40 dan 100 anak berkebutuhan khusus.

Red: Ririn Sjafriani

Bisakah Anak Autis Bersekolah Normal

Bisakah Anak Autis Bersekolah Normal

Email Cetak PDF

Sekitar 40 juta anak Indonesia diperkirakan memiliki gangguan perkembangan.

Petti Lubis, Anda Nurlaila

VIVAnews - Gangguan perkembangan adalah salah satu penghambat pertumbuhan anak-anak secara fisik, perilaku maupun sosial. Sebesar 30 persen anak atau sekitar 40 juta anak Indonesia diperkirakan memiliki gangguan perkembangan serta memiliki kebutuhan khusus.

Masalah gangguan perkembangan anak, seperti down syndrome, hiperaktif, dan autisme, belum diketahui penyebab pastinya. Untuk Autisme saja, angka normal penderita mencapai 6/1000 anak. Beberapa penelitian beberapa tahun terakhir menunjukkan angka autisme di beberapa daerah tertentu bahkan lebih tinggi, hingga 2/100 anak.


"Di Indonesia, diperkirakan jumlah penderita autisme mencapai dua juta anak," kata Neurolog Anak Dr Hardiono D Pusponegoro SpA(K) di Jakarta, Senin 14 Juni 2010.

Yang menjadi permasalahan, menurut Dr Hardiono, tidak semua anak yang telah menjalani terapi dapat langsung terjun ke kehidupan normal. "Ada anak autis yang setelah terapi dapat langsung sekolah di sekolah negeri. Tetapi, ada juga yang membutuhkan sekolah berkebutuhan khusus, sekolah peralihan dan sekolah inklusi," katanya.

Gabungan antara terapi dan edukasi yang tepat membuat anak berkebutuhan khusus mampu tumbuh dan belajar sesuai kemampuan dan keadaan mereka. "Sistem pendidikan khusus dibentuk bagi anak berkebutuhan khusus lengkap dengan terapi, medis dan edukasi memberi perubahan besar terhadap perkembangan mereka," katanya.

Masalahnya, di Indonesia sendiri, sekolah inklusif untuk gangguan perilaku seperti halnya autisme masih sulit ditemukan.

Prof Eric Lim, Pakar pendidikan khusus anak mengungkapkan, intervensi sejak dini bagi anak berkebutuhan khusus memperbaiki perkembangan anak 'spesial' seperti pengidap autisme, hiperaktif dan down syndrome.

Memenuhi kebutuhan tersebut, Klinik 'Anakku' dan lembaga pendidikan khusus 'Kits4kids' mengembangkan sebuah terapi-edukasi bagi anak dengan gangguan perilaku. Di 'Anakku Kits4Kids', anak diberi terapi dan pendidikan yang efektif seperti membangun komunikasi, kognisi, latihan, bahasa, sentuhan dan pijat, hingga terapi musik dan instrumen sesuai dengan tingkatan usia dan kemampuan.

"Program pendidikan kebutuhan khusus melibatkan afeksi, perilaku dan kognisi anak. Hasilnya akan dievaluasi dalam waktu tertentu untuk melihat kemajuan anak," ungkap Lim.

Untuk anak usia 2-6 tahun terdapat program 'Early Intervention Program for Infant and Children (EIPIC)', program 'Junior' untuk anak usia 7-12 tahun serta program 'Care' untuk anak usia 10-18 tahun.

"Mereka diterapi sesuai kebutuhan dan sebelumnya dikonsultasikan dengan medis dan psikolog. Jika telah mampu bersosialisasi di masyarakat umum, akan segera dilepas. Namun, sekolah khusus ini mengakomodasi anak dengan kebutuhan khusus yang tidak bisa mengikuti kehidupan normalnya."

Rencananya sekolah yang segera dibuka awal Juli 2010 di Cibubur, Depok dan Pulomas, Jakarta Timur tersebut masing-masing mampu menampung 40 dan 100 anak berkebutuhan khusus. "Paduan terapi-edukasi rencananya akan segera kami sebarkan di kota-kota lain di Indonesia," kata Dr. Hardiono. (umi)

Bisakah Anak Autis Bersekolah Normal

Bisakah Anak Autis Bersekolah Normal

Email Cetak PDF

Sekitar 40 juta anak Indonesia diperkirakan memiliki gangguan perkembangan.

Petti Lubis, Anda Nurlaila

VIVAnews - Gangguan perkembangan adalah salah satu penghambat pertumbuhan anak-anak secara fisik, perilaku maupun sosial. Sebesar 30 persen anak atau sekitar 40 juta anak Indonesia diperkirakan memiliki gangguan perkembangan serta memiliki kebutuhan khusus.

