Wednesday, May 21, 2025

Menasihati Diri.

Menasihati Diri

Berbicara tentang nasihat, aku melihat diriku tak pantas untuk memberikannya. Sebab, nasihat seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran untuk diri sendiri. Siapa yang tak sampai pada nisab, bagaimana ia akan mengeluarkan zakat? Orang yang tak memiliki cahaya tak mungkin dijadikan alat penerang oleh yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya bengkok? Allah Swt. mewahyukan kepada Isa bin Maryam, “Nasihatilah dirimu! Jika engkau telah mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak, malulah kepada-Ku.” Nabi kita saw bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua pemberi nasihat: yang berbicara dan yang diam.”

Pemberi nasihat yang berbicara adalah Alquran, sedangkan yang diam adalah kematian. Keduanya sudah cukup bagi mereka yang mau mengambil nasihat. Siapa yang tak mau mengambil nasihat dan keduanya, bagaimana ia akan menasihati orang lain? Aku telah menasihati diriku dengan keduanya. Lalu aku pun membenarkan dan menerimanya dengan ucapan dan akal, tapi tidak dalam kenyataan dan perbuatan. Aku berkata pada diri ini, “Apakah engkau percaya bahwa Alquran merupakan pemberi nasihat yang berbicara dan juru nasihat yang benar, serta merupakan kalam Allah yang diturunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya?” Ia menjawab, “Benar.” Allah Swt. berfirman, “Siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan amal perbuatan mereka di dunia dan mereka di dunia ini tak akan dirugikan. Mereka itulah yang tidak akan memperoleh apa-apa di akhirat kecuali neraka. Dan gugurlah semua amal perbuatan mereka serta batallah apa yang mereka kerjakan” (Q.S. Hud: 15-16).

Allah Swt. menjanjikan neraka bagimu karena engkau menginginkan dunia. Segala sesuatu yang tak menyertaimu setelah mati, adalah termasuk dunia. Apakah engkau telah membersihkan diri dan keinginan dan cinta pada dunia? Seandainya ada seorang dokter Nasrani yang memastikan bahwa engkau akan mati atau sakit jika memenuhi nafsu syahwat yang paling menggiurkan, niscaya engkau akan takut dan menghindarinya. Apakah dokter Nasrani itu lebih engkau percayai ketimbang Allah Swt.? Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau apakah menurutmu penyakit itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian, betapa bodohnya engkau ini! Engkau membenarkan tapi tak mau mengambil pelajaran. Bahkan engkau terus saja condong kepada dunia. Lalu aku datangi diriku dan kuberikan padanya juru nasihat yang diam (kematian). Kukatakan, “Pemberi nasihat yang berbicara (Alquran) telah memberitahukan tentang pemberi nasihat yang diam (kematian), yakni ketika Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kematian yang kalian hindari akan menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam gaib. Lalu Dia akan memberitahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian kerjakan’ (Q.S. al-Jumuah: 8).” Kukatakan padanya, “Engkau telah condong pada dunia. Tidakkah engkau percaya bahwa kematian pasti akan mendatangimu? Kematian tersebut akan memutuskan semua yang kau punyai dan akan merampas semua yang kau senangi. Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat dekat, sedangkan yang jauh adalah yang tidak pernah datang. Allah Swt. berfirman, ‘Bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun? Kemudian datang pada mereka siksa yang telah dijanjikan untuk mereka? Tidak berguna bagi mereka apa yang telah mereka nikmati itu.’ (Q.S. asySyuara: 205-206).”

