Sunday, December 14, 2008

Asperger, Sumber Anak Sulit Sosialisasi

Asperger, Sumber Anak Sulit Sosialisasi

Email Cetak PDF
KINI varian autisme semakin banyak diketahui. Salah satunya, sindrom asperger dengan gejala tidak mampu berkomunikasi efektif dan minimnya kemampuan koordinasi.

Angka penderita autisme di seluruh dunia terus meningkat, termasuk di Indonesia. Sayangnya, belum ada data yang menunjukkan berapa persis angka kejadian penderita autisme di Indonesia.

Tidak hanya penderitanya yang bertambah, kini varian autisme juga semakin banyak diketahui. Sindrom asperger merupakan salah satu varian autisme yang lebih ringan dibandingkan kasus autisme klasik.

Gangguan asperger berasal dari nama Hans Asperger, seorang dokter spesialis anak asal Kota Wina, Austria. Pada tahun 1940, Asperger ialah orang pertama yang menggambarkan pola perilaku khusus pada pasien-pasiennya, terutama pasien laki-laki.

Asperger memperhatikan bahwa meskipun anak lakilaki ini memiliki tingkat inteligensia yang normal serta kemampuan bahasa yang baik, namun mereka memiliki kekurangan dalam kemampuan bersosialisasi. Umumnya mereka tidak mampu berkomunikasi secara efektif serta kemampuan koordinasi yang kurang baik.

Menurut Susan B Stine, MD, Clinical Assistant Professor of Pediatrics Jefferson Medical College Philadelphia, karakter dari anakanak yang mengalami sindrom asperger ialah kurangnya kemampuan berinteraksi sosial, pola bicara yang tidak biasa, dan tingkah laku khusus lainnya.

Kemudian, anak-anak dengan sindrom asperger biasanya sangat sulit untuk menampilkan ekspresi di wajahnya serta sulit untuk membaca bahasa tubuh orang lain.

Mereka kemungkinan juga merasa nyaman dengan rutinitas tertentu yang harus dilakukan setiap hari serta sensitif terhadap stimulasi sensori tertentu. Misalnya, mereka akan terganggu oleh nyala lampu redup yang mungkin tidak diperhatikan oleh orang lain.

"Bisa saja mereka menutup kuping agar tidak dapat mendengarkan suara di sekitarnya atau mereka mungkin lebih memilih pakaian dari bahan-bahan tertentu saja," jelas Stine.

Selain itu, terangnya, ciri dari anak yang mengalami sindrom asperger adalah terlambatnya kemampuan motorik, ceroboh, minat yang terbatas dan perhatian berlebihan terhadap kegiatan tertentu.

Menurut Dokter Spesialis Anak konsultan Neurologi, dr Hardiono D Pusponegoro, Sp A(K),sindroma asperger adalah gangguan perkembangan dengan gejala berupa gangguan dalam bersosialisasi, sulit menerima perubahan, suka melakukan hal yang sama berulang-ulang, serta terobsesi dan sibuk sendiri dengan aktivitas yang menarik perhatian.

"Umumnya, tingkat kecerdasan si kecil baik atau bahkan lebih tinggi dari anak normal. Selain itu, biasanya ia tidak mengalami keterlambatan bicara," kata Hardiono.

Sekilas terlihat, anak dengan sindrom asperger tidak berbeda dengan anak yang pintar dan kreatif. Hanya saja, anak tersebut biasanya memiliki satu minat tertentu saja untuk dikerjakannya.

Secara keseluruhan, anak-anak yang mengalami gangguan sindrom asperger mampu melakukan kegiatan sehari-hari, namun terlihat sebagai pribadi yang kurang bersosialisasi sehingga sering dinilai sebagai pribadi eksentrik oleh orang lain.

Menurut Stine, jika penderita sindrom asperger beranjak dewasa, biasanya mereka akan merasa kesulitan untuk mengungkapkan empati kepada orang lain serta tetap kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain.

"Para ahli mengatakan bahwa penderita sindrom asperger biasanya akan menetap seumur hidup. Namun, gejala tersebut dapat dikurangi dan diperbaiki dalam kurun waktu tertentu. Deteksi dini sindrom asperger akan sangat membantu," pungkasnya.

(sindo//tty)

Tentukan Suplemen Anak Autis melalui Analisis Rambut

Tentukan Suplemen Anak Autis melalui Analisis Rambut

Email Cetak PDF

Anak Autis AUTIS belum diketahui pasti penyebabnya, tetapi autis bisa dideteksi, di antaranya dengan menggunakan analisis rambut. Analisis ini juga bisa digunakan untuk menentukan suplemen yang tepat untuk anak autis.


Dikatakan seorang pakar autis, nutrisi, dan suplemen dari Australia, Dr Igor Tabrizian MD bahwa ada beberapa anak yang mengalami autis juga mengalami gangguan pencernaan terutama bagian usus.

”Sebab itu, beberapa anak ada yang melakukan diet dan mengatur pola makannya,” tuturnya dalam acara ”Tanya Jawab Seputar Autis” di Financial Hall Graha Niaga, Jakarta, belum lama ini.

Igor mengatakan, untuk mengetahui asupan suplemen yang tepat untuk anak autis, bisa dilakukan dengan menggunakan analisis rambut.

”Analisis rambut bisa digunakan untuk mendeteksi suplemen yang tepat untuk mereka,” ujarnya. Dijelaskan Igor, analisis rambut mineral merupakan tes analisis yang menghitung nutrisi dan kadar racun yang terkandung mineral dalam rambut. Rambut merupakan medium yang ideal untuk dianalisis. Tingkat dari rambut dan nutrisi mineral bisa digunakan untuk mendiagnosis kelainan perilaku. ”Racun akan terdeteksi di rambut karena salah satu tempat pembuangan racun adalah di rambut,” ucapnya.

Dikatakannya, rambut biasa digunakan sebagai jaringan yang dipilih oleh US Environmental Protection Agency dalam menentukan racun metal yang terpapar dalam susu, air seni, ludah juga keringat yang merupakan hasil dari komponen yang terserap, namun dapat dikeluarkan. Rambut, kuku, dan gigi merupakan tempat mineral-mineral dalam bentuk kecil disimpan.

Analisis rambut sangat unik karena memberikan informasi langsung mengenai sel secara aktif yaitu di dalam metabolisme nutrisi. Seperti pentingnya vitamin, asupan mineral yang baik dibutuhkan tubuh. Vitamin tidak bisa berfungsi dan tidak bisa berasimilasi tanpa bantuan mineral. ”Tes analisis rambut dilakukan untuk mengetahui seberapa baik perjalanan suatu bahan kimia dari otak ke perut seseorang,” ungkapnya.

Walaupun dalam mendeteksi hal yang berkaitan dengan autis bisa dilakukan juga melalui tes vitamin, tes darah, dan tes urine, Igor meyakinkan bahwa analisis rambut memberikan berbagai paparan terhadap racun metal yang tidak bisa terlihat dari tes darah maupun tes seni. Selain itu, kunci keabsahan analisis rambut terletak pada kredibilitas laboratorium dan keahlian ahli medis dalam menginterpretasikan hasil analisis.

”Analisis rambut tidak hanya merefleksikan hal yang ada saat itu saja, tetapi dalam jangka panjang mengenai banyaknya metal racun yang ada dalam tubuh,” papar Igor. Dia menjelaskan, apabila kadar logam berat yang terukur dalam analisis rambut menyatakan hasil yang jumlahnya tinggi, itu berarti pencernaan dari anak autis tersebut sudah semakin membaik karena banyak zat toksin yang berhasil dikeluarkan dari dalam tubuh.

Sesuatu yang harus dikhawatirkan adalah apabila kadarnya turun karena hal tersebut menunjukkan masih banyaknya zat toksin di dalam tubuh yang tidak mampu dikeluarkan. Hal itu juga berarti bahwa kadar autis anak itu semakin parah.

”Setiap toksin yang masuk ke tubuh akan memberikan respons yang berbeda pada setiap orang,” ujarnya.

Dalam menggunakan analisis rambut ini, Igor menjelaskan caranya, yaitu dengan mengumpulkan sampel rambut, kira-kira 600 miligram rambut untuk mengevaluasi 17 logam berat beracun serta 23 elemen penting lainnya.

Dari situ, hasil tes akan memberikan informasi tentang nomor, tipe, dan jumlah logam berat beracun, derajat trace mineral (mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil), dan kekacauan dari metabolisme mineral ini.

”Kadar racun yang ada di dalam tubuh seseorang dapat terdeteksi dengan analisis rambut sehingga dapat diketahui perawatan apa yang cocok dan suplemen yang tepat untuk dikonsumsi anak,” kata Igor.

Analisis rambut dapat mengidentifikasi kekurangan nutrisi jangka panjang yang merupakan akar dari penyakit yang ada, serta menemukan logam berat beracun yang dapat menimbulkan penyakit. Dengan adanya asupan nutrisi dan suplemen yang tepat, maka akan membantu mengusir racun keluar dari dalam tubuh. ”Umumnya setelah 24 bulan perawatan, maka akan didapatkan hasil yang lebih baik,” katanya.

Seorang ibu dari anak autis sekaligus pendiri Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI), Gayatri Pamoedji SE MHc menceritakan pengalamannya mengenai analisis rambut. Ia mengatakan, tes ini sangat memuaskan karena dirinya menjadi tahu suplemen apa yang tepat untuk dikonsumsi anaknya. ”Analisis rambut sudah saya lakukan sejak delapan tahun yang lalu,” ucapnya.

Gayatri mengaku tidak hanya anaknya yang mengalami autis yang mengikuti analisis rambut, tetapi juga anggota keluarganya. Sebab, dari hasil tes tersebut, ia juga mengetahui informasi lain yang berguna untuk kesehatan tubuhnya seperti vitamin apa yang kurang dikonsumsinya.

”Walaupun sudah menggunakan analisisi rambut, bukan berarti anak yang sudah melakukan tes analisis rambut tidak memerlukan terapi lain. Terapi lain untuk Audwin masih saya gunakan untuk hasil yang semakin baik,” ucap wanita lulusan Master of Health Conseling, Curtin University of Technology, Perth, Australia Barat ini.

Igor mengatakan, intinya masalah utama dari autis terletak pada masalah racun, pencernaan, dan otak. Jika kesemuanya itu dapat terkontrol, bukanlah suatu hal yang tidak mungkin jika kondisi anak bisa membaik akibat nutrisinya sudah tepat.
(Koran SI/Koran SI/tty)

Hormon Oxytocin Hilangkan Gejala Gangguan Spektrum Autis

Hormon Oxytocin Hilangkan Gejala Gangguan Spektrum Autis

Email Cetak PDF
Hormon oxytocin (Bahasa Indonesia menulis oksitosin) menunjukkan peningkatan interaksi sosial. Harapan berkembang bahwa hormon yang dikenal untuk meningkatkan rasa kepercayaan diri juga dapat digunakan untuk mengobati autis. Hormon oxytocin telah dihubungkan dengan berbagai ciri-ciri perilaku sosial pada hewan, termasuk ikatan ibu-bayi dan seksualitas.

Hormon dan neurotransmiter juga telah menunjukkan untuk mempromosikan rasa kepercayaan diri dan sifat-sifat lainnya yang berguna secara sosial pada manusia. Sekarang bukti baru bahwa bangunan oksitosin dapat digunakan untuk mengobati orang dengan gangguan spektrum autis yang sering ditandai oleh interaksi sosial yang buruk, perilaku yang berulang, dan kurangnya komunikasi. Saat ini tidak ada penyembuhan atau perawatan khusus untuk autisme.

Dalam studi terbaru yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences, sebuah tim peneliti Perancis melihat efek oxytocin pada 13 orang dewasa dengan Asperger syndrome atau high-functioning autism. Setiap orang diuji dua kali, sekali diberikan baik oksitosin ataupun plasebo dalam metode random, dan sekali lagi setelah diberikan terapi yang lain. Hasil yang pertama menunjukkan bahwa pemberian hormon dapat meningkatkan perilaku sosial.

"Dampak pada hewan adalah kuat. Dampak pada sukarelawan yang sehat kuat. Data terakumulasi pada pasien dengan autisme juga sangat kuat," kata Eric Hollander, psikiater dari Montefiore Medical Center di New York yang tidak terlibat dengan penelitian.

Elissar Andari dan Angela Sirigu, dari French national research centre (CNRS) di Bron, dan rekan-rekan mereka mengidentifikasi bahwa menghirup oxytocin meningkatkan jumlah waktu pasien dapat berfokus pada 'informatif sosial' di daerah wajah, seperti mata. Gagal untuk membuat kontak mata adalah salah satu sintom dari gangguan autistik.

Untuk meneliti apakah pengobatan benar-benar bisa memperbaiki perilaku, tim juga mendapati responden memainkan permainan yang membutuhkan kesadaran sosial. Responden diminta untuk melemparkan bola virtual ke salah satu dari tiga simulasi mitra dan menerima bola kembali. Seiring waktu, para peneliti mengubah perilaku mitra sehingga akhirnya orang akan selalu melempar bola kembali ke pemain manusia. Pasien plasebo tampaknya tidak dapat membedakan antara pemain 'baik' dan 'buruk'. Namun, setelah menghirup oxytocin, mereka mengirim lebih banyak bola ke pemain 'baik'.

"Saya pikir, kami telah menunjukkan efek yang dapat diambil secara serius. Kami punya segalanya untuk pasien ini. Potensi oxytocin. Kami yakin dalam beberapa pasien akan berhasil," kata Sirigu, direktur Pusat CNRS Cognitive Neuroscience di Bron.

Walaupun tidak memberikan bukti mamfaat dalam jangka panjang, eksperimen Sirigu adalah salah satu dari sejumlah kecil studi yang telah bersemangat di bidang autisme. Pada tahun 2007, Hollander melakukan studi yang dipublikasikan di Biological Psychiatry menunjukkan bahwa kemampuan orang dewasa untuk memproses dan mempertahankan intonasi emosional dalam sebuah kalimat menjadi membaik setelah pemberian intravena oxytocin.

Dan tahun lalu, tim yang dipimpin oleh Adam Guastella, peneliti senior dari Brain and Mind Research Institute di University of Sydney, Australia, menunjukkan bahwa pasien muda dengan autisme yang menerima oxytocin lebih baik dalam mengenali suatu tugas yang melibatkan emosi yang diekspresikan dalam foto-foto daripada mereka yang menerima placebo.

"Oxytocin adalah obat pertama untuk meningkatkan pandangan mata dan kognisi sosial pada autisme, setidaknya dalam jangka pendek. Hal ini sangat menarik karena saat ini kami tidak memiliki intervensi yang efektif untuk masalah-masalah sosial pada autisme. Penelitian ini berkembang pada langkah secara hati-hati tetapi ada sedikit keraguan bahwa dalam beberapa tahun ke depan akan ada beberapa eksperimen terkontrol secara random dengan oxytocin untuk mengobati gangguan spektrum autisme," Guastella.

Simon Baron-Cohen, Direktur Autism Research Centre di Universitas Cambridge, Inggris, mengatakan bahwa penelitian baru ini semakin menambah bukti bahwa oxytocin berhubungan dengan peningkatan keterampilan sosial untuk orang-orang dengan dan tanpa kondisi spektrum autisme. Tapi pertanyaan tetap, "Pertama, jika oxytocin memiliki jangka sangat pendek (menit atau jam) cara praktis ini sebagai berpotensi bagi 'terapi'? Kedua, meskipun tampaknya oxytocin meningkatkan keterampilan sosial, diketahui mempengaruhi sejumlah sistem lain termasuk gairah seksual dan menyusui, jadi hal ini mungkin berarti bahwa beberapa dari efek yang tidak diinginkan."
  1. Kosfeld, M. , Heinrichs, M. , Zak, P. J. , Fischbacher, U. & Fehr, E. Nature 435, 673-676 (2005).
  2. Andari, E. et al. Proc. Natl Acad. Sci. USA doi:10.1073/pnas.0910249107 (2010).
  3. Hollander, E . et al. Biol. Psychiatry 61, 498-503 (2007).
  4. Guastella, A. J. et al. Biol. Psychiatry doi:10.1016/j.biopsych.2009.09.020 (2009).

Aneka Terapi untuk Aneka Autisme

Aneka Terapi untuk Aneka Autisme

Email Cetak PDF

AUTISME bukan semacam vonis yang tak bisa ditawar lagi. Ada sejumlah terapi yang bisa dilakukan. Menurut Melly Budhiman, Ketua Yayasan Autisme Indonesia, semakin cepat dilakukan penanganan terhadap penderita autisme, hasilnya akan semakin baik pula. Terapi yang dilakukan sejak dini dapat menghilangkan gejala yang umumnya terjadi pada anak autis, hingga akhirnya si anak bisa sejajar dengan temannya yang lahir normal.

Ada bermacam terapi. Namun terapi untuk penderita autisme biasanya berbeda-beda, bergantung pada kebutuhan masing-masing. Waktu terapi dan keberhasilannya juga tidak sama. Peran serta orang tua dengan rajin mengulang terapi di rumah, tingkat kecerdasan anak, serta ringan atau beratnya autisme akan sangat berpengaruh. Berikut ini beberapa jenis terapi yang sering dilakukan.

Terapi Okupasi

Penderita autisme biasanya mendapati kesulitan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Bukan cuma itu, mereka juga tidak tahu bagaimana menyelesaikan pekerjaan yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari. Padahal, bagi anak-anak normal, pekerjaan seperti itu mudah saja dilakukan.

Problem ini timbul lantaran penderita autisme umumnya mengalami gangguan motorik. Untuk mengembangkan motorik halusnya, terapi okupasi adalah salah satu jalan keluar.

Ada beberapa latihan yang dilakukan, antara lain latihan berkonsentrasi menyusun barang-barang kecil (meronce) yang melibatkan kerja otak, mata, dan tangan secara bersama-sama. Untuk melatih motorik tangan, penderita autisme juga diajari cara memegang pensil, pulpen, atau sendok dengan benar. Pada terapi ini, biasanya diajarkan juga melakukan kegiatan sehari-hari (activity daily living) seperti cara memakai topi, sepatu, dan baju. Juga bagaimana cara makan dan minum tanpa bantuan orang lain, membedakan benda-benda yang kasar dan halus, serta melatih indra penciuman seperti mencium bau atau wangi.

