Friday, November 26, 2010

BBenarkah Banyak Keringat Pertanda Sakit Jantung?

Benarkah Banyak Keringat Pertanda Sakit Jantung?

M ungkin saja, Bu-Pak, karena keluarnya banyak keringat bisa merupakan gejala penyakit kronis. Tapi, tak usah panik dulu. Bila tak disertai gejala lain, bisa saja itu memang sudah bawaannya sejak bayi.

Sering, kan, kita jumpai anak yang kepala atau telapak tangannya selalu berkeringat. Sampai-sampai si anak mengadu pada orang tuanya dengan kesal karena setiap kali menulis atau memegang sesuatu, telapak tangannya berkeringat. Habis dilap, keringat akan mengucur kembali.

Bahkan, ada anak yang tetap berkeringat meski berada di ruangan ber-AC. Akibatnya, orang tua terpancing dan menduga anaknya masih kepanasan, sehingga AC-nya dibuat lebih dingin dengan harapan anaknya enggak berkeringat lagi. Tapi, ternyata anak tetap berkeringat.

Nah, kebanyakan orang tua lantas menjadi cemas, "Jangan-jangan anak saya terkena penyakit jantung." Bukankah salah satu gejala penyakit jantung adalah penderita mengeluarkan banyak keringat?

DISERTAI GEJALA LAIN

Memang, seperti diakui Dr. Najib Advani, Sp.AK, MMed. Paed., keluarnya banyak keringat bisa merupakan gejala penyakit kronis, seperti TBC, Malaria, atau gagal jantung. "Tapi jangan dibalik, lo. Bukan banyak keringat yang mengakibatkan penyakit jantung, misalnya," tukas spesialis anak Konsultan Ahli Jantung Anak Bagian Kesehatan Anak FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta ini.

Keluarnya banyak keringat juga bisa ditemukan pada anak yang memang punya kecenderungan untuk alergi (atopi). Selain itu, tumor pada kelenjar adrenalin juga bisa menyebabkan banyaknya keringat yang keluar. "Tapi ini biasanya disertai dengan gelisah dan tekanan darah tinggi," tutur Najib. Anak dengan obesitas juga sering banyak mengeluarkan keringat, "karena lapisan lemaknya tebal, sehingga ia merasa panas terus," lanjutnya.

Penghentian pemakaian obat-obat tertentu, seperti obat penenang, juga bisa membuat anak berkeringat. "Kalau pemberian obat dihentikan, anak jadi gelisah. Akibatnya, keringat bercucuran." Kondisi lain, karena hipoglikemi (kadar gula darah dalam tubuh menurun), kondisi hipertiroid (kelebihan hormon tiroid), kekurangan vitamin B6, atau karena intoksikasi (keracunan) salisilat. "Salisilat adalah salah satu obat penurun panas. Jika dosis yang diberikan berlebih akan membuat anak banyak berkeringat."

Dengan demikian, kita patut curiga bila si kecil mengeluarkan banyak keringat disertai gejala-gejala lain, atau sebelumnya tak pernah berkeringat dan tiba-tiba di usia 2 tahun ia mengeluarkan banyak keringat dibarengi gejala-gejala lain.

Misalnya, anak banyak berkeringat dibarengi sesak napas, mungkin merupakan penyakit jantung. Atau, bayi yang enggak kuat menyusu; saat menyusu sebentar-sebentar berhenti dan berkeringat. "Kita harus curiga dan segera membawanya ke dokter untuk evaluasi lebih lanjut," tukas Najib.

KONDISI YANG NORMAL

Jadi, Bu-Pak, jangan keburu cemas dulu, apalagi sampai panik bila si kecil mengeluarkan banyak keringat. Kalau memang tak ada gejala lain yang menyertainya, berarti banyaknya keringat yang dikeluarkan merupakan kondisi normal yang sering dijumpai pada anak. Terlebih lagi, kata Najib, pada kebanyakan kasus, banyaknya keringat yang keluar bukan lantaran penyakit atau kelainan tertentu. "Bisa saja memang bawaan anak begitu, sejak bayi memang sudah banyak atau gampang berkeringat."

Ada beberapa kondisi yang bisa membuat anak banyak berkeringat. Diantaranya, emosi. Misalnya, stres. "Ini bisa menyebabkan keringat yang keluar bertambah." terang Najib. Kondisi lain, mungkin pakaian yang dikenakannya terlalu tebal. Apalagi bila gerakan-gerakan fisiknya juga bisa membuat ia gampang berkeringat. "Anak yang sedang demam atau baru sembuh dari demam pun akan mudah berkeringat," tambah Najib.

