Sunday, December 13, 2009

Melukis, Terapi Untuk Autisme

Melukis, Terapi Untuk Autisme

Email Cetak PDF

TEMPO Interaktif, Jakarta: Rampung sudah 12 lukisan di tangan Edwin Makarim (Edo), 13 tahun. Dalam “keterbatasannya”, sejak Februari 2008 murid Sekolah Dasar Al-Falah Ciracas, Jakarta Timur, itu aktif menyapukan spons di atas kanvas Rumah Lukis Pak Alianto. “Saya melukis setiap Sabtu dan libur dari pukul 9 hingga selesai,” katanya. Baginya, menggoreskan warna di atas kanvas mempunyai makna lebih dibandingkan dengan bagi anak-anak pada umumnya.

Saat lahir, Edo mengalami penurunan jumlah butir darah merah yang berakibat cedera pada otak—karena kurangnya pasokan oksigen. Walhasil, bocah hitam manis itu harus berjuang memperbaiki sistem motorik tubuhnya. Jalan yang dipilih bundanya, Revita Tantri, adalah mengajak Edo berlatih melukis. Pilihan ini tepat. Cita-cita menjadi pelukis andal bukanlah mimpi bagi Edo. Sang guru, Alianto—Ketua Sanggar Anyelir Merah—mengatakan Edo bertalenta besar dalam bidang melukis. “Setiap anak sepertinya harus diarahkan jika memiliki bakat melukis,” ujar Alianto, pada jumpa media pameran lukisan dan lelang bertajuk “Kasih Bunda Mengantar Pelukis Muda”, pekan lalu di Hotel Crown, Jakarta.

Kini goresan tangan Edo bergantung dan berderet sejajar dengan 29 karya seniman muda lain. Di kanvas, Edo mendirikan sebuah masjid putih dengan tiga kubah kuning di berandanya. Masjid itu ada di atas bukit dekat pantai yang ditumbuhi pepohonan hijau rimbun. Dengan langit kuning merona, menandai turunnya mentari dari singgasananya.

Menurut Alianto, kombinasi warnanya begitu luar biasa. Adapun karya itu dibuat Edo selama tiga minggu dalam waktu 6 jam, atau tepatnya dalam tiga kali pertemuan. Pelukis Lampung itu mengajari Edo dengan pendekat an intensif. Ia memberi obyek menarik dan mencontohkan dengan kesabaran. “Coba satu obyek saja dulu,” katanya. Setelah anak menunjukkan minat, ia mengarahkan. Biasanya Alianto membimbing murid mulai usia 5 tahun. Sedikit demi sedikit, tidak sampai 3,5 tahun, biasanya anak sudah menghasilkan karya lukis yang baik. Dia menilai anak berkebutuhan khusus memiliki talenta yang harus digali.

Menurut Ketua Yayasan Autisma Indonesia dr Melly Budhiman, melukis memang sebuah terapi efektif bagi anak berkebutuhan khusus.

“Kebanyakan dari mereka, motorik halusnya jelek sekali,” katanya. Melukis dapat menyentuh emosi sehingga bocah lebih tenang. Karena membikin saraf kognitif tergerak, terutama saat mereka mencampur warna di atas kanvas. Kesulitan berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar juga bisa disalurkan lewat karya ini. Selain itu, dunia lukis merupakan wadah bagi ibu untuk menunjukkan dukungannya terhadap anak. Ditambah juga bisa memupuk kepercayaan diri anak lewat hasil goresan tangannya. Di sekitar kita, kata Melly, sesungguhnya banyak anak penderita autis. Namun, belum pernah ada survei resmi yang menunjukkan prevalensinya.

Lewat sebuah studi baru-baru ini, tim peneliti dari Departemen Radiologi Rumah Sakit Anak Philadelphia mengungkapkan, otak pada anak autis bereaksi lebih lamban terhadap suara dibanding anak normal. Timothy Roberts, yang memimpin penelitian, menyebut kan temuan ini mendukung bukti teori besar bahwa autisme merupakan gangguan pada koneksivitas pada otak.

Robert dan timnya meneliti 30 anak autis berusia 6-15 tahun. Partisipan diminta mendengarkan suara dan suku kata, kemudian medan magnet kecil yang diproduksi elektrik otak pun dimonitor. Studi menggunakan teknik magnetoencephalography (MEG), mirip helm yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas otak.

Ketika dibandingkan dengan otak anak normal, otak anak autis lebih lamban 20-50 persen saat merespons. Untuk satu suku kata dalam sebuah kata yang memiliki beberapa suku kata, ia memerlukan waktu sekitar 0,25 menit untuk mengucapkannya. Robert menyebutkan kondisi ini menunjukkan adanya gangguan pada koneksivitas dalam otak. “Kalau digambarkan mungkin seperti jalan tol yang padat sehingga sulit untuk dilalui,” ia memaparkan pertemuan Masyarakat Radiologi Amerika Utara belum lama ini. Seperti dikutip dari YahooNews, ia menyebutkan keterlambatan dalam merespons ini dapat dijadikan sebagai tanda awal dari pasien autis. Karena lebarnya spektrum kelainan ini, pasien pun memiliki tingkat gangguan yang beragam.

Heru Triyono

Hormon Cinta untuk Gejala Autisme

Hormon Cinta untuk Gejala Autisme

Email Cetak PDF

TEMPO Interaktif, Washington - Sebuah penelitian dari Lyon Perancis menyebutkan sebuah hormon cinta yang mengikat ibu dan anak dimungkinkan untuk menolong orang dewasa dengan Autisme.

Penelitian dilakukan oleh Angela Sirigu dari Pusat Ilmu Syaraf Cognitive dan timnya. Sebanyak 13 orang dewasa, 11 diantaranya laki-laki yang mempunyai gangguan perilaku autis diteliti dalam dua eksperimen. Sebelumnya mereka tidak diberikan pengobatan selama dua minggu dan diawasi kesehatannya secara setara.


