Monday, March 31, 2025

Habis puasa ramadhan.

 Setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan di bulan Ramadhan, ada beberapa nasihat yang bisa dijadikan pegangan agar semangat ibadah dan kebaikan yang sudah dibangun tidak luntur setelah Ramadhan berlalu:

1. Jaga Konsistensi Ibadah

Puasa Ramadhan telah melatih kita untuk lebih disiplin dalam sholat, membaca Al-Qur'an, dan memperbanyak dzikir. Jangan biarkan kebiasaan baik ini hilang. Pertahankan sholat tepat waktu, lanjutkan membaca Al-Qur'an secara rutin, dan perbanyak doa serta dzikir.

2. Lanjutkan Puasa Sunnah

Nabi Muhammad ﷺ menganjurkan untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal. Rasulullah bersabda:
"Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya dengan enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun." (HR. Muslim)
Selain itu, biasakan puasa sunnah Senin-Kamis atau puasa ayyamul bidh (tanggal 13, 14, 15 bulan hijriyah).

3. Tetap Jaga Hati dan Perilaku

Ramadhan melatih kita untuk menahan amarah, menghindari ghibah (gosip), dan menjaga lisan serta hati. Jangan sampai setelah Ramadhan, kita kembali ke kebiasaan buruk seperti berbicara kasar, menyakiti orang lain, atau melupakan akhlak yang baik.

4. Jaga Kepedulian Sosial dan Sedekah

Saat Ramadhan, kita terbiasa berbagi dan bersedekah. Jangan hentikan kebiasaan ini setelah Ramadhan. Teruslah membantu sesama, baik dengan harta, tenaga, maupun doa.

5. Raih Istiqamah, Bukan Euforia Sesaat

Allah mencintai amal yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun kecil. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang dilakukan terus-menerus walaupun sedikit." (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, tetaplah beribadah dan berbuat baik secara konsisten, jangan hanya semangat saat Ramadhan lalu kembali lalai setelahnya.

6. Ingat Bahwa Allah adalah Rabb Sepanjang Tahun, Bukan Hanya di Bulan Ramadhan

Sering kali, semangat ibadah meningkat saat Ramadhan, tetapi menurun drastis setelahnya. Padahal, Allah selalu mengawasi kita setiap waktu. Jangan biarkan ibadah kita hanya terikat oleh momentum Ramadhan.

7. Persiapkan Diri untuk Ramadhan Berikutnya

Jangan jadikan Ramadhan sebagai akhir, tetapi anggaplah sebagai latihan untuk meningkatkan kualitas diri menuju Ramadhan berikutnya dengan lebih baik. Jika Allah memberi umur panjang, kita harus kembali menyambut Ramadhan dengan persiapan yang lebih matang.

Semoga Allah menerima amal ibadah kita selama Ramadhan dan memberi kita kekuatan untuk tetap istiqamah di jalan-Nya.

Sunday, March 30, 2025

Sodaqoh untuk dipinjamkan.

 Dalil yang mendukung konsep meminjamkan uang dari hasil sedekah tanpa riba bisa dikaitkan dengan prinsip dalam Islam tentang qardhul hasan (pinjaman baik) dan pengelolaan harta sedekah untuk kemaslahatan umat. Berikut beberapa dalil yang relevan:

1. QS. Al-Baqarah: 245

"Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (qardhan hasanan), maka Allah akan melipatgandakannya untuknya dengan lipatan yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan."

➡️ Ayat ini menegaskan bahwa memberikan pinjaman yang baik (tanpa riba) adalah amalan yang sangat mulia di sisi Allah dan akan mendapatkan balasan yang berlipat.

2. QS. Al-Ma'idah: 2

"… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…."

➡️ Meminjamkan uang hasil sedekah tanpa riba adalah bagian dari tolong-menolong dalam kebaikan.

3. Hadis Nabi ﷺ

Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barang siapa yang memberikan kemudahan kepada orang yang kesulitan, maka Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat."
(HR. Muslim, no. 2699)

➡️ Jika dana hasil sedekah digunakan untuk memberikan pinjaman tanpa riba, itu termasuk dalam kategori memberikan kemudahan kepada orang yang sedang kesulitan.

4. Fatwa Ulama

Banyak ulama berpendapat bahwa dana sedekah atau wakaf boleh dikelola untuk maslahat umat, termasuk dengan cara dipinjamkan kepada orang yang membutuhkan, selama:

  1. Tidak ada unsur riba atau keuntungan pribadi.
  2. Tetap dalam tujuan membantu fakir miskin atau kemaslahatan umum.
  3. Tidak menghilangkan hak orang yang berhak menerimanya.

Jika uang sedekah dikembalikan lagi setelah dipinjamkan, bisa digunakan untuk membantu orang lain lagi sehingga manfaatnya lebih luas.

Kesimpulan

Hasil sedekah yang dipinjamkan tanpa riba sesuai dengan ajaran Islam selama niatnya untuk kebaikan dan tidak merugikan penerima hak sedekah. Ini adalah salah satu bentuk qardhul hasan, yang sangat dianjurkan dalam Islam.

Apakah ingin menerapkan konsep ini dalam usaha atau program sosial yang sedang dijalankan?

Dosa yg pernah dilakukan.

 Nasehat Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Ibnu Atha'illah as-Sakandari tentang Dosa yang Pernah Diperbuat

1. Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Syekh Abdul Qadir al-Jailani menekankan pentingnya taubat yang tulus (taubat nasuha) dan tidak berputus asa dari rahmat Allah. Beliau berkata:

"Janganlah engkau berputus asa dari rahmat Allah karena dosa-dosamu yang telah lalu. Jika engkau bertobat dengan benar, maka Allah akan mengampunimu dan menggantikan dosamu dengan kebaikan."

Beliau juga mengajarkan bahwa manusia memang bisa tergelincir dalam dosa, tetapi jangan tenggelam dalam keputusasaan, sebab keputusasaan itu adalah godaan setan. Sebaliknya, hendaknya seseorang segera bangkit, bertaubat, dan kembali kepada Allah dengan penuh keikhlasan.

2. Ibnu Atha'illah as-Sakandari

Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu Atha'illah as-Sakandari menyampaikan hikmah yang sangat dalam tentang dosa:

"Kadang-kadang Allah membukakan pintu ketaatan untukmu, tetapi tidak membukakan pintu penerimaan. Dan kadang-kadang Allah menakdirkanmu jatuh dalam dosa, tetapi itu menjadi sebab kau merendahkan diri di hadapan-Nya, sehingga dosa itu lebih bermanfaat bagimu daripada amal yang membuatmu merasa sombong."

Dari hikmah ini, Ibnu Atha'illah ingin mengajarkan bahwa dosa yang disertai taubat dan rasa rendah diri bisa lebih bermanfaat bagi seorang hamba dibanding amal yang membuatnya merasa ujub (bangga diri). Allah sering kali menjadikan dosa sebagai sarana pendidikan bagi seorang hamba agar dia sadar akan kelemahannya dan semakin dekat kepada Allah.

Kesimpulan

Dosa yang telah diperbuat tidak boleh menjadi alasan untuk berputus asa. Syekh Abdul Qadir al-Jailani menekankan agar kita selalu bertaubat dan kembali kepada Allah, sedangkan Ibnu Atha'illah as-Sakandari mengingatkan bahwa dosa bisa menjadi jalan menuju kerendahan hati dan perbaikan diri jika disikapi dengan benar. Kuncinya adalah taubat yang sungguh-sungguh, merasa hina di hadapan Allah, dan tidak mengulang dosa yang sama.

Saturday, March 29, 2025

Iman, amal, taqwa.

 Iman, amal, dan ketakwaan memiliki hubungan yang sangat erat dalam ajaran Islam.

  1. Iman sebagai Landasan
    Iman adalah keyakinan dalam hati terhadap Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir. Iman menjadi dasar dari segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang Muslim. Tanpa iman, amal seseorang tidak memiliki nilai di sisi Allah.

  2. Amal sebagai Bukti Iman
    Iman yang benar akan mendorong seseorang untuk beramal shalih. Jika seseorang beriman, maka ia akan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Amal adalah bukti nyata dari keimanan seseorang, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an:
    "Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan..." (QS. Al-'Asr: 1-3).

  3. Ketakwaan sebagai Puncak Iman dan Amal
    Ketakwaan adalah keadaan di mana seseorang selalu sadar akan kehadiran Allah, sehingga ia menjaga iman dan amalnya agar selalu sesuai dengan ridha-Nya. Ketakwaan adalah hasil dari iman yang kuat dan amal yang konsisten. Allah berfirman:
    "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa..." (QS. Al-Hujurat: 13).

Jadi, iman melahirkan amal, dan amal yang terus dijaga dengan ikhlas serta sesuai dengan syariat akan meningkatkan ketakwaan. Ketiga hal ini saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan seorang Muslim.

Tanda Hati yang Mati (buku).

 Buku "Tanda Hati yang Mati" bisa membahas penyebab hati menjadi mati, tanda-tandanya, akibatnya, serta cara menghidupkannya kembali dengan keimanan dan ibadah. Berikut contoh susunan daftar isi:

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Pendahuluan

  • Apa Itu Hati yang Mati?
  • Mengapa Kita Perlu Menyadari Kondisi Hati Kita?

BAB 1: Memahami Hati dalam Islam

1.1 Hati sebagai Pusat Keimanan dan Kesadaran
1.2 Jenis-Jenis Hati: Hati yang Sehat, Sakit, dan Mati
1.3 Peran Hati dalam Menentukan Amal dan Akhlak

BAB 2: Penyebab Hati Menjadi Mati

2.1 Jauh dari Dzikir dan Mengingat Allah
2.2 Cinta Dunia yang Berlebihan
2.3 Terus-Menerus dalam Dosa Tanpa Taubat
2.4 Hati yang Keras karena Kesombongan
2.5 Lalai dari Membaca dan Merenungi Al-Qur’an

BAB 3: Tanda-Tanda Hati yang Mati

3.1 Tidak Tergerak oleh Ayat Al-Qur’an dan Nasihat
3.2 Malas Beribadah dan Tidak Peduli terhadap Dosa
3.3 Senang dengan Keburukan dan Kemaksiatan
3.4 Tidak Merasa Bersalah saat Menyakiti Orang Lain
3.5 Enggan Bertaubat dan Menganggap Dosa sebagai Hal Biasa

BAB 4: Akibat Hati yang Mati

4.1 Jauh dari Rahmat Allah
4.2 Tidak Merasakan Ketenangan dalam Hidup
4.3 Sulit Membedakan Kebenaran dan Kebatilan
4.4 Hubungan yang Buruk dengan Sesama Manusia

BAB 5: Cara Menghidupkan Kembali Hati yang Mati

5.1 Memperbanyak Dzikir dan Istighfar
5.2 Mendekat kepada Al-Qur’an dan Memahami Maknanya
5.3 Meninggalkan Dosa dan Bertaubat dengan Sungguh-Sungguh
5.4 Menjalin Hubungan yang Baik dengan Orang-Orang Shalih
5.5 Meningkatkan Kualitas Ibadah dan Keikhlasan

BAB 6: Kisah Orang-Orang yang Hatinya Hidup Kembali

6.1 Kisah Taubat Para Pendosa yang Menjadi Kekasih Allah
6.2 Pelajaran dari Al-Qur’an dan Hadis tentang Hati yang Bersih
6.3 Refleksi dan Evaluasi Diri

BAB 7: Menjaga Hati agar Tidak Mati Lagi

7.1 Selalu Mengingat Kematian dan Kehidupan Akhirat
7.2 Menghindari Sumber-Sumber Kerusakan Hati
7.3 Berusaha Istiqamah dalam Iman dan Ketaatan
7.4 Muhasabah Diri Setiap Hari

Penutup

  • Kesimpulan dan Pesan untuk Pembaca

Lampiran

  • Doa-Doa untuk Menjaga Kebersihan Hati
  • Ayat dan Hadis tentang Hati yang Hidup dan Mati

Daftar Pustaka
Indeks

Struktur ini bisa disesuaikan dengan pendekatan yang ingin diambil. Apakah ada bagian yang perlu diperjelas atau ditambahkan?

Bersandar Hanya kepada Rahmat Allah (buku).

 Buku "Bersandar Hanya kepada Rahmat Allah" dapat membahas pentingnya berharap hanya kepada Allah, makna rahmat-Nya, serta bagaimana cara meningkatkan keyakinan terhadap kasih sayang-Nya. Berikut contoh susunan daftar isi:

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Pendahuluan

  • Makna Bersandar kepada Rahmat Allah
  • Mengapa Kita Harus Berharap Hanya kepada-Nya?

BAB 1: Memahami Rahmat Allah

1.1 Apa Itu Rahmat Allah?
1.2 Rahmat Allah dalam Al-Qur’an dan Hadis
1.3 Sejauh Mana Rahmat Allah Meliputi Makhluk-Nya?

BAB 2: Mengapa Kita Harus Bersandar Hanya kepada Rahmat Allah?