Masalah gangguan perkembangan anak, seperti down syndrome, hiperaktif, dan autisme, belum diketahui penyebab pastinya. Untuk Autisme saja, angka normal penderita mencapai 6/1000 anak. Beberapa penelitian beberapa tahun terakhir menunjukkan angka autisme di beberapa daerah tertentu bahkan lebih tinggi, hingga 2/100 anak.


"Di Indonesia, diperkirakan jumlah penderita autisme mencapai dua juta anak," kata Neurolog Anak Dr Hardiono D Pusponegoro SpA(K) di Jakarta, Senin 14 Juni 2010.

Yang menjadi permasalahan, menurut Dr Hardiono, tidak semua anak yang telah menjalani terapi dapat langsung terjun ke kehidupan normal. "Ada anak autis yang setelah terapi dapat langsung sekolah di sekolah negeri. Tetapi, ada juga yang membutuhkan sekolah berkebutuhan khusus, sekolah peralihan dan sekolah inklusi," katanya.

Gabungan antara terapi dan edukasi yang tepat membuat anak berkebutuhan khusus mampu tumbuh dan belajar sesuai kemampuan dan keadaan mereka. "Sistem pendidikan khusus dibentuk bagi anak berkebutuhan khusus lengkap dengan terapi, medis dan edukasi memberi perubahan besar terhadap perkembangan mereka," katanya.

Masalahnya, di Indonesia sendiri, sekolah inklusif untuk gangguan perilaku seperti halnya autisme masih sulit ditemukan.

Prof Eric Lim, Pakar pendidikan khusus anak mengungkapkan, intervensi sejak dini bagi anak berkebutuhan khusus memperbaiki perkembangan anak 'spesial' seperti pengidap autisme, hiperaktif dan down syndrome.

Memenuhi kebutuhan tersebut, Klinik 'Anakku' dan lembaga pendidikan khusus 'Kits4kids' mengembangkan sebuah terapi-edukasi bagi anak dengan gangguan perilaku. Di 'Anakku Kits4Kids', anak diberi terapi dan pendidikan yang efektif seperti membangun komunikasi, kognisi, latihan, bahasa, sentuhan dan pijat, hingga terapi musik dan instrumen sesuai dengan tingkatan usia dan kemampuan.

"Program pendidikan kebutuhan khusus melibatkan afeksi, perilaku dan kognisi anak. Hasilnya akan dievaluasi dalam waktu tertentu untuk melihat kemajuan anak," ungkap Lim.

Untuk anak usia 2-6 tahun terdapat program 'Early Intervention Program for Infant and Children (EIPIC)', program 'Junior' untuk anak usia 7-12 tahun serta program 'Care' untuk anak usia 10-18 tahun.

"Mereka diterapi sesuai kebutuhan dan sebelumnya dikonsultasikan dengan medis dan psikolog. Jika telah mampu bersosialisasi di masyarakat umum, akan segera dilepas. Namun, sekolah khusus ini mengakomodasi anak dengan kebutuhan khusus yang tidak bisa mengikuti kehidupan normalnya."

Rencananya sekolah yang segera dibuka awal Juli 2010 di Cibubur, Depok dan Pulomas, Jakarta Timur tersebut masing-masing mampu menampung 40 dan 100 anak berkebutuhan khusus. "Paduan terapi-edukasi rencananya akan segera kami sebarkan di kota-kota lain di Indonesia," kata Dr. Hardiono. (umi)

Bayi Lahir Prematur Rentan Autisme

Bayi Lahir Prematur Rentan Autisme

Email Cetak PDF

Bayi-bayi yang lahir di minggu ke 37 hingga minggu 39 memiliki risiko tinggi.

Petti Lubis, Anda Nurlaila

VIVAnews - Walaupun penyebab pasti autisme belum dapat diketahui, sebuah penelitian terbaru menemukan bayi yang lahir lebih cepat satu minggu memiliki risiko mengidap masalah autisme dan gangguan pendengaran.

Bayi lahir pada minggu ke-39 -titik di mana sebagian besar bedah caesar dilakukan- mengalami kesulitan belajar daripada bayi yang lahir pada minggu ke-40.


Seperti yang dikutip dari Telegraph, peneliti menganalisis sejarah kelahiran 400 ribu anak sekolah yang lahir pada minggu ke-37 hingga 39. Mereka yang lahir pada rentang waktu ini berisiko 5,1 persen mengalami kesulitan belajar dan membutuhkan pendidikan khusus. Sementara mereka yang lahir pada minggu ke-40 memiliki tingkat risiko lebih rendah, empat persen.

Jill Pell, profesor kesehatan masyarakat dan kebijakan kesehatan Universitas Glasgow, mengemukakan para dokter dan calon orangtua harus mempertimbangkan risiko kesulitan belajar saat merencanakan operasi caesar.