Terapi Wicara

Bukan rahasia lagi, kemampuan berbicara penderita autisme berkembang dengan amat lambat. Saat teman-teman sebayanya sudah pandai bercerita, anak autis biasanya sulit sekali bersuara sekalipun untuk sepatah kata. Kalaupun akhirnya mengoceh, suara dari bibir mereka terdengar aneh dan sering seperti gumaman yang sulit dimengerti.

Dengan terapi wicara, kemampuan berbicara anak autis jadi terdongkrak. Mereka yang telah sukses menjalani terapi ini akan mudah bercakap-cakap. Bahkan ada beberapa anak autis yang kemampuan bahasanya di atas anak-anak normal sebayanya.

Ada sejumlah latihan yang mesti dilakukan: bertepuk tangan dengan ritme yang berbeda-beda, mengimitasi bunyi vokal, mengimitasi kata dan kalimat, belajar mengenal kata benda dan sifat, merespons bunyi-bunyi dari lingkungan sekitar dan belajar membedakannya, mengembangkan kemampuan organ artikulasi, belajar berbagai ekspresi yang mewakili perasaan (sedih, senang, cemas, sakit, dan marah), menangis, berlatih mengangguk untuk mengatakan "ya", menggeleng untuk "tidak", dan lain-lain, juga belajar merangkai kata, frase, dan kalimat. Untuk alat bantu, biasanya digunakan gambar ataupun benda.

Terapi Tingkah Laku

Patuh adalah salah satu kesulitan yang sering dialami penderita autisme. Terapi tingkah laku meliputi pelbagai hal. Misalnya, diajarkan bagaimana duduk diam dengan tangan dilipat di atas meja. Biasanya terapis akan menggunakan kalimat perintah yang agak keras untuk membuat anak berkonsentrasi. Penderita autisme lebih banyak tenggelam dalam dunianya sendiri dan, karena itu, akan diajak berkomunikasi dengan orang lain, termasuk melalui kontak mata.

Salah satu metode yang terkenal untuk mengajarkan terapi tingkah laku adalah Applied Behavior Analysis (ABA) atau sering disebut pula metode Lovaas. Diadopsi dari nama penemunya, metode ini baru diterapkan di Indonesia sekitar tahun 1997. Dengan cirinya yang terstruktur, terarah, dan terukur, metode ini memudahkan orang tua memantau perkembangan anak mereka.

Materi yang diajarkan antara lain memasangkan benda-benda seperti piring dengan gelas dan mengidentifikasi benda-benda di sekitar. Si penderita misalnya diminta mengambil benda yang disebut oleh terapis serta melakukan pekerjaan yang diperintahkan. Selain itu, diajarkan pengetahuan akademis dalam tingkat yang sederhana, misalnya belajar mengenal huruf dan angka.

Model ini juga mengajari anak autis memfokuskan perhatian dan bersosialisasi dengan teman-temannya, dua hal yang sangat sulit dilakukan oleh penderita.

Fisioterapi

Penderita autisme biasanya juga mengalami gangguan pada motorik kasarnya-selain motorik halus. Problem yang kerap timbul antara lain anak tidak bisa berjalan dengan menjejakkan telapak kakinya ke lantai (berjalan jinjit). Anak autis juga kerap sulit mencontoh gerakan yang diperagakan terapis, misalnya memainkan tangan, kaki, atau kepala. Untuk mengatasinya, bisa diterapkan fisioterapi.

Bentuk terapi latihan fisik ini antara lain senam untuk menguatkan otot, peregangan (stretching), pijatan di daerah otot yang tegang, dan latihan keseimbangan.

Pelaksanaannya berbeda untuk tiap penderita, tergantung masalah yang dialami. Ada anak autis yang sangat hiperaktif atau sebaliknya terlalu diam dan malas bergerak.

Terapi Air

Penderita autisme umumnya takut dengan air. Padahal latihan yang dilakukan di kolam renang bisa membantu memulihkan kondisi fisik penderita autisme lebih cepat daripada di darat. Sebab, tekanan di dalam air membantu mengencangkan otot-otot, terutama di bagian lengan dan kaki.

Gerakan yang dilakukan sebagian besar hampir sama dengan fisioterapi, antara lain senam dan stretching. Bila penderita sudah mampu mengatasi rasa takut berada di dalam air, latihan akan dilanjutkan dengan gerakan-gerakan dasar berenang.

Terapi Musik

Tak dapat disangkal, musik adalah sebuah keajaiban. Bukan hanya mempesona bagi mereka yang terlahir normal, musik bisa menjadi salah satu alat bantu terapi.

Terapi musik bisa digunakan sebagai alat bantu untuk memecahkan kebuntuan komunikasi pada anak. Musik adalah alat ampuh untuk mengembangkan kepekaan suara dan mendongkrak kemampuan berbahasa pada anak. Selain itu, terapi ini bisa mendobrak dinding yang seolah memisahkan anak dengan lingkungannya dan mengajari anak bersosialisasi.

Metode yang dilakukan antara lain mengenalkan musik melalui bunyi atau lagu. Selanjutnya, anak akan meniru lagu yang diputar dan melakukan gerakan seperti dalam lagu. Cara ini bisa meningkatkan fungsi indra pendengaran dan merangsang kemampuan berbicara.

Terapi Medikamentosa

Dalam pelaksanaannya, terapi ini tidak bisa dilakukan tanpa pengawasan dokter yang berwenang. Pemberian obat-obatan ataupun vitamin dosis tinggi tidak boleh sembarangan. Sebab, dampak yang akan terjadi pada tiap penderita autisme berbeda-beda. Terapi bergantung pada gangguan yang terjadi.

Ada beberapa gejala yang sebaiknya dihilangkan dengan pemberian obat-obatan, yaitu saat anak terlalu hiperaktif, menyakiti diri sendiri dan orang lain (agresif), merusak, dan sulit tidur. Meski begitu, harus dicamkan, obat bukan untuk menyembuhkan, melainkan untuk menghilangkan gejala saja.

Pemberian vitamin B (B6 dan B15) dosis tinggi pada sebagian anak dapat menimbulkan dampak positif. Sedangkan untuk obat-obatan biasanya digunakan obat antidepresi yang dapat meningkatkan jumlah seretonin di dalam otak.