2.1 Lemahnya Manusia Tanpa Pertolongan Allah
2.2 Kesalahan dalam Mengandalkan Makhluk
2.3 Perbedaan antara Tawakal dan Pasrah Tanpa Usaha
2.4 Tanda-Tanda Orang yang Hanya Bersandar kepada Allah

BAB 3: Rahmat Allah Lebih Besar dari Dosa-Dosa Kita

3.1 Allah Maha Pengampun: Jangan Berputus Asa
3.2 Kisah-Kisah tentang Luasnya Ampunan Allah
3.3 Perbedaan antara Taubat yang Sungguh-Sungguh dan Taubat Semu

BAB 4: Cara Merasakan dan Mendekat kepada Rahmat Allah

4.1 Memperbanyak Dzikir dan Doa
4.2 Menguatkan Shalat dan Ibadah Hati
4.3 Bersyukur atas Nikmat-Nikmat Kecil
4.4 Menghindari Sikap Meremehkan Rahmat Allah

BAB 5: Ujian Hidup dan Rahmat Allah

5.1 Mengapa Allah Menguji Hambanya?
5.2 Melihat Ujian sebagai Pintu Rahmat
5.3 Kisah Orang-Orang yang Diuji dan Merasakan Rahmat Allah

BAB 6: Menumbuhkan Rasa Cinta dan Harap kepada Allah

6.1 Mengingat Nama dan Sifat Allah yang Penuh Kasih Sayang
6.2 Berbaik Sangka kepada Allah dalam Segala Keadaan
6.3 Berlatih Bersyukur dan Menerima Takdir dengan Lapang

BAB 7: Bersandar kepada Rahmat Allah, Bukan Menjadikan Alasan untuk Lalai

7.1 Bahaya Merasa Aman dari Azab Allah
7.2 Menjaga Keseimbangan antara Takut dan Harapan
7.3 Memanfaatkan Waktu Hidup untuk Mendekat kepada Allah

Penutup

  • Kesimpulan dan Pesan untuk Pembaca

Lampiran

  • Doa-Doa yang Menguatkan Ketergantungan kepada Allah
  • Ayat dan Hadis tentang Rahmat dan Kasih Sayang Allah

Daftar Pustaka
Indeks

Struktur ini bisa disesuaikan dengan fokus dan gaya penulisan yang diinginkan. Apakah ada bagian yang ingin diperjelas atau ditambahkan?

Tanda buta matahati (buku).

 Buku "Tanda Buta Matahati" bisa membahas kebutaan hati dalam makna spiritual, moral, dan sosial. Berikut contoh susunan daftar isi yang bisa digunakan:

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Pendahuluan

  • Apa Itu Buta Matahati?
  • Mengapa Kita Perlu Menyadari Tanda-Tandanya?

BAB 1: Makna Buta Matahati

1.1 Definisi Buta Matahati dalam Perspektif Agama dan Filsafat
1.2 Perbedaan Buta Mata dengan Buta Matahati
1.3 Ciri-Ciri Orang yang Buta Matahati

BAB 2: Penyebab Buta Matahati

2.1 Kesombongan dan Merasa Paling Benar
2.2 Cinta Dunia yang Berlebihan
2.3 Hati yang Dikuasai Dosa dan Maksiat
2.4 Kurangnya Rasa Syukur
2.5 Lalai dari Mengingat Allah dan Akhirat

BAB 3: Tanda-Tanda Orang yang Buta Matahati

3.1 Tidak Mau Menerima Nasihat
3.2 Hati yang Keras dan Sulit Memaafkan
3.3 Menyepelekan Dosa dan Kesalahan
3.4 Senang dengan Keburukan Orang Lain
3.5 Enggan Beribadah dan Berbuat Baik

BAB 4: Akibat dari Buta Matahati

4.1 Kehilangan Petunjuk Hidup
4.2 Jauh dari Ketenangan dan Kebahagiaan
4.3 Sulit Membedakan Kebenaran dan Kebatilan
4.4 Dampak Sosial dan Hubungan dengan Orang Lain

BAB 5: Cara Menyembuhkan Buta Matahati

5.1 Mengenali Dosa dan Kekurangan Diri
5.2 Menumbuhkan Rasa Takut dan Cinta kepada Allah
5.3 Memperbanyak Dzikir dan Doa
5.4 Membaca dan Merenungkan Al-Qur’an
5.5 Bergaul dengan Orang-Orang Shalih

BAB 6: Kisah dan Hikmah tentang Buta Matahati

6.1 Kisah Orang-Orang yang Kembali dari Kegelapan
6.2 Pelajaran dari Al-Qur’an dan Hadis tentang Hati yang Tertutup
6.3 Refleksi dan Evaluasi Diri

BAB 7: Menjaga Matahati agar Tetap Terbuka

7.1 Meningkatkan Keimanan dan Ketakwaan
7.2 Menjaga Kebersihan Hati dari Iri dan Dengki
7.3 Mengamalkan Ilmu dan Berbuat Baik Setiap Hari
7.4 Membiasakan Muhasabah (Evaluasi Diri)

Penutup

  • Kesimpulan dan Pesan untuk Pembaca

Lampiran

  • Doa-Doa untuk Membersihkan Hati
  • Ayat dan Hadis tentang Hati dan Kesadaran

Daftar Pustaka
Indeks

Apakah ada bagian yang ingin diperluas atau ditambahkan?

Kolesterol (buku).

 Berikut contoh susunan daftar isi untuk buku berjudul "Kolesterol":

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Pendahuluan

  • Latar Belakang
  • Mengapa Kolesterol Perlu Diketahui?

BAB 1: Mengenal Kolesterol

1.1 Apa Itu Kolesterol?
1.2 Jenis-Jenis Kolesterol (LDL, HDL, dan Trigliserida)
1.3 Fungsi Kolesterol dalam Tubuh
1.4 Mitos dan Fakta Seputar Kolesterol

BAB 2: Penyebab dan Faktor Risiko Kolesterol Tinggi

2.1 Pola Makan dan Konsumsi Lemak
2.2 Faktor Genetik dan Keturunan
2.3 Hubungan Antara Obesitas dan Kolesterol
2.4 Pengaruh Rokok dan Alkohol
2.5 Kurangnya Aktivitas Fisik

BAB 3: Gejala dan Diagnosis Kolesterol Tinggi

3.1 Apakah Kolesterol Tinggi Memiliki Gejala?
3.2 Cara Mendiagnosis Kolesterol Tinggi (Tes Laboratorium dan Pemeriksaan Medis)
3.3 Risiko Penyakit Akibat Kolesterol Tinggi (Serangan Jantung, Stroke, Hipertensi)

BAB 4: Pengobatan dan Pengelolaan Kolesterol

4.1 Obat-obatan untuk Menurunkan Kolesterol
4.2 Pengobatan Herbal dan Alami
4.3 Terapi dan Perubahan Gaya Hidup
4.4 Peran Dokter dalam Pengelolaan Kolesterol

BAB 5: Pola Makan Sehat untuk Mengontrol Kolesterol

5.1 Makanan yang Harus Dihindari
5.2 Makanan yang Direkomendasikan
5.3 Resep Masakan Sehat untuk Menurunkan Kolesterol

BAB 6: Aktivitas Fisik dan Olahraga

6.1 Olahraga yang Efektif Menurunkan Kolesterol
6.2 Tips Memulai dan Menjaga Rutinitas Olahraga
6.3 Manfaat Aktivitas Fisik bagi Kesehatan Jantung

BAB 7: Kolesterol dan Kesehatan Mental

7.1 Dampak Stres terhadap Kolesterol
7.2 Teknik Relaksasi dan Manajemen Stres

BAB 8: Studi Kasus dan Kisah Nyata

8.1 Pengalaman Penderita dalam Menghadapi Kolesterol Tinggi
8.2 Studi Kasus Keberhasilan Menurunkan Kolesterol

BAB 9: Tanya Jawab Seputar Kolesterol

9.1 Pertanyaan yang Sering Diajukan
9.2 Klarifikasi Kesalahpahaman tentang Kolesterol

Penutup

  • Kesimpulan dan Saran
  • Harapan untuk Pembaca

Lampiran

  • Tabel Kandungan Lemak dalam Makanan
  • Daftar Rumah Sakit atau Klinik yang Menangani Kolesterol

Daftar Pustaka
Indeks

Struktur ini bisa disesuaikan dengan fokus buku yang diinginkan. Apakah ada bagian yang ingin ditambahkan atau diperjelas?

Asam urat (buku).

 Susunan daftar isi buku "Asam Urat" bisa dibuat sistematis agar pembaca memahami penyakit ini secara menyeluruh. Berikut contoh susunan daftar isinya:

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Pendahuluan

  • Latar Belakang
  • Pentingnya Mengetahui Tentang Asam Urat

BAB 1: Mengenal Asam Urat

1.1 Apa Itu Asam Urat?
1.2 Sejarah dan Perkembangan Penelitian Asam Urat
1.3 Fakta dan Mitos Seputar Asam Urat

BAB 2: Penyebab dan Faktor Risiko Asam Urat

2.1 Proses Terbentuknya Asam Urat di Dalam Tubuh
2.2 Pola Makan dan Gaya Hidup yang Memicu Asam Urat
2.3 Faktor Genetik dan Hubungannya dengan Asam Urat
2.4 Penyakit yang Berhubungan dengan Asam Urat

BAB 3: Gejala dan Diagnosis Asam Urat

3.1 Gejala Umum yang Perlu Diwaspadai
3.2 Perbedaan Asam Urat dengan Rematik dan Penyakit Lain
3.3 Cara Mendiagnosis Asam Urat (Tes Laboratorium dan Pemeriksaan Medis)

BAB 4: Pengobatan dan Pencegahan Asam Urat

4.1 Pengobatan Medis dan Obat-obatan yang Digunakan
4.2 Pengobatan Tradisional dan Herbal
4.3 Perubahan Pola Makan untuk Mengontrol Asam Urat
4.4 Gaya Hidup Sehat untuk Mencegah Kambuhnya Asam Urat

BAB 5: Makanan dan Minuman untuk Penderita Asam Urat

5.1 Makanan yang Harus Dihindari
5.2 Makanan yang Aman dan Direkomendasikan
5.3 Resep Makanan Sehat untuk Penderita Asam Urat

BAB 6: Asam Urat dan Kesehatan Mental

6.1 Dampak Psikologis dari Penyakit Kronis
6.2 Cara Mengelola Stres dan Emosi Akibat Penyakit Asam Urat

BAB 7: Studi Kasus dan Kisah Nyata

7.1 Pengalaman Penderita dalam Menghadapi Asam Urat
7.2 Studi Kasus Keberhasilan Mengelola Asam Urat

BAB 8: Tanya Jawab Seputar Asam Urat

8.1 Pertanyaan Umum yang Sering Diajukan
8.2 Klarifikasi Kesalahpahaman tentang Asam Urat

Penutup

  • Kesimpulan dan Saran
  • Harapan untuk Pembaca

Lampiran

  • Tabel Kandungan Purin dalam Makanan
  • Daftar Rumah Sakit atau Klinik yang Menangani Asam Urat

Daftar Pustaka
Indeks

Struktur ini bisa disesuaikan dengan target pembaca dan fokus buku yang diinginkan. Apakah ada bagian tertentu yang ingin diperluas atau ditambahkan?

Ramadhan sebagai gaya hidup.

 Secara syariat Islam, bulan Ramadhan sudah ditetapkan oleh Allah sebagai bulan yang istimewa dan penuh keberkahan. Namun, jika maksudnya ingin menghadirkan suasana Ramadhan di bulan-bulan lain—seperti memperbanyak ibadah, berbagi, dan mendekatkan diri kepada Allah—itu tentu sangat baik dan dianjurkan.

Kita bisa menerapkan semangat Ramadhan sepanjang tahun dengan cara:

  1. Puasa Sunnah – Seperti puasa Senin-Kamis, puasa Ayyamul Bidh (13, 14, 15 setiap bulan Hijriah), atau puasa Daud.
  2. Sedekah Rutin – Bersedekah setiap hari, walau sedikit, sebagaimana di bulan Ramadhan.
  3. Shalat Malam – Menghidupkan qiyamul lail atau tahajud, sebagaimana kita biasa melakukan tarawih di Ramadhan.
  4. Baca dan Tadabbur Al-Qur’an – Menjaga kebiasaan tilawah dan memahami maknanya, sebagaimana di bulan Ramadhan.
  5. Menjaga Akhlak dan Amal Shalih – Tetap sabar, rendah hati, dan memperbanyak dzikir.
  6. Mengajak Orang Lain dalam Kebaikan – Mengajak keluarga, teman, atau masyarakat untuk bersama-sama melakukan amal ibadah.

Dengan begitu, semangat Ramadhan bisa kita rasakan sepanjang tahun, bukan hanya di satu bulan saja. Bagaimana menurutmu?

Friday, March 28, 2025

Menangisnya orang puasa.

 Menangis saat berpuasa memiliki kemuliaan tersendiri di sisi Allah. Tangisan seorang yang berpuasa bisa muncul dari berbagai sebab, seperti rasa syukur atas nikmat Allah, penyesalan atas dosa, rindu kepada-Nya, atau karena merasakan kelemahan diri di hadapan-Nya.

Kemuliaan Menangisnya Orang yang Berpuasa

  1. Menunjukkan Ketulusan dan Kekhusyukan

    • Air mata yang jatuh karena takut kepada Allah adalah tanda keimanan yang mendalam. Rasulullah ﷺ bersabda:
      "Dua mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga di jalan Allah." (HR. Tirmidzi)
  2. Tanda Hati yang Lembut dan Bersih

    • Hati yang lembut mudah tersentuh oleh ayat-ayat Allah dan keadaan diri yang lemah. Berpuasa melembutkan hati, sehingga lebih mudah merasakan keagungan Allah dan menangis karena-Nya.
  3. Dicintai oleh Allah

    • Orang yang menangis karena Allah, termasuk saat berpuasa, mendapatkan cinta dan perlindungan-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa di akhirat, ada tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah, salah satunya adalah:
      "Seorang yang mengingat Allah dalam kesendirian lalu meneteskan air matanya." (HR. Bukhari & Muslim)
  4. Menghapus Dosa dan Kesalahan

    • Tangisan seorang hamba yang menyesali dosa-dosanya, terlebih saat berpuasa, menjadi sebab diampuninya dosa-dosa. Rasulullah ﷺ bersabda:
      "Barang siapa menangis karena takut kepada Allah, maka dia tidak akan masuk neraka." (HR. Tirmidzi)
  5. Menjadi Sebab Dikabulkannya Doa

    • Saat berpuasa, doa seorang hamba lebih mustajab. Jika doa disertai dengan tangisan penuh keikhlasan, maka semakin besar harapan untuk dikabulkan oleh Allah.
  6. Merasakan Manisnya Iman

    • Menangis saat berpuasa, baik karena syukur maupun karena takut kepada Allah, menunjukkan bahwa hati telah merasakan manisnya iman dan kedekatan dengan-Nya.

Penutup

Menangis karena Allah, khususnya saat berpuasa, adalah anugerah yang menunjukkan ketakwaan dan kelembutan hati. Seorang mukmin tidak perlu malu jika air matanya jatuh saat beribadah, justru itu adalah pertanda keberkahan dalam ibadahnya. Semoga Allah selalu melembutkan hati kita dan menjadikan tangisan kita sebagai bukti cinta kepada-Nya.

Detak jantung orang puasa

 Detak jantung orang yang berpuasa memiliki kemuliaan karena setiap detiknya menjadi bagian dari ibadah yang dicintai Allah. Puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga latihan spiritual yang menyucikan hati dan jiwa.

Ketika seseorang berpuasa, setiap detak jantungnya berdetak dalam keadaan taat, menahan diri dari hal-hal yang diharamkan, dan penuh dengan kesabaran. Dalam kondisi ini, seluruh tubuh—termasuk jantung—berkontribusi dalam ibadah. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)

Jantung yang berdetak dalam keadaan puasa menjadi saksi atas ketaatan seorang mukmin. Dengan setiap denyutnya, darah yang mengalir membawa berkah dan keberkahan karena tubuh sedang dalam kondisi ibadah. Rasulullah ﷺ juga bersabda bahwa puasa adalah tameng dan akan menjadi syafaat bagi orang yang menjaganya (HR. Ahmad).

Secara medis, puasa juga menyehatkan jantung, mengurangi stres oksidatif, dan menenangkan ritme kehidupan. Sehingga, bukan hanya kemuliaan spiritual, tetapi juga manfaat fisik yang luar biasa bagi kesehatan.

Setiap detak jantung orang berpuasa adalah ketukan ibadah yang mendekatkannya kepada Allah, menjadi bagian dari keutamaan yang dijanjikan oleh-Nya.

Nafas orang puasa.

 Nafas orang mukmin ketika berpuasa memiliki kemuliaan yang sangat besar di sisi Allah. Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma kasturi."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Kemuliaan ini bukan karena bau fisiknya, tetapi karena puasa adalah ibadah yang sangat dicintai Allah. Nafas orang yang berpuasa melambangkan ketulusan dan kesabaran dalam menjalankan perintah-Nya. Ini menunjukkan bahwa meskipun secara lahiriah bau mulut mungkin berubah karena kosongnya perut, di sisi Allah, itu justru menjadi tanda keikhlasan dan ketakwaan.

Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari hal-hal yang tidak bermanfaat, termasuk menjaga lisan dan hati dari perkataan serta perbuatan yang sia-sia. Dengan demikian, setiap helaan nafas orang yang berpuasa menjadi saksi atas ketaatan dan ketekunan dalam beribadah kepada Allah.

Semoga kita selalu diberikan keikhlasan dalam berpuasa dan mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya.

Hausnya orang puasa.

 Hausnya orang puasa adalah salah satu bentuk ujian yang mendatangkan kemuliaan di sisi Allah. Dalam hadits disebutkan bahwa orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan:

1. Kebahagiaan saat berbuka, karena setelah seharian menahan haus dan lapar, ia merasakan nikmatnya rezeki Allah.

2. Kebahagiaan saat bertemu dengan Allah, karena puasanya menjadi sebab pahala besar dan kedudukan yang tinggi di akhirat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan saat bertemu dengan Rabbnya." (HR. Bukhari & Muslim)

Haus yang dirasakan selama puasa juga menjadi sebab penghapusan dosa dan peningkatan derajat di sisi Allah. Bahkan, di akhirat kelak, Allah akan memberi minuman dari telaga Rasulullah ﷺ bagi mereka yang bersabar dalam puasa.

Jadi, hausnya orang puasa bukan sekadar penderitaan, tetapi tanda ketaatan yang berujung pada kemuliaan.


Thursday, March 27, 2025

Daging Qurban

 Dalam Islam, daging kurban dibagikan kepada tiga golongan utama:

  1. Shohibul Qurban (orang yang berkurban) – Boleh mengambil sebagian dagingnya untuk dikonsumsi sendiri dan keluarganya.
  2. Kaum Fakir dan Miskin – Mereka yang benar-benar membutuhkan, lebih diutamakan menerima bagian kurban.
  3. Tetangga, Sahabat, dan Masyarakat Umum – Bisa diberikan kepada siapa saja, termasuk yang mampu, sebagai bentuk berbagi dan mempererat tali silaturahmi.

Dasarnya adalah firman Allah:
"Maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah kepada orang yang tidak meminta dan orang yang meminta..." (QS. Al-Hajj: 36).

Idealnya, pembagian daging kurban dilakukan dengan proporsi:

  • Sepertiga untuk diri sendiri
  • Sepertiga untuk fakir miskin
  • Sepertiga untuk sedekah kepada tetangga dan teman

Namun, jika ingin seluruhnya disedekahkan kepada fakir miskin, itu juga diperbolehkan dan lebih utama.

Wednesday, March 26, 2025

Dosa

 Nasehat Syekh Abdul Qadir al-Jailani tentang Perbuatan Dosa yang Pernah Dilakukan

Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Futuh al-Ghaib menekankan bahwa dosa yang pernah dilakukan hendaknya tidak menjadi penghalang untuk kembali kepada Allah. Beliau berkata:

"Wahai anakku, jika engkau jatuh dalam dosa, janganlah putus asa dari rahmat Allah. Segeralah bertobat dengan hati yang penuh penyesalan. Jangan biarkan setan menipumu dengan keputusasaan, sebab Allah Maha Pengampun bagi siapa saja yang kembali kepada-Nya."

Beliau juga mengingatkan bahwa manusia sering kali terjatuh dalam dosa karena mengikuti hawa nafsunya. Namun, solusi terbaik adalah dengan kembali kepada Allah melalui taubat yang sungguh-sungguh (taubat nasuha).

"Setiap kali engkau terjatuh dalam dosa, bangkitlah dengan istighfar. Jika engkau terjatuh lagi, bangkitlah lagi. Jangan pernah lelah untuk kembali kepada Allah, karena Allah tidak pernah lelah mengampunimu."

Nasehat Ibnu Atha'illah as-Sakandari tentang Perbuatan Dosa yang Pernah Dilakukan

Ibnu Atha’illah dalam Al-Hikam memberikan pandangan mendalam tentang dosa dan taubat. Salah satu hikmah yang terkenal dari beliau adalah:

"Jangan sampai dosa yang telah engkau lakukan membuatmu putus asa dari rahmat Allah, karena bisa jadi itu adalah jalan yang Allah gunakan untuk membawamu lebih dekat kepada-Nya."

Beliau juga mengatakan:

"Kadang Allah meneguhkan seorang hamba melalui dosa yang membuatnya menangis dan bertobat, lebih daripada amal yang membuatnya bangga dan sombong."

Pesan ini mengajarkan bahwa dosa tidak boleh menjadi alasan untuk menyerah dalam perjalanan spiritual. Justru, dosa bisa menjadi pelajaran berharga yang membuat seseorang lebih rendah hati, lebih banyak bertaubat, dan lebih dekat dengan Allah.

Kesimpulan

Baik Syekh Abdul Qadir al-Jailani maupun Ibnu Atha’illah as-Sakandari mengajarkan bahwa dosa adalah bagian dari perjalanan manusia. Yang penting bukanlah seberapa sering seseorang terjatuh dalam dosa, tetapi bagaimana ia segera bangkit, bertaubat, dan tidak berputus asa dari rahmat Allah. Kuncinya adalah taubat nasuha, memperbaiki diri, dan menggunakan pengalaman dosa sebagai pelajaran untuk lebih mendekat kepada Allah.

Tidur

 Nasehat Syekh Abdul Qadir al-Jailani tentang Tidurnya Orang Puasa

Syekh Abdul Qadir al-Jailani menekankan bahwa tidur saat berpuasa memiliki nilai yang berbeda tergantung pada niat dan keadaan hati seseorang. Beliau berkata:

"Tidurnya orang yang berpuasa bisa menjadi ibadah jika hatinya tetap terjaga dalam mengingat Allah. Namun, jika tidurnya berlebihan hingga lalai dari dzikir dan ibadah, maka tidurnya hanya sekadar istirahat biasa yang tidak memiliki keutamaan."

Beliau juga menegaskan bahwa orang yang berpuasa hendaknya tidak menggunakan puasa sebagai alasan untuk bermalas-malasan dan tidur sepanjang hari. Sebab, tujuan puasa adalah melatih jiwa dan meningkatkan ketakwaan, bukan sekadar menahan lapar dan haus.

Nasehat Ibnu Atha'illah as-Sakandari tentang Tidurnya Orang Puasa

Dalam Al-Hikam, Ibnu Atha’illah as-Sakandari menyampaikan bahwa tidur seseorang bisa menjadi bentuk ibadah jika disertai dengan niat yang benar. Namun, beliau juga mengingatkan agar tidur tidak menjadi penghalang dari ibadah yang lebih utama.

Beliau berkata:
"Barang siapa yang tidur untuk menguatkan tubuhnya agar bisa lebih banyak beribadah, maka tidurnya menjadi ibadah. Namun, barang siapa yang tidur karena malas dan lalai dari mengingat Allah, maka tidurnya adalah hijab yang menghalangi dari cahaya-Nya."

Dari nasehat ini, bisa dipahami bahwa tidur dalam keadaan puasa bisa bernilai ibadah jika dimaksudkan untuk menjaga kesehatan agar bisa lebih semangat dalam beribadah. Namun, jika tidur hanya untuk menghabiskan waktu dan menjauhkan diri dari amal shaleh, maka hal itu justru merugikan.

Kesimpulan

Baik Syekh Abdul Qadir al-Jailani maupun Ibnu Atha’illah as-Sakandari menegaskan bahwa tidur saat berpuasa bisa menjadi ibadah jika diniatkan dengan benar, tetapi bisa juga menjadi bentuk kelalaian jika dilakukan secara berlebihan hingga melalaikan ibadah. Oleh karena itu, keseimbangan antara istirahat dan ibadah sangat dianjurkan dalam menjalani ibadah puasa.

Lapar.

 Nasehat Syekh Abdul Qadir al-Jailani tentang Laparnya Orang Puasa

Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Futuh al-Ghaib banyak membahas tentang pentingnya rasa lapar bagi seorang hamba yang berpuasa. Beliau mengatakan bahwa lapar bukan sekadar menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi juga cara untuk menundukkan hawa nafsu dan mendekatkan diri kepada Allah.

Beliau berkata:
"Lapar itu adalah cahaya bagi hati, dan kenyang itu adalah kegelapan baginya. Barang siapa yang lapar dan sabar dalam laparnya, maka hatinya akan bercahaya dan penuh dengan hikmah."

Syekh Abdul Qadir juga menekankan bahwa orang yang menahan lapar karena Allah akan mendapatkan penguatan ruhani yang luar biasa. Menurut beliau, lapar mengajarkan seseorang untuk tidak terlalu bergantung pada dunia dan lebih mengutamakan kehidupan akhirat.

Nasehat Ibnu Atha'illah as-Sakandari tentang Laparnya Orang Puasa

Dalam Al-Hikam, Ibnu Atha'illah as-Sakandari menyinggung tentang pentingnya lapar dalam ibadah, khususnya puasa. Salah satu hikmah yang beliau sampaikan adalah:

"Janganlah terlalu banyak makan, karena itu akan mengeraskan hatimu, dan janganlah terlalu banyak tidur, karena itu akan menggelapkan hatimu."

Beliau juga mengatakan:
"Lapar adalah makanan bagi hati, sebagaimana makanan adalah makanan bagi jasad. Barang siapa yang kenyang dengan makanan dunia, maka ruhnya akan lapar dari cahaya Ilahi."

Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa lapar dalam puasa tidak hanya melemahkan jasad, tetapi justru menguatkan jiwa. Orang yang menahan lapar dengan ikhlas akan merasakan kelembutan hati, ketenangan jiwa, dan kedekatan dengan Allah.

Kesimpulannya, baik Syekh Abdul Qadir al-Jailani maupun Ibnu Atha’illah as-Sakandari menekankan bahwa lapar dalam puasa bukan hanya soal menahan makan dan minum, tetapi juga sarana untuk melembutkan hati, mengendalikan nafsu, serta mendekatkan diri kepada Allah.

Tuesday, March 25, 2025

Hutang

 Berikut adalah nasihat dari Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dan Ibnu Atha'illah As-Sakandari tentang hutang, berdasarkan hikmah dan ajaran mereka:

1. Nasihat Syekh Abdul Qodir Al-Jailani tentang Hutang

  • Hutang itu beban, jangan meremehkannya
    “Jangan berhutang kecuali dalam keadaan darurat. Karena hutang adalah belenggu yang bisa membebani hati dan pikiran.”
    → Hutang bukan hanya beban finansial, tapi juga beban moral dan spiritual. Oleh karena itu, jangan mengambil hutang dengan sembarangan.

  • Bayarlah hutang dengan niat yang kuat
    “Siapa yang berhutang dengan niat ingin melunasi, Allah akan membantunya menyelesaikannya.”
    → Jika memang harus berhutang, maka niatkan dengan sungguh-sungguh untuk membayarnya. Jangan lari dari tanggung jawab.

  • Jangan berhutang jika hanya untuk memenuhi gaya hidup
    “Jangan tertipu oleh kenikmatan sesaat yang berasal dari hutang. Itu seperti meminum racun dengan rasa manis.”
    → Hutang yang tidak perlu, terutama hanya untuk memenuhi keinginan duniawi, bisa membawa kesulitan di kemudian hari.

2. Nasihat Ibnu Atha'illah As-Sakandari tentang Hutang

  • Hutang adalah ujian dari Allah
    “Jangan kau anggap hutang itu ringan, karena ia dapat mengurangi keberkahan hidupmu.”
    → Hutang bisa menghilangkan ketenangan dan keberkahan jika tidak dikelola dengan baik.

  • Jangan menggantungkan hidup pada hutang
    “Mengandalkan makhluk adalah tanda lemahnya keyakinan kepada Allah.”
    → Terlalu bergantung pada hutang menunjukkan kurangnya tawakal kepada Allah. Sebaiknya berusaha dan bersabar dalam mencari rezeki yang halal.

  • Bayarlah hutang sebelum ajal menjemput
    “Jangan menunda-nunda membayar hutang, karena ajal tidak menunggu kesanggupanmu.”
    → Hutang adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan sebelum meninggal, karena bisa menjadi penghalang di akhirat jika tidak dilunasi.

Kesimpulan

Dari nasihat kedua ulama ini, bisa disimpulkan bahwa:
✅ Jangan berhutang kecuali dalam keadaan darurat.
✅ Jika terpaksa berhutang, niatkan dengan sungguh-sungguh untuk melunasinya.
✅ Hindari hutang untuk hal yang tidak penting atau sekadar gaya hidup.
✅ Jangan menunda pembayaran hutang, karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput.
✅ Jangan terlalu bergantung pada hutang, lebih baik berusaha dan bertawakal.

Semoga kita selalu diberikan kemudahan dalam mencari rezeki yang halal dan terhindar dari beban hutang yang berat.

Jualan makanan.

 Berikut adalah beberapa nasihat dari Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dan Ibnu Atha'illah As-Sakandari yang relevan dengan berjualan makanan dan mencari rezeki dengan halal:

1. Syekh Abdul Qodir Al-Jailani

Dalam kitab Al-Fath Ar-Rabbani, Syekh Abdul Qodir Al-Jailani banyak menekankan tentang pentingnya mencari rezeki yang halal. Beberapa nasihat beliau yang berkaitan dengan berjualan makanan adalah:

  • Jangan takut kekurangan saat berjualan dengan jujur
    “Bekerjalah dengan penuh kejujuran dan jangan takut rezekimu berkurang. Apa yang telah Allah tentukan untukmu tidak akan diambil oleh orang lain.”
    → Artinya, saat berjualan makanan, jangan curang, mengurangi timbangan, atau menggunakan bahan yang tidak halal. Karena rezeki sudah ditentukan oleh Allah, dan yang penting adalah keberkahannya.

  • Jualan itu bagian dari ibadah
    “Jika engkau berusaha mencari rezeki dengan cara yang halal, maka engkau sedang beribadah kepada Allah.”
    → Dengan niat yang baik, berdagang bisa menjadi ibadah, terutama jika niatnya untuk memberi manfaat kepada orang lain dan membantu mereka mendapatkan makanan yang baik.

  • Jangan hanya berharap keuntungan duniawi
    “Jangan menjadikan harta sebagai tujuan utama. Jadikan ridha Allah sebagai tujuan, maka dunia akan mengikuti.”
    → Dalam berjualan makanan, jangan hanya mengejar keuntungan materi, tapi niatkan untuk memberikan makanan yang baik, bersih, dan halal kepada orang lain.

2. Ibnu Atha'illah As-Sakandari

Dalam kitab Al-Hikam, beliau memberi banyak hikmah tentang rezeki dan usaha. Beberapa yang berkaitan dengan berjualan makanan adalah:

  • Rezeki itu datang dari Allah, bukan hanya dari usaha
    “Ketika Allah membukakan pintu rezeki untukmu, janganlah engkau sibuk menilai usaha yang kau lakukan. Sesungguhnya Allah memberimu rezeki karena kasih sayang-Nya, bukan semata-mata karena usahamu.”
    → Artinya, jangan terlalu cemas dengan naik turunnya usaha jualan. Yang penting tetap berusaha dengan baik dan serahkan hasilnya kepada Allah.

  • Jangan serakah, cukupkan diri dengan rezeki yang halal
    “Barang siapa yang merasa cukup dengan apa yang ada, maka ia akan kaya meskipun tidak memiliki banyak harta.”
    → Jangan tamak dalam mencari keuntungan, jangan menjual makanan dengan harga yang tidak wajar atau menipu pelanggan.

  • Sedekah mendatangkan keberkahan
    “Ketika engkau memberi, engkau sebenarnya sedang menerima.”
    → Jika ingin usaha makanan berkembang, jangan ragu untuk bersedekah, karena memberi tidak akan mengurangi harta, justru akan menambah keberkahan.

Kesimpulan

Dari kedua ulama ini, dapat disimpulkan bahwa dalam berjualan makanan, kita harus:
✅ Jujur dalam berdagang dan tidak menipu.
✅ Meniatkan jualan sebagai ibadah.
✅ Tidak hanya mengejar keuntungan duniawi.
✅ Yakin bahwa rezeki datang dari Allah.
✅ Tidak serakah dan selalu merasa cukup.
✅ Rajin bersedekah agar usaha semakin berkah.

Semoga usaha jualan makanan yang Anda jalankan selalu dalam keberkahan dan mendapatkan rezeki yang halal serta melimpah.

Monday, March 24, 2025

Tingkatan diatas ikhlas

 Ya, dalam ajaran Islam, ada tingkatan yang lebih tinggi dari ikhlas dalam beribadah dan beramal. Beberapa ulama menyebutkan bahwa tingkatan tertinggi setelah ikhlas adalah ma'rifatullah (mengenal Allah dengan sebenar-benarnya) dan mahabbah (cinta kepada Allah). Berikut adalah beberapa tingkatan setelah ikhlas:

1. Ridha – Seseorang tidak hanya ikhlas menerima ketentuan Allah, tetapi juga ridha dengan segala yang Allah tetapkan, baik itu nikmat maupun ujian.

2. Tawakal – Menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah dengan keyakinan penuh bahwa Allah yang mengatur segalanya dengan sebaik-baiknya.

3. Syukur – Tidak hanya menerima takdir dengan ikhlas, tetapi juga bersyukur atas segala yang Allah berikan, baik yang menyenangkan maupun yang tampak sebagai ujian.

4. Ma'rifatullah – Mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, sehingga hati selalu terpaut kepada-Nya, tidak terpengaruh oleh dunia dan nafsu.

5. Mahabbah (Cinta kepada Allah) – Ini adalah tingkatan tertinggi, di mana seseorang beribadah bukan hanya karena kewajiban atau mengharapkan pahala, tetapi karena kecintaan yang mendalam kepada Allah.

Orang yang mencapai mahabbah akan selalu merasa dekat dengan Allah, merasa cukup hanya dengan-Nya, dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup. Inilah tingkatan tertinggi yang dimiliki oleh para Nabi, wali, dan orang-orang shalih.

Apakah Anda ingin mendalami salah satu tingkatan ini?


Puasa hanya untuk Allah

 Ibadah puasa memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ibadah lainnya, yaitu bahwa puasa adalah rahasia antara hamba dan Allah. Hal ini didasarkan pada hadits qudsi di mana Allah berfirman:

“Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”
(HR. Bukhari No. 1904, Muslim No. 1151)

Apa rahasia yang terkandung dalam puasa sehingga hanya untuk Allah?

  1. Ibadah yang Tidak Bisa Diketahui oleh Manusia

    • Ibadah puasa tidak bisa dilihat secara kasat mata seperti shalat, zakat, atau haji. Hanya Allah yang tahu apakah seseorang benar-benar berpuasa atau tidak, karena seseorang bisa saja berpura-pura puasa di depan orang lain tetapi diam-diam makan dan minum.
  2. Puasa adalah Bentuk Keikhlasan Sejati

    • Karena tidak bisa dipamerkan seperti ibadah lainnya, puasa melatih keikhlasan hamba dalam beribadah kepada Allah semata, bukan untuk mencari pujian manusia.
  3. Menahan Diri dari Hal-hal yang Dibolehkan

    • Berbeda dengan ibadah lain yang melibatkan amal fisik, puasa adalah ibadah dengan menahan diri dari hal yang sebenarnya halal, seperti makan, minum, dan hubungan suami istri. Ini menunjukkan kepatuhan total kepada Allah.
  4. Puasa Melatih Sifat Takwa

    • Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
      "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
      (QS. Al-Baqarah: 183)
    • Puasa membentuk karakter takwa karena seseorang terus merasa diawasi Allah dalam setiap keadaan.
  5. Balasan Langsung dari Allah

    • Dalam hadits qudsi, Allah menyatakan bahwa Dia sendiri yang akan memberi pahala atas puasa, menunjukkan bahwa balasan bagi orang yang berpuasa sangat besar dan istimewa di sisi-Nya.

Inilah mengapa puasa disebut sebagai ibadah yang hanya untuk Allah—karena ia merupakan bentuk penghambaan yang paling tersembunyi, penuh keikhlasan, dan memiliki pahala yang langsung dari-Nya.

Zakat dengan uang hutang

 Membayar zakat dengan uang hasil hutang tidak dianjurkan dalam Islam karena zakat wajib dikeluarkan dari harta yang telah mencapai nisab dan haul, yaitu harta yang benar-benar dimiliki. Jika seseorang berhutang untuk membayar zakat, berarti ia belum memiliki harta yang cukup untuk berzakat.

Namun, ada beberapa kondisi yang perlu diperhatikan:

  1. Jika seseorang memiliki harta cukup untuk zakat tetapi sedang mengalami kesulitan likuiditas

    • Jika seseorang sebenarnya memiliki harta cukup untuk berzakat, tetapi uangnya sedang tidak tersedia dalam bentuk tunai, maka boleh berhutang terlebih dahulu untuk membayar zakat dan melunasinya nanti ketika mendapatkan uang.
  2. Jika seseorang benar-benar tidak mampu dan harus berhutang untuk membayar zakat

    • Dalam hal ini, tidak ada kewajiban baginya untuk berzakat sampai memiliki harta yang cukup. Islam tidak membebani seseorang di luar kemampuannya.
  3. Jika berhutang dengan niat ingin segera berzakat karena ingin mendapat keutamaan

    • Tidak ada larangan secara mutlak, tetapi sebaiknya mendahulukan kewajiban lain seperti membayar hutang sebelum berzakat, karena hutang termasuk hak manusia yang harus segera ditunaikan.