Menurut periset kepada Journal Proceeding Akademi Science Nasional mereka menemukan pasien yang menghirup hormon oxytocin memperhatikan dan berekspresi ketika melihat gambar wajah dan lebih seperti mengerti isyarat sosial pada sebuah simulasi permainan.

"Jika oxytocin diatur lebih awal ketika diagnosis dibuat, kami mungkin dapat mengubah lebih awal gangguan pengembangan sosial dari pasien autis," ujar Sirigu.

Sirigu mengatakan studi difokuskan pada oxytocin karena telah dikenal menolong ikatan ibu dan bayi mereka saat menyusui. Juga karena penelitian lebih awal menunjukkan bahwa anak-anak dengan autisme mempunyai tingkat hormon yang rendah. Orang dengan sindrom Asperger dan gangguan spektruk autis lainnya sering mempunyai masalah dengan interaktsi sosial.

Perempuan ini juga mengatakan Oxytocin dapat menolong pasien autis yang memiliki fungsi intelektual normal dan kemampuan bahasa yang lumayan baik karena kemajuan kontak mata.

"Kontak mata dapat dipertimbangkan sebagai langkah awal dari pendekatan sosial," ujarnya, Tetapi orang dengan autisme sering terganggu melihat lainnya.

"Dalam studi kami menunjukkan bahwa oxytocin mempertinggi waktu kontak mata lebih lama melihat pada mata," ujarnya lagi.

Dia mengatakan hormon juga memperbaiki kemampuan pasien autisme untuk memahami bagaimana orang lain merespon mereka. Mereka dapat mempelajari respon yang cocok pada perilaku yang lain pula.

Para peneliti melihat pasien merespon lontaran bola dalam permainan virtual untuk mengukur perubahan perilaku. Dalam percobaan terpisah, tim Sirigu mengukur bagaimana pasien merespon ekspresi wajah ketika melihat gambar dari wajah manusia.

REUTERS | DIAN YULIASTUTI

Apakah Autis itu dan Apa yang bisa Kita Lakukan?

Apakah Autis itu dan Apa yang bisa Kita Lakukan?

Email Cetak PDF

Autis adalah penyakit atau gangguan pada perkembangan otak yang diperkirakan menyerang 1 dari 1.000 orang di Amerika. Orang yang menderita autis biasanya kurang mampu berbahasa dan tidak mampu bergaul dengan lingkungan sosialnya. Sekitar 80% dari jumlah penderita autis adalah laki-laki. Mengapa demikian, alasannya tidak diketahui oleh para peneliti.

Hal yang juga tidak diketahui adalah penyebab autis. Segala sesuatu dari perubahan genetik hingga kontak kandungan ibu dengan penyakit sampai ketidakseimbangan kimia telah dipersalahkan. Namun ternyata, faktor-faktor orangtua bisa diabaikan sebagaimana yang dianjurkan oleh beberapa peneliti.

Walaupun diinformasikan bahwa mereka tidak ada hubungannya dengan penyakit anak mereka ini, beberapa orangtua terus-menerus mengatakan bahwa mereka merasa bersalah karena tidak mampu berinteraksi dengan anak mereka. Berikut ini adalah apa yang diketahui tentang autis.

  1. Kesulitan dengan kemampuan organisasi
    Penderita autis lepas dari kemampuan intelektual mereka, ternyata memiliki kesulitan mengatur diri mereka sendiri. Seorang pelajar autis mungkin bisa menyebutkan tanggal-tanggal bersejarah setiap perang yang terjadi, namun selalu lupa membawa pensil mereka ke kelas. Murid-murid ini bisa jadi seorang yang sangat rapi atau paling jorok. Orangtua harus selalu ingat untuk tidak memaksakan kehendaknya pada mereka. Mereka hanya tidak mampu mengatur diri mereka sendiri tanpa pelatihan yang spesifik. Seorang anak penderita autis memerlukan pelatihan kemampuan mengatur dengan menggunakan langkah-langkah kecil yang spesifik supaya berfungsi dalam situasi sosial dan akademis.

  2. Seorang penderita autis memiliki masalah dengan pemikiran yang bersifat abstrak dan konseptual
    Lepas dari apa yang dikatakan orangtua, beberapa penderita autis akhirnya memperoleh kemampuan abstrak, namun ada juga yang tidak. Pertanyaan: "Mengapa kamu tidak mandi?" nampaknya sesuai untuk dikatakan ketika sedang menghadapi anak yang tidak mau mandi. Dengan anak autis seringkali lebih baik menghindari kalimat pertanyaan yang mengundang perdebatan, sebaiknya Anda mengatakan: "Saya tidak suka kalau kamu tidak mandi. Ayo, masuk ke kamar mandi dan mandi sekarang. Kalau kamu butuh bantuan, saya akan menolongmu tapi saya tidak akan memandikan kamu." Hindari menanyakan pertanyaan yang panjang lebar. Para orangtua ataupun perawat harus sekonkret mungkin dalam seluruh interaksi mereka.

  3. Peningkatan tingkah laku tak wajar mengindikasikan peningkatan stres
    Dalam banyak situasi, terutama situasi yang tidak akrab, akan menyebabkan stres sehubungan dengan perasaan atau hilangnya kontrol. Dalam kebanyakan contoh, stres bisa dikurangi ketika anak-anak diizinkan untuk keluar dari situasi yang menekan. Membuat program untuk membantu anak-anak menghadapi stres di sekolah sangat disarankan.

  4. Perilaku mereka yang berbeda janganlah diambil hati
    Penderita autis seharusnya tidak dianggap sebagai seorang yang selalu berperilaku menyimpang atau ingin menyakiti perasaan orang lain atau mencoba membuat hidup jadi sulit bagi orang lain. Seorang penderita autis jarang bisa bersikap manipulatif. Umumnya perilaku mereka merupakan hasil dari usaha mereka keluar dari pengalaman yang menakutkan, atau membingungkan. Penderita autis, secara alami karena ketidakmampuan mereka, memiliki sifat egosentris. Kebanyakan penderita autis menghadapi masa-masa sulit untuk bisa memahami reaksi orang lain karena adanya ketidakmampuan persepsi.