"Bedah caesar saat ini sering dilakukan lebih cepat seminggu dari waktu lahir. Maka itu, jika membuat keputusan tersebut, pertimbangkan risiko dan manfaat potensialnya," katanya.

Adapun bahaya pada bayi yang lahir dalam 24 minggu pertama memiliki risiko kesehatan autisme dan gangguan perilaku yang sangat tinggi. Dari studi yang sama ditemukan sepertiga bayi lahir pada minggu ke-37 hingga minggu ke-39.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, jumlah orangtua yang memilih operasi caesar meningkat secara signifikan. Dari 400 ribu anak yang diteliti, 18 ribu tergolong memiliki kebutuhan khusus termasuk gangguan perilaku hiperaktif, autis disleksia, tuli serta memiliki penalaran rendah.

Studi ini diterbitkan dalam jurnal Public Library of Science Medicine. (umi)

Awas, Lantai Berbahan PVC Tingkatkan Risiko Autis

.Amelia Ayu Kinanti - detikhot
Autis Child Jakarta Perhatian bagi Anda para orang tua. Sebuah penelitian mengejutkan membuktikan bahwa lantai berbahan PVC dapat meningkatkan risiko anak terkena autis.

PVC atau Vinyl merupakan bahan yang telah dikenal sejak dulu. Biasanya PVC digunakan untuk alat-alat rumah tangga seperti pipa hingga bahan dasar lantai. Namun peneliti asal Swedia, Denmark serta Amerika Serikat menemukan sesuatu yang berbeda.

Dikutip dari Independent, Selasa (14/4/2009) para peneliti tersebut bermaksud menemukan penyebab penyakit autis pada anak-anak. Di Inggris, jumlah anak yang menderita autis sudah mencapai 200 ribu. Oleh karena itu, para peneliti merasa perlu mengetahui penyebab gangguan tersebut.

Selain faktor genetik, para peneliti juga menganggap autis dapat disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya racun dari polusi.

Dari penelitian itu terbukti bahwa lantai vinyl yang biasa dipakai di rumah-rumah sangat berbahaya. Dalam lantai tersebut bisa terjadi endapan debu yang mengandung phthalates.

Phthalates merupakan bahan kimia yang dapat membuat plastik menjadi lembut dan fleksibel dan telah digunakan selama bertahun-tahun. Di beberapa negara maju, pemakaian bahan kimia ini sudah dilarang karena efeknya yang buruk bagi kesehatan.

Yang berbahaya, debu yang mengandung Phthalates itu bisa tersedot melalui saluran pernapasan. Debu tadi akan berpengaruh pada kandungan di ibu hamil. Dan kebanyakan, mereka kemudian melahirkan anak yang menderita autis.

Phthalates tak hanya ada di lantai PVC, beberapa barang seperti mainan anak, kosmetik, kemasan makanan, farmasi dan perangkat, serta produk pembersih rumah dan bangunan juga mengandung zat kimia berbahaya tersebut. Ayo lebih hati-hati memilih produk rumah tangga Anda!
(kee/kee)

Pantang Menyerah Menemani Anak Autis

.Nurul Ulfah - detikHealth
Autism Child Jakarta, Tidak ada satu orang tua pun yang menginginkan anaknya terlahir sebagai anak autis. Namun ketika hal itu benar-benar menimpa mereka, tidak ada sikap yang lebih baik lagi selain menerima keadaan mereka apa adanya.

Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Autis bukanlah suatu penyakit, tapi gejala

Saat ini, banyak orang tua yang khawatir ancaman autis bakal menimpa anaknya. Mereka mulai panik ketika bayi mereka tidak bereaksi keika dipanggil, sering menangis, tidak ada eye contact, tidak tersenyum dan kadang terpukau dengan suatu benda.

Dra. Louisa Maspaitella, M.Psi dari RSAB Harapan Kita pun memaklumi kekhawatiran para orang tua tersebut.

"Saat ini jumlah anak autis di Indonesia banyak sekali, dan wajar saja orang tua ketakutan karena banyak faktor yang dapat menyebabkan seorang anak terkena autis, kita tidak pernah tahu, " ujar psikolog berdarah campuran Jawa dan Ambon tersebut dalam perbincangannya dengan detikhealth.

Dra. Louisa menyebutkan beberapa faktor penyebab autis, diantaranya faktor makanan, psikologi ibu, kurangnya oksigen, bahan-bahan kimia atau obat-obatan dan juga faktor genetik.

"Saya punya seorang pasien anak autis, ironisnya kedua orang tuanya seorang dokter, yang notabennya ahli di bidang medis. Lebih ironisnya lagi, ketiga anak mereka terlahir dalam keadaan autis semua," ungkap wanita yang sehari-harinya disibukkan di RSAB Harapan Kita sebagai ketua tim Poliklinik Parent Education.

