Saturday, July 19, 2025

Memikirkan Keluarga adalah Pelebur Dosa.

 


Judul Buku: Memikirkan Keluarga adalah Pelebur Dosa.

Pengantar

Diriwayatkan dari Said bin Musayyab radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata:

Pada suatu hari, Ali bin Abi Tholib keluar dari rumahnya. Kemudian ia ditemui oleh Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu.

“Bagaimana kabarmu pagi hari ini? Wahai Abu Abdillah,” tanya Ali kepada Salman.

“Wahai Amirul Mukminin! Aku sedang merasakan 4 (empat) kesedihan,” jawab Salman.

“4 (empat) kesedihan apa itu?” tanya Ali.

“(1) Kesedihan memikirkan keluarga yang memerlukan makanan, (2) kesedihan dari Allah yang memerintahkanku bertaat,

(3) kesedihan dari setan yang merayu melakukan kemaksiatan, dan (4) kesedihan dari Malaikat Maut yang menuntut nyawaku,” jelas Salman.

Ali berkata, “Bahagialah! Wahai Abu Abdillah! Karena masing-masing kesedihan itu memiliki derajat bagimu karena pada suatu hari aku pernah menemui Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama dan beliau bertanya kepadaku, ‘Hai Ali! Bagaimana kabarmu pagi ini?’ Kemudian aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah! Aku sedang merasakan 4 (empat) kesedihan. Kesedihan karena di rumah tidak ada makanan kecuali hanya air dan aku mengkhawatirkan keluargaku, kesedihan tentang ketaatan kepada Allah, kesedihan tentang bagaimana nanti akhir hidupku (membawa keimanan atau tidak), dan kesedihan tentang Malaikat Maut.’ 

Kemudian Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama berkata, ‘Bahagialah! Hai Ali! Karena sedih memikirkan keluarga adalah pelindung dari api neraka. Kesedihan tentang ketaatan kepada Allah adalah kesejahteraan dari siksa. Kesedihan tentang akhir kehidupan adalah jihad dan lebih utama daripada ibadah selama 60 tahun. Dan kesedihan tentang Malaikat Maut adalah pelebur seluruh dosa. Ketahuilah! Hai Ali! Sesungguhnya rizki-rizki hamba adalah tanggungan Allah sedangkan kesedihanmu itu tidak akan memberikan mara bahaya atau manfaat bagimu tetapi kamu diberi pahala karenanya. Oleh karena itu, jadilah orang yang bersyukur, yang taat, yang bertawakkal maka kamu akan menjadi salah satu dari golongan kekasih-Nya.’ Kemudian aku bertanya, ‘Atas apa aku bersyukur kepada Allah?’ Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama menjawab, ‘Atas Islam’. Aku bertanya, ‘Dengan apa aku bertaat?’ Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama menjawab, ‘Ucapkanlah Laa Haula Walaa Quwwata Illa billahi al-‘Aliyyi al- ‘Adzim.’ Aku bertanya, ‘Apa yang harus aku tinggalkan?’ Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama menjawab, ‘Kemarahan. Karena meninggalkan kemarahan dapat meredam kemarahan Allah Yang Maha Agung, dapat memberatkan timbangan amal kebaikanmu dan dapat menuntunmu menuju surga.’

Salman berkata, “Semoga Allah menambahkan    kemuliaanmu. Wahai Ali! Karena aku sungguh bersedih memikirkan itu semua, terutama karena keluarga.”

Ali berkata, “Hai Salman al-Farisi! Aku mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Barang siapa tidak bersedih memikirkan tentang keluarga maka ia tidak memiliki bagian dari surga’.”

Salman berkata, “Benarkah? Padahal Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama pernah bersabda, ‘Orang yang memiliki tanggungan keluarga tidak akan bahagia selamanya’.”

Ali berkata, “Hai Salman! Bukan begitu maksudnya. Apabila pekerjaanmu itu halal maka kamu akan bahagia. Hai Salman! Surga itu merindukan orang-orang yang kuatir dan bersedih hati memikirkan hal yang halal.”



Pendahuluan

Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallama mengajarkan bahwa rasa sedih dan kepedulian terhadap keluarga bukanlah kelemahan, melainkan bentuk kemuliaan. Dalam percakapan antara Ali bin Abi Thalib dan Salman al-Farisi, kita menemukan nilai-nilai luhur yang mampu membentuk jiwa tangguh seorang mukmin. Buku ini mengupas tuntas pesan agung itu disertai dengan penjelasan mendalam, ayat-ayat Al-Qur’an, tafsir, serta nasihat para sufi besar.


Bab 1: Riwayat dan Makna Hadis

Diriwayatkan oleh Said bin Musayyab radhiyallahu ‘anhu:

Percakapan antara Ali bin Abi Thalib dan Salman al-Farisi mengandung empat jenis kesedihan:

  1. Kesedihan karena memikirkan keluarga.
  2. Kesedihan akan ketaatan kepada Allah.
  3. Kesedihan karena godaan setan.
  4. Kesedihan akan datangnya kematian.