  5. Gunakan kata-kata dengan makna sesungguhnya
    Secara sederhana, katakanlah apa yang Anda maksudkan. Jika pembicara tidak sangat mengenal si penderita autis, sebaiknya mereka menghindari penggunaan: singkatan/panggilan, ejekan, kalimat bermakna ganda, idiom, dan sebagainya.

  6. Ekspresi wajah dan isyarat-isyarat lainnya biasanya tidak berhasil
    Umumnya, mayoritas penderita autis memiliki kesulitan membaca ekspresi wajah dan mentafsirkan bahasa tubuh atau perilaku dengan kesan-kesan tertentu.

  7. Seorang penderita autis nampak tidak mampu mempelajari sebuah tugas
    Ini merupakan sebuah tanda bahwa tugas atau tugas-tugas itu terlalu sulit baginya dan perlu disederhanakan. Cara lainnya adalah menghadirkan tugas-tugas itu dengan cara yang berbeda -- baik secara visual, fisik, maupun verbal. Metode-metode ini seringkali diabaikan oleh guru-guru dan orangtua di rumah karena hal ini memerlukan kesabaran, waktu eksperimen, dan kemauan untuk mengubah metode atau kebiasaan lama.

  8. Hindari terlalu banyak informasi atau kata-kata
    Para guru dan orangtua harus jelas, menggunakan kalimat-kalimat pendek dengan bahasa yang sederhana untuk menyampaikan maksud mereka. Jika anak-anak tidak punya masalah pendengaran dan bisa memperhatikan Anda, ia mungkin kesulitan memisah-misahkan apa yang diajarkan dan informasi lainnya.

  9. Tetaplah konsisten
    Persiapkan dan berikan sebuah daftar pendek pelajaran yang akan Anda ajarkan. Tulislah pada sebuah grafik. Datangi mereka setiap hari pertama-tama dengan anak yang muda. Jika perubahan terjadi, katakan padanya dan ulangi informasi tentang perubahan itu.

  10. Aturlah sikapnya
    Meskipun rasanya mustahil, adalah mungkin untuk mengatur sikap anak autis. Kuncinya ialah konsistensi dan pengurangan stres pada anak. Juga dianjurkan untuk melakukan penambahan sikap sosial yang positif dilakukan secara rutin.

  11. Hati-hati dengan lingkungan
    Dalam banyak contoh, seorang penderita autis bisa sangat sensitif dengan apa yang ada dalam ruangan. Cat tembok warna cerah atau dengungan lampu pijar sangat mengganggu bagi para penderita autis. Untuk membuat perubahan yang berarti, guru dan orangtua perlu waspada dan berhati-hati terhadap lingkungan dan masalah- masalah yang ada.

  12. Anak yang memiliki perilaku menyimpang atau terus-menerus membangkang merupakan sebuah tanda masalah
    Sekalipun anak-anak kadang-kadang berperilaku menyimpang atau membangkang, seorang penderita autis seringkali bersikap demikian ketika dia kehilangan kendali. Ini bisa menjadi sinyal bahwa seseorang atau sesuatu di sekitarnya membuatnya marah atau terganggu. Hal yang sangat menolong ialah keluar dari lingkungan itu atau jika ia bisa menuliskan apa yang mengganggunya, tetapi jangan mengharapkan sebuah respon positif misalnya ia melanjutkan untuk mengerti apa yang sedang terjadi dan apa artinya. Metode keberhasilan lainnya adalah permainan peran dan mendiskusikan apa yang membuatnya marah atau berkelakuan buruk. Biarkan ia menjawab karena ia berpikir Anda akan meresponi tingkah lakunya. Memanfaatkan aktivitas ini akan menolong untuk mengurangi kepadatan sebuah situasi sehingga mengubah fokusnya dengan memperhatikan apa yang mengganggunya.

  13. Jangan menduga apa pun saat mengevaluasi kemampuan atau keahliannya
    Orang-orang yang menangani anak-anak autis melaporkan bahwa beberapa orang autis sangat pintar matematika, tetapi tidak mampu menghitung uang kembalian yang sederhana di kasir. Atau, mereka memiliki kemampuan mengingat setiap kata yang ada dalam sebuah buku yang dibacanya atau pidato yang ia dengar, tetapi tidak ingat untuk membawa kertas ke kelas atau dimana ia menaruh sepatu olahraganya. Perkembangan kemampuan yang tidak seimbang merupakan sifat autisme. Autisme, sebagaimana disebutkan di atas, tidak begitu diketahui atau dipahami dengan baik. Ini masih merupakan masalah yang membingungkan bagi orangtua, guru dan mereka yang bekerja dan mengobservasi anak-anak semacam ini.

  14. Kunci
    Kunci untuk bekerja dengan penderita autis ialah: BERSABARLAH, BERPIKIRAN POSITIF, KREATIF, FLEKSIBEL, dan OBJEKTIF.

Tips tambahan bagi para orangtua:

  1. Temuilah dokter
    Jika Anda menduga anak Anda menderita autis, temui seorang dokter ahli dan mintalah diagnosa. Mintalah penjelasan kepada mereka dan tanyakan sebanyak mungkin pertanyaan yang menurut Anda perlu ditanyakan. Bersikaplah kritis! Jangan menunggu mereka memberikan informasi kepada Anda karena Anda akan menunggu begitu lama tanpa jawaban.

  2. Pelajarilah hak-hak orang cacat
    Biasakanlah diri dengan tindakan-tindakan orang cacat. Jangan takut untuk mengajukan permintaan pada dokter medis, sekolah, pengurus sekolah atau para guru. Mereka hanya akan melakukan apa yang diperintahkan atau diminta pada mereka. Dalam hal ini, kesabaran, kegigihan, pengetahuan, dan sikap menghormati akan memberikan hasil yang baik.

  3. Carilah bantuan
    Banyak anak cacat tidak pernah memperoleh bantuan karena orangtua mereka merasa takut dan malu. Ingat, tidak ada hal yang telah Anda lakukan yang menyebabkan kecacatan ini terjadi. Orang lain juga punya masalah yang serupa. Ada pertolongan untuk anak Anda. Teruslah mencari informasi.

