Saturday, March 8, 2025

Tanda orang munafik

Tanda orang munafik ada tiga: Apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari dan apabila diberi amanat Ia berkhianat. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah).

Hadis ini mengandung pelajaran mendalam dalam perspektif tasawuf, terutama terkait dengan penyucian hati (tazkiyatun nafs), kejujuran dalam spiritualitas, serta hubungan antara lisan, hati, dan amal. Dalam tasawuf, kemunafikan bukan hanya perkara zahir, tetapi juga penyakit batin yang merusak hubungan seseorang dengan Allah dan sesama manusia.


1. Kemunafikan dalam Tasawuf: Penyakit Hati yang Berbahaya

Dalam tasawuf, munafik tidak hanya berarti seseorang yang berpura-pura beriman, tetapi juga mereka yang memiliki hati yang bercabang—di satu sisi mengaku taat, tetapi di sisi lain hatinya penuh dengan kebohongan, pengkhianatan, dan ketidakjujuran.

Para sufi mengajarkan bahwa hakikat iman adalah keselarasan antara hati, lisan, dan perbuatan. Jika seseorang berkata baik tetapi hatinya busuk, ia termasuk dalam sifat kemunafikan.

Tasawuf mengajarkan:
“Munafik adalah orang yang hatinya gelap, karena cahaya Allah tidak menembus kebohongan dalam dirinya.”


2. “Apabila Berbicara, Ia Berdusta”

Dalam tasawuf, kejujuran (shidq) adalah fondasi utama dalam perjalanan menuju Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Hendaklah kalian selalu berkata jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga." (HR. Muslim).

  • Dusta adalah hijab antara hati dan Allah
    Para sufi meyakini bahwa orang yang terbiasa berdusta akan kehilangan nur keimanan dalam hatinya. Dusta bukan hanya ucapan yang salah, tetapi juga mencerminkan ketidaktulusan hati.

  • Orang yang berdusta kehilangan hakikat ilmu dan ma’rifat
    Imam Al-Ghazali mengatakan dalam Ihya’ Ulumuddin, bahwa lidah adalah cermin hati. Jika seseorang berdusta, itu menunjukkan hatinya tidak bersih dan penuh dengan kepalsuan.

Tasawuf mengajarkan:
“Orang yang berkata dusta telah menutup hatinya dari cahaya Allah, dan tidak akan menemukan ketenangan dalam ibadahnya.”


3. “Apabila Berjanji, Ia Mengingkari”

Dalam tasawuf, memenuhi janji adalah tanda keikhlasan dan ketakwaan. Para wali Allah selalu menjaga janjinya karena mereka memahami bahwa janji bukan sekadar kata-kata, tetapi ikatan spiritual yang harus ditepati.

  • Ingkar janji adalah tanda hati yang tidak istiqamah
    Orang yang sering mengingkari janji menunjukkan bahwa hatinya tidak memiliki keteguhan dan ketulusan. Dalam tasawuf, ini adalah tanda kelemahan iman dan kurangnya keyakinan kepada Allah.

  • Mengingkari janji adalah bentuk kedustaan batin
    Para sufi mengajarkan bahwa kehidupan ini sendiri adalah janji kepada Allah. Manusia telah berjanji kepada Allah sebelum lahir dalam peristiwa "Alastu bi Rabbikum?" (Bukankah Aku Tuhanmu?)” (QS. Al-A’raf: 172). Mengingkari janji di dunia mencerminkan kelalaian terhadap janji utama ini.

Tasawuf mengajarkan:
“Orang yang mengingkari janji telah kehilangan sifat tawakal dan ridha kepada Allah.”


4. “Apabila Diberi Amanat, Ia Berkhianat”

Amanat bukan hanya sekadar barang titipan, tetapi juga mencakup kepercayaan, ilmu, jabatan, dan tugas yang diberikan Allah kepada manusia.

  • Kehidupan ini sendiri adalah amanah dari Allah
    Dalam tasawuf, segala sesuatu yang diberikan Allah kepada manusia adalah amanah, termasuk ilmu, harta, bahkan napas yang kita hirup. Orang yang mengkhianati amanah berarti tidak memahami hakikat kehambaannya.

  • Pengkhianatan adalah bukti hati yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah
    Para sufi selalu menekankan bahwa khianat muncul dari hati yang penuh dengan cinta dunia dan hawa nafsu. Orang yang berkhianat lebih takut kepada manusia daripada Allah, sehingga ia merasa aman dalam kezaliman.

Tasawuf mengajarkan:
“Orang yang berkhianat telah mencabut kepercayaan Allah dari hatinya, dan tidak akan merasakan ketenangan dalam hidupnya.”


5. Penyembuhan Kemunafikan dalam Tasawuf

Tasawuf memberikan solusi untuk menghindari sifat-sifat munafik dengan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan mujahadah (perjuangan melawan nafsu).

Perbaiki kejujuran hati dengan dzikrullah dan introspeksi diri (muhasabah).
Jaga janji kepada Allah dengan selalu meluruskan niat dan menjaga amanah.
Jangan khianat terhadap kepercayaan dengan selalu ingat bahwa Allah Maha Melihat.

Dalam tasawuf, seseorang yang ingin mencapai derajat wali (kekasih Allah) harus membersihkan dirinya dari segala bentuk kemunafikan.

Tasawuf mengajarkan:
“Hati yang bersih adalah hati yang jujur, memenuhi janji, dan menjaga amanah. Hati yang kotor adalah hati yang berdusta, ingkar, dan berkhianat.”


Kesimpulan

Hadis ini memberikan pelajaran penting bahwa tanda-tanda kemunafikan bukan hanya pada lisan, tetapi juga pada hati dan amal.

Berdusta → Menutup hati dari cahaya Allah.
Ingkar janji → Menunjukkan kelemahan iman.
Berkhianat → Menghancurkan kepercayaan dan hubungan dengan Allah.

Dalam tasawuf, penyucian hati adalah kunci untuk menjauhi kemunafikan, karena kemunafikan bukan hanya dosa lahiriah, tetapi penyakit batin yang membutakan hati dari mengenal Allah.

Orang jujur akan mendapat nur Allah.
Orang yang menepati janji akan diberi keteguhan iman.
Orang yang menjaga amanah akan dilindungi Allah dari kebinasaan.

Hadis ini mengajarkan bahwa jalan menuju Allah harus bersih dari sifat-sifat munafik. Oleh karena itu, seorang sufi sejati selalu berusaha menjaga hatinya agar tetap jujur, amanah, dan setia pada janji kepada Allah.

Rusaknya Agama

Rusaknya agama disebabkan oleh tiga hal: Ulama yang berbuat maksiat, imam (pemimpin) yang zalim dan mujtahid yang bodoh. (Hadits riwayat Ad-Dailami dari ibnu Abbas).

Hadis ini memiliki makna mendalam dalam perspektif tasawuf, terutama terkait dengan kerusakan agama akibat penyimpangan dari tiga elemen penting dalam kehidupan umat: ulama, pemimpin, dan mujtahid. Dalam tasawuf, agama bukan hanya soal syariat lahiriah, tetapi juga batiniah, yang sangat dipengaruhi oleh kesucian hati, akhlak, dan kedalaman ilmu seseorang.


1. Ulama yang Berbuat Maksiat

Dalam tasawuf, ulama adalah pewaris para nabi, bukan hanya dalam aspek ilmu, tetapi juga dalam akhlak dan spiritualitas. Ulama yang berbuat maksiat akan merusak agama karena beberapa alasan:

  • Ilmunya tidak berbuah hikmah dan amal
    Ilmu yang tidak diamalkan adalah hujjah atas dirinya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam hadis:
    "Orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah seorang alim yang Allah tidak memberikan manfaat dari ilmunya." (HR. al-Baihaqi).

  • Menjadi fitnah bagi umat
    Ulama yang fasik akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada agama. Dalam tasawuf, ulama harus menjadi qudwah (teladan) dalam kebersihan hati dan ketaatan kepada Allah, bukan hanya dalam ilmu zahir.

  • Menyebarkan ilmu tanpa hakikatnya
    Ulama sufi selalu mengajarkan bahwa ilmu bukan sekadar hafalan, tetapi harus dibarengi tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ulama yang berbuat maksiat menunjukkan bahwa ilmunya belum menyentuh hatinya.