Rasulullah SAW mengonfirmasi bahwa semua kesedihan itu adalah bentuk kebaikan dan jalan menuju surga.


Bab 2: Hakekat Kesedihan dan Kebaikan

Kesedihan bukanlah beban, tetapi cahaya yang menunjukkan kedekatan dengan Allah:

  • Memikirkan keluarga: tanda cinta dan tanggung jawab.
  • Risau akan akhir hidup: tanda iman.
  • Takut kepada kematian: tanda kesiapan ruhani.
  • Sedih karena taat: pertanda hati hidup.

Bab 3: Ayat Al-Qur’an yang Relevan

QS. Al-Baqarah: 286

"Laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaa..."

Latin: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."

Makna: Kesedihanmu dalam mencari nafkah untuk keluarga tidak akan sia-sia; Allah tahu batasmu dan memberi pahala atas usahamu.

Tafsir: Menurut Ibnu Katsir, ayat ini mengandung makna rahmat dan kemudahan dari Allah atas hamba-Nya.


Bab 4: Relevansi dengan Kehidupan Sekarang

Di era modern, tanggung jawab terhadap keluarga sering menjadi beban mental. Namun, Islam memuliakan mereka yang bersusah payah demi keluarga dengan niat yang ikhlas dan jalan yang halal. Setiap tetes keringatmu menjadi penghapus dosa.


Bab 5: Nasihat Para Tokoh Sufi

1. Hasan al-Bashri: “Kesedihan atas dunia yang tak bisa kau miliki adalah tanda bahwa hatimu masih punya cahaya. Tapi kesedihan karena keluargamu adalah tanda tanggung jawabmu.”

2. Rabi‘ah al-Adawiyah: “Cinta sejati kepada Allah tidak menafikan cinta kepada keluarga. Justru, cinta kepada keluarga adalah bagian dari bentuk syukur atas karunia-Nya.”

3. Abu Yazid al-Bistami: “Satu malam engkau bersedih karena lapar anakmu, lebih mulia dari seribu rakaat yang tidak penuh dengan cinta.”

4. Junaid al-Baghdadi: “Sufi bukan orang yang lari dari tanggung jawab, tapi yang menyucikan tanggung jawab itu dengan ikhlas dan sabar.”

5. Al-Hallaj: “Aku mencintai Tuhan dalam keluargaku. Di sana aku temukan kesempurnaan ujian.”

6. Abu Hamid al-Ghazali: “Ujian harta dan keluarga adalah ladang muhasabah. Mereka yang lulus bukan yang lari dari dunia, tetapi yang menjadikan dunia sebagai jalan menuju Allah.”

7. Abdul Qadir al-Jailani: “Orang yang memikirkan keluarganya dengan hati yang takut pada Allah, maka ia sedang memurnikan niat dan melebur dosa-dosanya.”

8. Jalaluddin Rumi: “Kesedihan adalah pintu. Dan dalam tanggung jawabmu terhadap keluargamu, Allah mengetuk pintu itu.”

9. Ibnu ‘Arabi: “Segala wujud cinta dalam dunia adalah bayangan dari Cinta Ilahi. Termasuk cintamu pada keluargamu.”

10. Ahmad al-Tijani: “Setiap sedih yang mendorongmu kepada doa adalah rahmat. Maka jika kau menangis untuk keluargamu, Allah sedang memelukmu.”


Bab 6: Penutup dan Doa

Wahai para ayah, ibu, suami, istri, anak, dan kepala keluarga: tangismu karena keluarga bukan kelemahan. Ia adalah syarat surga. Kesedihanmu adalah pahala. Jangan tinggalkan jalan halal, karena di situlah kemuliaanmu.

Doa: “Allahumma inni a’udzu bika min hammi wa hazan, wa a’udzu bika min ‘ajzi wa kasal...”

(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan yang menenggelamkan dan kelemahan yang melumpuhkan...)


Tentang Penulis: Djoko Ekasanu — seorang pembelajar kehidupan, yang menggabungkan nilai-nilai Islam klasik dengan semangat zaman.

Selesai

------

Siap! Berikut versi ngobrol santai, gaul, dan kekinian dari isi buku “Memikirkan Keluarga adalah Pelebur Dosa”. Bisa dipakai buat ceramah ringan, konten media sosial, atau pengantar diskusi anak muda di pengajian:


πŸ“˜ Judul: “Sedih Karena Keluarga? Tenang, Itu Tiket ke Surga”


[Pembuka Ngobrol]

Bro, Sis...

Pernah nggak sih ngerasa sesek banget mikirin keluarga?

Misalnya: duit pas-pasan, anak butuh makan, istri minta pulsa (halah), tapi dompet udah tinggal harapan. Terus lo malah overthinking: “Ya Allah, gimana nasib anak-istri gue nanti?”