Selidik punya selidik, ternyata sang ibu doyan makan kerang yang banyak tercemar oleh limbah zat-zat kimia. "Konsumsi seafood memang sah-sah saja, tapi segala sesuatu yang berlebih memang berakibat buruk," ucap Dra. Louisa.

Dra. Louis, begitu sapaan akrabnya, mengingatkan bahwa ibu hamil memang sangat rentan terhadap berbagai faktor resiko, kesehatan fisik dan psikis pun menjadi dua hal yang harus tetap dijaga.

Terkait dengan autis, gejala lain yang sering menyertai anak autis adalah ADHD. Berbeda dengan autis, Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD ditandai dengan gejala hiperaktif, tidak bisa fokus pada satu kegiatan, tidak bisa diam, sering mengganggu teman dan melakukan akivitas yang jarang dilakukan anak lain pada umumnya.

Anak autis memang bermasalah dalam hal komunikasi dan interaksi sosial, sepertinya mereka memiliki dunianya sendiri. Gejala ADHD pun terkadang hinggap pada mereka, namun tidak semua anak autis disertai dengan gejala ADHD.

"Anak autis belum tentu ADHD, dan begitu pula sebaliknya. Kedua gejala tersebut berbeda satu sama lain. Jika kita ingin tahu apakah seorang anak memiliki gejala ADHD atau tidak, coba dudukkan selama 5 menit saja di depan televisi, pasti ia tidak bisa dan langsung beranjak pergi jika memiliki gejala ADHD," ujar Dra. Louis.

Jika perilaku seorang anak sudah dicurigai sebagai autis atau ADHD, Dra. Louis menyarankan untuk membawanya segera ke dokter atau psikolog.

Orang tua pun harus lebih pintar dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada anaknya, faktor apa saja yang memicu perilakunya, tetap menjalin komunikasi dengan anak dan jangan membiarkannya hidup dalam ketidakwajaran.

Namun Dra. Louis pun mengingatkan untuk tidak cepat-cepat memvonis seorang anak hiperaktif. "Tapi jangan salah tanggap juga, anak hiperaktif tidak selalu ADHD. Seorang anak TK umur 5 tahun yang memiliki kemampuan mental sama dengan anak umur 7 tahun, cerdas, aktif dan cepat respon tidak dapat divonis sebagai anak ADHD," ujarnya.

"Yang penting orang tua maupun guru harus tahu apakah perilaku si anak sesuai atau tidak dengan standar usianya. Thomas Alfa Edison aja dianggap bodoh dan dikeluarkan dari sekolah oleh gurunya karena berperilaku aneh, namun justru dialah yang menemukan lampu," tambahnya.

Banyak terapi yang dapat dilakukan untuk menangani anak-anak autis maupun ADHD, diantaranya terapi bicara, okupasi, sensori, diet makanan, floor time, dan lainnya. Namun yag paling penting adalah memberikan terapi sesuai
permasalahannya.

Salah satu cara kreatif yang coba diterapkan Dra. Louis untuk menangani anak ADHD adalah dengan membuat rekaman video. "Orang tua merekam perilaku si anak, kemudian memutarnya kembali untuk membuat si anak tertarik. Lewat video itu, si anak diajarkan perilaku mana yang baik dan mana yang tidak. Bakat, kepribadian dan emosinya pun dapat lebih terpantau. Terapi ini cukup berhasil membuat anak fokus sekaligus mengedukasi anak lewat media yang menarik," ujarnya.

"Orang tua harus kenal dulu penyebabnya apa, dan jangan malu berkomunikasi dengan dokter. Tidak jarang orang tua yang merasa malu dengan keadaan anaknya sehingga membiarkannya begitu saja," ucap wanita yang juga tergabung dalam Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) tersebut.

Penanganan autis memang membutuhkan waktu yang lama, ada yang dapat sembuh dan ada juga yang sulit disembuhkan. "Salah satu pasien saya dapat kembali normal ketika sudah mencapai sarjana. Saya tahu dan melihat sendiri, dibalik kesembuhannya itu ada pengorbanan yang luar biasa dari orang tuanya," ujar Dra. Louis.

"Setiap manusia pasti punya kekurangan, tapi jangan terpaku pada kekurangan itu, lihatlah kelebihannya," demikian ucap Dra. Louis.

Cara berpikir para orang tua pun harus diubah, jangan melihat dari sisi negatifnya saja, tapi lihatlah keadaan tersebut sebagai ladang bagi mereka untuk lebih sabar dan ikhlas.

"Anak autis harus diterima apa adanya, hanya dengan mencintai, menghargai dan dorongan untuk terus belajar, ia akan merasa dicintai pula," ucapnya.