Terapi Diet

Mengatur pola makan adalah hal penting lainnya yang harus dilakukan pada penderita. Ada beberapa makanan yang harus dihindari, antara lain camilan yang mengandung gluten, kasein, serta zat lain seperti penambah rasa (MSG), pewarna makanan, gula sintetis, dan ragi yang digunakan untuk fermentasi makanan.

Gluten adalah protein yang didapat dari tepung terigu seperti sereal gandum, barley, dan oat, juga makanan yang dibuat dari olahan tepung terigu seperti mi, roti, dan kue kering.

Kasein merupakan protein yang berasal dari susu hewan serta hasil olahannya seperti keju, susu asam, dan mentega. Sebagai gantinya, bisa diberikan susu yang diolah dari kedelai, kentang, almon, dan lain-lain.

Dewi Rina Cahyani

Gen Penyebab Autisme Ditemukan Dominan Pada Pria

Gen Penyebab Autisme Ditemukan Dominan Pada Pria

Email Cetak PDF

TEMPO Interaktif, Jakarta : Bagi pemerhati sindrom kelainan emosional dan mental yang disebut dengan istilah autisme, riset yang menunjukkan bahwa kelainan itu lebih rentan menimpa anak laki-laki dibanding perempuan mungkin sudah pernah didengar.

Riset itu dilanjut oleh kelompok peneliti dari University of California, Los Angeles (UCLA) yang melaporkan penjelasan atas hasil riset sebelumnya pada jurnal kesehatan Molecular Psychiatry baru-baru ini.


Tim dari UCLA itu menemukan unsur genetis tertentu pada pola genetis penderita-penderita autis yaitu pada kromosom 17. Kromosom 17 adalah salah satu dari 23 pasang kromosom yang menyusun struktur DNA dan protein pada setiap sel manusia, yang mengandung sekitar 1.200 sampai 1.500 unsur genetis.

Para ahli memberi nama unsur genetis itu CACNA1G dan mengatakan pengamatan mereka atas 1.000 penderita autis menunjukkan bahwa unsur itu lebih banyak ditemui pada penderita laki-laki dibanding perempuan. Namun penelitian itu belum dapat menjelaskan mengapa unsur itu bisa lebih banyak ditemui pada penderita laki-laki dibanding perempuan.

Dr. Daniel Geschwind, Direktur Pusat Penelitian dan Penanganan Autisme Universitas California Los Angeles mengatakan unsur CAGNA1G sebenarnya ditemui secara umum pada sekitar 40 persen sampel DNA yang diamati, namun satu varian dari unsur itu ternyata dominan pada anak laki-laki.

Namun Geschwind mengingatkan bahwa unsur genetis pada kromosom 17 itu tidak dapat dianggap sebagai penyebab tunggal autisme karena masih banyak unsur genetis lain yang menjadi penyebab kelainan itu seperti yang ditemukan pada riset-riset sebelumnya.

YAHOO | WIKIPEDIA | RONALD

Terapi Gambar untuk Si Autis

Terapi Gambar untuk Si Autis

Email Cetak PDF
TEMPO Interaktif,Tennessee- Terapi integrasi sensor di Nashville Tennessee, Amerika Serikat, baru-baru ini berhasil membuat anak penderita autis bisa berbicara.

Ryan Wallace, 7 tahun, penderita autis mulai berbicara kepada orang tuanya. Sejak usia 2 tahun, Ryan hanya berteriak tidak jelas atau menggunakan jarinya jika meminta sesuatu. Kini Ryan terbiasa menyapa dan bergabung dalam perbincangan dengan orang lain. “Ia juga bisa mengucap ‘saya mencintaimu’,” ujar Gerald David Wallace, si ayah.

Terapi integrasi sensor mengajari Ryan berkenalan dengan gambar-gambar di komputer. Lalu Ryan diminta memberi nama dan mengidentifikasi semua item dalam gambar. Ryan juga dikenalkan beberapa kata-kata lalu merangkai cerita. Terapi ini dilakukan berulang-ulang dalam sebuah ruangan khusus dan didampingi seorang terapis.

Saat Ryan mengamati gambar di video, kepala Ryan dibekap sebuah alat sensor otak. Alat ini memberi gambaran otak kepada dokter yang mendampingi Ryan. Gambaran tersebut membantu dokter mengenali bagaimana otak anak autis bekerja.

Terapi ini dikembangkan di Sekolah Susan Gray untuk anak-anak di Nashvile. Guru besar ilmu mendengar dan berbicara di Vanderbilt's Wilkerson Centre THT dan Ilmu Komunikasi, Stephen Camarata, menilai terapi ini ampuh membantu anak autis berbicara, mendengar, dan memahami.

Terapi ini, kata Camarata, sama halnya dengan anak-anak normal diajarkan oleh orang dewasa tentang mainan, berinteraksi dengan gambar, dan bebricara. Namun bagi anak-anak penderita dengan kebutuhan khusus ini, hal ini sangat sulit. Karena itu terapi ini dilakukan berulang-ulang. Tujuannya, “Anak memiliki banyak kesempatan untuk mengartikan setiap interaksinya," ujarnya.

CNN/AKBAR TRI KURNIAWAN

Tanda-tanda Anak Autis yang Patut Dicurigai

Tanda-tanda Anak Autis yang Patut Dicurigai

Email Cetak PDF

Nurul Ulfah - detikHealth

Jakarta, Banyak orangtua yang merasa ketakutan anaknya akan terlahir autis. Beberapa tanda autis sebenarnya bisa dideteksi mulai dari bayi lahir hingga anak berumur lima tahunan. Deteksi dini bisa mengurangi beban mental dan mempercepat penanganan maupun penyembuhan anak autis.

Autis terjadi pada 1 dari 700 orang dan lebih banyak terjadi pada laki-laki. Gejala autis biasanya sudah bisa terlihat sejak umur 18 bulan hingga 3 tahun. Beberapa tanda autis juga bisa diketahui sejak bayi.

Anak autis memiliki perkembangan otak yang tidak biasa dan menghasilkan sikap introvert (tertutup), tidak mau berinteraksi dengan lingkungan dan mungkin menjengkelkan bagi sebagian orangtua karena sikapnya yang seakan-akan tidak menurut.

Seperti dikutip dari Disabledworld, Selasa (16/2/2010), berikut ini beberapa gejala autis yang bisa dideteksi mulai dari bayi hingga tahun kelima pertumbuhan anak:

Baru lahir

Sejak bayi, anak autis biasanya tidak bisa merasakan atau merespons kehadiran orangtuanya. Ia tidak akan tertarik untuk melakukan kontak mata dan cenderung tertarik dengan objek yang bergerak. Bayi autis juga lebih banyak diam dan tidak menangis selama berjam-jam.

Tahun Pertama

Ada sejumlah kemampuan utama yang umumnya dicapai anak anak dalam usia setahun antara lain berdiri dengan bantuan orangtua, merangkak, mengucapkan sebuah kata sederhana, menggerakkan tangan, tepuk tangan atau gerak sederhana lainnya.

Jika anak tidak dapat melakukan kemampuan ini, tidak berarti itu gejala autisme. Ia dapat saja mencapai kemampuan itu nanti. Namun tak ada salahnya untuk waspada dan segera periksakan jika anak tak mencapai satu pun kemampuan umum diatas.

Tahun Kedua

Gejala autisme terlihat lebih jelas jika anak tidak tertarik pada ibunya atau orang lain, jarang menatap atau tidak terjadi kontak mata, tidak menunjuk atau melihat pada objek yang diinginkan, tak dapat mengucapkan dua patah kata, kehilangan kata-kata yang sebelumnya ia kuasai, mengulang-ulang gerakan seperti menggoyangkan tangan atau mengayunkan tubuh ke depan-belakang, tidak suka bermain, sering berjalan berjinjit.

Tahun Ketiga-Kelima

Gejala autisme setelah tahun kedua, semua yang terjadi pada tahun sebelumnya di atas dengan tambahan terobsesi oleh suatu objek tertentu seperti mainan atau game, sangat tertarik dengan suatu rutinitas, susunan atau keteraturan benda, sangat marah jika keteraturan atau susunan benda terganggu, sensitif terhadap suara keras yang sebenarnya tidak mengganggu anak lainnya dan sensitif terhadap sentuhan orang lain seperti tak suka dipeluk.

Jika bayi memiliki salah satu atau beberapa gejala di atas, segera periksakan ke dokter spesialis untuk meyakinkan kekhawatiran orangtua dan meringankan beban mental sedini mungkin.

Tapi jika anak didiagnosa autis, jangan lekas merasa bersalah dengan menyalahkan diri karena tidak menjaga kandungan dengan baik selama kehamilan. Perlu diingat, lahirnya anak autis bukan kesalahan ibunya. Bahkan hingga kini penyebab autis masih belum dapat dipastikan.

Sebaliknya, usahakan tetap memberikan cinta dan kasih sayang layaknya pada anak normal. Anak autis hanyalah anak yang punya kondisi otak berbeda dengan anak lainnya. Sadari pula bahwa anak autis adalah anak spesial karena memiliki kemampuan yang berbeda dengan anak umumnya, oleh karena itu penanganannya pun harus spesial.

Lakukan konsultasi secara rutin dengan pakar dan jika perlu, masukkan anak ke sekolah khusus. Tapi jika kondisinya masih sedang dan tidak terlalu berat, cukup beritahukan pada gurunya bahwa ia butuh perhatian khusus. Yang perlu diketahui pula, penderita autis bisa disembuhkan asal rajin dan telaten mengawasi anak tersebut.

Jadi ketika suatu hari orangtua menyadari bahwa sampai usia 3 tahun anak tetap tidak memberi respons atau tidak bersikap interaktif seperti anak-anak lainnya, orangtua patut curiga 'Mungkinkah anak saya autis?'





(fah/ir)

Kenapa Anak Saya Kena Autis?

Kenapa Anak Saya Kena Autis?

Email Cetak PDF

Nurul Ulfah - detikHealth

New Jersey, Orangtua yang punya anak autis sering dibayangi terus menerus oleh pertanyaan 'kenapa harus anak saya?'. Meski banyak kemungkinan seorang anak terkena autis, tapi banyak orang tua yang tidak terima anaknya menderita autis.

"Beberapa orang tua terus mencari tahu jawaban pertanyaan tersebut dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya, tapi mereka tetap tidak terima anaknya terkena autis," ujar Patricia Robinson,terapis ADHD, autis dan Asperger's sindrom seperti dilansir CNN, Senin (8/2/2010).

Maria Collazo dari New Jersey, orang tua dari bocah 5 tahun penderita autis mulai curiga pada anaknya setelah ia kesulitan mengambil benda dan mengucapkan kata pada umur 1 tahun.

Setelah tahu bahwa anaknya mengalami autis, Maria langsung melakukan browsing di internet, pergi ke perpustakaan, memesan buku dan menghabiskan waktu berjam-jam mengenai autis.

Ia mulai berpikir, apakah pekerjaannya yang selama berjam-jam di kantor, penggunaan Blackberry atau radiasi saat memeriksa kandungan yang membuatnya melahirkan anak dengan kondisi autis.

"Saya bertanya banyak hal pada diri sendiri. Apakah saya makan sesuatu yang tidak seharusnya? Apakah saya terkena paparan zat berbahaya selama hamil? Saya terus bertanya tapi saya tetap tidak tahu jawabannya. Rasanya seperti ada sesuatu yang membuat pikiran ini terus bertanya," tutur Maria.

Menurut Dr Judith Miles, professor pediatrik dan patologi, sangat wajar dan manusiawi jika seseorang ingin tahu kenapa sesuatu hal bisa terjadi. Tapi kebanyakan bertanya pada diri sendiri apalagi menyalahkan diri sendiri bisa membuat seseorang depresi.

"Mereka terus-terusan mencari tahu dan melihat ke belakang. Mereka juga terus menyalahkan dirinya sendiri, jangan-jangan kebiasaannya saat hamil adalah penyebabnya. Padahal tidak ada bukti kuat yang menunjukkannya," kata Dr Judith.

Mungkin harusnya saya tidak melakukan itu, mungkin harusnya saya tidak tinggal di daerah itu, mungkn harusnya saya tidak mengonsumsi makanan organik atau mungkin harusnya saya lebih banyak minum vitamin adalah pernyataan yang sering terlintas pada benak orang tua.

