Thursday, August 7, 2025

Diri Kita di Mata Allah, di Mata Kita Sendiri dan di Mata Orang Lain

 




Diri Kita di Mata Allah, di Mata Kita Sendiri dan di Mata Orang Lain

Pendahuluan

Buku ini mengupas pandangan mulia dari Sayyidina Ali r.a. tentang bagaimana manusia seharusnya menilai dirinya sendiri, menempatkan dirinya di hadapan Allah, serta menjaga kewajaran sikap terhadap orang lain. Perkataan beliau:
“Jadilah engkau orang yang paling bagus menurut Allah, orang yang paling jelek di matamu sendiri, dan jadilah orang sewajarnya di mata orang lain,”
merupakan nasihat yang sangat dalam dan penuh hikmah.

Tujuan penulisan ini adalah untuk:

  • Membentuk kesadaran diri yang utuh, seimbang, dan penuh rendah hati.
  • Menuntun kita dalam membangun akhlak yang luhur di hadapan Allah dan sesama.
  • Menghindarkan kita dari jebakan pujian dan hinaan manusia yang seringkali menyesatkan.

Manfaat yang diharapkan:

  • Membiasakan muhasabah dan memperkuat takwa.
  • Membentuk karakter yang tidak tertipu pujian dan tidak putus asa karena cacian.
  • Fokus pada nilai di sisi Allah, bukan di mata manusia.

Intisari Bahasan

1. Diri di Mata Allah
Allah menilai manusia bukan dari rupa atau status sosial, melainkan dari ketakwaan dan keikhlasan:

📖 “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat: 13)

📖 “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
(QS. An-Najm: 32)

2. Diri di Mata Sendiri
Ali r.a. menekankan pentingnya melihat diri sendiri sebagai makhluk lemah dan penuh kekurangan. Ini bukan sikap minder, tapi bentuk kerendahan hati dan kewaspadaan rohani.

Rasulullah ï·º bersabda:
"Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji sawi."
(HR. Muslim)

3. Diri di Mata Orang Lain
Kita disuruh bersikap sewajarnya di mata orang lain—tidak menampilkan kesombongan, tidak pula memalsukan diri untuk mendapat pujian. Pandangan manusia tidak akan pernah utuh, maka tidak layak menjadi penentu nilai diri.


Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Syekh Abdul Qadir al-Jailani menasihati:

"Apabila engkau menjumpai seseorang yang lebih utama darimu, maka berucaplah: Bisa jadi ia menurut Allah lebih bagus daripada aku dan lebih tinggi derajatnya.
Jika orang itu lebih kecil, maka ucapkanlah: Anak ini belum durhaka kepada Allah, tapi aku sudah, maka jelas dia lebih bagus daripada aku.
Jika orang itu besar, maka katakanlah: Orang ini sudah mengabdi kepada Allah sejak sebelum aku.
Jika orang itu alim, maka ucapkanlah: Orang ini dianugerahi ilmu yang belum aku ketahui dan berbuat atas dasar ilmunya.
Jika orang itu bodoh, maka ucapkanlah: Dia durhaka karena belum tahu, sedangkan aku sudah tahu tapi tetap durhaka.
Jika orang itu kafir, maka katakanlah: Boleh jadi dia masuk Islam dan mati husnul khatimah, sedangkan aku bisa saja su’ul khatimah."

Inilah wujud tawadhu' yang sempurna, karena menilai diri selalu di bawah orang lain untuk menjaga hati tetap lembut dan sadar akan akhirat.


Penutup

Kesimpulan:
Nilai diri kita bukan ditentukan oleh pandangan manusia ataupun kebanggaan diri sendiri, tetapi oleh penilaian Allah yang melihat ke dalam hati. Oleh karena itu, muhasabah harus menjadi bagian dari hidup setiap hari.

Relevansi zaman sekarang:
Di era media sosial dan pencitraan, kita mudah terjebak pada penilaian manusia. Nasihat Ali r.a. dan para sufi menjadi penyejuk jiwa agar kita tetap jujur, sederhana, dan fokus pada keridhaan Allah.


Muhasabah

  • Apakah aku terlalu mencintai pujian manusia?
  • Sudahkah aku merasa cukup dengan penilaian Allah?
  • Apakah aku memandang diriku lebih baik dari orang lain?