Disamping itu, suhu lingkungan yang tinggi. Bukankah jika suhu lingkungan tinggi, maka suhu tubuh pun akan terpengaruh? Sehingga, secara mekanisme alamiah, keluarlah keringat. Jadi, normal, kan? Justru dengan keluarnya keringat, suhu tubuh akan turun. Badan pun jadi dingin karena keringat yang keluar akan menguap dan mengambil panas dari kulit.

Oh ya, spicy food atau makanan yang berbumbu, seperti lada atau cabe, juga akan semakin merangsang pengeluaran keringat. Enggak usah pada anak, kita saja yang dewasa jika mengkonsumsi makanan dengan kandungan lada atau cabe juga akan berkeringat lebih banyak dari biasanya. Iya, kan?

KURANGI FAKTOR PENCETUSNYA

Nah, sekarang udah lebih tenang, kan, Bu-Pak? Saran Najib, Ibu-Bapak tak perlu berprasangka yang bukan-bukan selama si kecil pertumbuhannya bagus dan enggak ada gejala-gejala lain yang menyertainya. Apalagi biasanya, semakin besar anak, kondisi ini juga akan semakin menghilang, kok.

Memang ada obat-obatan yang bisa mengurangi pengeluaran keringat untuk sementara waktu. "Tapi, begitu pemakaian obat dihentikan, anak akan kembali berkeringat. Jadi, kita memang enggak anjurkan. Masalahnya, sampai kapan kita harus memberinya obat," tutur Najib.

Yang perlu diperhatikan justru mengurangi faktor-faktor pencetus banyaknya pengeluaran keringat. Misalnya, kalau sudah tahu si anak lebih mudah berkeringat, ya, jangan memakaikan baju tebal-tebal di siang hari bolong. Apalagi saat anaknya sedang beraktivitas di luar rumah. "Sebaiknya gunakan bahan yang menyerap keringat." Kemudian, hindari makanan pencetus, seperti yang mengandung lada dan cabe.

Pada anak obesitas, dianjurkan untuk mengurangi berat badan atau paling tidak pertambahan berat badannya dikurangi. Misalnya, diet; banyak makan sayur dan buah-buahan, hindari makanan yang berlemak dan berkabohidrat tinggi.

Pasti, deh, sekarang Bapak-Ibu sudah enggak khawatir lagi. Iya, kan?

Protein dan Energi Mendukung Kecerdasan

Protein dan Energi Mendukung Kecerdasan

M enciptakan anak cerdas ibarat membangun sebuah rumah. Gizi merupakan bangunan dasarnya.

Seperti kita ketahui, gizi merupakan salah satu faktor pendukung kecerdasan, khususnya pertumbuhan otak. Itulah mengapa, anak harus diberikan makanan bergizi. Bukan hanya setelah ia lahir, tapi juga sejak di kandungan. Terlebih lagi, masa kritis pertumbuhan otak terjadi sejak kehamilan trimester ketiga sampai 18 bulan sesudah lahir.

Jadi, bila ibu hamil kekurangan gizi pasti akan mempengaruhi tumbuh kembang janinnya. "Bila kekurangan timbul pada masa kritis, biasanya tak bisa di-chash-up atau dikoreksi lagi," ujar Dr. dr. Sri Rahayuningsih, M.Sc. Artinya, keadaan ini tak bisa lagi diperbaiki dengan pemberian gizi setelah kelahiran. Soalnya, jumlah sel otak setelah kelahiran tak bisa berkembang lagi.

"Jadi, kecerdasannya hanya sebatas ukuran sejak di kandungan," tandas Sekretaris Program Studi Ilmu Gizi (Pasca Sarjana) FKUI ini. Sebaliknya, bila anak lahir dari ibu yang gizinya baik selama hamil, maka kecerdasannya pun akan juga baik. "Nah, kondisi tersebut harus terus dipertahankan, karena gizi yang sudah baik akan berguna bagi perkembangan taraf kecerdasannya," tutur Sri. Kalau tidak, maka kecerdasannya pun tak akan berkembang optimal.

