Palingkanlah dirimu dari makhluk dengan izin Allah, palingkanlah dirimu dari hawa nafsu dengan perintah-Nya, dan berserahlah (tawakal) kepada Allah, jika engkau benar-benar beriman. Palingkan pula dirimu dari segala keinginanmu dengan perbuatan Allah. Ketika engkau bisa melakukan ini semua, engkau telah layak menjadi bejana ilmu Allah.

Ketika dirimu berpaling dari makhluk, ditandai dengan ketidakbutuhanmu terhadap mereka, tidak meminta-minta, dan tidak iri terhadap apa yang mereka miliki. Tanda dirimu berpaling dari hawa nafsu ialah tidak mengumpulkan harta dan tidak bergantung pada sarana atau sebab dalam rangka mengambil suatu manfaat dan mengantisipasi suatu mudarat.

Dengan begitu, engkau tidak akan bergerak demi kepentingan pribadi, tidak marah untuk memuaskan nafsu pribadi, tidak membela dan membenci diri sendiri, tetapi memasrahkan semuanya hanya kepada Allah karena Dia telah menguasai segalanya sejak awal. Demikian juga akhirnya, Allah menguasai segalanya. Kondisi kepasrahan seperti ini adalah sebagaimana engkau ketika masih berada di dalam kandungan ibumu atau ketika engkau masih menjadi bayi yang disusui

Memalingkan diri dari kehendakmu sendiri lantaran perbuatan-Nya, ditandai dengan abai terhadap maksud dan tujuan apa pun. Engkau juga tidak merasa membutuhkan atau menginginkan apa pun karena tidak mengharapkan selain kehendak Allah, bahkan hukum Allah sedang berlaku pada dirimu. Saat kehendak dan keinginan Allah itu sama-sama berlangsung pada dirimu, seluruh tubuhmu akan merasa tenang, hatimu tenteram, dadamu lapang, wajahmu berseri-seri, dan perutmu penuh terisi.

Engkau tak lagi membutuhkan segala sesuatu lantaran engkau telah bersama Sang Pencipta segala sesuatu. Tangan kekuasaan Allah telah menyentuhmu, lisan-Nya berbicara denganmu, dan engkau langsung mendapat bimbingan dari Tuhan agama-agama. Allah akan memberimu pakaian berupa cahaya dan menempatkanmu di tempat ulul ‘ilmi (para ahli ilmu) yang utama. Saat itulah engkau menjadi manusia yang tunduk-pasrah selamanya. Di dalam dirimu tak ada lagi syahwat atau keinginan, layaknya bejana retak yang tidak mampu menampung segala air, baik yang bersih maupun kotor.

Engkau akan terbebas dari segala perangai manusiawi sehingga jiwamu tidak akan mau menerima apa pun, kecuali kehendak Allah. Pada titik ini, engkau akan mendapat kemampuan “mencipta” dan dapat melakukan hal-hal luar biasa. Orang-orang menyangka kemampuan itu sebagai perbuatan dan kekuatanmu, padahal sebenarnya itu adalah perbuatan dan kehendak Allah di alam semesta ini.

Pada titik ini pula, engkau akan masuk ke dalam golongan orang-orang yang hatinya telah tertundukkan, yang keinginan manusiawi serta syahwat alamiahnya telah musnah, serta diilhami oleh kehendak Ilahi. Mengenai maqam ini, Nabi Muhammad saw. bersabda :

“Aku dijadikan (oleh Allah) menyukai tiga hal dari dunia ini; wewangian, wanita, dan shalat yang menjadi penyejuk mataku.”

Ketiga hal itu diatributkan kepada Rasulullah setelah beliau berpaling dari ketiganya, sebagaimana kami isyaratkan sebelumnya. Allah juga berfirman, “Aku bersama orang-orang yang patah hati demi Aku.”