Kesimpulannya, jika seseorang masih memiliki tanggungan hutang yang lebih mendesak dan tidak memiliki kelebihan harta, maka ia tidak wajib membayar zakat hingga kondisi keuangannya membaik. Sebaiknya, seseorang hanya berzakat dari harta yang benar-benar dimilikinya tanpa harus berhutang.

Sunday, March 23, 2025

Puasa dan Mati

 Mati dalam keadaan berpuasa memiliki beberapa keutamaan besar dalam Islam. Berikut adalah beberapa keutamaannya berdasarkan hadits dan penjelasan ulama:

  1. Dijamin Masuk Surga Melalui Pintu Ar-Rayyan
    Rasulullah ﷺ bersabda:
    "Sesungguhnya di surga terdapat satu pintu yang disebut Ar-Rayyan. Pada hari kiamat, orang-orang yang berpuasa akan masuk melaluinya, tidak ada seorang pun yang masuk selain mereka. Dikatakan, 'Di mana orang-orang yang berpuasa?' Maka mereka pun masuk, dan setelah mereka masuk, pintu itu ditutup sehingga tidak ada seorang pun yang masuk melaluinya."
    (HR. Bukhari No. 1896, Muslim No. 1152)

  2. Dijauhkan dari Siksa Kubur dan Neraka
    Puasa adalah salah satu amalan yang dapat melindungi seseorang dari azab. Rasulullah ﷺ bersabda:
    "Puasa adalah perisai yang melindungi dari api neraka seperti perisai dalam peperangan."
    (HR. Ahmad No. 8631, An-Nasa'i No. 2235)

  3. Dijaga dari Fitnah dan Adzab di Alam Barzakh
    Orang yang meninggal dalam keadaan berpuasa akan mendapatkan perlindungan dan pahala terus-menerus hingga hari kiamat.

  4. Dihitung Meninggal dalam Keadaan Husnul Khatimah
    Para ulama menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal saat beribadah, termasuk puasa, maka tanda-tanda husnul khatimah lebih kuat padanya.

  5. Dicatat Pahala Puasanya Hingga Hari Kiamat
    Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, Allah berfirman:
    "Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya."
    (HR. Bukhari No. 1904, Muslim No. 1151)

Meninggal dalam keadaan puasa adalah tanda kebaikan dan keberuntungan bagi seorang Muslim. Semoga kita semua bisa mendapatkan husnul khatimah dan termasuk dalam golongan orang-orang yang diridhai Allah.

Dzikir (2)

 Dalam Islam, ada keyakinan bahwa dzikir yang dilakukan dengan ikhlas dan penuh kesungguhan akan naik ke langit dan mendapat perhatian dari Allah serta makhluk-Nya di alam malakut.

1. Dzikir yang Disebut di Langit

  • Rasulullah ﷺ bersabda:
    "Allah berfirman: Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam Diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di hadapan orang banyak, maka Aku mengingatnya di hadapan makhluk yang lebih baik dari mereka (para malaikat).” (HR. Bukhari & Muslim)
    → Ini menunjukkan bahwa siapa pun yang berdzikir di dunia, namanya akan disebut di langit oleh Allah dan para malaikat.

  • Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
    "Tidaklah suatu kaum duduk berdzikir mengingat Allah, kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat meliputi mereka, ketenangan turun kepada mereka, dan Allah menyebut mereka di hadapan makhluk-Nya yang ada di langit." (HR. Muslim)
    → Ini berarti dzikir yang dilakukan di dunia memiliki gema di alam langit.

2. Dzikir yang Dikenal oleh Penduduk Langit

  • Para malaikat mencatat dan membawa dzikir ke hadapan Allah. Dalam hadis disebutkan bahwa ada malaikat yang khusus berkeliling mencari majelis dzikir, lalu melaporkan kepada Allah bahwa mereka menemukan hamba-hamba-Nya yang menyebut nama-Nya. (HR. Bukhari)

  • Jika seseorang istiqamah dalam dzikir, namanya akan dikenal di langit, sebagaimana disebutkan dalam kisah-kisah para wali dan ulama yang namanya sering didengar oleh malaikat karena kekhusyukan ibadahnya.

3. Dzikir yang Menggetarkan Alam Malakut

Beberapa ulama sufi menyebutkan bahwa dzikir yang dilakukan dengan hati yang bersih dan penuh keikhlasan akan menghasilkan resonansi di alam spiritual. Ini seperti gema yang tidak hanya terdengar di dunia tetapi juga di dimensi yang lebih tinggi.

Kesimpulan

Jika seseorang merasakan bahwa dzikirnya "memanggil-manggil namanya di langit", itu bisa menjadi tanda:

  1. Dzikirnya diterima oleh Allah, dan namanya disebut oleh para malaikat.
  2. Ia mulai merasakan getaran spiritual dari dzikir yang dilakukan dengan tulus.
  3. Hatinya semakin bersih, sehingga mulai merasakan hubungan lebih dekat dengan Allah.

Jika ini terjadi, teruslah istiqamah dalam dzikir, perbanyak keikhlasan, dan tingkatkan kualitas ibadah. Itu bisa menjadi tanda bahwa Allah sedang menarik hamba-Nya lebih dekat kepada-Nya.

Zakat (yang berhak menerima)

 Dalam fiqih Islam, zakat umumnya diberikan kepada delapan golongan yang disebutkan dalam Al-Qur'an (QS. At-Taubah: 60). Mayoritas ulama sepakat bahwa zakat wajib (zakat mal dan zakat fitrah) harus diberikan kepada kaum Muslim, tetapi ada beberapa kondisi di mana zakat dapat diberikan kepada non-Muslim, tergantung pada jenis zakat dan kebutuhannya.

1. Pendapat Mayoritas Ulama

Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa zakat hanya boleh diberikan kepada Muslim, karena zakat adalah bentuk solidaritas dalam Islam dan merupakan hak orang-orang yang membutuhkan di dalam komunitas Muslim.

2. Pendapat yang Membolehkan

Beberapa ulama, termasuk dalam mazhab Hanafi dan tafsiran sebagian ulama kontemporer, memperbolehkan pemberian zakat kepada non-Muslim dalam kondisi tertentu:

  • Mualaf yang Hatinya Perlu Ditenangkan
    → Dalam kategori mu'allafatu qulubuhum (orang yang hatinya perlu dilembutkan), beberapa ulama memperbolehkan zakat diberikan kepada non-Muslim jika dapat mendukung keharmonisan sosial atau menarik hati mereka kepada Islam.

  • Fakir dan Miskin Non-Muslim dalam Keadaan Darurat
    → Jika dalam suatu wilayah tidak ada Muslim yang membutuhkan dan ada non-Muslim yang sangat membutuhkan, maka sebagian ulama memperbolehkan zakat diberikan kepada mereka atas dasar kemanusiaan.

  • Dalam Bentuk Fasilitas Umum
    → Jika zakat digunakan untuk membangun fasilitas umum seperti rumah sakit, jalan, atau sumur yang bisa digunakan oleh semua orang (Muslim dan non-Muslim), maka ini termasuk bentuk zakat yang bisa bermanfaat bagi non-Muslim juga.

3. Alternatif: Sedekah dan Infaq

Jika ada non-Muslim yang membutuhkan, Islam lebih menganjurkan untuk membantu mereka melalui sedekah dan infaq, karena keduanya tidak memiliki batasan sebagaimana zakat wajib. Rasulullah ﷺ sendiri sering memberi bantuan kepada non-Muslim dalam bentuk hadiah atau sedekah.

Jadi, meskipun zakat umumnya diberikan kepada Muslim, dalam kondisi tertentu bisa diberikan kepada non-Muslim dengan niat kemanusiaan dan dakwah, terutama dalam bentuk infaq dan sedekah.

Ilmu (1)

 Nasihat Syekh Abdul Qodir Jaelani tentang Menuntut Ilmu

Dalam berbagai kitabnya, termasuk Al-Fath ar-Rabbani dan Jala’ al-Khawathir, Syekh Abdul Qodir Jaelani memberikan banyak nasihat tentang menuntut ilmu, di antaranya:

  1. Ilmu Harus Dibangun di Atas Takwa

    "Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan."
    → Menurut beliau, ilmu harus diamalkan dengan penuh ketakwaan. Ilmu yang hanya untuk kebanggaan atau sekadar wawasan duniawi bisa menjadi bumerang di akhirat.

  2. Ikhlas dalam Menuntut Ilmu

    "Jika engkau menuntut ilmu untuk dunia, ilmu itu akan menjadi hijab bagimu dari Allah. Tetapi jika engkau menuntut ilmu untuk Allah, ilmu itu akan mendekatkanmu kepada-Nya."
    → Ilmu harus dipelajari dengan niat karena Allah, bukan untuk mencari popularitas atau kekayaan.

  3. Ilmu Harus Dibarengi dengan Adab
    → Syekh Abdul Qodir menekankan bahwa seorang murid harus memiliki adab sebelum ilmu. Kesopanan kepada guru, menjaga hati dari kesombongan, dan selalu rendah hati adalah bagian dari jalan ilmu.

  4. Belajar dengan Kesabaran dan Ketekunan
    → Ilmu tidak bisa diperoleh dengan tergesa-gesa. Beliau sering mengingatkan bahwa seseorang harus bersabar dalam menuntut ilmu, seperti halnya seorang petani yang menunggu hasil panennya.


Nasihat Ibnu Atha'illah as-Sakandari tentang Menuntut Ilmu

Ibnu Atha'illah dalam Al-Hikam juga memiliki banyak petuah bijak tentang ilmu. Beberapa di antaranya:

  1. Ilmu yang Bermanfaat Adalah Ilmu yang Menyadarkan akan Kebutuhan kepada Allah

    "Ilmu yang tidak membuatmu takut kepada Allah dan semakin bergantung kepada-Nya adalah ilmu yang tidak bermanfaat."
    → Ilmu yang sejati bukan hanya sekadar informasi, tetapi yang membawa seseorang lebih dekat kepada Allah dan menyadarkan dirinya akan kelemahan sebagai hamba.

  2. Ilmu Harus Melahirkan Rasa Tawakal dan Zuhud

    "Ilmu yang sejati bukan sekadar mengetahui, tetapi juga mengamalkan dan merasa cukup dengan Allah."
    → Ilmu yang benar akan membimbing seseorang untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia, tetapi lebih kepada Allah.

  3. Ilmu Tanpa Amal Hanya Menjadi Beban di Akhirat

    "Ilmu yang tidak diamalkan adalah penghinaan bagi pemiliknya."
    → Seseorang yang memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya akan dimintai pertanggungjawaban yang lebih berat di akhirat.

  4. Hati yang Kotor Tidak Akan Menerima Cahaya Ilmu

    "Bagaimana mungkin cahaya ilmu masuk ke dalam hati yang masih dipenuhi dengan kecintaan kepada dunia?"
    → Sebelum mencari ilmu, seseorang harus membersihkan hatinya dari penyakit hati seperti sombong, riya, dan cinta dunia berlebihan.

Dari kedua ulama besar ini, kita bisa memahami bahwa menuntut ilmu bukan sekadar mencari pengetahuan, tetapi harus dilandasi dengan ketakwaan, niat yang lurus, serta diiringi dengan amal dan adab.

Zakat

 Syekh Abdul Qodir Jaelani dan Ibnu Atha'illah as-Sakandari adalah dua ulama besar yang memiliki banyak nasihat tentang zakat, baik dalam aspek hukum maupun hakikat spiritualnya.

1. Syekh Abdul Qodir Jaelani tentang Zakat

Dalam kitab Al-Fath ar-Rabbani, Syekh Abdul Qodir Jaelani menekankan bahwa zakat bukan hanya kewajiban lahiriah, tetapi juga bentuk penyucian jiwa dan harta. Beberapa nasihat beliau terkait zakat:

  • Zakat adalah pembersih harta dan jiwa: Beliau menjelaskan bahwa harta yang tidak dikeluarkan zakatnya bisa menjadi sebab kehancuran dan kesusahan di dunia dan akhirat.
  • Keikhlasan dalam berzakat: Jangan berzakat hanya karena kewajiban semata, tetapi niatkan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan kepedulian terhadap sesama.
  • Jangan menunggu kaya untuk bersedekah dan berzakat: Menurutnya, banyak orang menunda zakat dan sedekah dengan alasan belum cukup harta, padahal harta yang ada harus disucikan dengan zakat.
  • Zakat bukan hanya harta, tapi juga tenaga dan ilmu: Beliau mengajarkan bahwa zakat bisa berupa bantuan dalam bentuk ilmu dan tenaga bagi mereka yang membutuhkan.

2. Ibnu Atha'illah as-Sakandari tentang Zakat

Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu Atha'illah as-Sakandari memberikan pandangan mendalam tentang makna zakat:

  • "Jangan menganggap bahwa yang memberi zakat itu lebih tinggi daripada yang menerima."
    → Beliau menekankan bahwa zakat bukan hanya kewajiban, tetapi juga ujian bagi yang mampu, karena harta sejatinya adalah titipan Allah.
  • "Apa yang kau keluarkan karena Allah tidak akan berkurang, tetapi justru bertambah."
    → Ini selaras dengan janji Allah bahwa zakat dan sedekah tidak akan mengurangi harta, tetapi justru akan memberkahi hidup seseorang.
  • "Ketika engkau memberi, ingatlah bahwa yang sejatinya memberi adalah Allah."
    → Ibnu Atha'illah mengajarkan agar seseorang tidak sombong ketika berzakat atau bersedekah, karena sejatinya itu adalah pemberian Allah melalui dirinya.

Dari kedua ulama ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa zakat bukan hanya kewajiban syariat, tetapi juga sarana mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan hati dari cinta dunia, dan membangun kepedulian sosial.

Guru

 Benar, manusia sejak lahir sering kali terpesona oleh dunia dan lupa akan hakikat penciptaannya. Dunia dengan segala keindahannya bisa menjadi penghalang dari mengenal Allah, kecuali bagi mereka yang diberikan hidayah untuk kembali kepada-Nya.


Pentingnya Mursyid dalam Perjalanan Ruhani


Dalam perjalanan menuju Allah, seorang murid membutuhkan bimbingan dari seorang mursyid (guru spiritual) yang telah lebih dahulu mencapai ma'rifatullah. Hal ini sesuai dengan ajaran tasawuf yang menekankan pentingnya talqin (pengajaran) dari guru yang bersambung sanadnya kepada Rasulullah ﷺ.


Sebagaimana disebutkan oleh para ulama:


Imam Al-Ghazali berkata:

"Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah setan."

Ini menunjukkan bahwa tanpa bimbingan seorang yang arif, seseorang bisa tersesat dalam perjalanan spiritualnya.


Syekh Abdul Qodir Jaelani berkata:

"Jadilah seperti mayit di tangan orang yang memandikan. Tundukkan dirimu di hadapan guru yang benar agar ia membimbingmu menuju Allah."


Ibnu Atha’illah As-Sakandari dalam Al-Hikam berkata:

"Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan seseorang yang keadaannya akan membangkitkanmu kepada Allah dan ucapannya akan menunjukkanmu kepada Allah."



Tanda-Tanda Seorang Mursyid Sejati


Dalam mencari mursyid, kita harus berhati-hati agar tidak tertipu oleh orang yang hanya mengaku sebagai guru tetapi tidak memiliki bimbingan yang hakiki. Berikut ciri-ciri mursyid yang sejati:


1. Sanad keilmuan yang jelas – Ia memiliki hubungan keilmuan yang bersambung kepada Rasulullah ﷺ melalui para ulama dan wali Allah.



2. Memiliki ilmu yang luas – Tidak hanya dalam ilmu syariat tetapi juga dalam ilmu hakikat dan makrifat.



3. Akhlaqnya mencerminkan sunnah Rasulullah ﷺ – Ia zuhud, tidak mengejar dunia, dan selalu mengajak kepada taat kepada Allah.



4. Mampu membimbing muridnya menuju Allah – Bukan sekadar memberikan nasihat, tetapi juga memberikan latihan ruhani yang membawa perubahan dalam diri murid.



5. Tidak mencari kepentingan duniawi dari muridnya – Ia tidak meminta kekayaan, penghormatan, atau ketundukan buta dari muridnya, tetapi hanya menginginkan mereka semakin dekat kepada Allah.




Menemukan Mursyid dan Memulai Perjalanan Ruhani


Jika kita ingin kembali mengenal Allah, kita harus mencari majelis ilmu yang benar, bergaul dengan orang-orang saleh, dan berdoa agar Allah mempertemukan kita dengan guru yang sejati. Karena sejatinya, mursyid bukan hanya seorang guru, tetapi juga seorang pembimbing yang mengantarkan ruhani kita kembali kepada Allah dengan selamat.


Sebagaimana doa para pencari jalan Allah:

اللهم دلني عليك، اللهم عرفني بك

"Ya Allah, tunjukkan aku kepada-Mu, Ya Allah, perkenalkan aku kepada-Mu."


Saturday, March 22, 2025

Tafakur

 Syekh Abdul Qodir Jaelani dan Ibnu Atha'illah As-Sakandari banyak memberikan nasihat tentang tafakur (merenung atau berpikir mendalam) dalam perjalanan menuju Allah. Berikut beberapa nasihat mereka:

1. Syekh Abdul Qodir Jaelani tentang Tafakur

Dalam kitab-kitabnya, terutama Al-Fath ar-Rabbani dan Jala' al-Khawathir, beliau menekankan bahwa tafakur adalah kunci untuk mengenal Allah dan membersihkan hati. Beberapa nasihat beliau:

  • Tafakur membawa seseorang kepada ma'rifatullah (pengenalan kepada Allah)
    "Tafakurmu dalam urusan dunia akan mengeraskan hatimu, tetapi tafakurmu dalam urusan akhirat akan melembutkannya. Maka renungkanlah kebesaran Allah dan nikmat-Nya agar hatimu hidup dengan cahaya-Nya."

  • Tafakur harus diiringi dengan kesungguhan dalam ibadah
    "Seorang yang hanya bertafakur tanpa amal bagaikan orang yang ingin memanah tetapi tidak memiliki busur dan anak panah. Tafakur tanpa ibadah adalah kesia-siaan."

  • Tafakur tentang dunia bisa menipu, tetapi tafakur tentang akhirat akan menyelamatkan
    "Siapa yang bertafakur tentang dunia, maka ia akan diperdaya oleh keindahannya. Siapa yang bertafakur tentang akhirat, maka ia akan melihat betapa kecilnya dunia."

2. Ibnu Atha'illah As-Sakandari tentang Tafakur

Ibnu Atha’illah dalam Al-Hikam juga banyak membahas tentang tafakur sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Beberapa hikmah beliau:

  • Tafakur adalah jalan menuju hikmah
    "Satu saat tafakur yang benar lebih baik daripada ibadah setahun tanpa tafakur."
    (Karena tafakur yang benar akan melahirkan ilmu, keikhlasan, dan amal yang lebih berkualitas.)

  • Tafakur tentang nikmat Allah akan menambah syukur
    "Siapa yang tidak melihat nikmat, ia tidak akan bersyukur. Dan siapa yang tidak bertafakur tentang keagungan Allah, hatinya akan kosong dari cahaya ma’rifat."

  • Tafakur harus membawa kepada ketawakkalan
    "Jika engkau bertafakur tentang ciptaan Allah, jangan hanya berhenti pada keindahan dunia, tetapi lihatlah kebijaksanaan-Nya agar hatimu penuh dengan tawakal."

Kedua ulama besar ini mengajarkan bahwa tafakur bukan sekadar berpikir, tetapi harus membawa kepada kesadaran, amal, dan ketakwaan kepada Allah. Tafakur yang benar akan mengantarkan seseorang kepada makrifatullah dan menjadikannya hamba yang lebih bersyukur serta lebih dekat kepada-Nya.

Baca qur'an dan saksinya

 Bukti bahwa ketika seseorang membaca ayat Al-Qur’an, Allah memerintahkan penduduk langit untuk bersaksi bisa ditemukan dalam hadis-hadis Nabi ﷺ yang menunjukkan bahwa para malaikat menyaksikan, mencatat, dan bahkan mendoakan orang-orang yang membaca atau mengamalkan Al-Qur’an. Berikut beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:

1. Hadis tentang Malaikat yang Mencatat dan Bersaksi

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

"Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, mereka membaca Kitabullah (Al-Qur’an) dan saling mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, mereka diliputi rahmat, para malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya."
(HR. Muslim No. 2699)

Kesimpulan: Hadis ini menunjukkan bahwa ketika seseorang membaca atau mengkaji Al-Qur’an, Allah memerintahkan malaikat untuk hadir dan bersaksi atas amal tersebut.

2. Hadis tentang Malaikat yang Menyertai Pembaca Al-Qur’an

Dari Usayd bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
"Ketika aku membaca Surah Al-Baqarah di malam hari, dan kudapati kudaku berlari ketakutan. Lalu aku berhenti membaca, dan kudaku pun tenang. Aku kembali membaca, dan kudaku kembali berontak. Aku berhenti, dan kudaku kembali tenang. Hal itu terjadi beberapa kali hingga aku melihat sesuatu seperti awan di langit yang penuh dengan cahaya. Keesokan harinya aku menceritakannya kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda:

"Itulah para malaikat yang turun mendengarkan bacaanmu. Seandainya engkau terus membaca, niscaya orang-orang bisa melihat mereka di pagi hari."
(HR. Bukhari No. 5018, Muslim No. 796)

Kesimpulan: Hadis ini menunjukkan bahwa ketika seseorang membaca Al-Qur’an, Allah mengutus malaikat untuk turun dan bersaksi atas bacaan tersebut.

3. Hadis tentang Malaikat yang Menghafal Ayat dan Naik ke Langit

Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya."
(HR. Muslim No. 804)

Dalam beberapa riwayat lain, disebutkan bahwa ketika seorang Muslim membaca Al-Qur’an, ayat-ayat tersebut naik ke langit, dan malaikat membawa bacaan tersebut sebagai saksi di hadapan Allah.


Kesimpulan Umum

Dari dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang membaca ayat-ayat Al-Qur’an:

  1. Malaikat hadir dan bersaksi atas bacaan tersebut.
  2. Allah menyebut nama orang yang membaca Al-Qur’an di hadapan para malaikat-Nya.
  3. Malaikat mencatat, membawa bacaan itu ke langit, dan bersaksi atas amalan tersebut di hadapan Allah.

Hal ini menunjukkan betapa besar kedudukan Al-Qur’an dan bagaimana Allah memerintahkan penduduk langit (malaikat) untuk menjadi saksi atas orang-orang yang membaca dan mengamalkan firman-Nya.

Ayat qur'an ciptaan Allah.

 Al-Qur'an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui perantaraan Malaikat Jibril. Salah satu bukti bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah adalah adanya ayat-ayat yang ketika dibaca atau diucapkan, Allah memberikan jawaban atau respon dalam bentuk wahyu lain atau dalam hadis qudsi.

Contoh Ayat yang Allah Jawab:

  1. Surah Al-Fatihah (1:1-7) dan Jawaban Allah dalam Hadis Qudsi
    Dalam hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Muslim, Allah menjawab setiap ayat dari Surah Al-Fatihah yang dibaca oleh seorang hamba dalam shalat:

    • Hamba mengucap: Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam).
      Allah menjawab: Hamba-Ku telah memuji-Ku.
    • Hamba mengucap: Ar-Rahmanir Rahim (Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang).
      Allah menjawab: Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.
    • Hamba mengucap: Maliki yaumid-din (Yang Menguasai Hari Pembalasan).
      Allah menjawab: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.
    • Hamba mengucap: Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).
      Allah menjawab: Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.
    • Hamba mengucap: Ihdinas-shiratal mustaqim... (Tunjukilah kami jalan yang lurus…).
      Allah menjawab: Ini milik hamba-Ku, dan baginya apa yang ia minta.

    Kesimpulan: Ayat-ayat ini bukan sekadar bacaan biasa, tetapi ada komunikasi langsung antara hamba dan Allah.

  2. Surah Ad-Duha (93:3-5) – Jawaban Allah terhadap Kesedihan Nabi
    Ketika wahyu sempat terhenti, Nabi Muhammad ﷺ merasa gelisah. Lalu Allah menurunkan ayat ini sebagai jawaban:

    • "Tuhanmu tidak meninggalkan engkau dan tidak pula membencimu."
    • "Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan."
    • "Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas."

    Kesimpulan: Ini menunjukkan bahwa Allah menjawab kegelisahan Nabi secara langsung melalui wahyu.

  3. Surah Al-Anfal (8:9-10) – Jawaban Allah atas Doa di Perang Badar
    Ketika kaum Muslim dalam kondisi terdesak di Perang Badar, Nabi berdoa kepada Allah. Lalu Allah menurunkan ayat ini sebagai jawaban:

    • "(Ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu Dia mengabulkannya (dengan berfirman), 'Sungguh, Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.'"

    Kesimpulan: Doa Nabi langsung dijawab dengan wahyu, bahkan diiringi dengan pertolongan nyata.

Kesimpulan Umum:

Bukti bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah, bukan buatan manusia, adalah adanya ayat-ayat yang Allah jawab, baik melalui hadis qudsi, wahyu lanjutan, maupun peristiwa nyata yang terjadi sebagai bukti kebenaran firman-Nya. Ini menunjukkan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui setiap ucapan hamba-Nya, lalu memberikan jawaban sesuai dengan kehendak-Nya.

Istiqomah kunci ikhlas

 Betul, istiqomah adalah kunci agar amal ibadah menjadi lebih ikhlas. Dengan terus menerus melakukan amal baik tanpa mengharap pujian atau balasan dari manusia, hati akan terbiasa untuk melakukannya hanya karena Allah.