Nah, salah satu zat gizi yang penting bagi pertumbuhan otak dan perkembangan kecerdasan ialah protein dan energi. Sebagaimana dijelaskan Nurfi Afriansyah, SKM pada kesempatan terpisah, "bila kebutuhan energi dan protein ibu hamil tak terpenuhi, maka pertambahan jumlah neuron (sel otak) janin yang dikandungnya akan terganggu atau terhenti, sehingga ukuran kepala dan otak janin secara proporsional menjadi lebih kecil daripada ukuran tubuhnya."

Memang, aku Nurfi, ukuran otak bukan satu-satunya indikator kecerdasan, namun banyak bukti menunjukkan, kecerdasan yang rendah dan fungsi otak yang kurang ada kaitannya dengan otak yang berukuran kecil. Jadi, Bu-Pak, jangan abaikan protein dan energi, ya, baik selama ibu hamil maupun sesudah kelahiran.

PROTEIN HEWANI DAN NABATI

Menurut Sri, baik protein hewani maupun nabati, sama bagusnya untuk perkembangan kecerdasan anak. Karena, terangnya, "begitu protein diserap ke dalam tubuh akan diolah menjadi asam amino, yang merupakan bahan baku protein. Nanti, asam amino ini juga akan diolah lagi menjadi protein yang dibutuhkan oleh tubuh."

Hanya memang, lanjut Sri, protein hewani memiliki struktur sel yang lebih mudah dicerna oleh tubuh, sehingga sisanya sedikit dan komposisi asam amino makanan sumber protein hewani lebih lengkap. "Kalau protein nabati, sulit dicerna karena pada struktur selnya ada selulosanya dan asam aminonya juga kurang."

Bukan berarti protein nabati kalah "pamor" dari protein hewani, lo. Bedanya hanya terletak pada lengkap-tidaknya asam amino dan mudah-tidaknya dicerna protein tersebut. Protein hewani banyak terdapat dalam daging-dagingan, telur, ikan, hati, dan sebagainya. Khusus telur, terang Sri, hanya putihnya yang mengandung protein, sedangkan kuningnya mengandung vitamin dan ada lemaknya.

Akan halnya protein nabati banyak ditemukan pada kacang kedelai dan makanan olahan dari kacang kedelai seperti tempe, tahu, oncom; kacang-kacangan seperti kacang hijau, kacang merah, kacang polong, kacang tanah; jagung; beras; dan gandum. Makanan sumber protein ini sudah bisa diperkenalkan sejak bayi.

Susu, misalnya, didalamnya juga terkandung protein hewani. Jadi, kalau bayi sejak lahir sudah mengkonsumsi susu formula, maka ia sama saja telah mendapatkan protein hewani. Sedangkan anak yang sudah masanya mendapatkan makanan pendamping/tambahan, protein hewani bisa dikonsumsi dari nasi timnya yang ditambah lauk ikan, hati, telur, atau daging.

Tapi, saran Nurfi, bagi anak yang mengalami rawan gizi, sebaiknya mengkonsumsi protein hewani Bila didapati kasus anak alergi makanan tertentu yang merupakan sumber protein, misalnya, alergi pada susu yang proteinnya disebut whey atau kasein, maka bisa diberikan bahan lain seperti susu kedelai. Begitupun bila anak alergi telur, ya, diganti saja dengan daging, ikan, atau hati, dan lainnya. Jadi, pandai-pandainya orang tua saja menyiasatinya. Bahkan, sekalipun anak tak suka mengkonsumsi makanan sumber protein hewani, misalnya, tak masalah bila ia hanya mengkonsumi makanan sumber protein nabati.

Bukankah keduanya sama bagus? Adapun ukuran protein yang tepat untuk anak usia 0-5 tahun berkisar antara 12-32 gram. Namun begitu, menurut Sri, tak ada dampak negatifnya bila anak diberikan banyak makanan sumber protein asalkan jangan sampai berlebihan.

"Kalau berlebihan, akan membuat berat kerja ginjal sehingga bisa membahayakan kesehatannya," jelas staf pengajar program S1, S2, dan S3 FKUI ini. Terutama pada anak yang tubuhnya ada kelainan disebabkan faktor bawaan sejak lahir, sambung Nurfi, kelebihan protein akan memperberat kerja ginjal. "Tapi kasus ini jarang terjadi, kok," tukasnya. Yang lebih sering justru alergi tadi. "Inilah yang mesti diwaspadai orang tua," sambungnya.

