Berikut ini adalah transkrip bersih dari ceramah Gus Baha dengan tema "Ditantang Ateis: Pak Baha, Saya Mau Masuk Islam Asal Anda Bisa Jelaskan Tuhan itu Siapa?" :
---
Gus Baha:
Ada orang ateis datang ke saya, "Pak, saya mau masuk Islam, asal Anda bisa menjelaskan Tuhan itu siapa."
Terus saya tanya, "Ini ngajak goblok-goblokan apa pintar-pintaran?"
Dia jawab, "Nggak, Pak. Saya ini doktor." Maksudnya, secara akademik dia doktor—mungkin jurusan matematika atau apa—tapi dalam hal ketuhanan jeblok.
Lalu saya tanya, "Kalau ini ada kertas, kamu suka ada rumusnya atau suka nggak ada?" [Pertanyaan ini mengarah pada logika keberadaan sesuatu, seperti alam semesta.]
Kemudian saya lanjutkan tentang pentingnya lailahaillallah, sebagaimana yang didawuhkan oleh Gus Azaim. Kalimat ini begitu penting, tapi harus diilmui, bukan hanya dilafalkan. Allah berfirman:
> "Fa’lam annahu la ilaha illallah, wastaghfir lidzanbika walil mu’minina wal mu’minat…"
(QS. Muhammad: 19)
Ayat ini mengajarkan bahwa ilmu harus didahulukan: fa’lam (ketahuilah), sebelum istighfar. Maka, menurut mazhab Syadziliyyah, seseorang harus mengucapkan lailahaillallah dulu sebelum istighfar. Karena orang kafir yang sudah bertahun-tahun dalam kekafiran, ketika mengucapkan lailahaillallah saja, dosanya langsung diampuni oleh Allah.
Jadi, lailahaillallah itu sendiri sudah mengandung kekuatan pengampunan.
Abu Hasan Asy-Syadzili berkata:
"Wastaghfir bi hadihil kalimah."
Artinya, seseorang baru sah diistighfari setelah ia mengucapkan lailahaillallah. Kalau masih kafir dan belum melafalkan itu, anak cucunya pun tidak sah mendoakan ampunan baginya.
Filosofi dari lailahaillallah adalah:
Nafyun li uluhiyyati ghairillah wa itsbatun li uluhiyyatillah wahdah
(Menafikan semua selain Allah sebagai Tuhan, dan menetapkan hanya Allah semata sebagai Tuhan.)
Cara berpikir seperti ini harus dilatih secara logis. Allah itu fair, bahkan membolehkan ada yang mengaku Tuhan, tapi harus ada syaratnya. Minimal: bisa menciptakan langit dan bumi.
Kalau kamu ngaku Tuhan, ya tunjukkan prestasimu. Misalnya, ketika Allah berfirman:
> "Am khalaqu as-samawati wal-ard?"
Apakah mereka menciptakan langit dan bumi?
> "Am ‘indahum khazaainu rabbika?"
Apakah mereka punya simpanan langit?
> "Am khuliqu min ghairi syai’in?"
Apakah mereka diciptakan tanpa pencipta?
Itu menunjukkan bahwa kalau ada yang mengaku Tuhan tapi tidak bisa menciptakan langit dan bumi, atau malah dia sendiri diciptakan, itu gugur syarat ketuhanannya.
Contoh kisah nyata: Jubair bin Mut’im, orang Quraisy yang sangat cerdas, datang sebagai negosiator untuk membebaskan tawanan Perang Badar. Ketika nginap di masjid (zaman dulu belum ada hotel), Nabi membaca surat At-Thur dalam salat Maghrib, sampai pada ayat:
> "Am khalaqu as-samawati wal-ard?"
Ayat itu membuat akal Jubair mentok. Akalnya habis. Ia langsung datang setelah salat dan berkata:
"Wahai Rasulullah, akalku habis oleh ayat yang kau baca. Saya Islam saja!"
Jadi, argumentasi yang membatalkan ketuhanan selain Allah adalah ayat-ayat logis seperti itu. Maka santri itu harusnya belajar Qur’an dengan merenung dan logika, bukan sekadar mengejar khataman
Saya tidak menyindir, tapi saya marah. Jangan khatam banyak-banyakan, tapi pahami isi dan logikanya.
> Malaikat saja sudah kepayahan mencatat hanya dengan wirid Subhanallah walhamdulillah.
Jadi, saya kadang wiridan sedikit saja, kasihan malaikat.
Saya ini memang agak "khilaf" gaya Madura. Tapi serius, dalam membaca Qur’an itu harus logis. Allah itu Tuhan yang fair. Kamu mau ngaku Tuhan? Ya boleh, tapi mana prestasimu?
> "Aruni maadza khalaqu minal-ard. Am lahum syirkun fissamawat?"
(Tunjukkan apa yang mereka ciptakan dari bumi. Atau adakah mereka punya andil dalam penciptaan langit?)
Kalau enggak bisa, ya jangan ngaku Tuhan. Karena Tuhan yang sejati itu adalah:
> "Huwal Awwal wal Akhir wadh-Dhahir wal Bathin."
---
No comments:
Post a Comment