  4. Bersabarlah
    Jangan menyerah. Ingatlah bahwa anak Anda tidak suka bertindak seperti itu tetapi mereka hanyalah berusaha untuk mendapatkan perhatian dari dunia dan sekitar mereka.

  5. Jangan berulang-ulang berusaha melatih sebuah tugas kepada anak
    Penderita autis biasanya menolak perubahan aktivitas rutin. Memaksa anak autis melakukan sesuatu justru bisa jadi malapetaka. Lebih baik jika Anda melihat ia mengalami kesulitan, mundurlah dan cobalah untuk memecahkan tugas itu menjadi sesuatu yang lebih sederhana dan mudah dikerjakan. Ini artinya ia telah mencapai batasnya -- sebagaimana kita semua juga bisa demikian. Cobalah untuk memberikannya pilihan. Ini akan memberinya indera kontrol dan stabilitas diri. (T/Sil)

Kenali Lebih Dekat Anak Autis

Kenali Lebih Dekat Anak Autis

Email Cetak PDF

APAKAH buah hati Anda memiliki rasa tertarik pada dunia lain? Atau apakah anak Anda sulit menatap mata lawan bicara? Bila iya, kemungkinan dia mengidap autisme. Segeralah bertindak.

Sepintas anak ini terlihat sangat normal, tetapi anak autis memiliki tingkah laku yang berbeda dari anak-anak lain. Penyebabnya tak lain karena sistem syaraf pusat mereka berkembang tidak sempurna sehingga mereka pun mengalami kesulitan dalam memahami bahasa, proses belajar, serta berkomunikasi. Butuh ketekunan serta kesabaran ekstra bagi para orangtua yang memiliki anak autis.


Direktur Intervention Services for Autism Development Delay Disorder (ISADD) yang berbasis di Australia, Jura Tender mengakui, betapa sulit mendeteksi autisme sejak dini. Karena secara fisik bayi tampak sehat-sehat saja. Seiring berjalannya waktu, orangtua hanya melihat sedikit saja perbedaan.

Misalnya anak tidak terlalu banyak bicara, tidak suka disentuh, dan posisi tubuhnya sering aneh. Masalahnya, banyak orangtua yang tidak terlalu memerhatikan sekaligus peduli akan hal itu. Mereka lantas menganggapnya sebagai suatu hal yang wajar. ”Padahal, orangtua seharusnya cepat bertindak dan hadapi kenyataan tersebut. Jangan sampai kondisi anak terlanjur parah hanya karena orangtua menganggapnya enteng,” ujar Jura mengingatkan.

Sedikitnya ada beberapa kriteria autisme yang dapat diperhatikan. Anak autis mengalami gangguan dalam interaksi sosial, di antaranya rendahnya kemampuan berinteraksi sosial melalui komunikasi nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi muka, dan gerakgerik tubuh. Anak pun tidak mampu berinteraksi sosial dalam kelompok selayaknya anak-anak seusianya.

Mereka juga tidak mampu memberikan reaksi secara sosial dan emosional atas apa yang terjadi. Misalnya tidak mampu menunjukkan simpati ketika orang lain bersedih ataupun tidak membalas ketika dipeluk. Anak autisme pun mengalami keterlambatan atau ketidakmampuan berbicara, bahasa yang digunakan cenderung berulang-ulang, kaku, khas, dan agak aneh. Mereka yang menderita autisme sering melakukan kegiatan, bertingkah laku, dan merasa tertarik pada sesuatu yang berulangulang serta terbatas. Seperti rasa tertarik yang cenderung abnormal dari segi fokus dan intensitas terhadap suatu kegiatan yang terbatas. Sebut saja kebiasaan me ngulang-ulang sebuah adegan dari film atau video secara terus-menerus atau berjalan tanpa henti dalam bentuk lingkaran.

Atau mungkin juga anak memiliki kebiasaan rutin yang harus diikuti dan sering kali tidak bermakna. ”Misalnya harus melalui jalan tertentu menuju ke sekolah atau hanya mau tidur dengan menggunakan baju tertentu,” kata Gayatri Pamoedji selaku pendiri Masyarakat Peduli Autisme Indonesia (MPATI) yang juga memiliki putra yang mengidap autis ini.

Sejatinya, autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak. Sering kali gejala tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Menurut sebuah penelitian di Amerika, autisme terjadi kurang lebih pada 10 anak dari 10.000 kelahiran. Kemungkinan terjadinya empat kali lebih sering pada bayi laki-laki dibandingkan perempuan.

Faktor genetik memang disebut sebagai salah satu kemungkinan terjadinya autisme. Namun, sampai sekarang belum ada penelitian lebih lanjut yang menyebutkan apakah faktor genetik ini berasal dari ayah atau ibu. Keduanya memiliki peluang yang sama. Hanya, sifat autis lebih terlihat nyata pada saudara sekandung lelaki dari pihak ibu maupun ayah, jika memang ada karakteristik autis pada keluarga tersebut.

Penyebab utama dari gangguan ini hingga saat kini memang masih terus diselidiki oleh para ahli. Kendati demikian, di samping faktor genetik, faktor-faktor berikut disebut-sebut sebagai pemicu penyakit ini, yakni keracunan logam berat, vaksinasi MMR (Mumps, Measles, Rubella), polusi lingkungan, alergi terhadap makanan tertentu seperti gandum dan produk susu, serta komplikasi sebelum dan setelah melahirkan.

Gayatri menyarankan orangtua yang memiliki anak dengan gangguan tersebut untuk melakukan terapi secara rutin. ”Menemukan terapi yang tepat bagi anak memang merupakan sebuah perjalanan panjang. Orangtua perlu mengetahui apa yang dibutuhkan dan apa yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya,” ujar wanita yang mengambil Master of Health Conselling dari Curtin University of Technology ini.

Terapi yang tepat, lanjut Gayatri, adalah terapi yang mengikis keterbatasan anak, melibatkan anak, sudah terbukti keabsahannya, dapat diukur hasilnya, mempertimbangkan kelebihan maupun keterbatasan, serta menggunakan hal-hal yang disukai oleh anak.

Terapi yang tepat justru akan membuat kehidupan keluarga lebih tidak stres karena anak sudah mulai mampu untuk mandiri dan berinteraksi dengan anggota keluarga.

Yang perlu orangtua ingat adalah, cocok atau tidaknya terapi untuk anak ditentukan oleh kebutuhan dan kemampuan sang anak. Jadi, sebaiknya orangtua mencari tahu, membuat daftar kebutuhan, serta keterbatasan dan kelebihan sang anak.

Untuk menjalani terapi ini, para ahli menyarankan agar anak autis diberikan terapi selama 25–40 jam dalam seminggu. Hal ini tidak menjadi masalah, sebab pada umumnya anak autis tidak mengalami gangguan perkembangan fisik sehingga tetap perlu diberi stimulasi.

Lamanya anak menjalani terapi, bisa dibilang hingga dia mampu mandiri dan berpartisipasi dalam lingkungan sosialnya. Semua ini ditentukan oleh kemampuan anak dan orangtua. Jika anak sudah mampu menerapkan atau mencapai target terapi tanpa harus diingatkan atau diarahkan, tidak hanya di kelas terapi tapi juga di rumah, maka dia terbilang sudah mampu dan kompeten.
(Koran SI/Koran SI/tty)

Anak Autis Butuh Dorongan & Pendampingan

Anak Autis Butuh Dorongan & Pendampingan

Email Cetak PDF
BAGI anak yang menderita autis, maka orangtua sudah selayaknya memberikan dorongan penuh kepada sang anak, termasuk dalam minat dan hobi yang disukai. Membebaskan anak untuk menekuni hobi yang dipilihnya, memang sudah sepantasnya. Namun, itu saja belum cukup. Sebab, anak pun perlu mendapat pendampingan dan tidak terkecuali bimbingan dari orangtua langsung.
Hal ini dibenarkan oleh Ketua Yayasan Autisma Indonesia dr Melly Budhiman. Menurut dia, proses pendampingan anak ketika tengah melakukan hobi yang disukai, bertujuan memberikan motivasi kepada sang anak dalam mengembangkan karya mereka.

Melly menyayangkan, banyak orangtua yang hanya menyerahkan urusan pendampingan ini kepada terapis atau pengasuhnya semata. Jadi, mereka lantas menjadi lebih dekat dengan orang lain ketimbang orangtuanya sendiri.

Lebih jauh Melly menuturkan. Berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan bakat anak, bisa dipilih. Salah satunya dengan memasukkan anak ke sanggar melukis.

Bagi anak-anak autis, melukis bukan sekadar pemuas hobi. Lebih dari itu, melukis berfungsi sebagai terapi, untuk melatih motorik si anak.

”Karena motorik anak autis misalnya, jelek sekali. Mereka kalau mewarnai sering keluar garis. Nah, dengan latihan melukis, mereka menjadi lebih fokus dan tenang sekaligus melatih kepercayaan diri,” papar Melly.

Setali tiga uang dengan pendapat Theresia Tristini, orangtua dari Ayan, pelukis muda yang mengidap autis. Theresia mengaku, sejak mulai melukis, Ryan menjadi lebih tenang. ”Dia untuk berbicara susah, tapi lewat melukis dia seakan mengomunikasikan pikirannya dan membuatnya menjadi ekspresif,” ujarnya.

Uniknya, objek yang dilukis Ryan, cukup sekali dilihatnya kemudian langsung dituangkannya dalam kanvas dengan objek yang spesifik. ”Misalnya sedang dalam perjalanan dan melewati patung Pancoran. Dia akan menggambarnya sesampai di rumah,” tandas Theresia.

Perlu diketahui, setiap anak memiliki talenta berbeda. Karenanya, tugas orangtua untuk mencari tahu bakat anak. Boleh juga orangtua memasukkan anak ke kursus renang. Menurut Melly, berenang juga bermanfaat dalam melatih koordinasi motorik dan otot-otot serta berfungsi sebagai brain gym.(Koran SI/Koran SI/tty)

Ikan Lumba-lumba Bantu Terapi Stroke dan Autis

. terapi lumba-lumba JAKARTA - Ikan lumba-lumba hidung botol ternyata bisa membantu terapi pengobatan untuk beberapa jenis penyakit. Di antaranya, stroke, autis, kanker, bahkan hingga down syndrom atau depresi berat. Bagaimana rasanya diterapi oleh lumba-lumba? Bisa rasa takut atau geli.

Ternyata ikan lumba-lumba yang dikenal sebagai mamalia sahabat manusia itu bisa membantu pengobatan terapi untuk jenis penyakit yang belum ada obatnya, Kepala Pusat Riset Teknologi Kelautan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Aryo Hanggono, menyatakan bahwa saat ini tim peneliti dari lima bidang keilmuan, yakni biologi kelautan, kedokteran hewan, psikologi, kedokteran, dan akustik sedang melakukan penelitian terhadap lumba-lumba yang membantu terapi pengobatan untuk beberapa pasien yang bertempat di salah satu hotel di Bali.

"Kami mencoba mencari penjelasan ilmiah mengapa ikan lumba-lumba bisa membantu pengobatan," katanya.

Penelitian yang dimulai semenjak 3 - 4 bulan yang lalu ini, kata dia, memang menunjukkan hasil positif. Buktinya pada uji terhadap salah seorang tokoh masyarakat Bali yang menderita stroke lumpuh kaki tampak menunjukkan perbaikan. Ketika sebelum terapi kaki tidak bisa digerakkan, namun setelah menjalani terapi akhirnya kakinya bisa digerakkan, bahkan saat ini si pasien sudah bisa berjalan kaki. Lama terapi pertama bagi pasien stroke ini adalah 10 hari dan selesai pada akhir 2007 kemarin. Namun pada awal 2008 ini, terapi pasien stroke itu dilanjutkan kembali. Kenyataannya, si pasien yang sudah berumur itu, kini sudah mulai bisa berjalan kembali.

"Ikan lumba-lumba itu memiliki kemampuan melakukan terapi baik melalui totokan, gigitan halus, kibasan tubuh, serta gelombang suara dari ikan ini," paparnya.

Selain itu uji juga dilakukan kepada salah seorang pasien yang mengidap kanker. Untuk pasien penyakit kanker saat ini terapi sudah berjalan selama seminggu. Aryo menyatakan, penjelasan mengenai tata cara ikan lumba-lumba memberikan terapi memang agak unik. Yakni, seorang pasien yang akan menjalani terapi harus ikut berenang dengan ikan lumba-lumba. Pasien tersebut dengan menggunakan pelampung ikut berenang dalam kolam air laut di mana lumba-lumba itu berada.

Untuk tahap pertama, biasanya tahap adaptasi di mana lumba-lumba hanya mengitari pasien yang mengapung di kolam. Baru tahap berikutnya, lumba-lumba akan menunjukkan reaksi dan mencoba berkomunikasi dengan pasien. Mulai totokan di kaki, tubuh, kepala, gigitan lembut, bahkan kibasan tubuh. Uniknya, bagian tubuh pasien yang ditotok atau disentuh oleh ikan lumba-lumba itu setiap harinya berbeda, sehingga tampak sistematis. Seolah ikan yang biasa dilatih untuk atraksi permainan ini tahu di mana letak saraf pasien yang mengalami sakit.

"Ini bukan pengobatan alternatif. Melainkan hanya komplemen. Jadi pengobatan medisnya tetap jalan. Terapi lumba-lumbanya juga jalan. Ini masuk kategori bioakustik," paparnya.

Penelitian terhadap potensi ikan lumba-lumba sebagai terapi ini memang akan terus dikembangkan. Bahkan kata dia, pada program penelitian tahun 2008 ini diprioritaskan untuk mengetahui pola spektrum dari gelombang suara lumba-lumba untuk pengobatan. Yakni pola seberapa besar spektrum frekuensi gelombang suara dari lumba-lumba itu untuk terapi berdasarkan jenis penyakit si pasien. Sebab, dari hasil rekam sonar frekuensi gelombang suara memang ada yang berbeda untuk tiap jenis penyakitnya.

Untuk itu para peneliti berniat untuk mengetahui polanya. "Sebab ternyata spektrum gelombang suara yang dikeluarkan ikan ini menunjukkan pola yang berbeda untuk jenis penyakit yang berbeda pula. Inilah yang masih kita pelajari," paparnya.

Di dunia medis, memang selama ini ada asumsi bahwa ikan lumba-lumba bisa membantu terapi. Namun itu hanya sebatas kepercayaan, dan belum ada pembuktian ilmiah. Bahkan Amerika Serikat juga meneliti ikan ini secara serius yang langsung ditangani oleh angkatan laut negara Paman Sam tersebut. Tentu saja, ikan lumba-lumba untuk sirkus dan terapi cara melatihnya berbeda.

Menurut Aryo, ikan lumba-lumba yang bisa dilatih untuk melakukan terapi adalah jenis jantan. Apabila riset ilmiah terhadap ikan ini berhasil, maka itu akan sangat potensial bagi dunia pengobatan di Indonesia. Sebab lautan di Indonesia memang melimpah ikan lumba-lumba jenis hidung botol. Namun tentu cara penangkapannya akan menemui kesulitan. Apalagi jika yang ditangkap adalah lumba-lumba betina guna dikembangbiakkan. Sebab biasanya perilaku ikan yang berkelompok ini, betina biasanya dilindungi oleh banyak lumba-lumba jantan.

"Kami berencana menangkap empat ekor ikan lumba-lumba tahun ini, untuk kemudian kami teliti dan kembangbiakan di pusat penelitian kami di Bali," ujarnya.

Peneliti Bioakustik DKP, Agus Cahyadi menyatakan bahwa fokus penelitian tahun 2008 ini tidak hanya dilakukan kelanjutan terapi namun juga komparasi dengan hasil pengobatan medis. Sehingga dilakukan pembuktian secara medis atas hasil terapi yang dilakukan oleh pasien subyek penelitian. Selain itu juga dilakukan analisa spektrum akuistik gelombang suara yang dikeluarkan ikan lumba-lumba per perlakuan terapi. Yakni berapa besar gelombang suara yang dikeluarkan apabila untuk badan atau kepala pasien.

Meski demikian, Agus mengaku belum bisa memecahkan rahasia mengapa ikan lumba-lumba bisa mengerti bagian tubuh yang sakit dari si pasien sehingga melakukan perlakuan terapi di sana. "Kita masih dalam pengkajian mengapa lumba-lumba seolah tahu di mana bagian tubuh pasien yang sakit. Mereka mencari sendiri dan tidak ada yang mengarahkan," tandasnya.

Buktinya menurut dia, bottle nose dolphin atau tursiops truncactus itu bisa bekerja dengan baik. Selama 10 kali terapi yang diberikan kepada 13 anak penyandang autis. Untuk penelitian ini, Tim DKP melibatkan pakar psikologi Australia, Jepang, dan Indonesia untuk menganalisa perkembangan mental si pasien.

Agus menjelaskan melalui 10 kali terapi pada penderita autis, dari 8 kriteria yang dinilai, 3 di antaranya menunjukkan hasil memuaskan. Yakni, terkait emosi, kontak mata, dan ketenangan. "Lima kriteria lainnya, yaitu kelincahan, motorik, rileksasi, fokus, dan perhatian belum menunjukkan hasil," tandasnya.

Untuk proses terapi, biasanya adaptasi membutuhkan waktu 1 hari. Kemudian tahap selanjutnya, peneliti mengumpulkan rangkaian transmisi suara lumba-lumba yang direkam melalui hidrophon. Setelah dilakukan analisis bioakustik, dalam satuan tiap 30 menit terdapat spektrum akustik gelombang optimal. Bioakustik, merupakan ilmu yang mempelajari suara dalam air, baik yang ditransmisikan maupun yang diterima.