Lah, itu ternyata... nggak sia-sia loh! πŸ₯Ή


[Ngobrol Bareng Sayyidina Ali & Salman al-Farisi]

Jadi gini ceritanya...

Suatu pagi, Sayyidina Ali r.a. ketemu sahabat kece, Salman al-Farisi r.a.

Ali nanya:

“Gimana kabarmu pagi ini, Bro?”

Salman jawab:

“Aduh, lagi sedih berat nih... ada empat hal yang bikin hati gue remuk.”

Ali:

“Empat?! Seriusan? Apa aja tuh?”

Salman:

  1. Sedih mikirin keluarga yang butuh makan.
  2. Sedih karena takut nggak taat sama Allah.
  3. Sedih digoda setan terus buat maksiat.
  4. Sedih mikirin Malaikat Maut, takut nggak siap kalau mati.

Terus Ali bilang,

“Bro! Chill! Gue juga pernah ngeluh gitu ke Rasulullah ο·Ί. Tapi tahu nggak lo? Kata Rasulullah, justru itu semua... pahala gede banget!


[Makna di Balik Sedihnya Lo]

🎯 Sedih mikirin keluarga ➝ itu bikin lo dijauhkan dari neraka.
🎯 Sedih mikirin ketaatan ➝ itu jalan aman dari siksa.
🎯 Sedih mikirin akhir hidup ➝ itu jihad yang lebih berat dari ibadah 60 tahun!
🎯 Sedih mikirin kematian ➝ itu penghapus semua dosa lo, Bro!


[Pesan Rasulullah ο·Ί buat Kita Semua]

“Rezeki itu udah dijamin sama Allah. Yang penting lo tetap jadi orang yang bersyukur, taat, dan tawakkal. Lo bakal masuk list VIP kekasih-Nya Allah.”

Dan kalau lo nanya:
🟑 “Ya Rasul, apa yang harus gue syukuri?”
πŸ‘‰ “Islam, Bro.”

🟑 “Apa bentuk ketaatan terbaik?”
πŸ‘‰ “Ucapin: Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billah.”

🟑 “Apa yang harus gue hindari?”
πŸ‘‰ “Marah. Karena marah bisa bikin Allah marah juga.”


[Ending: Curhatan Salman yang Ngena Banget]

Salman bilang:

“Gue paling sedih karena keluarga.”

Ali jawab:

“Justru itu tanda lo punya bagian di surga! Karena... siapa yang cuek sama keluarganya, gak layak buat surga.”

Tapi Salman bingung,

“Lho, bukannya Rasulullah pernah bilang, orang yang punya tanggungan keluarga itu gak bakal bahagia?”

Ali klarifikasi:

“Iya, kalau dia kerja haram. Tapi kalau dia kerja halal, ikhlas, penuh cinta... dia bakal bahagia dunia akhirat.”


πŸ’‘ Quote of the Day:

“Surga itu rindu sama orang-orang yang mikirin keluarganya lewat jalan halal.” — Ali bin Abi Thalib


[Ngaji Sufi Style - Bonus Petuah Gaul dari Para Guru Besar]

πŸ”Ή Rabi‘ah al-Adawiyah:

“Cinta ke Allah gak bertentangan sama cinta ke keluarga. Justru itu bagian dari rasa syukur.”

πŸ”Ή Hasan al-Bashri:

“Kalau lo masih bisa sedih karena keluarga, itu tanda hatimu belum mati.”

πŸ”Ή Jalaluddin Rumi:

“Sedihmu adalah panggilan dari Allah. Dia mau lo lebih deket.”

πŸ”Ή Syekh Abdul Qadir al-Jailani:

“Keluarga itu ujian. Tapi kalau lo sabar, Allah kasih bonus: surga.”

πŸ”Ή Ibnu ‘Arabi:

“Cinta duniawi yang murni, kayak ke anak dan istri, itu refleksi cinta Ilahi.”


[Penutup Gaul]

Jadi bro/sis...

Next time lo merasa berat, capek mikirin kebutuhan rumah, jangan minder. Itu bukan aib. Itu bukan kelemahan.
Itu adalah... ibadah yang diam-diam bikin lo naik derajat!

πŸ”₯ Tetap semangat cari nafkah halal.
πŸ”₯ Tetap tawakkal.
πŸ”₯ Jangan lupa sholat, zikir, dan bersyukur.
πŸ”₯ Jangan marah, biar Allah juga gak marah.


Dokumen berjudul "Memikirkan Keluarga adalah Pelebur Dosa" sudah selesai dibuat. Buku ini memuat kisah inspiratif Sayyidina Ali dan Salman al-Farisi, lengkap dengan penjelasan hadis, ayat Al-Qur’an, tafsir, relevansi masa kini, serta nasihat dari 10 tokoh sufi besar.

-----


No comments: