Saturday, August 16, 2025

Tiga Perkara Tentang Perbandingan Dunia dan Akhirat.

 




📰 RUBRIK RENUNGAN HARI INI

Tiga Perkara Tentang Perbandingan Dunia dan Akhirat

Oleh Redaksi Rubrik Hikmah


Maksud Hakikat & Tafsir Makna Judul

Perbandingan dunia dan akhirat bukan sekadar hitungan untung-rugi materi, melainkan ukuran kecenderungan hati. Dunia adalah tempat singgah, akhirat adalah tempat tinggal. Yahya bin Mu’adz r.a. mengingatkan: siapa yang meninggalkan dunia sepenuhnya, berarti telah mengambil akhirat sepenuhnya; dan siapa yang mengambil dunia sepenuhnya, berarti telah meninggalkan akhirat sepenuhnya. Hakikatnya, dunia dan akhirat bagaikan timbangan dua sisi yang saling bertolak — ketika satu naik, yang lain turun.


Latar Belakang Masalah

Manusia modern sering terjebak pada glamor dunia: pekerjaan, status, gadget, hiburan, hingga harta. Semuanya bisa membuat lalai dari tujuan hidup yang sebenarnya. Fenomena “kehilangan akhirat demi dunia” menjadi penyakit zaman. Padahal, orientasi hidup yang salah akan mengantarkan pada penyesalan abadi.


Analisis dan Argumentasi

Tidak berarti Islam melarang kita mencari dunia, tetapi peringatannya jelas: jangan sampai dunia menguasai hati. Dunia hanyalah wasilah, bukan ghayah (tujuan akhir). Ketika hati terpaut pada dunia, ia akan menutup pandangan batin dari keindahan akhirat. Rasulullah ï·º pun mengingatkan:
"Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang musafir." (HR. Bukhari).


Tujuan dan Manfaat

  1. Mengembalikan fokus hidup pada tujuan akhir: ridha Allah dan keselamatan di akhirat.
  2. Menyaring niat dalam setiap aktivitas duniawi.
  3. Menumbuhkan kesadaran bahwa dunia hanyalah titipan sementara.

Relevansi Saat Ini

Di era media sosial, keinginan untuk tampil, pamer, dan mengejar validasi publik semakin tinggi. Budaya konsumtif membuat banyak orang terjerat hutang demi gaya hidup. Menghidupkan kesadaran perbandingan dunia–akhirat menjadi sangat relevan untuk mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak diukur dengan “likes” dan “followers” tetapi dengan ridha Allah.


Dalil Qur’an dan Hadis

Al-Qur’an:
"Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu." (QS. Al-Hadid: 20)
"Akan tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal." (QS. Al-A’la: 16–17)

Hadis:
"Dunia adalah penjara bagi orang beriman, dan surga bagi orang kafir." (HR. Muslim)


Kasusnya

Seorang pengusaha sukses rela meninggalkan salat demi meeting, bekerja tanpa henti demi menambah aset, dan akhirnya meninggal tanpa sempat menikmati hasilnya. Warisannya habis diperebutkan, sementara ia meninggalkan akhirat tanpa bekal. Inilah contoh nyata bagaimana cinta dunia dapat menghilangkan akhirat.


Analisis Lanjutan

Cinta dunia yang berlebihan adalah akar dari segala dosa. Sebaliknya, keseimbangan dunia–akhirat akan membuat hidup lebih tenang. Dunia perlu diolah, tetapi hati harus tetap tertambat pada Allah, bukan pada dunia itu sendiri.


Kesimpulan

Meninggalkan dunia bukan berarti meninggalkan pekerjaan atau harta, tetapi melepaskan ketergantungan hati padanya. Dunia dijadikan sarana, bukan tujuan.


Muhasabah & Caranya

  • Periksa setiap niat: apakah untuk Allah atau untuk pujian manusia?
  • Kurangi waktu untuk hal sia-sia, tambah waktu untuk ibadah.
  • Latih diri bersedekah agar hati tidak terikat pada harta.
  • Jadikan musibah dunia sebagai pengingat, bukan penyesalan semata.

Doa

اللَّÙ‡ُÙ…َّ لاَ تَجْعَÙ„ِ الدُّÙ†ْÙŠَا Ø£َÙƒْبَرَ Ù‡َÙ…ِّÙ†َا Ùˆَلاَ Ù…َبْÙ„َغَ عِÙ„ْÙ…ِÙ†َا، ÙˆَاجْعَÙ„ِ الْجَÙ†َّØ©َ دَارَÙ†َا ÙˆَÙ‚َرَارَÙ†َا
“Ya Allah, jangan Engkau jadikan dunia sebagai tujuan terbesar kami dan puncak pengetahuan kami, dan jadikanlah surga sebagai tempat tinggal dan akhir perjalanan kami.”


Nasehat Para Ulama Sufi

  • Hasan al-Bashri: “Dunia itu tiga hari: kemarin yang telah pergi, besok yang belum tentu datang, dan hari ini yang harus kau manfaatkan.”
  • Rabi‘ah al-Adawiyah: “Aku tidak menyembah Allah karena takut neraka atau mengharap surga, tetapi karena Dia layak disembah.”
  • Abu Yazid al-Bistami: “Keluarlah dari dunia ini sebelum engkau keluar dari tubuhmu.”
  • Junaid al-Baghdadi: “Tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa hubungan dengan selain-Nya.”
  • Al-Hallaj: “Tidak ada yang di dalam jiwaku kecuali Allah.”
  • Imam al-Ghazali: “Hati yang cinta dunia tidak akan merasakan manisnya akhirat.”
  • Syekh Abdul Qadir al-Jailani: “Jika engkau memiliki dunia di tanganmu, jangan biarkan ia masuk ke dalam hatimu.”
  • Jalaluddin Rumi: “Jangan tertipu oleh kebun dunia, ia akan layu. Carilah taman akhirat yang abadi.”
  • Ibnu ‘Arabi: “Akhirat adalah cermin bagi siapa yang menata hati di dunia.”
  • Ahmad al-Tijani: “Kunci akhirat adalah hati yang bersih dari cinta dunia.”

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada para guru, ulama, dan pembaca setia yang terus menghidupkan semangat perbandingan dunia dan akhirat dalam kehidupan sehari-hari. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk lebih mencintai akhirat tanpa melupakan amanah di dunia.



Menguasai, Dikuasai, dan Mengimbangi

 




Menguasai, Dikuasai, dan Mengimbangi

Oleh: Redaksi Harian Hikmah


Maksud & Hakikat, Tafsir Makna Judul

Ungkapan Sayidina Ali r.a. ini menyimpan hikmah mendalam tentang relasi manusia. “Menguasai” di sini bukan berarti menindas, melainkan memegang pengaruh melalui kebaikan. “Dikuasai” berarti berada di bawah kendali pihak lain karena kebutuhan kita padanya. “Mengimbangi” berarti berada pada posisi setara, tanpa ketergantungan, dengan kemandirian hati.


Latar Belakang Masalah

Di tengah masyarakat modern, hubungan manusia sering diwarnai ketergantungan yang tidak sehat—baik materi maupun jasa. Banyak yang merasa rendah diri ketika membutuhkan orang lain, atau sebaliknya, menjadi sombong saat dibutuhkan. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan: memberi tanpa mengharap balasan, meminta hanya kepada Allah, dan menjaga kemandirian diri.


Analisis & Argumentasi

  • Memberi menciptakan rasa hormat dan keterikatan positif.
  • Meminta (terlalu sering kepada manusia) menimbulkan ketergantungan yang melemahkan jiwa.
  • Mandiri mengangkat martabat, membuat kita sejajar dengan siapa pun.