Allah Yang Maha tinggi tidak akan menyertaimu, sampai engkau mengingkari hawa nafsu dan kehendakmu. Jika engkau telah menjadi manusia yang tunduk patuh kepada Allah, tak punya apa pun dan tak ada satu pun yang ideal bagimu, saat itulah Allah akan “membangun” dirimu dan memberimu kehendak yang engkau gunakan untuk berkehendak. Jika engkau berada dalam kehendak itu, sedangkan di dalam dirimu terdapat “pembangunan” Allah, Allah akan meremukkan kehendakmu itu karena keberadaanmu di dalamnya sehingga kau senantiasa menjadi manusia yang tunduk patuh kepada Allah.

Allah akan terus menciptakan kehendak baru di dalam dirimu, lalu melenyapkannya kembali tatkala kau berada di dalam kehendak itu. Demikian seterusnya hingga akhir hayatmu dan engkau bertemu dengan-Nya. Inilah makna firman Allah, “Aku bersama orang-orang yang patah hati demi Aku.” Sementara makna ungkapan kami, “Tatkala kau berada dalam kehendak itu”, yaitu kecenderungan dan kenyamananmu terhadap kehendak itu.

Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan langsung oleh Rasulullah, Allah berfirman, “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi telinganya yang dia gunakan untuk mendengar, matanya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang dia gunakan untuk menyentuh, dan kakinya yang dia gunakan untuk berjalan.” Dalam redaksi lain disebutkan, “Denganku dia mendengar, denganku dia menyentuh, dan denganku pula dia mengetahui.”

Ini semua hanya bisa terjadi dalam kondisi fana (lenyap dari makhluk), bukan yang lain. Jika engkau telah berhasil lenyap dari dirimu sendiri dan dari makhluk—dan makhluk itu terbagi dua, baik dan buruk, sebagaimana juga dirimu—maka sekali-kali kau tak akan pernah mengharapkan kebaikan dari mereka dan tidak pula khawatir akan terjadinya keburukan dari mereka. Yang tersisa hanyalah Allah semata, sebagaimana kondisi asal-Nya.

Dalam takdir Allah itu terdapat dua hal: baik dan buruk. Pada kondisi seperti di atas, Allah akan menyelamatkanmu dari keburukan-Nya dan menenggelamkanmu ke dalam samudra kebaikan-Nya sehingga kau menjadi bejana segala kebaikan, sumber segala nikmat, kebahagiaan, kegembiraan, cahaya, kedamaian, dan ketenteraman. Fana (penafian diri), angan-angan (harapan), keinginan, serta tujuan adalah tapal batas yang menjadi ujung perjalanan para wali. Itulah kondisi istiqamah yang senantiasa dicari-cari oleh para wali dan wali abdal terdahulu, agar mereka bisa berpaling dari kehendak mereka sendiri dan menggantinya dengan kehendak Allah yang Mahakuasa. Mereka berkehendak dengan kehendak Allah selamanya hingga ajal menjemput.

Oleh karena itu, mereka disebut sebagai wali abdal. Bagi mereka, dosa adalah menyekutukan kehendak Allah dengan kehendak pribadi dengan cara lalai, lupa, tenggelam dalam suatu situasi, dan rasa takut. Dalam kondisi ini, Allah swt. akan menolong mereka dengan kasih sayang-Nya, dengan cara mengingatkan mereka sehingga sadar dan memohon ampun kepada-Nya. Sebab, tak satu pun yang bisa terlepas dari kehendak, kecuali para malaikat. Mereka senantiasa suci dari berbagai kehendak, sedangkan para Nabi senantiasa terbebas dari hawa nafsu.

Adapun manusia dan bangsa jin yang dibebani taklif (kewajiban untuk beribadah), tidaklah terjaga dari keduanya. Hanya saja, sebagian para wali terjaga dari hawa nafsu, dan para wali abdal terjaga dari kehendak. Kendati demikian, mereka tak bisa dianggap terbebas sepenuhnya dari dua keburukan ini. Artinya, pada kondisi tertentu mereka mungkin saja memiliki kecenderungan kepada keduanya sebagai sebuah dosa, tetapi kemudian Allah memberikan pertolongan-Nya dengan cara menyadarkan mereka melalui rahmat-Nya.