Tasawuf mengajarkan:
Ilmu tanpa amal adalah hijab tebal antara seorang alim dan Allah.


2. Pemimpin yang Zalim

Dalam tasawuf, pemimpin yang zalim adalah penyebab utama kerusakan sosial dan kezaliman di masyarakat. Sebab, pemimpin bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, baik secara lahiriah maupun batiniah.

  • Zalim karena mencintai dunia
    Pemimpin yang terlalu mencintai dunia akan melupakan tanggung jawabnya sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam tasawuf, cinta dunia (hubbud dunya) adalah sumber segala penyakit hati, termasuk kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

  • Menjadi penyebab kefasikan di tengah umat
    Ketika pemimpin zalim, masyarakat akan menganggap kezaliman sebagai hal biasa. Ini berbahaya karena akan merusak moral dan akhlak umat.

  • Menjauhkan rakyat dari spiritualitas
    Pemimpin yang zalim cenderung mematikan kehidupan spiritual masyarakat dengan berbagai cara, seperti menekan ulama yang haq, menyebarkan materialisme, dan melemahkan nilai-nilai agama.

Tasawuf mengajarkan:
Pemimpin yang adil adalah bayangan Allah di bumi. Sebaliknya, pemimpin yang zalim adalah kutukan bagi umat.


3. Mujtahid yang Bodoh

Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad dalam memahami hukum-hukum agama. Jika seorang mujtahid bodoh, maka ia akan menjadi sumber kesesatan bagi umat.

  • Berfatwa tanpa ilmu yang mendalam
    Dalam tasawuf, ilmu harus bersumber dari hati yang bersih dan hubungan yang kuat dengan Allah. Mujtahid yang bodoh akan berfatwa berdasarkan hawa nafsu, bukan nur ilmu.

  • Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal
    Jika seorang mujtahid bodoh, ia bisa salah dalam menetapkan hukum, sehingga umat tersesat. Para sufi selalu menekankan bahwa hakikat ilmu bukan hanya pada teks, tetapi juga pemahaman yang mendalam terhadap ruh syariat.

  • Menyesatkan umat dengan dalih agama
    Mujtahid bodoh sering kali memaksakan pendapatnya tanpa dasar yang kuat. Dalam tasawuf, ilmu harus didasarkan pada cahaya hati, bukan sekadar nalar tanpa hikmah.

Tasawuf mengajarkan:
Orang yang paling berbahaya adalah mereka yang merasa berilmu tetapi tidak memiliki cahaya dari Allah.


Kesimpulan

Hadis ini memberikan peringatan keras bahwa agama akan rusak jika:

Ulama tidak berakhlak → Ilmu tanpa amal akan menjadi fitnah bagi umat.
Pemimpin tidak adil → Kezaliman akan merusak spiritualitas dan moral masyarakat.
Mujtahid bodoh → Kesesatan akan menyebar karena salah memahami agama.

Dalam tasawuf, solusi dari kerusakan ini adalah kembali kepada pembersihan hati (tazkiyatun nafs), pengamalan ilmu dengan ikhlas, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan dzikir dan akhlak yang baik.

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan dengan hati yang bersih.
Pemimpin yang baik adalah yang menegakkan keadilan sebagai bentuk ibadah kepada Allah.
Mujtahid yang benar adalah yang memiliki ilmu, kebijaksanaan, dan hati yang dekat dengan Allah.

Dengan menerapkan prinsip tasawuf ini, agama akan tetap terjaga dari kerusakan dan umat akan tetap berada di jalan yang lurus.

Jangan Lupa dan Sia Sia

 Penyakit ilmu adalah lupa dan penyia-nyiaannya ialah bila engkau menyampaikannya kepada orang yang bukan ahlinya. (Hadits riwayat ibnu Abi Syaibah).

Hadis ini memiliki makna mendalam dalam perspektif tasawuf, terutama terkait dengan hakikat ilmu, adab dalam menuntut dan menyampaikan ilmu, serta penjagaan ilmu dari penyia-nyiaan.


1. Ilmu sebagai Cahaya dan Amanah

Dalam tasawuf, ilmu bukan hanya sekadar pengetahuan, tetapi juga cahaya (nur) yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa ilmu sejati adalah ilmu yang membawa seseorang kepada ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah).

  • Lupa sebagai Penyakit Ilmu
    Dalam tasawuf, lupa bukan hanya sekadar kehilangan ingatan, tetapi bisa juga terjadi karena kurangnya amal dan ketidaksucian hati. Hati yang dikuasai oleh dunia, hawa nafsu, dan kelalaian akan membuat seseorang mudah lupa terhadap ilmu yang pernah ia pelajari. Oleh karena itu, para sufi selalu berusaha membersihkan hati dengan dzikrullah, karena dzikir adalah sarana menjaga ilmu dalam hati.

  • Menyia-nyiakan Ilmu
    Ilmu yang tidak diamalkan akan hilang, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an:
    "Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal..." (QS. Al-Jumu’ah: 5).
    Dalam tasawuf, ilmu bukan hanya untuk dipelajari, tetapi harus diamalkan dan dijaga adabnya.


2. Ilmu Harus Disampaikan kepada Ahlinya

Hadis ini juga mengajarkan pentingnya menjaga ilmu dari orang yang tidak berhak menerimanya. Dalam tasawuf, ada konsep sir (rahasia spiritual) yang hanya diberikan kepada orang-orang yang benar-benar siap menerimanya.

  • Ilmu Laduni dan Hikmah Batin
    Para sufi meyakini bahwa ilmu bukan hanya berbentuk teks, tetapi juga ilmu laduni—ilmu yang Allah ilhamkan ke dalam hati orang-orang pilihan. Ilmu ini tidak bisa diajarkan kepada sembarang orang, karena dikhawatirkan akan disalahgunakan atau justru menyesatkan orang yang belum siap menerimanya.
    Contoh: Imam Ali pernah berkata, "Aku memiliki banyak ilmu, namun aku khawatir bila aku menyampaikannya kepada orang yang tidak memahami, maka mereka akan mendustakan aku."

  • Adab dalam Menyampaikan Ilmu
    Dalam tasawuf, ilmu harus diajarkan dengan penuh hikmah dan adab. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, "Ilmu itu seperti makanan, ia harus diberikan sesuai kadar kebutuhan orang yang menerimanya."
    Jika ilmu disampaikan kepada orang yang tidak layak, bisa jadi malah menimbulkan kesombongan, kesesatan, atau perdebatan yang sia-sia.


3. Penyakit Ilmu dalam Tasawuf

Dalam dunia tasawuf, ilmu bisa menjadi penyakit bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa penyakit ilmu yang dijelaskan dalam tasawuf adalah:

  1. Lupa Ilmu karena Tidak Diamalkan
    Imam al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu yang tidak diamalkan akan menghilang dari hati, sebagaimana air yang dibiarkan akan menguap.

  2. Menuntut Ilmu untuk Kesombongan
    Ilmu yang tidak diiringi dengan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dapat menjadikan seseorang sombong dan merasa lebih tinggi dari orang lain.

  3. Menyampaikan Ilmu kepada Orang yang Tidak Berhak
    Ini bisa menyebabkan kesalahpahaman, penyalahgunaan, atau bahkan penghinaan terhadap ilmu. Para sufi selalu selektif dalam menyampaikan ilmu, terutama ilmu yang berkaitan dengan hakikat dan makrifat.


4. Kesimpulan

Hadis ini memberikan pelajaran penting dalam tasawuf:

Ilmu harus dijaga dengan amal dan dzikir, agar tidak mudah dilupakan.
Ilmu adalah amanah, sehingga tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak berhak atau belum siap menerimanya.
Ilmu harus dibarengi dengan adab, agar tidak menimbulkan kesombongan atau kesesatan.
Ilmu sejati adalah yang membawa seseorang semakin dekat kepada Allah, bukan sekadar wawasan intelektual semata.

Dalam tasawuf, ilmu bukan hanya tentang mengenal sesuatu, tetapi tentang mengenal Allah (ma’rifatullah) dan membawa hati menuju kebersihan serta ketundukan kepada-Nya.