Doa

"Ya Allah, tunjukkan kepadaku aib-aibku dan jangan Engkau jadikan aku tertipu oleh pujian. Jadikanlah aku orang yang Engkau nilai baik, meskipun manusia tidak mengenalku dan tidak memujiku."


Nasehat dari Para Tokoh Sufi

1. Hasan Al-Bashri

“Seorang mukmin adalah orang yang sibuk menghisab dirinya dan selalu berharap amalnya diterima, sedang orang munafik adalah yang terus merasa dirinya sudah baik.”

2. Rabi‘ah al-Adawiyah

“Aku menyembah Allah bukan karena takut neraka atau berharap surga, tapi karena aku mencintai-Nya.”

3. Abu Yazid al-Bistami

“Kemuliaan seorang hamba bukan pada pujian manusia, tetapi pada pengakuan Allah terhadapnya.”

4. Junaid al-Baghdadi

“Tasawuf adalah bahwa Allah mematikanmu dari dirimu, dan menghidupkanmu dengan-Nya.”

5. Al-Hallaj

“Engkau adalah cermin Tuhan. Maka bersihkan dirimu dari segala noda agar cahaya-Nya terpancar.”

6. Imam al-Ghazali

“Kenalilah dirimu, karena barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”

7. Syekh Abdul Qadir al-Jailani

“Jika kamu melihat orang kafir, jangan langsung merasa lebih baik darinya. Bisa jadi ia masuk Islam sebelum mati dan engkau justru su’ul khatimah.”

8. Jalaluddin Rumi

“Berhentilah meremehkan dirimu. Engkau adalah alam semesta dalam satu jiwa.”

9. Ibnu ‘Arabi

“Jangan kamu batasi rahmat Allah. Boleh jadi orang yang kamu remehkan lebih dekat kepada-Nya daripada dirimu.”

10. Ahmad al-Tijani

“Kunci ma’rifat adalah kerendahan hati dan membersihkan hati dari pujian dan celaan manusia.”



Sunah Allah, Sunah Rasul dan Sunah Wali-wali Allah

 




SUNAH ALLAH, SUNAH RASUL, DAN SUNAH WALI-WALI ALLAH

Pendahuluan

Perkataan agung dari Sayidina Ali r.a. menjadi fondasi dari buku ini:

“Barangsiapa tidak ada padanya Sunah Allah, Sunah Rasulullah dan Sunah Wali-wali Allah, maka dia tidak mempunyai sesuatu pun di tangannya.”

Tiga unsur utama—Sunah Allah, Sunah Rasulullah, dan Sunah Wali-wali Allah—merupakan pedoman hidup spiritual yang tak lekang oleh waktu. Buku ini disusun dengan tujuan agar setiap insan dapat memahami dan mengamalkan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan Penulisan:

  • Menjelaskan makna dan kedalaman tiga jenis sunah tersebut.
  • Menguatkan hubungan manusia dengan Allah dan sesama.
  • Menjadikan warisan hikmah ini sebagai bekal dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Manfaat:

  • Memperoleh kedamaian batin melalui penyimpanan rahasia.
  • Menjalin hubungan harmonis dengan sesama melalui keramahan.
  • Melatih ketabahan dan keikhlasan melalui kesediaan memikul penderitaan orang lain.

Intisari Bahasan

Perkataan Sayidina Ali r.a.

“Barangsiapa tidak ada padanya Sunah Allah, Sunah Rasulullah dan Sunah Wali-wali Allah, maka dia tidak mempunyai sesuatu pun di tangannya.”

Lalu beliau ditanya:

  • “Apakah Sunah Allah itu?”
    • Ali menjawab: “Ialah menyimpan rahasia.”
  • “Apakah Sunah Rasulullah?”
    • Ali menjawab: “Yaitu berbuat ramah terhadap sesama manusia.”
  • “Apakah Sunah wali-wali Allah?”
    • Ali menjawab: “Memikul beban penderitaan dari para manusia.”

1. Sunah Allah: Menyimpan Rahasia

Makna:
Menjaga rahasia—terutama rahasia orang lain—adalah bentuk amanah spiritual. Tidak semua hal harus diumbar. Allah pun Maha Menyembunyikan aib hamba-Nya.

Dalil Al-Qur'an:

“Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi.”
(QS. An-Nisa: 148)


2. Sunah Rasulullah: Berbuat Ramah terhadap Sesama

Makna:
Keramahan adalah akhlak Rasulullah ï·º yang paling lembut. Bahkan terhadap orang yang menyakitinya, beliau tetap bersikap lembut dan memaafkan.

Hadis Nabi:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)

Syair Arab:

“Berbuatlah terhadap mereka selagi engkau berada di rumah mereka, dan buatlah hati mereka puas, selama engkau berada di bumi mereka.”


3. Sunah Wali-Wali Allah: Memikul Beban Penderitaan Manusia

Makna:
Para wali tidak hidup untuk dirinya sendiri. Mereka menjadi pelindung, penopang, dan penyejuk bagi manusia di sekitarnya. Mereka sabar, tidak membalas kejahatan, dan berserah diri.

Dalil Al-Qur'an:

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang bodoh menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.”
(QS. Al-Furqan: 63)


Tiga Wasiat Ulama Salaf:

"Barangsiapa yang beramal untuk akhiratnya, maka Allah mencukupi agama dan dunianya. Barangsiapa membina batiniahnya, niscaya Allah membaguskan lahiriahnya. Dan barangsiapa memperbaiki hubungan dirinya dengan Allah, maka Allah memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia."

Maknanya:

  • Cukup urusan dunia & agama: Allah yang pelihara.
  • Batin baik → Lahir baik: Keseimbangan jiwa.
  • Baik dengan Allah → Baik dengan manusia: Hati yang jujur memancar keluar.

Penutup

Relevansi di Masa Kini:

Zaman sekarang dipenuhi keterbukaan yang tidak bijak, aib yang diumbar, emosi yang meledak, dan empati yang terkikis. Justru saat inilah nilai-nilai yang disebut Sayidina Ali r.a. menjadi sangat relevan dan menyelamatkan jiwa manusia:

  • Menyimpan rahasia di era ghibah.
  • Ramah di tengah kebencian.
  • Memikul beban orang lain di tengah individualisme.

Muhasabah (Introspeksi Diri):

  • Sudahkah aku menjaga rahasia orang lain?
  • Sudahkah aku bersikap ramah terhadap manusia?
  • Sudahkah aku bersedia membantu dan sabar menghadapi penderitaan orang lain?

Doa:

"Ya Allah, jadikanlah kami hamba-Mu yang menjaga rahasia sebagaimana Engkau Maha Menjaga. Lembutkanlah hati kami agar selalu ramah terhadap ciptaan-Mu. Kuatkanlah jiwa kami untuk memikul penderitaan orang lain dengan ikhlas. Perbaikilah hubungan kami dengan-Mu agar Engkau memperbaiki hubungan kami dengan seluruh makhluk-Mu. Amin."


Nasehat dari Para Wali dan Tokoh Sufi

1. Hasan Al-Bashri

“Kebaikan itu bukan dengan banyaknya ibadah, tetapi dengan keikhlasan dan kasih sayang kepada manusia.”

2. Rabi‘ah al-Adawiyah

“Aku tidak menyembah Allah karena takut neraka atau mengharap surga, tapi karena cinta kepada-Nya.”

3. Abu Yazid al-Bistami

“Jika engkau mengenal Allah, maka dunia tidak akan lagi berarti di matamu.”

4. Junaid al-Baghdadi

“Tasawuf adalah bahwa engkau bersama Allah tanpa ikatan.”

5. Al-Hallaj

“Akulah al-Haqq.” (Makna hakikat fana' fi Allah; bukan klaim ketuhanan)

6. Imam al-Ghazali

“Perbaikilah hatimu, maka seluruh amalmu akan diperbaiki.”

7. Syekh Abdul Qadir al-Jailani

“Jadilah seperti bumi yang dipijak dan seperti langit yang menaungi, sabarlah atas kedzaliman.”

8. Jalaluddin Rumi

“Luka adalah tempat di mana cahaya masuk ke dalam dirimu.”

9. Ibnu ‘Arabi

“Hati seorang mukmin adalah tempat tajalli Tuhan.”

10. Ahmad al-Tijani

“Jangan engkau berpaling dari Allah walau dalam satu tarikan napas.”