Jiwa yang merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia dikeluarkan darinya. Sementara jiwa yang lawwamah (sering mencela) akan terus memegang dunia sampai ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih. Lantas ia berkata, “Engkau benar.” Itu hanya ucapan belaka tapi tidak diwujudkan. Karena, ia tak mau berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk akhirat sebagaimana ia merancang dunianya. Ia juga tak mau berusaha mencari rida Allah Swt. sebagaimana ia mencari rida dunia. Bahkan, tidak sebagaimana ia mencari rida manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada seorang manusia. Ia tak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat sebagaimana ia menyiapkan segala sesuatu untuk menghadapi musim kemarau. Ia begitu gelisah ketika berada di awal musim dingin manakala belum selesai mengumpulkan perlengkapan yang ia butuhkan untuknya, padahal kematian barangkali akan menjemputnya sebelum musim dingin itu tiba. Kukatakan padanya, “Bukankah engkau bersiap-siap menghadapi musim kemarau sesuai dengan lama waktunya lalu engkau membuat perlengkapan musim kemarau sesuai dengan kadar ketahanan-mu menghadapi panas?” Ia menjawab: “Benar.” “Kalau begitu”, kataku, “Bermaksiatlah kepada Allah sesuai dengan kadar ketahananmu menghadapi neraka dan bersiap-siaplah untuk akhirat sesuai dengan kadar lamamu tinggal di sana.” Ia menjawab, “Ini merupakan kewajiban yang tak mungkin diabaikan kecuali oleh seorang yang dungu.” Ia terus dengan tabiatnya itu. Aku seperti yang disebutkan oleh para ahli hikmat, “Ada segolongan manusia yang separuh dirinya telah mati dan separuhnya lagi tak tercegah.”

Aku termasuk di antara mereka. Ketika aku melihat diriku keras kepala dengan perbuatan yang melampaui batas tanpa mau mengambil manfaat dari nasihat kematian dan Alquran, maka yang paling utama harus dilakukan adalah mencari sebabnya disertai pengakuan yang tulus. Hal itu merupakan sesuatu yang menakjubkan. Aku terus-menerus mencari hingga aku menemukan sebabnya. Ternyata aku terlalu tenang. Oleh karena itu berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit kronis dan sebab utama yang membuat manusia tertipu dan lupa.Yaitu, keyakinan bahwa maut masih lama. Seandainya ada orang jujur yang memberikan kabar pada seseorang di siang hari bahwa ia akan mati pada malam nanti atau ia akan mati seminggu atau sebulan lagi, niscaya ia akan istikamah berada di jalan yang lurus dan pastilah ia meninggalkan segala sesuatu yang ia anggap akan menipunya dan tidak mengarah pada Allah SWT.

Jelaslah bahwa siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa mendapati waktu sore, atau sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu berharap bisa mendapati waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda amalnya. Ia hanya bisa berjalan dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati orang itu dan diriku juga dengan nasihat yang diberikan Rasullah saw ketika beliau bersabda,”Salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah (dengan dunia).” Beliau telah diberi kemampuan berbicara dengan ucapan yang singkat, padat, dan tegas. Itulah nasihat yang berguna.

Siapa yang menyadari dalam setiap salatnya bahwa salat yang ia kerjakan merupakan salat terakhir, maka hatinya akan khusyuk dan dengan mudah ia bisa mempersiapkan diri sesudahnya. Tapi, siapa yang tak bisa melakukan hal itu, ia senantiasa akan lalai, tertipu, dan selalu menunda-nunda hingga kematian tiba. Hingga, pada akhirnya ia menyesal karena waktu telah tiada.

Aku harap ia memohonkan kepada Allah agar aku diberi kedudukan tersebut karena aku ingin meraihnya tapi tak mampu. Aku juga mewasiatkan padanya agar hanya rida dengannya dan berhati-hati terhadap berbagai tipuan yang ada. Tipuan jiwa hanya bisa diketahui oleh mereka yang cendekia.

-------

Berikut hikmah intisari dari tulisan tersebut:

“Merindukan derajat tinggi dalam iman dan amal adalah hal mulia, meskipun belum mampu mencapainya. Maka mohonlah doa dari orang yang telah mencapainya, agar Allah memberimu jalan menuju ke sana. Sementara itu, tetaplah ridha dengan Allah dan waspadalah terhadap tipuan jiwa—karena hanya hati yang bersih dan akal yang tajam mampu mengenalinya.”

-------

Judul Buku: Menasihati Diri – Jalan Menuju Hidayah

Kata Pengantar

Penjelasan niat dan tujuan penulisan buku

Pentingnya nasihat untuk diri sendiri

Ungkapan rendah hati penulis terhadap nasihat

---

Bab 1: Hakikat Nasihat dan Kelayakan Memberikannya

Perbandingan antara nasihat dan zakat (konsep nisab nasihat)

Kelayakan memberi nasihat: apakah diri sudah menerima dan mengamalkannya?

Kutipan wahyu Allah kepada Nabi Isa a.s.

Tambahan:

Hadis: “Agama adalah nasihat…” (HR. Muslim)

Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani: pentingnya kejujuran pada diri sendiri sebelum berbicara pada orang lain

Relevansi di Indonesia: banyak tokoh publik yang memberi nasihat tapi kurang memberi teladan

---

Bab 2: Dua Pemberi Nasihat Agung: Al-Qur’an dan Kematian

Tafsir makna Al-Qur’an sebagai pemberi nasihat yang berbicara

Tafsir kematian sebagai pemberi nasihat yang diam

Interaksi jiwa dengan kedua nasihat ini

Tambahan:

Ayat Al-Qur’an: Q.S. Hud: 15–16 dan al-Jumu‘ah: 8

Hadis: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (maut).” (HR. Tirmidzi)

Nasihat Ibnu ‘Athaillah: "Sebaik-baik teman duduk adalah orang yang ucapannya mengingatkanmu kepada Allah dan perbuatannya membimbingmu kepada akhirat."

Cerita Inspiratif: seorang pemuda yang berubah total setelah mendengar berita kematian sahabatnya

---

Bab 3: Tipuan Dunia dan Penyakit Menunda-Nunda

Dunia dan godaannya

Perbandingan keyakinan terhadap dokter dengan firman Allah

Penyakit utama: merasa kematian masih lama

Tambahan:

Ayat: Q.S. Asy-Syu‘ara: 205–207

Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani: “Jangan tertipu oleh kelapangan dunia, sebab itu hanya ujian bagi orang-orang lalai.”

Konteks Indonesia: budaya “nanti dulu” dalam ibadah, penundaan taubat

---

Bab 4: Mempersiapkan Akhirat Seperti Musim Kemarau

Kegelisahan dalam menghadapi musim, tapi lalai terhadap akhirat

Tanggapan akal vs kenyataan perbuatan

Tambahan:

Analogi yang tajam dan mudah dicerna santri

Nasihat Ibnu ‘Athaillah: “Bagaimana bisa engkau berharap Allah membuka tirai bagimu, sedang engkau belum membersihkan diri dari kelalaianmu?”

Cerita Nyata: petani sederhana yang selalu menyisihkan hasil panennya untuk sedekah sebagai bekal akhirat

---

Bab 5: Salat Seperti Orang yang Akan Berpisah

Makna hadis: “Salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah.”

Salat sebagai pelatihan kesiapan mati

Orang yang sadar salat terakhir akan sungguh-sungguh dalam amalnya

Tambahan:

Hadis: “Salatlah seperti salat orang yang akan mati.” (HR. Ibnu Majah)

Nasihat Syekh Abdul Qadir: “Salat tanpa kehadiran hati hanyalah gerakan tubuh.”

Cerita Lampiran: kisah lelaki tua yang selalu menangis sebelum salat, karena menganggap itu salat terakhirnya

---

Bab 6: Menyadari Kelemahan Diri dan Berharap pada Rahmat Allah

Pengakuan kelemahan diri, kekerasan hati

Solusi: jujur dan berharap penuh kepada Allah

Wasiat agar berhati-hati dari tipuan nafsu

Tambahan:

Ayat: “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Q.S. Shad: 26)

Nasihat Ibnu ‘Athaillah: “Musuh terbesarmu adalah nafsumu. Jangan terlalu cepat menyalahkan setan.”

Relevansi di Indonesia: budaya instan, kebutuhan membangun kesadaran batin sejak dini (pondasi pendidikan ruhani)

---

Bab 7: Refleksi, Doa, dan Harapan

Harapan agar dapat mencapai derajat orang-orang istiqamah

Doa dan permohonan agar diberi kemampuan menasihati diri

Wasiat terakhir: rida kepada Allah dan waspada terhadap tipuan dunia

---

Lampiran Cerita dan Kisah Inspiratif

Kisah pemuda yang menyesali penundaan taubatnya

Kisah wanita shalihah yang menghabiskan waktunya dengan salat terakhir

Kisah santri yang berubah karena satu ayat dan satu jenazah

---



Tiga Tanda Orang Munafik.

 Judul Buku: Tiga Tanda Orang Munafik

---

1. Hadis dalam Tulisan Arab

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ" (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

---

2. Bacaan Latin

Qāla Rasūlullāh shallallāhu 'alaihi wasallam: "Āyatu al-munāfiqi tsalātsun: idzā ḥaddatsa kadhaba, wa idzā wa'ada akhlafa, wa idzā u'tumina khāna." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

---

3. Terjemahan Hadis

Rasulullah SAW bersabda: "Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila diberi amanat ia berkhianat."

---

4. Hikmah Hadis

Munafik adalah sifat yang sangat berbahaya bagi individu maupun masyarakat.

Tiga sifat ini menggambarkan rusaknya integritas dan kepercayaan.

Islam menekankan kejujuran, amanah, dan komitmen sebagai inti akhlak.

---

5. Tafsir Hadis

Munafik secara bahasa berarti orang yang menyembunyikan sesuatu yang bertentangan dengan yang ditampakkan. Dalam konteks ini, Nabi menjelaskan ciri-ciri yang bisa dikenali secara lahiriah:

Berdusta: Merusak kebenaran dan membentuk fitnah.

Ingkar janji: Menurunkan kepercayaan sosial dan membahayakan hubungan antar manusia.

Berhianat terhadap amanah: Mengkhianati kepercayaan adalah dosa besar yang dapat merusak umat.

---

6. Hadis-Hadis Terkait

"Empat sifat, barang siapa ada padanya maka ia adalah munafik murni, dan barang siapa terdapat salah satunya, maka ia memiliki salah satu sifat munafik hingga ia meninggalkannya..." (HR. Muslim)

---

7. Ayat Al-Qur'an yang Berkaitan

QS. Al-Baqarah: 8-10: "Di antara manusia ada yang berkata, 'Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir,' padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman."

QS. Al-Munafiqun: 1: "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, 'Kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkau benar-benar Rasul Allah.' Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta."

---

8. Relevansi di Indonesia Saat Ini

Sering kita temui pemimpin atau tokoh yang tidak menepati janji kampanye.

Praktik korupsi menunjukkan banyaknya pengkhianatan terhadap amanah rakyat.

Masyarakat harus waspada dan kembali kepada nilai-nilai kejujuran, amanah, dan kesetiaan terhadap janji.

---

9. Nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani

"Orang munafik itu manis lidahnya tapi busuk hatinya. Jangan tertipu oleh perkataan, tapi lihat amal dan istiqamahnya."

"Jangan engkau sembunyikan kekafiran dalam pakaian takwa, karena Allah Maha Melihat isi hatimu."

---

10. Nasihat Ibnu 'Athaillah as-Sakandari

"Janganlah engkau menjadi orang yang tampak baik di hadapan manusia, tapi buruk di hadapan Allah. Itulah hakikat nifaq."


"Sifat munafik adalah penyakit hati. Obatnya adalah jujur, memenuhi janji, dan menjaga amanah, meski sulit dan menyakitkan."

---

Penutup:

Buku ini menjadi pengingat untuk kita semua bahwa menjaga hati dan akhlak adalah bagian penting dari keimanan. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat munafik dan menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang jujur dan amanah.




Buku tentang hadis “Tanda Orang Munafik” telah selesai dibuat dan bisa dikembangkan lebih lanjut jika Anda menginginkan tambahan isi seperti ilustrasi, cerita hikmah, atau pengantar dari tokoh. Silakan beri tahu jika ingin dibuat versi cetak, e-book, atau format lainnya.