Berbuatlah kebaikan dan jauhilah perbuatan buruk

Berbuatlah kebaikan dan jauhilah perbuatan buruk. Lihatlah perkataan apa yang engkau senang mendengarnya dari orang-orang kepadamu ketika engkau pergi dari tempat mereka, maka lakukanlah hal itu. Dan lihatlah perkataan yang engkau tidak suka orang-orang mengatakannya kepadamu ketika engkau pergi dari tempat mereka, maka jauhilah hal itu. (Hadits riwayat al-jama’ah).

Hadis ini memberikan pedoman etika sosial yang sangat mendalam, terutama dalam perspektif tasawuf. Berikut adalah tafsir tasawufnya:

1. Konsep Ihsan dalam Akhlak

Dalam tasawuf, tujuan utama seorang salik (pejalan spiritual) adalah mencapai ihsan, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya. Ihsan juga mencakup kebaikan dalam muamalah dengan sesama manusia. Hadis ini mengajarkan kita untuk selalu menempatkan diri dalam posisi orang lain:

  • Jika kita senang diperlakukan dengan baik, maka kita harus berbuat baik kepada orang lain.
  • Jika kita tidak suka menerima perkataan atau perlakuan buruk, maka jangan melakukannya kepada orang lain.

Ini selaras dengan konsep tasfiyah (pensucian hati) dalam tasawuf, karena orang yang senantiasa menjaga akhlaknya dari menyakiti orang lain akan lebih mudah mencapai maqam spiritual yang tinggi.

2. Muhasabah dan Kesadaran Diri (Muraqabah)

Tasawuf menekankan pentingnya muhasabah (introspeksi) dan muraqabah (kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi). Hadis ini mengajarkan cara mudah untuk menilai diri sendiri:

  • Evaluasi bagaimana kita ingin dikenang setelah meninggalkan suatu tempat.
  • Jika kita ingin dikenang dengan baik, kita harus berperilaku baik.
  • Jika kita tidak ingin dikenang dengan buruk, jauhilah keburukan.

Konsep ini berhubungan erat dengan ajaran tasawuf tentang tajalli sifat Allah dalam diri manusia—di mana seorang hamba yang berakhlak mulia mencerminkan sifat-sifat Allah seperti Rahman (Maha Pengasih) dan Latif (Maha Lembut).

3. Akhlak sebagai Cerminan Hati yang Bersih

Dalam tasawuf, akhlak seseorang adalah cerminan dari kondisi hatinya. Orang yang hatinya bersih akan otomatis berkata dan berbuat yang baik. Sebaliknya, orang yang hatinya penuh dengan penyakit batin (seperti hasad, sombong, dan dengki) cenderung berkata dan berbuat buruk. Hadis ini mendorong kita untuk selalu menjaga qalbun salim (hati yang bersih) dengan menjadikan kebaikan sebagai kebiasaan dan menjauhi keburukan.

4. Akhlak sebagai Jalan Menuju Ma’rifatullah

Dalam ajaran tasawuf, maqam tertinggi adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Salah satu jalannya adalah dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ. Hadis ini mencerminkan prinsip dasar akhlak Rasulullah yang terkenal dengan kesempurnaannya. Seorang sufi sejati tidak hanya mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah, tetapi juga melalui interaksi sosial yang baik.

Kesimpulan

Hadis ini adalah pedoman tasawuf praktis dalam kehidupan sehari-hari. Ia mengajarkan:

  • Berbuat baik sebagai refleksi dari hati yang bersih.
  • Muhasabah diri untuk meningkatkan kualitas spiritual.
  • Muraqabah agar selalu sadar bahwa Allah mengawasi setiap perbuatan kita.
  • Menjaga akhlak sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai maqam ihsan.

Dengan mengamalkan hadis ini, seseorang tidak hanya menjadi manusia yang lebih baik, tetapi juga semakin dekat dengan hakikat spiritual dalam tasawuf.

Rasulullah Kunci Surga

 Tafsir tasawuf terhadap hadis ini :   Aku mendatangi pintu surga pada hari kiamat, lalu meminta dibukakan pintu. Maka penjaga surga berkata: Siapa engkau? Aku menjawab: Muhammad. Maka ia berkata: “Dengan sebabmu-lah aku diperintah agar aku tidak membukanya untuk seseorangpun sebelummu”. (Hadits riwayat Ahmad dari Anas).

 menyoroti makna batiniah (esoteris) dari keutamaan Rasulullah ﷺ sebagai pembuka pintu rahmat dan hakikat tertinggi dalam perjalanan spiritual.

1. Rasulullah sebagai Kunci Surga dan Hakikat Insan Kamil

Dalam perspektif tasawuf, Rasulullah ﷺ adalah "Insan Kamil" (manusia sempurna) dan nur pertama yang diciptakan oleh Allah. Hadis ini menunjukkan bahwa pintu surga tidak akan terbuka kecuali oleh Rasulullah ﷺ, yang bermakna bahwa hanya melalui mengikuti jejak spiritual dan sunnah beliau, seseorang dapat mencapai kebahagiaan hakiki dan makrifatullah.

2. Surga sebagai Simbol Makrifat dan Hakikat Ilahi

Dalam tasawuf, surga sering dimaknai bukan hanya sebagai tempat fisik di akhirat, tetapi juga sebagai maqam kedekatan dengan Allah (qurb). Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ adalah pemimpin bagi para pencari kebenaran (salik), dan tanpa meneladani beliau, manusia tidak dapat mencapai tingkatan tertinggi dalam perjalanan ruhani.

3. Rahasia Perintah Allah kepada Penjaga Surga

Ucapan penjaga surga "Dengan sebabmu-lah aku diperintah agar aku tidak membukanya untuk seseorangpun sebelummu" menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ adalah pintu dan wasilah bagi umat manusia menuju Allah. Dalam perspektif tasawuf, ini mengisyaratkan bahwa ruh Muhammad adalah perantara utama dalam penyampaian cahaya Ilahi kepada seluruh makhluk.

4. Makna Spiritual dalam Kehidupan Seorang Sufi

Bagi seorang sufi, hadis ini mengandung pelajaran bahwa pintu-pintu kesempurnaan spiritual hanya bisa dibuka dengan mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ. Jalan menuju Allah tidak dapat ditempuh dengan hawa nafsu, tetapi harus dengan cinta kepada Nabi dan mengikuti sunnahnya dengan kesadaran ruhani yang mendalam.

Kesimpulan

Dalam tafsir tasawuf, hadis ini tidak hanya berbicara tentang kejadian di hari kiamat, tetapi juga merupakan simbol bahwa Rasulullah ﷺ adalah pintu rahmat dan kunci hakikat tertinggi. Setiap pencari Tuhan harus melewati jalan yang telah dibuka oleh Rasulullah ﷺ untuk mencapai kebahagiaan abadi, baik di dunia maupun di akhirat.

Setiap ibadah jika tidak diawali dengan bismillah

Mengucapkan Bismillah sebelum beribadah memang dianjurkan, tetapi tidak berarti tanpa Bismillah ibadah tersebut menjadi bukan ibadah.

Dalam Islam, yang paling utama dalam ibadah adalah niat yang ikhlas karena Allah. Sebagian ibadah memang dianjurkan atau bahkan diwajibkan untuk diawali dengan Bismillah, seperti sebelum wudhu, makan, atau menyembelih hewan. Namun, untuk ibadah lain seperti shalat, niat dalam hati sudah cukup, dan langsung memulai dengan takbiratul ihram tanpa harus mengucapkan Bismillah.

Jadi, ibadah tetap sah selama memenuhi syarat dan rukunnya, meskipun tanpa diawali dengan Bismillah, asalkan niatnya benar dan sesuai dengan tuntunan syariat.

Setiap ibadah jika tidak karena Allah itu menjadi bukan ibadah

Ibadah sejati harus dilakukan karena Allah semata. Dalam Islam, niat merupakan inti dari ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan..." (HR. Bukhari & Muslim).

Jika seseorang melakukan ibadah bukan karena Allah—misalnya untuk pamer (riya’) atau mencari pujian manusia—maka ibadah tersebut bisa menjadi tidak bernilai di sisi Allah, bahkan bisa termasuk syirik kecil. Allah berfirman:

"Maka barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan kebajikan dan janganlah ia mempersekutukan dalam beribadah kepada Tuhannya dengan sesuatu apa pun." (QS. Al-Kahfi: 110).

Jadi, ibadah yang tidak karena Allah bisa menjadi batal atau tidak diterima, tergantung sejauh mana penyimpangan niatnya.