Saturday, June 14, 2025

Hakikat Ibadah dan Pengaruh Makanan Halal 2.


 

Judul: Hakikat Ibadah dan Pengaruh Makanan Halal dalam Kisah Abu Yazid al-Busthami


Pendahuluan

Kisah Abu Yazid al-Busthami yang tidak dapat merasakan kelezatan ibadah karena ibunya memakan seujung jari adonan milik tetangga tanpa izin, menyimpan makna mendalam tentang kemurnian ibadah, pentingnya kehalalan makanan, dan kepekaan spiritual. Kisah ini menjadi pelajaran abadi bahwa ibadah bukan hanya soal gerakan fisik, tetapi berkaitan erat dengan kesucian batin dan kehalalan sumber kehidupan.


1. Ayat Al-Qur'an yang Relevan

a. Surah Al-Baqarah (2:172)

Arab: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Latin: Yā ayyuhallażīna āmanụ kulụ min ṭayyibāti mā razaqnākum waṣykurụ lillāhi in kuntum iyyāhu ta‘budụn

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya menyembah."

Tafsir: Ibnu Katsir menjelaskan bahwa "ṭayyibāt" berarti makanan yang halal dan baik, yang menjadi syarat diterimanya amal ibadah. Kehalalan makanan sangat memengaruhi kemurnian ibadah seseorang.


2. Hadis yang Relevan

Diriwayatkan oleh Muslim:

"Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik (halal)." (HR. Muslim)

Makna: Makanan yang dikonsumsi menjadi bahan bakar bagi tubuh untuk beribadah. Jika bahan itu berasal dari yang haram, maka ibadah bisa kehilangan ruh dan kelezatannya.


3. Relevansi dengan Keadaan Sekarang

Di zaman modern, banyak orang mengejar rezeki tanpa memperhatikan kehalalannya. Keadaan ini berdampak pada lemahnya spiritualitas, sulitnya khusyuk dalam ibadah, dan hati yang tertutup dari cahaya Allah. Cerita Abu Yazid mengingatkan pentingnya memastikan kehalalan makanan sejak dari kandungan, karena itu akan membentuk kualitas ruhani seseorang seumur hidupnya.


4. Nasehat Ulama Sufi

a. Hasan al-Bashri: "Tidak ada yang lebih dahsyat merusak agama seseorang selain dari makanan haram."

b. Rabi‘ah al-Adawiyah: "Aku tidak menyembah Allah karena takut neraka atau ingin surga, tetapi karena cinta. Dan cinta hanya tumbuh dalam hati yang bersih."

c. Abu Yazid al-Busthami: "Bersihkan dirimu dari segala yang bukan berasal dari Allah, maka Dia akan hadir dalam ibadahmu."

d. Junaid al-Baghdadi: "Sufi adalah yang hatinya bersih dari selain Allah, dan perutnya tidak dipenuhi dengan yang syubhat."

e. Al-Hallaj: "Tak ada jalan menuju Tuhan kecuali dengan keikhlasan dan kebersihan hati, dan itu bermula dari makanan yang halal."

f. Abu Hamid al-Ghazali: "Perjalanan menuju Allah dimulai dengan taubat dan pembersihan diri, dan salah satu bentuknya adalah menjaga kehalalan makanan."

g. Abdul Qadir al-Jailani: "Jangan harap doamu akan naik ke langit jika perutmu dipenuhi dari barang haram."

h. Jalaluddin Rumi: "Apa yang kau makan menjadi bagian dari jiwamu. Maka makanlah hanya yang halal agar ruhmu ringan menari menuju Tuhan."

i. Ibnu ‘Arabi: "Setiap partikel dari yang haram yang masuk ke dalam tubuhmu akan menutup satu pintu ma’rifat."

j. Ahmad al-Tijani: "Dzikir tidak akan meresap ke dalam hati yang kotor oleh haram. Bersihkan perut, maka hati akan jernih."


Penutup

Kisah Abu Yazid al-Busthami bukan sekadar cerita lama, melainkan pelajaran abadi tentang pentingnya kehalalan dan kemurnian dalam ibadah. Kesadaran terhadap asal-usul makanan bukan hanya soal etika, tapi jalan spiritual menuju kedekatan dengan Allah. Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu menjaga yang masuk ke dalam tubuh, agar ibadah kita terasa manis, nikmat, dan diterima oleh Allah.


No comments: