Berbuatlah kebaikan dan jauhilah perbuatan buruk. Lihatlah perkataan apa yang engkau senang mendengarnya dari orang-orang kepadamu ketika engkau pergi dari tempat mereka, maka lakukanlah hal itu. Dan lihatlah perkataan yang engkau tidak suka orang-orang mengatakannya kepadamu ketika engkau pergi dari tempat mereka, maka jauhilah hal itu. (Hadits riwayat al-jama’ah).
Hadis ini memberikan pedoman etika sosial yang sangat mendalam, terutama dalam perspektif tasawuf. Berikut adalah tafsir tasawufnya:
1. Konsep Ihsan dalam Akhlak
Dalam tasawuf, tujuan utama seorang salik (pejalan spiritual) adalah mencapai ihsan, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya. Ihsan juga mencakup kebaikan dalam muamalah dengan sesama manusia. Hadis ini mengajarkan kita untuk selalu menempatkan diri dalam posisi orang lain:
- Jika kita senang diperlakukan dengan baik, maka kita harus berbuat baik kepada orang lain.
- Jika kita tidak suka menerima perkataan atau perlakuan buruk, maka jangan melakukannya kepada orang lain.
Ini selaras dengan konsep tasfiyah (pensucian hati) dalam tasawuf, karena orang yang senantiasa menjaga akhlaknya dari menyakiti orang lain akan lebih mudah mencapai maqam spiritual yang tinggi.
2. Muhasabah dan Kesadaran Diri (Muraqabah)
Tasawuf menekankan pentingnya muhasabah (introspeksi) dan muraqabah (kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi). Hadis ini mengajarkan cara mudah untuk menilai diri sendiri:
- Evaluasi bagaimana kita ingin dikenang setelah meninggalkan suatu tempat.
- Jika kita ingin dikenang dengan baik, kita harus berperilaku baik.
- Jika kita tidak ingin dikenang dengan buruk, jauhilah keburukan.
Konsep ini berhubungan erat dengan ajaran tasawuf tentang tajalli sifat Allah dalam diri manusia—di mana seorang hamba yang berakhlak mulia mencerminkan sifat-sifat Allah seperti Rahman (Maha Pengasih) dan Latif (Maha Lembut).
3. Akhlak sebagai Cerminan Hati yang Bersih
Dalam tasawuf, akhlak seseorang adalah cerminan dari kondisi hatinya. Orang yang hatinya bersih akan otomatis berkata dan berbuat yang baik. Sebaliknya, orang yang hatinya penuh dengan penyakit batin (seperti hasad, sombong, dan dengki) cenderung berkata dan berbuat buruk. Hadis ini mendorong kita untuk selalu menjaga qalbun salim (hati yang bersih) dengan menjadikan kebaikan sebagai kebiasaan dan menjauhi keburukan.
4. Akhlak sebagai Jalan Menuju Ma’rifatullah
Dalam ajaran tasawuf, maqam tertinggi adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Salah satu jalannya adalah dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ. Hadis ini mencerminkan prinsip dasar akhlak Rasulullah yang terkenal dengan kesempurnaannya. Seorang sufi sejati tidak hanya mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah, tetapi juga melalui interaksi sosial yang baik.
Kesimpulan
Hadis ini adalah pedoman tasawuf praktis dalam kehidupan sehari-hari. Ia mengajarkan:
- Berbuat baik sebagai refleksi dari hati yang bersih.
- Muhasabah diri untuk meningkatkan kualitas spiritual.
- Muraqabah agar selalu sadar bahwa Allah mengawasi setiap perbuatan kita.
- Menjaga akhlak sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai maqam ihsan.
Dengan mengamalkan hadis ini, seseorang tidak hanya menjadi manusia yang lebih baik, tetapi juga semakin dekat dengan hakikat spiritual dalam tasawuf.
No comments:
Post a Comment