"Kami harus mengonfirmasikan dengan kalangan kedokteran potensi frekuensi tersebut terhadap penderita stroke. Namun, terapi ini akan dikembangkan untuk metode penyembuhan kanker," ujarnya.(Abdul Malik/Sindo/mbs)

Kurikulum Khusus Penyandang Autis

.PENDIDIKAN bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak biasa. Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual.

Data yang dimiliki Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima besar dari seluruh peserta sekolah khusus.

Jumlah terbesar adalah penyandang tuna grahita (keterbatasan intelektual) berat dan ringan sebanyak 38.545 peserta, tuna rungu 19.199 peserta. Diikuti kemudian penyandang tuna netra 3.218 peserta, tuna daksa 1.920 peserta dan autis sebanyak 1.752 peserta.

Di Indonesia, sekolah yang khusus menangani autis berjumlah 1.752 sekolah. Lima besar provinsi yang paling banyak mendirikan sekolah autis adalah Jawa Barat sebanyak 402 sekolah, Jawa Timur 263 sekolah, Daerah Istimewa Yogyakarta 131 sekolah. Kemudian diikuti Sumatera Barat dan DKI Jakarta yang masing-masing memiliki 111 sekolah untuk penyandang autis.

Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso menyatakan, UU Sisdiknas No20 Tahun 2003 mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua masyarakat. "Pemerintah mengakui dan melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagipenyandangautis," sebutnya.

Semua hal yang terkait dengan pembelajaran untuk anak-anak autis berpedoman pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Namun begitu, Eko mengatakan, Diknas memberikan kebebasan kepada masing-masing sekolah untuk menentukan kurikulum bagi penyandang autis. Ini disebabkan setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda dalam mendidik penyandang autis.

Awal Psikolog dari sekolah khusus autis "Mandiga" di Jakarta, Dyah Puspita menyatakan, kurikulum autis harus dibuat berbeda-beda untuk setiap individu. Mengingat setiap anak autis memiliki kebutuhan berbeda. Ini sesuai dengan sifat autis yang berspektrum. Misalnya ada anak yang butuh belajar komunikasi dengan intensif, ada yang perlu belajar bagaimana mengurus dirinya sendiri dan ada juga yang hanya perlu fokus pada masalah akademis.

Penentuan kurikulum yang tepat bagi tiap-tiap anak, Dini Yusuf, pendiri homeschooluntuk anak autis "Kubis" di Jakarta mengatakan, bergantung dari assessment(penilaian) awal yang dilakukan tiap sekolah. Penilaian ini perlu dilakukan sebelum sekolah menerima anak autis baru. Biasanya, penilaian melalui wawancara terhadap kedua orangtuanya. Wawancara ini untuk mengetahui latar belakang, hambatan, dan kondisi lingkungan sosial anak.

Selain itu, penilain awal ini juga melalui observasi langsung terhadap anak. Lamanya penilaian awal ini, menurut Dini,berbeda-beda."Tetapi, dari sana, kami lalu menentukan jenis terapi dan juga kurikulum yang tepat buat sang anak," ujarnya. Biasanya, terapi ini akan digabungkan dengan bermain agar lebih menyenangkan bagi anak autis.

Kepala Sekolah khusus autis, AGCA Centre Bekasi Ira Christiana, mengatakan, sekolahnya memiliki berbagai macam bentuk terapi bagi penyandang autis. Di antaranya, terapi terpadu, wicara, integritas, dan fisioterapi. "Terapi apa yang diberikan tergantung dari kondisi anaknya," sebutnya.

Perlakuan terhadap penyandang autis di atas umur lima tahun berbeda dengan penyandang autis di bawah umur lima tahun. Terapi penyandang autis di atas umur lima tahun lebih kepada pengembangan bina diri agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. "Ini wajib hukumnya karena mereka sudah waktunya untuk sekolah," ujar Ira.

Jika penyandang autis yang berumur di atas lima tahun belum bisa bersosialisasi sama sekali, maka akan diberikan pelatihan tambahan yang mengarah kepada peningkatan syaraf motorik kasar dan halus. Bagi penyandang yang sudah bisa bersosialisasi, maka akan langsung ditempatkan di sekolah reguler, dengan catatan mereka harus tetap mengikuti pelajaran tambahan di sekolah khusus penyandang autis.

Penyandang autis di bawah lima tahun diberikan terapi terpadu seperti terapi perilaku dan wicara. Terapi perilaku bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan, meniru, dan okupasi. Terapi wicara dimulai dengan melakukan hal-hal yang sederhana, seperti meniup lilin, tisu, melafalkan huruf A,dan melafalkan konsonan.

Hal lain yang patut dicermati, menurut Ira, adalah konsistensi antara apa yang dilakukan di sekolah dengan di rumah. Jika terdapat perbedaan yang mencolok,kemajuan anak autis akan sulit dicapai. Anak mengalami kebingungan atas apa yang ada pada lingkungannya. Untuk itu, diperlukan komunikasi intensif antara sekolah dan orangtua.(sindo//nsa)

Penanganan Autis Harus Individual

.Penanganan anak autis masih banyak yang salah kaprah. Metode yang dipakai sering disamakan untuk tiap anak. Padahal, seharusnya tidak demikian.

“Masing-masing anak membutuhkan penanganan yang berbeda,’’ kata anggota Centre for Biomedical Research (Cebior) FK Undip dokter Tri Indah Winarni, di sela-sela seminar autis di Gedung Dekanat Fakultas Kedokteran Undip, Kamis (13/11).

Wanita yang akrab disapa Iin itu menjelaskan, masing-masing anak autis memiliki karakter berbeda. Dengan begitu, metode yang berhasil diterapkan pada anak yang satu bisa jadi tak akan berhasil ketika diterapkan pada yang lain. “Sifat dari penanganan yang diberikan benar-benar harus individual oleh karena spektrumnya yang sangat luas,’’ tegasnya.

Yang tak kalah memprihatinkan, penanganan anak autis disamakan dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). ADHD merupakan gangguan pemusatan perhatian yang mempunyai prognosis yang lauh lebih baik.

Penandanya antara lain inatensi, impulsivitas, hiperaktivitas, dan gangguan pola perilaku terstruktur pada dua macam situasi berbeda. Gangguan ini berlaku kronis selama masa perkembangan.
“Autis merupakan gangguan yang bisa di terapi tetapi tidak bisa sembuh sempurna, sedangkan ADHD bisa,’’ kata Iin.

Sementara itu, pemerhati anak autis, Nurini menjelaskan, selain bersifat individual, penanganan anak autis harus mengedepankan kepeduliaan. Ini terutama berlaku pada orang tua. “Mereka harus turut memberikan penanganan. Jangan sepenuhnya diserahkan para terapis atau sekolah saja,’’ kata dia.

Orang tua juga harus konsisten dalam memberikan larangan, terutama yang terkait dengan asupan makanan.

Perlu diketahui, tidak bisa menghasilkan enzim tertentu yang membuat penyerapan makanan menjadi tak sempurna. Beberapa bahan yang diserap justru akan menjadi opium yang akan meracuni otak. Akibatnya, akan memicu emosional mereka. Bahan makanan itu misalnya susu dan tepung terigu.

Dalam hal inilah orang tua sering tidak konsisten. Mereka acap tak tahan dengan rengekan anak. Akhirnya, apa yang diminta dituruti. Akibatnya, emosi anak tak terkendali dan mengalami obesitas.

Sumber : Suara Merdeka 14 November 2008

Mitos Seputar Imunisasi

.Vera Farah Bararah - detikHealth
Imunisasi Jakarta, Kabar burung seputar imunisasi banyak berseliweran, tapi rata-rata masyarakat mempercayai begitu saja kabar tersebut tanpa mencari tahu kebenarannya. Apa saja mitos-mitos seputar imunisasi tersebut?

Imunisasi sangat penting sebagai pencegahan terhadap penyakit yang belum ada obatnya, penyakit mematikan atau dapat menimbulkan kecacatan serta melibatkan orang banyak. Selain itu imunisasi juga berguna untuk melindungi anak, menurunkan kejadian penyakt menular di masyarakat serta menjaga keluarga dan anak-anak tetap sehat.

Kadang-kadang akibat mitos yang beredar di masyarakat banyak prangtua yang tidak memberikan anaknya imunisasi, karena takut anaknya terkena autis atau sakit setelah melakukan suatu imunisasi.

Berikut beberapa mitos seputar imunisasi:

1. Vaksin MMR (measles, mumps dan rubella) bisa menyebabkan anak autis.

"Tidak ada hubungan antara vaksin MMR dengan perkembangan autis, ini sudah dibuktikan melalui penelitian ilmiah," ujar Dr. Jeffry Senduk, SpA dalam acara seminar mengenai imunisasi pada anak di Siloam Hospital Kebon Jeruk, Jakarta.

Dr. Jeffry menambahkan biasanya gejala autis pertama kali terlihat saat bayi berusia 12 sampai 18 bulan, dimana hampir bersamaan dengan diberikannya vaksin MMR. Kebanyakan autis disebabkan oleh factor genetic, jadi jangan takut untuk memberikan vaksin MMR pada anak.

2. Terlalu banyak vaksin akan membebani sistem imun.

Mitos ini tidak benar, karena meskipun jumlah suntikan vaksin meningkat tapi jumlah antigen telah menurun. Selain itu sistem imun manusia memberikan respons terhadap ratusan antigen dalam kehidupan setiap hari.

"Berbagai penelitian tidak memperlihatkan meningkatnya penyakit infeksi setelah adanya imunisasi," ujar dokter yang berpraktik di Siloam Hospital Kebun Jeruk ini.

3. Tidak boleh memberikan ASI sesudah vaksin polio.

Dr. Jeffry mengatakan anak yang diberikan vaksin polio boleh langsung diberikan ASI. Jika anak muntah sesudah imunisasi polio, maka imunisasi bisa diberikan kembali setelah 10 menit dengan dosis yang sama.

4. Anak sakit flu tidak boleh diimunisasi.

Jika anak hanya sakit flu yang ringan maka boleh saja dilakukan imunisasi, asalkan anak tidak demam dan tidak rewel. Jika bayi sangat rewel maka tunda melakukan imunisasi 1 hingga 2 minggu.

5. Lebih baik memberi natural infeksi dibanding dengan vaksinasi.

Mitos ini tidak benar. "Suatu penyakit bisa mengakibatkan kematian serta kecacatan yang permanen, dan dengan melakukan vaksinasi dapat memberikan perlindungan tanpa efek samping yang berat," ujar Dr. Jeffry.

6. Sesudah imunisasi tidak akan tertular penyakit tersebut.

Tidak ada vaksinasi yang memberikan perlindungan terhadap suatu penyakit secara 100 persen. Bayi atau anak yang telah melakukan imunisasi masih ada kemungkinan yang sangat kecil untuk bisa tertular penyakit tersebut, namun akan jauh lebih ringan dibandingkan dengan anak yang tidak diimunisasi. Sehingga kemungkinan untuk bisa disembuhkan jauh lebih besar.

7. Jika saat balita sudah diimunisasi lengkap, di sekolah tidak perlu imunisasi lagi.

Ada beberapa imunisasi yang harus diulang saat sekolah dasar yaitu imunisasi campak dan DT saat kelas 1 dan imunisasi TT saat kelas 2, 3 dan 6. Karena banyak anak yang sudah divaksin waktu bayi ternyata pada umur 5 sampai 7 tahun 28,3 persen terkena campak, pada umur lebih dari 10 tahun terkena difteria, serta untuk pemberantasan tetanus dibutuhkan 5 kali suntikan TT sejak bayi hingga dewasa sehingga kekebalan pada umur dewasa bisa berlangsung hingga 20 tahun lagi.

Anda jangan langsung percaya terhadap semua kabar burung yang beredar mengenai imunisasi, sebaiknya cari tahu penjelasannya melalui situs-situs ilmiah di internet atau berkonsultasi dengan dokter anak Anda.