Diri Kita di Mata Allah, di Mata Kita Sendiri dan di Mata Orang Lain
Pendahuluan
Buku ini mengupas pandangan mulia dari Sayyidina Ali r.a. tentang bagaimana manusia seharusnya menilai dirinya sendiri, menempatkan dirinya di hadapan Allah, serta menjaga kewajaran sikap terhadap orang lain. Perkataan beliau:
“Jadilah engkau orang yang paling bagus menurut Allah, orang yang paling jelek di matamu sendiri, dan jadilah orang sewajarnya di mata orang lain,”
merupakan nasihat yang sangat dalam dan penuh hikmah.
Tujuan penulisan ini adalah untuk:
- Membentuk kesadaran diri yang utuh, seimbang, dan penuh rendah hati.
- Menuntun kita dalam membangun akhlak yang luhur di hadapan Allah dan sesama.
- Menghindarkan kita dari jebakan pujian dan hinaan manusia yang seringkali menyesatkan.
Manfaat yang diharapkan:
- Membiasakan muhasabah dan memperkuat takwa.
- Membentuk karakter yang tidak tertipu pujian dan tidak putus asa karena cacian.
- Fokus pada nilai di sisi Allah, bukan di mata manusia.
Intisari Bahasan
1. Diri di Mata Allah
Allah menilai manusia bukan dari rupa atau status sosial, melainkan dari ketakwaan dan keikhlasan:
📖 “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
📖 “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
(QS. An-Najm: 32)
2. Diri di Mata Sendiri
Ali r.a. menekankan pentingnya melihat diri sendiri sebagai makhluk lemah dan penuh kekurangan. Ini bukan sikap minder, tapi bentuk kerendahan hati dan kewaspadaan rohani.
Rasulullah ï·º bersabda:
"Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji sawi."
(HR. Muslim)
3. Diri di Mata Orang Lain
Kita disuruh bersikap sewajarnya di mata orang lain—tidak menampilkan kesombongan, tidak pula memalsukan diri untuk mendapat pujian. Pandangan manusia tidak akan pernah utuh, maka tidak layak menjadi penentu nilai diri.
Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Syekh Abdul Qadir al-Jailani menasihati:
"Apabila engkau menjumpai seseorang yang lebih utama darimu, maka berucaplah: Bisa jadi ia menurut Allah lebih bagus daripada aku dan lebih tinggi derajatnya.
Jika orang itu lebih kecil, maka ucapkanlah: Anak ini belum durhaka kepada Allah, tapi aku sudah, maka jelas dia lebih bagus daripada aku.
Jika orang itu besar, maka katakanlah: Orang ini sudah mengabdi kepada Allah sejak sebelum aku.
Jika orang itu alim, maka ucapkanlah: Orang ini dianugerahi ilmu yang belum aku ketahui dan berbuat atas dasar ilmunya.
Jika orang itu bodoh, maka ucapkanlah: Dia durhaka karena belum tahu, sedangkan aku sudah tahu tapi tetap durhaka.
Jika orang itu kafir, maka katakanlah: Boleh jadi dia masuk Islam dan mati husnul khatimah, sedangkan aku bisa saja su’ul khatimah."
Inilah wujud tawadhu' yang sempurna, karena menilai diri selalu di bawah orang lain untuk menjaga hati tetap lembut dan sadar akan akhirat.
Penutup
Kesimpulan:
Nilai diri kita bukan ditentukan oleh pandangan manusia ataupun kebanggaan diri sendiri, tetapi oleh penilaian Allah yang melihat ke dalam hati. Oleh karena itu, muhasabah harus menjadi bagian dari hidup setiap hari.
Relevansi zaman sekarang:
Di era media sosial dan pencitraan, kita mudah terjebak pada penilaian manusia. Nasihat Ali r.a. dan para sufi menjadi penyejuk jiwa agar kita tetap jujur, sederhana, dan fokus pada keridhaan Allah.
Muhasabah
- Apakah aku terlalu mencintai pujian manusia?
- Sudahkah aku merasa cukup dengan penilaian Allah?
- Apakah aku memandang diriku lebih baik dari orang lain?
Doa
"Ya Allah, tunjukkan kepadaku aib-aibku dan jangan Engkau jadikan aku tertipu oleh pujian. Jadikanlah aku orang yang Engkau nilai baik, meskipun manusia tidak mengenalku dan tidak memujiku."
Nasehat dari Para Tokoh Sufi
1. Hasan Al-Bashri
“Seorang mukmin adalah orang yang sibuk menghisab dirinya dan selalu berharap amalnya diterima, sedang orang munafik adalah yang terus merasa dirinya sudah baik.”
2. Rabi‘ah al-Adawiyah
“Aku menyembah Allah bukan karena takut neraka atau berharap surga, tapi karena aku mencintai-Nya.”
3. Abu Yazid al-Bistami
“Kemuliaan seorang hamba bukan pada pujian manusia, tetapi pada pengakuan Allah terhadapnya.”
4. Junaid al-Baghdadi
“Tasawuf adalah bahwa Allah mematikanmu dari dirimu, dan menghidupkanmu dengan-Nya.”
5. Al-Hallaj
“Engkau adalah cermin Tuhan. Maka bersihkan dirimu dari segala noda agar cahaya-Nya terpancar.”
6. Imam al-Ghazali
“Kenalilah dirimu, karena barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
7. Syekh Abdul Qadir al-Jailani
“Jika kamu melihat orang kafir, jangan langsung merasa lebih baik darinya. Bisa jadi ia masuk Islam sebelum mati dan engkau justru su’ul khatimah.”
8. Jalaluddin Rumi
“Berhentilah meremehkan dirimu. Engkau adalah alam semesta dalam satu jiwa.”
9. Ibnu ‘Arabi
“Jangan kamu batasi rahmat Allah. Boleh jadi orang yang kamu remehkan lebih dekat kepada-Nya daripada dirimu.”
10. Ahmad al-Tijani
“Kunci ma’rifat adalah kerendahan hati dan membersihkan hati dari pujian dan celaan manusia.”