Secara psikologis, jiwa manusia memang condong kepada yang memberinya manfaat. Karena itu, Rasulullah ï·º bersabda:

"Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah."
(HR. Bukhari dan Muslim)


Tujuan & Manfaat

  1. Menanamkan sikap memberi sebagai sumber pengaruh positif.
  2. Menumbuhkan kemandirian dan kehormatan diri.
  3. Menghindarkan diri dari ketergantungan yang melemahkan.
  4. Membentuk hubungan sosial yang sehat dan seimbang.

Relevansi Saat Ini

Di era ketergantungan ekonomi, politik, dan teknologi, banyak orang kehilangan kemandirian. Hutang finansial, ketergantungan bantuan, bahkan "like" media sosial, membuat sebagian orang kehilangan kebebasan. Pesan Sayidina Ali ini mengajarkan bahwa kemandirian adalah kemerdekaan sejati.


Dalil Qur’an dan Hadis

  • Qur’an:

"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya."
(QS. At-Talaq: 2-3)

  • Hadis:

“Orang kuat bukanlah yang menang bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya dari meminta.”
(HR. Bukhari dan Muslim)


Kasus Nyata

Banyak lembaga sosial runtuh karena terlalu bergantung pada bantuan pihak luar tanpa membangun kemandirian. Sebaliknya, lembaga yang memulai dengan dana sendiri dan kontribusi internal lebih dihormati dan bebas menentukan kebijakan.


Analisis & Argumentasi Lanjutan

Kemandirian bukan berarti anti-meminta bantuan, tapi mengatur batasan agar harga diri terjaga. Islam membolehkan meminta jika darurat, tapi memuji mereka yang mencukupkan diri.


Kesimpulan

Keseimbangan hidup tercapai jika kita memperbanyak memberi, meminimalkan meminta, dan menjaga kemandirian. Itulah jalan menuju kehormatan dan kebebasan sejati.


Muhasabah & Caranya

  • Latih diri memberi walau sedikit.
  • Minimalkan permintaan kecuali kepada Allah.
  • Belajar keterampilan agar tidak bergantung secara ekonomi.
  • Syukuri nikmat yang ada.

Doa

“Ya Allah, jadikanlah kami tangan di atas, bukan tangan di bawah. Beri kami hati yang kaya, jiwa yang lapang, dan rezeki yang mencukupi tanpa harus meminta kepada selain-Mu. Amin.”


Nasehat Para Ulama

  • Hasan Al-Bashri: “Kekayaan sejati adalah merasa cukup dengan apa yang ada.”
  • Rabi‘ah al-Adawiyah: “Aku tak ingin apa pun dari dunia ini, kecuali agar aku tidak meminta kepada makhluk.”
  • Abu Yazid al-Bistami: “Orang yang merdeka adalah yang tidak tunduk kepada pemberian atau penolakan makhluk.”
  • Junaid al-Baghdadi: “Jalan menuju Allah adalah dengan meninggalkan ketergantungan pada selain-Nya.”
  • Al-Hallaj: “Kebebasan hakiki adalah ketika engkau hanya bergantung kepada Dia yang Maha Bebas.”
  • Imam al-Ghazali: “Menahan diri dari meminta adalah pintu kemuliaan.”
  • Syekh Abdul Qadir al-Jailani: “Mintalah hanya kepada Allah, sebab makhluk adalah lemah.”
  • Jalaluddin Rumi: “Ketika engkau lepas dari kebutuhan pada makhluk, engkau telah menemukan pintu surga di dunia.”
  • Ibnu ‘Arabi: “Ketergantungan membelenggu roh, kemandirian membebaskannya.”
  • Ahmad al-Tijani: “Tidak meminta kepada makhluk adalah kesempurnaan adab kepada Allah.”

Ucapan Terima Kasih

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para pembaca setia Harian Hikmah yang selalu menanti siraman rohani setiap edisi. Semoga Allah membalas dengan pahala berlipat bagi semua yang mendukung tersebarnya ilmu ini.


Kalau Anda mau, saya bisa buatkan versi layout koran lengkap dengan gaya judul besar, subjudul, dan kolom yang siap cetak.
Apakah Anda mau saya langsung buatkan format cetaknya?