Dr Judith yang merupakan direktur biomedis dari the Thompson Center for Autism and Neurodevelopmental Disorders di University of Missouri menyebutkan, bahwa orang tua seharusnya bisa menerima anak yang telah dilahirkan ke dunia apapun kondisinya tanpa perlu memaksakan diri untuk tahu penyebab pastinya.

"Banyak orang tua yang terbangun tengah malam dan terus mencari tahu jawaban untuk teka-teki yang sebenarnya tidak perlu mereka cari tahu. Cukup menerimanya dengan lapang dada bisa menghilangkan pertanyaan yang terus menghantui tersebut," kata Dr Judith.

Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Diduga autis terjadi karena jembatan yang menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat.

Sampai saat ini belum ada satu penyebab yang pasti mengakibatkan anak autis. Namun faktor genetik, lingkungan yang terpapar merkuri atau logam berat, pestisida atau antibiotik yang berlebihan diduga sebagai penyebabnya.





(fah/ir)

Risiko Epilepsi Pada Anak Autis

Risiko Epilepsi Pada Anak Autis

Email Cetak PDF

Vera Farah Bararah - detikHealth

Jakarta, Salah satu keadaan yang sering dihubungkan dengan autisme adalah epilepsi. Penyandang autisme memiliki risiko lebih besar untuk mengalami epilepsi dibandingkan dengan anak yang tidak autisme.

Keterlibatan gangguan otak pada autisme telah dibuktikan dengan pemeriksaan terhadap anatomi dan struktur otak, pemeriksaan terhadap bahan kimia di otak dan berbagai pemeriksaan pencitraan (imaging). Namun tak ada satupun yang dianggap sebagai penyebab pasti dari autisme.

"Sebanyak 40 persen anak penyandang autisme juga mengalami epilepsi, sedangkan risiko pada anak bukan autisme hanya sekitar 1-2 persen saja. Sebaliknya anak yang mengalami epilepsi tertentu sering disertai dengan gejala autisme," ujar Dr Hardiono D Pusponegoro, SpA(K) dalam acara Expo Peduli Autisme 2010, di Gedung Sucofindo, Jakarta, Sabtu (17/4/2010).

Dr Hardiono menambahkan kejang adalah perubahan sementara dan tidak terkontrol dari kesadaran, perilaku, aktivitas motorik, sensasi atau fungsi otonomnya. Hal ini disebabkan oleh aktivitas listrik sel saraf di otak yang berlebihan. Jika kejang terjadi lebih dari 15 menit dianggap sebagai kejang lama, sedangkan jika berlangsung lebih dari 30 menit disebut sebagai status epileptikus.

Anak dengan beberapa keadaan khusus misalnya tuberous sclerosis, rubella congenital, sindrom Down, sindrom Landau Kleffner dan electrical status epilepticus during slow-sleep dapat mengalami autisme dan epilepsi secara bersama-sama.

Seorang anak yang mengalai kejang tanpa demam untuk pertama kalinya disebut sebagai first unprovoked seizure. Sebanyak 20 persen anak yang mengalami kejang ini akan mengalami kejang kembali. Jika sudah dua kali mengalami kejang tanpa sebab maka disebut sebagai epilepsi. Epilepsi bisa terlihat sebagai bangkitan kejang umum seluruh tubuh atau hanya satu sisi (parsial) tubuh saja.

Bila seorang anak mengalami kejang tanpa sebab dua kali atau lebih, maka biasanya dokter akan melakukan pemeriksaan electroencephalography (EEG). Berdasarkan pemeriksaan ini dapat diketahui aktivitas listrik sel saraf otak. Karena pemeriksaan EEG dilakukan saat anak sedang tidak terkena serangan, maka sebanyak 10-20 persen anak menunjukkan hasil EEG yang normal.

"Pemeriksaan EEG tidak dilakukan secara rutin pada anak penyandang autisme. EEG hanya bermanfaat jika anak mengalami epilepsi atau kemunduran (regresi). Dan juga tidak ada bukti bahwa kelainan EEG tanpa kejang bisa memperburuk gejala autisme," tambahnya.

Suatu penelitian jangka panjang dilakukan terhadap 108 anak penyandang autisme, didapatkan pada usia 17-40 tahun sekitar 38 persennya mengalami epilepsi. Epilepsi lebih sering ditemui pada penyandang autisme yang disebabkan oleh penyebab medis jelas, serta kejang pertama paling sering terjadi saat usia 3-7 tahun.

"Serangan yang paling sering dialami oleh anak autis adalah absence, yaitu serangan bengong secara tiba-tiba dan terjadi belasan kali dalam sehari. Kondisi ini mudah untuk diobati," ujar dokter dari divisi saraf anak departemen ilmu kesehatan anak FKUI.

Dr Hardiono menuturkan anak autis banyak yang menunjukkan perilaku hiperaktif dan gangguan perilaku lainnya, maka tidak semua obat bisa digunakan untuk anak penyandang autis dan harus memperhatikan kemungkinan efek samping dari pengobatan yang diberikan. Karena beberapa obat sering menyebabkan anak bertambah hiperaktif dan masalah perilaku lainnya.

"Tapi satu hal yang penting untuk diingat adalah jangan sekali-kali menghentikan obat epilepsi secara mendadak atau sendiri, karena dapat menyebabkan kejang yang lebih hebat dan sulit untuk diatasi," tambahnya.





(ver/ver)

'Sihir' Kuda untuk Anak Autis

'Sihir' Kuda untuk Anak Autis

Email Cetak PDF

Merry Wahyuningsih - detikHealth

London, Salah satu ciri khas anak autis adalah tak bisa mempertahankan kontak mata dan susah berinteraksi. Tapi banyak anak autis yang justru bisa berinteraksi dengan hewan, salah satunya 'sihir' kuda. Anak autis sangat nyaman dengan hewan karena hewan tak pernah menghakiminya.

Dr Temple Grandin, profesor yang fokus pada masalah pengaruh autis terhadap hewan di Colorado State University, mengatakan hewan memang sering menjadi titik sambungan antara anak autis dan orang normal.

Tatapan mata si kuda dan gerakan tubuhnya begitu menarik perhatian anak autis. Seperti yang dialami Oak Saunders si anak autis.

Oak didiagnosa autis saat berusia 2,5 tahun. Di usia itu ia berhenti berbicara, mulai bergumam monoton, serta mudah takut dan marah.

Namun Oak bisa menyusun permainan Thomas the Tank Engine hingga tinggi meski tak bisa mempertahankan kontak mata. Sepertinya tak seorang pun bisa berhubungan dengannya, sampai ia bertemu dengan seekor kuda untuk pertama kalinya.

"Ketika seekor kuda bernama Stella mendengus padanya, ia menyentuh mantelnya dan mulai tersenyum,” ujar Rowen Saunders, seperti dilansir dari Telegraph, Selasa (20/4/2010).

Sang ibu, Rowen Isaacson mengamati hubungan dekat anaknya dengan kuda ketika berusia empat tahun. Menurut Rowen, anaknya senang berlari ke lapangan yang penuh kuda dan berhubungan sangat dekat dengan mereka.

Inilah yang membuat Rowen selalu bertanya-tanya, apakah hewan tersebut memiliki 'kunci' untuk masuk ke dunia anaknya yang bahkan ia pun tak bisa memasukinya.

Sang ibu percaya ada 'sesuatu' yang membuat anaknya antusias dengan kuda. Karena ingin membuktikan teorinya Rowen melakukan hal ekstrim dengan membawa anaknya ke sebuah pengembaraan kuda di Mongolia.

Kemudian si anak juga dimasukkan ke salah satu perkemahan kuda di Inggris. Sungguh menakjubkan selama 2 minggu berinteraksi dengan kuda, si anak bisa menggunakan toilet sendiri. Perbendaharaan katanya meningkat dari 3 hingga 10 kata pada minggu pertama, dan ia memiliki teman untuk pertama kalinya.

Pada minggu kedua, ia menguasai 20 kata-kata baru, dan sekarang ia bisa menyisir rambut sendiri. "Ini adalah hal-hal kecil yang terasa seperti sebuah tonggak sejarah bagi kami," kata sang ibu.

Di perkemahan, orangtua dianjurkan untuk duduk di belakang anaknya di atas pelana kuda. Hal ini untuk melatih kerjasama dalam kemampuan verbal, dengan memberi perintah sederhana seperti 'siap, mantap, jalan!', tanpa tekanan tatap muka yang sulit bagi kebanyakan anak autis.

Menurut Profesor Grandin, setiap gerakan yang berulang, seperti berkuda, yang mengharuskan seseorang untuk terus-menerus mencari dan menyesuaikan keseimbangan, merangsang wilayah otak yang bertanggung jawab untuk belajar.

Namun sebagian besar orang masih menganggapnya aneh pengobatan autis seperti ini. Tapi Britain's National Autistic Society telah melihat adanya peningkatan pada anak autis tentang nilai terapi kuda dan anjing.

Banyak anak autis yang memang memiliki ikatan dengan hewan kesayangan. Seorang spesialis autis di Texas mengatakan anak-anak autis banyak yang dekat dengan anjing, kambing, kelinci, babi, ayam, tokek bahkan phyton.

Hewan-hewan itu dapat memainkan peran kunci dalam pencapaian anak autistik. Sentuhan sederhana yang tidak menghakimi yang diberikan hewan dapat membawa kenyamanan yang luar biasa dan membantu memecahkan hambatan komunikasi pada anak autis.





(mer/ir)

Deteksi Anak Autis Cukup dengan Tes Urine

Deteksi Anak Autis Cukup dengan Tes Urine

Email Cetak PDF

Irna Gustia - detikHealth

London, Mendeteksi anak autis tidaklah gampang. Si anak harus melewati tes psikologis yang panjang mulai dari interaksi sosial, komunikasi, uji keterampilan hingga tes fisik.

Tapi tak lama lagi, deteksi anak autis bisa dilakukan dengan cara yang sederhana dengan hanya menguji beberapa tetes air seni seperti layaknya tes kehamilan.

Ilmuwan kini tengah menyempurnakan penggunaan tes urine untuk deteksi anak autis yang diharapkan sudah bisa diterapkan penggunaannya secara luas pada tahun 2015. Dari tes ini bisa diketahui 'ya' atau 'tidak' anak terkena autis.

Penelitian yang dilakukan ilmuwan dari Imperial College London dan University of South Australia ini, adalah terobosan baru yang sangat membantu penegakkan diagnosis autis dengan cara yang mudah.

Apalagi gejala autis sudah muncul sejak anak dilahirkan. Dengan adanya diagnosis lebih awal, pengobatan anak autis bisa dilakukan sejak dini sehingga orangtua bisa lebih tanggap mengobati anaknya.

Profesor Jeremy Nicholson dari Imperial College London mengatakan urine anak-anak autis mengandung bahan kimia yang berbeda. Temuan yang disebut 'sidik jari metabolisme urine' itu telah dilaporkan dalam Journal of Proteome Research.

Peneliti menemukan ada tiga kelompok sidik jari kimia yang berbeda. Kelompok itu adalah anak-anak bukan autis tapi punya saudara autis, anak-anak tanpa saudara autis dan anak-anak autis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan autisme memiliki bakteri yang berbeda dalam ususnya dibanding orang lain.

Orang dengan autisme biasanya mengalami masalah pencernaan yang berasal dari berbagai bakteri dalam usus. Ilmuwan mengatakan pemahaman tentang bakteri ini dapat membantu pengobatan untuk mengatasi masalah pencernaan anak autis.

Ilmuwan menyarankan perlunya pemahaman baru tentang bakteri karena bisa membantu mengembangkan pengobatan untuk mengatasi masalah pencernaan anak autis.

"Kami berharap temuan ini akan menjadi jalan untuk menciptakan tes urine sederhana dalam mendiagnosa autisme pada usia dini," kata Profesor Jeremy Nicholson, kepala Departemen Bedah dan Kanker di Imperial College London seperti dilansir dari FoxNews, Minggu (6/6/2010).

Sekitar 88 persen anak autis memiliki kondisi usus yang rusak atau dikenal dengan istilah autistic colistic. Hal ini menunjukkan bahwa masalah anak autis bukan hanya pada kepala tapi juga gangguan di bagian pencernaan.

Masalah utama dari autisme ada tiga yaitu otak, racun dan fungsi pencernaannya. Karena itu tidak ada pengobatan yang instan bagi anak autis, dan dibutuhkan kesabaran serta waktu yang panjang untuk terapinya.



(ir/ir)