ENERGI UNTUK TENAGA

Mengenai energi, terang Nurfi, merupakan hasil konversi (perubahan) dari karbohidrat, lemak, dan protein yang disebut zat energi makro. Nah, tiga zat energi makro, urutan pertama untuk diubah adalah karbohidrat, lemak dan yang paling akhir adalah protein. "Anak yang sedang tumbuh dan berkembang tentunya banyak memerlukan tenaga, kan? Misalnya, tenaga untuk bermain, belajar, juga tenaga pada saat tidur.

Nah, untuk aktivitas-aktivitas tersebut, anak memerlukan makanan yang mengandung energi tinggi." Kalau tidak, otomatis tenaganya akan berkurang sehingga akan mempengaruhi aktivitasnya. Misalnya, dia jadi tak bergairah untuk bermain. Padahal kita tahu, bermain sangat penting bagi anak. Karena lewat bermain, anak bisa mengembangkan rasa ingin tahunya, misalnya. Nah, kalau tenaganya kurang, anak pun tak berminat untuk bereksplorasi. Kalau ini terus berlangsung, lama-lama, kan, ia bisa jadi pasif. Akhirnya, kecerdasannya pun tak berkembang. Iya, kan?

"Umumnya, makanan sumber energi tinggi sebagai penunjang aktivitas anak lebih difokuskan pada makanan sumber karbohidrat," lanjut Nurfi. Misalnya, biskuit, mi, roti, dan bihun yang terbuat dari tepung-tepungan; nasi atau bubur; dan umbi-umbian seperti kentang serta ketela. "Nah, biasanya anak suka susah makan nasi, justru lauknya yang lebih mudah masuk. Pintar-pintarnya si ibu mengolah dan menyajikannya untuk anak. Misalnya, dibuat arem-arem yang di dalamnya diisi lauk, atau bentuk penyajiannya yang dibuat lucu dan menarik, sehingga anak pun tergoda untuk memakannya."

PENTING STIMULASI

Nah, Bu-Pak, sekarang sudah lebih paham, kan, zat gizi apa saja yang diperlukan untuk kecerdasan dan terdapat dalam makanan apa saja zat gizi tersebut. Bukan berarti zat-zat gizi lainnya enggak penting, lo, semisal vitamin A, seng, zat besi, dan yodium. Sumber vitamin A bisa didapat pada hati, telur, susu mentega atau pada sayuran pro-vitamin A seperti bayam, wortel, pepaya, kangkung dan lain-lain.

Untuk zat besi, bisa didapat dari makanan berprotein hewani tinggi seperti daging-dagingan, hati, telur. Sedangkan seng, sumber utamanya terdapat pada makanan laut seperti tiram atau juga pada telur. Akan halnya yodium, terdapat pada ikan, rumput laut dan lain-lain.

Yang perlu diingat, kecerdasan merupakan proses panjang dan berkesinambungan. Bukan hanya pertumbuhan otak saja, tapi juga pertumbuhan organ-organ tubuh lainnya yang berkembang terus. Itulah mengapa, para ahli selalu menganjurkan, anak harus diberikan makanan dengan gizi seimbang. Namun begitu, kecerdasan bukan hanya dipengaruhi oleh faktor gizi semata. Sebagaimana kita ketahui, tumbuh kembang seorang anak ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. "Faktor lingkungan memiliki kontribusi terhadap proses tumbuh kembang manusia sekitar 60 persen," ujar Nurfi. Sisanya dikontribusi oleh faktor keturunan.

Itulah mengapa, seorang pemusik, misalnya, akan memiliki anak yang suatu saat mengikuti jejaknya menjadi pemusik juga. "Selain karena ada faktor keturunan, faktor lingkungan juga membentuk anak tersebut," lanjut peneliti pusat Litbang Gizi Depkes, Bogor, ini. Nah, gizi termasuk faktor lingkungan. Namun masih ada lagi dari lingkungan yang harus menjadi perhatian orang tua, yaitu pemberian stimulus sejak lahir. Ibarat bikin rumah, kata Sri, gizi adalah bangunan dasarnya, sedangkan stimulus merupakan kelengkapan yang mengisi rumah.

"Kalau bangunan dasarnya baik, tapi pengisiannya enggak baik, misalnya, anak enggak sekolah atau kurang pergaulan, ya, tentu kecerdasannya juga kurang." Jadi, Bu-Pak, bila si kecil lahir dari orang tua yang cerdas, berarti ia potensial untuk cerdas. Tapi jika ia hanya diberi makanan bergizi dan orang tua kurang atau malah sama sekali tak mengembangkan potensi tersebut, ya, jangan harap si kecil nanti akan secerdas ayah-ibunya. Begitu, lo.