------

Berikut adalah ringkasan isi tulisan tersebut dalam bahasa yang lebih mudah dipahami dan dicerna:


RINGKASAN: Jalan Menuju Kepasrahan Total kepada Allah.

  1. Palingkan Diri dari Makhluk dan Nafsu

    • Jangan bergantung pada manusia, jangan iri, dan jangan meminta-minta.
    • Jangan kumpulkan harta demi hawa nafsu atau bersandar pada sebab-sebab duniawi.
    • Serahkan seluruh urusan kepada Allah, seperti bayi yang disusui, hanya bergantung pada-Nya.
  2. Tinggalkan Keinginan Pribadi

    • Jangan berpegang pada keinginan atau tujuan pribadi.
    • Terimalah segala sesuatu sebagai kehendak Allah, bukan karena kemauan diri sendiri.
  3. Tanda Orang yang Telah Menyatu dengan Kehendak Allah

    • Hati menjadi tenang, dada lapang, wajah berseri, tubuh tercukupi.
    • Tak membutuhkan apa pun selain Allah.
    • Diberi cahaya, ilmu, dan ditempatkan di kalangan orang-orang pilihan.
  4. Kondisi Tertinggi: Fana (Lenyap dari Diri)

    • Tidak lagi ada syahwat, keinginan, atau kepentingan pribadi.
    • Apa pun yang tampak dari diri kita sebenarnya adalah perbuatan Allah semata.
  5. Allah Akan Membentuk Kehendak dalam Diri

    • Kehendak pribadi akan Allah hancurkan terus-menerus, diganti dengan kehendak-Nya.
    • Proses ini berlangsung sampai akhir hayat: total tunduk kepada Allah.
  6. Menjadi Wali Abdal

    • Mereka tidak lagi memiliki kehendak pribadi; semua karena Allah.
    • Dosa bagi mereka adalah jika kehendak pribadi mencampuri kehendak Allah.
    • Allah selalu menolong mereka agar kembali sadar jika sempat lupa atau lalai.
  7. Fana sebagai Puncak Jalan Para Wali

    • Lenyapnya keinginan dan tujuan pribadi adalah tanda istiqamah para wali.
    • Mereka hidup dengan kehendak Allah hingga ajal menjemput.

Kesimpulan Utama

Orang yang benar-benar beriman adalah yang berpaling dari makhluk, hawa nafsu, dan keinginan pribadi, serta hidup sepenuhnya dalam kehendak Allah. Mereka menjadi wadah cahaya, kebahagiaan, dan kebaikan, karena Allah sendiri yang menggerakkan dan membimbing mereka.


Oke! Berikut ini versi bahasa santai dari teks "Berpaling dari Tipu Daya Makhluk". Aku buat dengan tetap mempertahankan makna aslinya, tapi dibikin lebih ringan dan mudah dicerna seperti ngobrol bareng teman dekat yang lagi sharing hal spiritual:


Menjauh dari Tipu-Tipu Dunia

Bro, Sis…
Kalau lo pengin makin deket sama Allah, lo harus bisa belajar ninggalin semua sandaran ke makhluk. Bukan karena benci atau gimana, tapi karena lo sadar, semuanya itu cuma titipan. Hawa nafsu? Tinggalin juga, pelan-pelan. Serahin semuanya ke Allah, deh. Kalau emang lo ngaku beriman, coba deh mulai belajar tawakal beneran.

Gimana caranya tau lo udah mulai berpaling dari makhluk? Gampang. Lo nggak ngarep apa-apa dari mereka, nggak ngemis-ngemis perhatian, dan lo juga nggak sirik sama rezeki orang. Lo santai aja gitu.

Terus, tanda lo bisa lepas dari nafsu itu kayak gimana? Ya lo udah nggak sibuk ngumpulin harta doang, nggak ngandelin usaha duniawi lo doang buat dapet manfaat atau ngindarin masalah. Lo tahu semua itu bukan kekuatan lo, tapi Allah yang ngatur.

Kalau lo udah sampe level ini, lo udah nggak lagi ngelakuin sesuatu karena pengen untung sendiri. Lo juga nggak marah cuma buat ego. Lo nggak baperan karena merasa direndahin. Lo tinggalin semua itu dan pasrah total ke Allah, kayak bayi yang disusuin ibunya—cuma tau tenang aja, nggak banyak mikir.

Nah, berpaling dari keinginan pribadi itu tandanya lo udah nggak terlalu ngotot ngejar cita-cita dunia. Lo hidup ngalir aja, tapi bukan asal-asalan—lo yakin sepenuhnya bahwa kehendak Allah itu yang terbaik. Hati lo pun jadi adem, dada lapang, wajah berseri, hidup penuh berkah.

Karena apa? Karena lo udah nggak butuh apa-apa lagi kecuali Allah. Dan ketika Allah udah sayang banget sama lo, lo bakal ngerasain bimbingan langsung dari-Nya. Allah yang bakal ngomong lewat hati lo, tangan lo dipake buat kebaikan, lisan lo jadi alat-Nya buat nyampein yang hak. Lo jadi kayak nyambung langsung sama pusatnya cahaya.

Allah bakal kasih lo baju cahaya (bukan literal, ya), terus naruh lo di level para ahli ilmu. Saat itu lo bukan cuma tunduk pasrah, tapi diri lo udah kayak bejana kosong—udah nggak bisa diisi syahwat atau keinginan duniawi.

Lo bisa ngerasain hidup lo berubah drastis. Lo ngelakuin hal-hal keren, bahkan orang-orang bakal ngira itu kekuatan lo. Padahal sebenernya? Itu semua Allah yang kerja lewat lo.

Nah, di sinilah lo udah masuk level "para kekasih Allah" yang sejati—yang keinginannya udah ditundukkan, yang hidupnya bener-bener sesuai skenario Allah. Kayak Nabi Muhammad ﷺ bilang:

“Aku dijadikan suka sama tiga hal dari dunia: parfum, wanita, dan shalat.”

Padahal awalnya beliau udah lepas dari semua itu. Tapi justru karena udah bebas dari ketergantungan, Allah kasih rasa suka itu sebagai bentuk cinta, bukan syahwat.

Dan Allah juga pernah bilang,

“Aku bersama orang-orang yang patah hati karena Aku.”

Maksudnya? Kalau lo udah capek ngikutin keinginan pribadi dan lo pasrah sepenuhnya karena cinta ke Allah, maka Allah bakal nemenin lo.

Tapi tenang aja, bukan berarti lo langsung suci kayak malaikat. Para wali Allah aja kadang masih kepleset karena lalai, takut, atau tenggelam dalam satu situasi. Tapi Allah sayang banget sama mereka, sampai dikasih "teguran cinta" biar mereka balik lagi. Gitu juga kita. Yang penting tetep sadar, minta ampun, dan balik lagi ke jalan-Nya.

Jadi, intinya:
Kalau lo mau deket banget sama Allah, belajar buat ikhlas ninggalin hawa nafsu dan keinginan sendiri. Lo bakal dikasih “kendali” baru—bukan kendali lo, tapi Allah yang ngarahin. Kadang lo bakal dikasih keinginan, tapi juga dibikin lepas dari keinginan itu supaya lo gak pernah ngerasa punya andil apa-apa. Semua dari Allah, semua balik ke Allah. Dan lo tinggal ngalir bareng takdir, sampai ketemu Dia di ujung jalan.