Berikut beberapa cara agar amal ibadah semakin ikhlas melalui istiqomah:

  1. Niat yang Lurus – Sebelum beramal, luruskan niat hanya karena Allah, bukan karena ingin dilihat atau dipuji orang lain.
  2. Konsisten dalam Amal Kecil – Mulailah dari amal ibadah yang ringan dan terus lakukan, karena Allah lebih menyukai amal yang kecil tapi berkelanjutan (HR. Muslim).
  3. Tidak Mudah Terpengaruh Pujian atau Kritik – Jangan berhenti beramal karena takut riya, tetap lakukan dengan keyakinan bahwa Allah yang menilai.
  4. Memohon Kekuatan kepada Allah – Berdoa agar Allah meneguhkan hati untuk tetap beribadah dengan ikhlas.
  5. Berkumpul dengan Orang Shalih – Lingkungan yang baik akan membantu kita tetap istiqomah dan tidak tergoda oleh niat yang salah.
  6. Evaluasi Diri Secara Rutin – Tanya diri sendiri, apakah ibadah yang dilakukan masih untuk Allah atau mulai ada keinginan duniawi? Jika mulai melenceng, segera perbaiki niat.

Jika istiqomah sudah menjadi kebiasaan, maka ikhlas pun akan tumbuh dengan sendirinya, insyaAllah.

Ikhlas perlu latihan istiqomah

 Benar, ikhlas memang butuh latihan terus-menerus karena manusia secara alami cenderung mengharapkan balasan atau pengakuan. Tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Berikut beberapa cara melatih keikhlasan agar semakin kuat:

1. Meluruskan Niat Sejak Awal

Sebelum melakukan sesuatu, tanyakan: "Apakah ini untuk Allah atau untuk pujian manusia?"

Jika muncul keinginan untuk dilihat atau dipuji, segera perbaiki niat.

2. Jangan Terpaku pada Balasan dari Manusia

Jangan berharap terima kasih atau penghargaan.

Ingat bahwa Allah Maha Melihat, dan balasan dari-Nya lebih baik dari apa pun.

3. Berlatih Berbuat Baik Secara Diam-Diam

Sedekah atau menolong orang tanpa ada yang tahu.

Tidak perlu mengumumkan semua amal kebaikan.

4. Fokus pada Keridhaan Allah, Bukan Opini Orang

Tidak semua orang akan menghargai kebaikan kita, dan itu tidak masalah.

Yang penting, Allah ridha dan kita tidak menyesal telah berbuat baik.

5. Banyak Berdzikir dan Berdoa

Memohon kepada Allah agar diberi hati yang ikhlas.

Perbanyak dzikir agar hati lebih tenang dan tidak mudah tergoda oleh pujian.

6. Ingat Bahwa Dunia Sementara

Jika mengharap balasan dunia, pasti akan kecewa.

Jika mengharap balasan dari Allah, pasti akan puas dan bahagia.

7. Sabar Ketika Tidak Dihargai

Tetap lakukan kebaikan meskipun tidak ada yang melihat.

Jangan berhenti berbuat baik hanya karena orang tidak menghargai.

8. Latihan dengan Hal-Hal Kecil

Mulai dengan membantu tanpa pamrih.

Mengucapkan salam tanpa berharap dibalas.

Mendoakan orang lain tanpa mereka tahu.

Ikhlas memang sulit, tapi jika terus dilatih, lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan. Yang terpenting adalah selalu berusaha dan tidak menyerah.


Menjadi diri yang bermanfaat tanpa mengeluarkan harta

 Menjadi pribadi yang bermanfaat tidak selalu harus dengan harta. Ada banyak cara untuk membantu orang lain tanpa mengeluarkan uang. Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan:

1. Membantu dengan Tenaga

  • Membantu mengangkat barang orang yang kesulitan.
  • Menolong orang tua atau tetangga dalam pekerjaan rumah.
  • Membantu membersihkan masjid atau tempat umum.

2. Berbuat Baik dengan Lisan

  • Memberikan nasihat yang baik dan membangun.
  • Menyemangati orang lain yang sedang sedih atau putus asa.
  • Menyampaikan kata-kata yang lembut dan menenangkan.

3. Menjadi Pendengar yang Baik

  • Mendengarkan keluh kesah orang lain tanpa menghakimi.
  • Memberi dukungan moral kepada teman atau keluarga yang sedang menghadapi masalah.
  • Tidak memotong pembicaraan dan memberikan perhatian penuh saat orang berbicara.

4. Berbagi Ilmu dan Pengalaman

  • Mengajarkan orang lain membaca Al-Qur'an atau ilmu yang bermanfaat.
  • Memberikan tips atau solusi berdasarkan pengalaman sendiri.
  • Menulis atau berbicara tentang hal-hal yang bisa menginspirasi.

5. Menjadi Contoh yang Baik

  • Berperilaku jujur dan amanah dalam setiap tindakan.
  • Disiplin dalam menjalankan ibadah dan tanggung jawab.
  • Tidak mudah marah dan selalu bersikap ramah.

6. Menebarkan Senyum dan Salam

  • Senyum kepada siapa saja, karena senyum adalah sedekah.
  • Menyebarkan salam kepada sesama muslim untuk mempererat ukhuwah.

7. Menjaga Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan

  • Membuang sampah pada tempatnya.
  • Membersihkan lingkungan sekitar tanpa menunggu diperintah.
  • Menyingkirkan duri atau batu di jalan agar tidak membahayakan orang lain.

8. Menjadi Pendamai dalam Konflik

  • Mendamaikan teman atau saudara yang sedang bertengkar.
  • Tidak ikut menyebarkan fitnah atau gosip.
  • Memberikan solusi yang adil dan bijaksana.

9. Mendoakan Orang Lain

  • Mendoakan teman, saudara, dan sesama muslim tanpa mereka ketahui.
  • Memohonkan ampunan bagi orang lain dalam setiap doa.
  • Mendoakan orang yang telah berbuat baik kepada kita.

10. Bersikap Sabar dan Menolong dengan Ikhlas

  • Bersabar ketika diuji dan tetap tersenyum kepada orang lain.
  • Membantu dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.
  • Tidak mengeluh dan selalu bersyukur dalam kondisi apa pun.

Semua ini adalah bentuk kebaikan yang tidak membutuhkan harta, tetapi memiliki pahala besar di sisi Allah. Yang terpenting adalah niat yang ikhlas dan dilakukan secara konsisten.

Amal ibadah tanpa keluar harta

 Banyak amalan ibadah yang bisa dilakukan tanpa mengeluarkan harta, tetapi tetap memiliki pahala besar di sisi Allah. Berikut beberapa di antaranya:

1. Dzikir dan Doa

  • Tahlil: Laa ilaaha illallah
  • Tahmid: Alhamdulillah
  • Tasbih: Subhanallah
  • Takbir: Allahu Akbar
  • Istighfar: Astaghfirullah
  • Sholawat: Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad
  • Doa pagi & petang: Dzikir yang diajarkan dalam Sunnah.

2. Sholat Sunnah

  • Sholat Dhuha (pembuka rezeki)
  • Sholat Tahajud (waktu mustajab untuk doa)
  • Sholat Witir (penutup malam)
  • Sholat Rawatib (menambah pahala wajib)

3. Menebar Senyum dan Salam

  • Senyum kepada saudara sesama muslim adalah sedekah.
  • Memberi salam (Assalamu’alaikum) kepada orang lain.

4. Membantu dan Melayani Orang Lain

  • Membantu tanpa mengharapkan balasan.
  • Membantu orang tua, saudara, atau tetangga.
  • Menolong orang yang kesusahan, seperti membantu orang tua menyeberang jalan.

5. Menuntut Ilmu dan Mengajarkannya

  • Membaca dan memahami Al-Qur’an.
  • Belajar ilmu agama dan mengamalkannya.
  • Mengajarkan ilmu kepada orang lain.

6. Menjaga Lisan dan Akhlak Baik

  • Menghindari ghibah dan perkataan sia-sia.
  • Berkata baik atau diam.
  • Bersikap sabar dan menahan marah.

7. Berbakti kepada Orang Tua

  • Mendoakan kedua orang tua.
  • Menyayangi dan membantu mereka.
  • Berbicara dengan lemah lembut.

8. Menjaga Kebersihan dan Lingkungan

  • Menyingkirkan duri atau batu dari jalan.
  • Menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

9. Menghadiri Majelis Ilmu

  • Mendatangi pengajian atau kajian Islam.
  • Mendengarkan ceramah yang bermanfaat.

10. Bersabar dalam Ujian

  • Menerima takdir dengan lapang dada.
  • Menghadapi kesulitan dengan tawakal dan ikhlas.

Semua amalan ini bisa dilakukan tanpa biaya, tetapi memiliki nilai besar di sisi Allah jika dilakukan dengan ikhlas.

Cara ikhlas.

 Mengikhlaskan hati kepada Allah sepenuhnya adalah perjalanan spiritual yang memerlukan kesadaran, usaha, dan ketekunan. Berikut beberapa cara untuk mencapainya:

1. Memperkuat Tauhid

  • Yakin bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan menjadi tujuan hidup.
  • Menyadari bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya.

2. Meningkatkan Kesadaran Akan Kehadiran Allah

  • Selalu merasa diawasi Allah dalam setiap tindakan (muraqabah).
  • Menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung (tawakal).

3. Menghilangkan Ketergantungan pada Dunia

  • Tidak menjadikan harta, jabatan, atau pujian manusia sebagai tujuan utama.
  • Sadar bahwa dunia hanya tempat singgah sementara.

4. Mengamalkan Ibadah dengan Khusyuk

  • Sholat dengan penuh kesadaran bahwa sedang berhadapan dengan Allah.
  • Memperbanyak dzikir, tahlil, tahmid, sholawat, dan istighfar.

5. Menerima Takdir dengan Lapang Dada

  • Menyadari bahwa semua yang terjadi adalah ketetapan terbaik dari Allah.
  • Tidak mengeluh atau menyalahkan keadaan, tetapi mengambil hikmah.

6. Bersedekah dan Berbuat Baik Tanpa Mengharap Balasan

  • Menolong sesama karena Allah, bukan karena ingin pujian.
  • Menyembunyikan amal shalih agar lebih ikhlas.

7. Menjauhi Riya’ dan Ujub

  • Tidak mencari perhatian manusia dalam ibadah atau kebaikan.
  • Menyadari bahwa semua kebaikan adalah anugerah dari Allah, bukan semata hasil usaha sendiri.

8. Memperbanyak Doa Memohon Keikhlasan

  • Berdoa kepada Allah agar diberikan hati yang ikhlas.

  • Contoh doa yang diajarkan Rasulullah:

    اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا، وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا، وَلَا تَجْعَلْ فِيهِ لِأَحَدٍ شَيْئًا
    “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku baik, jadikanlah karena-Mu semata, dan janganlah Engkau biarkan ada sesuatu pun dalamnya untuk selain-Mu.”

Keikhlasan adalah proses yang harus terus dijaga. Dengan latihan dan kesadaran, hati akan semakin tenang dan ringan dalam beribadah serta menjalani kehidupan karena semuanya dilakukan hanya untuk Allah.

Huruf qur'an

 Dalam Islam, Al-Qur’an diyakini sebagai wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril. Mengenai bentuk huruf dan bunyi huruf dalam Al-Qur'an, ada beberapa hal yang bisa dijelaskan:

  1. Wahyu dari Allah
    Isi Al-Qur'an, yaitu makna dan lafaznya, berasal dari Allah. Setiap ayat diturunkan dengan lafal yang sudah ditentukan, sehingga bacaan dan urutan kata dalam Al-Qur’an tidak bisa diubah oleh manusia.

  2. Bahasa Arab sebagai Wadah Wahyu
    Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana disebutkan dalam Surah Yusuf ayat 2:
    "Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Al-Qur'an dalam bahasa Arab, agar kamu memahaminya."
    Bahasa Arab memiliki struktur dan kaidah tersendiri, termasuk bentuk huruf dan cara pengucapan.

  3. Huruf-Huruf Hijaiyah
    Huruf-huruf yang digunakan dalam penulisan Al-Qur'an adalah huruf Hijaiyah (Arab), yang sudah ada sebelum Islam. Namun, penggunaan huruf-huruf ini dalam bentuk Al-Qur’an sebagai wahyu adalah ketetapan dari Allah.

  4. Tajwid dan Makharijul Huruf
    Cara membaca Al-Qur’an dengan aturan tajwid, termasuk panjang pendek dan sifat huruf, merupakan bagian dari cara penyampaian wahyu yang diajarkan oleh Nabi Muhammad kepada para sahabat. Bacaan Al-Qur’an bersumber dari cara Rasulullah membacanya, yang diajarkan oleh Malaikat Jibril.

Jadi, bentuk huruf dan bunyi huruf dalam Al-Qur’an berhubungan dengan bahasa Arab, tetapi pengaturan dan penyampaiannya dalam bentuk wahyu adalah ketetapan dari Allah.

Friday, March 21, 2025

Iktikaf

 Nasehat Syekh Abdul Qodir Jaelani tentang Iktikaf

Syekh Abdul Qodir Jaelani dalam berbagai nasihatnya menekankan pentingnya khusyuk dalam ibadah dan mengosongkan hati dari selain Allah saat beriktikaf. Beliau berkata:

"Ketika engkau beriktikaf, maka kosongkan hatimu dari dunia dan isinya. Jangan engkau sibukkan dengan urusan manusia, tetapi sibukkan dirimu dengan Allah. Barang siapa yang menginginkan kedekatan dengan-Nya, maka hendaknya ia menjauhkan dirinya dari segala sesuatu yang memalingkan hatinya dari Allah."

Beliau juga menegaskan bahwa iktikaf bukan hanya sekadar berdiam diri di masjid, tetapi memurnikan niat, menghidupkan hati dengan dzikir, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh keikhlasan.


Nasehat Ibnu Atha’illah As-Sakandari tentang Iktikaf

Ibnu Atha’illah As-Sakandari dalam kitab Al-Hikam banyak membahas tentang uzlah (menyendiri dari hiruk-pikuk dunia) dan iktikaf sebagai cara untuk mencapai makrifatullah. Salah satu hikmah beliau yang berkaitan dengan iktikaf adalah:

"Tidak akan terang hati seseorang yang dipenuhi dengan dunia. Tidak akan mendekat kepada Allah seseorang yang hatinya terbelenggu oleh syahwat."

Beliau menekankan bahwa iktikaf adalah cara untuk mengistirahatkan hati dari kesibukan dunia, agar hati bisa bercahaya dengan nur Ilahi. Dengan iktikaf, seseorang belajar mengendalikan hawa nafsunya dan menenangkan jiwanya di hadapan Allah.


Kesimpulan:

Dari dua ulama besar ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa iktikaf bukan hanya sekadar berada di dalam masjid, tetapi lebih kepada mengosongkan hati dari selain Allah, mendekatkan diri kepada-Nya dengan dzikir dan ibadah, serta menjaga niat agar tetap tulus dan ikhlas.

Puasa (2)

 Berikut adalah beberapa nasihat dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Ibnu Atha'illah as-Sakandari mengenai puasa:

Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Dalam kitab Al-Fath ar-Rabbani, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menekankan bahwa puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari segala sesuatu yang bisa mengotori hati dan menjauhkan diri dari Allah. Beberapa nasihat beliau tentang puasa:

  1. Puasa hakiki adalah menahan hati dari selain Allah
    "Puasa yang sejati adalah bukan hanya menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi juga menahan hati dari segala sesuatu selain Allah. Jika engkau berpuasa dengan lisan dan anggota tubuhmu, tetapi hatimu masih sibuk dengan dunia, maka puasamu belum sempurna."

  2. Jangan hanya lapar dan haus, tapi bersihkan hati
    "Orang yang hanya lapar dan haus tanpa mendekatkan diri kepada Allah, puasanya hanya sebatas kebiasaan, bukan ibadah yang benar. Puasa yang hakiki adalah menahan diri dari segala maksiat dan menghidupkan hati dengan dzikir kepada-Nya."

  3. Puasa mendekatkan kepada Allah
    "Puasa adalah kunci untuk membuka pintu makrifat. Jika engkau ingin mengenal Allah, maka kosongkan perutmu, bersihkan hatimu, dan penuhilah waktumu dengan ibadah."


Ibnu Atha'illah as-Sakandari

Dalam Al-Hikam, Ibnu Atha’illah memberikan hikmah-hikmah tentang puasa yang berkaitan dengan hati dan keikhlasan:

  1. Puasa adalah sarana melemahkan nafsu
    "Janganlah engkau hanya berpuasa dengan perutmu, tetapi biarkan juga jiwamu berpuasa dari hawa nafsu dan syahwat. Sesungguhnya, puasa yang sempurna adalah ketika dunia tidak lagi menguasai hatimu."

  2. Puasa adalah latihan untuk tawakal
    "Puasa mengajarkan bahwa rezeki bukan di tanganmu, tetapi di tangan Allah. Ketika engkau menahan diri dari makanan dan minuman, itu adalah bentuk keyakinan bahwa Allah yang mencukupi kebutuhanmu pada waktu yang telah Dia tentukan."

  3. Hakikat puasa adalah meninggalkan segala yang menjauhkan dari Allah
    "Ketika engkau berpuasa, hendaknya engkau juga menjauhkan hatimu dari segala sesuatu yang bisa melalaikanmu dari Allah. Sebab, puasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makanan, tetapi juga menjaga hati agar tetap bersama-Nya."

  4. Berpuasalah dengan cinta, bukan hanya kewajiban
    "Barang siapa yang berpuasa hanya karena kewajiban, maka dia hanya akan merasakan lapar dan haus. Tetapi barang siapa yang berpuasa karena cinta kepada Allah, maka dia akan merasakan kenikmatan dan kedekatan dengan-Nya."


Dari kedua ulama besar ini, kita bisa belajar bahwa puasa bukan hanya soal fisik, tetapi lebih kepada bagaimana hati kita semakin dekat dengan Allah. Semoga kita bisa menjalankan puasa dengan kesadaran penuh dan meraih keberkahan dari-Nya.

Sinar hati.

 Nasehat Syekh Abdul Qodir Al-Jailani tentang Sinar Hati dalam Tafakur dan Tangisan

Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dalam Futuh Al-Ghaib menekankan bahwa sinar hati tidak hanya ditemukan dalam membaca Al-Qur'an atau mendengar nasihat, tetapi juga dalam tafakur (merenung) dan menangis karena Allah. Beliau berkata:

"Jika engkau ingin hatimu bercahaya, jangan hanya mencari ilmu di lisan manusia atau membaca Al-Qur'an tanpa penghayatan. Duduklah dalam kesendirian, renungkan dosa-dosamu, tangisilah kelemahanmu, dan berharaplah hanya kepada Allah. Cahaya hati tidak datang dari banyaknya pengetahuan, tetapi dari tunduknya jiwa kepada-Nya."

Menurut beliau, orang yang hatinya keras meskipun telah banyak membaca dan mendengar nasihat, harus beralih pada tafakur dan tangisan dalam munajat kepada Allah.


Nasehat Ibnu Atha'illah As-Sakandari tentang Cahaya Hati dalam Tafakur dan Ratapan

Ibnu Atha’illah dalam Al-Hikam juga menekankan pentingnya tafakur dan tangisan. Beliau berkata:

"Bisa jadi setetes air mata yang jatuh karena takut kepada Allah lebih berharga daripada seribu kata yang diucapkan dalam dzikir tanpa hati yang hadir."

Beliau juga berkata:

"Tafakur adalah lampu hati. Jika hati sering digunakan untuk berpikir tentang Allah, maka ia akan bercahaya. Tapi jika hanya mendengar nasihat tanpa merenung, maka nasihat itu akan masuk dari satu telinga dan keluar dari telinga lainnya."

Menurut beliau, tafakur mendalam akan melahirkan kesadaran akan kelemahan diri, yang akhirnya menuntun kepada tangisan penuh penyesalan dan cinta kepada Allah. Inilah sinar hati yang sejati.


Kesimpulan & Pelajaran:

  1. Membaca Al-Qur'an dan mendengar nasihat itu penting, tetapi tanpa tafakur, hatinya bisa tetap gelap.
  2. Tafakur tentang dosa dan kelemahan diri akan melahirkan tangisan keikhlasan kepada Allah.
  3. Air mata yang jatuh karena takut dan cinta kepada Allah adalah cahaya bagi hati yang gelap.
  4. Jangan hanya mencari ilmu, tetapi juga hadirkan hati dalam perenungan agar ilmu itu benar-benar bermanfaat.

Maka, ketika seseorang mencari sinar hati, hendaknya dia tidak hanya mengandalkan nasihat dan bacaan, tetapi juga memperbanyak merenung, menangis, dan berbicara kepada Allah dalam keheningan malam.

Kumpulan Orang dengan Urusan Dunia

 Nasehat Syekh Abdul Qodir Al-Jailani tentang Berkumpulnya Orang dengan Urusan Dunia

Syekh Abdul Qodir Al-Jailani sering menasihati murid-muridnya agar tidak terlalu tenggelam dalam urusan dunia yang melalaikan. Dalam Futuh Al-Ghaib, beliau berkata:

"Jauhilah majelis yang hanya dipenuhi pembicaraan tentang dunia, karena itu akan mengeraskan hati dan menjauhkanmu dari Allah. Jika engkau harus berkumpul dengan mereka, maka jadilah cahaya di antara mereka, bukan tenggelam bersama mereka."

Beliau juga mengingatkan bahwa dunia hanyalah sarana, bukan tujuan. Jika seseorang terlalu sibuk dengan urusan dunia dan melupakan Allah, maka hatinya akan menjadi keras dan jauh dari keberkahan.


Nasehat Ibnu Atha'illah As-Sakandari tentang Pergaulan Duniawi

Ibnu Atha'illah dalam Al-Hikam juga menyinggung tentang berkumpulnya manusia dengan urusan dunia. Beliau berkata:

"Berkumpul dengan orang-orang yang sibuk dengan dunia akan membuatmu semakin mencintai dunia. Dan berkumpul dengan orang-orang yang sibuk dengan Allah akan membuatmu semakin mencintai akhirat."

Beliau mengingatkan bahwa seseorang akan dipengaruhi oleh lingkungannya. Jika terlalu sering berada dalam majelis yang hanya membicarakan dunia—harta, jabatan, dan kesenangan—maka hatinya akan semakin condong ke arah itu dan melupakan akhirat.

Namun, jika seseorang berkumpul dengan orang-orang saleh, maka dia akan terbawa dalam kebaikan dan semakin mendekat kepada Allah.


Kesimpulan & Pelajaran:

  1. Hindari majelis yang hanya berisi urusan dunia tanpa ada manfaat akhirat.
  2. Jika harus berkumpul, tetap jaga hati agar tidak terpengaruh dan tetap ingat Allah.
  3. Cari teman dan lingkungan yang mengingatkan kepada Allah, karena itu akan menenangkan hati dan memperkuat iman.
  4. Jadikan dunia sebagai sarana, bukan tujuan, karena dunia hanyalah perjalanan menuju akhirat.

Orang bijak tidak meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi juga tidak tenggelam di dalamnya.

Dzikir (4)

 Dzikir "Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mal nashir" memiliki makna yang sangat dalam dalam kehidupan seorang Muslim.


Makna Dzikir Ini:

➡️ حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
"Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung."

➡️ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
"Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong."

Dzikir ini menunjukkan kepasrahan total kepada Allah, keyakinan bahwa hanya Allah yang mencukupi segala kebutuhan, melindungi, dan memberikan pertolongan terbaik.


Keutamaan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis:

  1. Doa para sahabat ketika dalam bahaya
    Dzikir ini berasal dari Al-Qur’an, yaitu dalam QS. Ali Imran: 173, ketika para sahabat diberitahu bahwa musuh telah berkumpul untuk menyerang mereka, maka mereka membaca:

    "Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung."

    Akhirnya, mereka mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah.

  2. Dibaca oleh Nabi Ibrahim ketika dilempar ke dalam api
    Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Nabi Ibrahim dilempar ke dalam api oleh Raja Namrud, beliau mengucapkan:

    "Hasbunallah wa ni’mal wakil."

    Akibatnya, Allah menjadikan api itu dingin dan tidak membakar beliau. (QS. Al-Anbiya: 69)

  3. Dzikir untuk menghadapi kesulitan dan bahaya
    Rasulullah ﷺ bersabda:
    "Barang siapa yang membaca 'Hasbunallah wa ni’mal wakil' sebanyak tujuh kali di pagi dan sore hari, maka Allah akan mencukupkan segala urusannya." (HR. Abu Dawud)


Pandangan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani & Ibnu Atha'illah As-Sakandari

  • Syekh Abdul Qodir Al-Jailani mengajarkan bahwa dzikir ini harus dibaca dengan penuh keyakinan dan keikhlasan. Jika seseorang benar-benar bergantung kepada Allah, maka tidak ada kekuatan di dunia yang bisa mengalahkannya.
  • Ibnu Atha'illah As-Sakandari dalam Al-Hikam mengatakan bahwa kepasrahan kepada Allah adalah puncak dari keyakinan seorang hamba. Dzikir ini bukan sekadar ucapan, tetapi harus menjadi prinsip hidup: yakin bahwa Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.

Kesimpulan:

Dzikir "Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mal nashir" sangat dianjurkan dalam keadaan:
✅ Saat menghadapi kesulitan hidup.
✅ Saat merasa cemas, takut, atau terancam.
✅ Saat membutuhkan perlindungan dan pertolongan Allah.
✅ Saat ingin memperkuat keyakinan dan ketenangan hati.

Baca 7 kali setiap pagi dan sore dengan penuh keyakinan, maka Allah akan mencukupi segala kebutuhan dan melindungi dari segala bahaya.