Sunday, December 12, 2010

Mengetik Bantu Anak Autis Berkomunikasi

Mengetik Bantu Anak Autis Berkomunikasi

Email Cetak PDF

Merry Wahyuningsih - detikHealth

London, Anak autis biasanya akan sulit mengekspresikan diri dan berkomunikasi dengan dunia luar. Dengan merangsang inderanya, memungkinkan anak autis untuk dapat berkomunikasi, salah satunya dengan mengajarinya mengetik.

Ponsonby Jamie adalah anak autis asal London yang tidak dapat berbicara dan selama bertahun-tahun ia terjebak dalam dunianya sendiri. Keluarga kemudian mengajarkannya mengetik.

Kini bocah berusia 13 tahun ini tak hanya bisa mengekspresikan diri, tetapi juga mampu menulis puisi.

"Cara ini akhirnya dapat membuat kami berkomunikasi dengan Jamie dan memahaminya dengan lebih baik," ujar Serena, ibundan Jamie, seperti dilansir dari BBC, Rabu (23/6/2010).

Serena mengungkapkan dengan terapi ini ia mengetahui bahwa putranya sangat tertarik dengan bola dan memiliki selera humor. Jamie juga mampu membuat puisi yang indah, perasaan dan emosinya terkesan normal bahkan di atas rata-rata anak seusianya.

Metode yang disebut facilitated intervention pertama kali diperkenalkan di Australia pada 1970-an, yang mana seseorang mendukung tangan klien, pergelangan tangan atau lengan, sementara orang lain membantu menggunakan komunikator untuk menggambarkan kata-kata, frase, atau kalimat.

Richard Mills, direktur riset Autism Research, mengatakan bahwa kasus-kasus seperti Jamie relatif tidak biasa. Mills juga mengungkapkan bahwa terapi ini sangat kontroversial saat ditinjau secara independen. Tapi dia mengatakan, mengetik secara independen tidak bekerja pada beberapa anak autis.

"Kita tahu bahwa penyandang autism sering membutuhkan waktu proses yang lebih lama. Mereka perlu hal-hal dalam bentuk visual, jadi mengetik dengan menggunakan keyboard cenderung lebih baik," jelas Mills.

Serena yang menyadari bahwa anaknya menyandang autis sejak usia 18 bulan mengatakan bahwa meskipun Jamie mengetik dengan lambat, sekitar 2 minggu untuk mengetik puisi, tapi itu merupakan perkembangan yang cepat baginya.

"Kami mengajarinya mengetik pada usia 9 tahun setelah saya membaca sebuah buku. Setelah beberapa tahun ia mulai membaca tanda-tanda dan kami melihat bahwa Jamie bisa membaca. Kami juga mulai mengajukan pertanyaan dan ia akan mengetik segala hal yang ia tahu," jelas Serena.




(mer/ir)

Merkuri dalam Vaksin Tidak Menyebabkan Autis

Merkuri dalam Vaksin Tidak Menyebabkan Autis

Email Cetak PDF
Vera Farah Bararah - detikHealth
New York, Beberapa vaksin untuk anak-anak diketahui mengandung thimerosal yang diduga dapat menyebabkan autis. Tapi studi terbaru menunjukkan bahwa thimerosal tidak terbukti meningkatkan risiko autis.

Thimerosal adalah salah satu bahan pengawet yang berbasis merkuri dan sampai saat ini masih banyak ditemukan dalam vaksin. Dan studi ini menunjukkan bahwa anak-anak yang terpapar thimerosal melalui vaksin atau ibunya menerima vaksin saat hamil tidak mengembangkan autisme.

"Penelitian ini seharusnya dapat meyakinkan orangtua untuk tetap mengikuti jadwal imunisasi yang sudah direkomendasikan," ujar Dr Frank Destefano, direktur Immunization Safety Office, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Atlanta, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (14/9/2010).

Keprihatinan mengenai kaitan antara vaksin dan autisme pertama kali muncul lebih dari satu dekade lalu oleh seorang dokter di Inggris, yaitu Andrew Wakefield. Namun hasil penelitiannya hingga kini masih menjadi perdebatan oleh para ilmuwan di seluruh dunia.

Hingga kini belum ada bukti ilmiah yang bisa menunjukkan hal tersebut, dan hasil ini justru akan menakut-nakuti para orangtua dan membuatnya menghidari vaksin yang seharusnya dianjurkan untuk anaknya.

Sebagian besar ilmuwan menganggap gangguan perkembangan autisme kemungkinan dipengaruhi oleh faktor gen. Gangguan spektrum autisme berkisar dari sindrom Asperger ringan hingga keterbelakangan mental parah.

Dan ketika seorang anak terpapar thimerosal sebelum kelahiran atau setelah anak tersebut lahir, tidak ada peningkatan risiko dari setiap jenis gangguan spektrum autisme.

Dr Michael J Smith, seorang dokter anak dari University of Louisville School of Medicine di Kentucky menuturkan angka autisme akan terus mengalami kenaikan meskipun thimerosal telah dihapus dari beberapa vaksin untuk anak-anak.

"Ini merupakan studi yang sangat menyakinkan, data ini menunjukkan bahwa Anda bisa menerima vaksin thimerosal dan tidak peduli dengan hal tersebut. Karena tidak ada bukti yang dapat dipercaya mengenai hubungan antara vaksin dan autisme," ujar Dr Michael J Smith.

Mampukah Anak Autis Belajar di Sekolah Umum?

Mampukah Anak Autis Belajar di Sekolah Umum?

Email Cetak PDF

Merry Wahyuningsih - detikHealth

Jakarta, Desakan agar anak autis dibolehkan menempuh pendidikan di sekolah umum terus muncul. Bagaimana peluang anak autis bisa belajar di sekolah umum?

Psikolog Tri Gunadi, OT, S.Psi, S.Ked dari Yayasan Medical Exercise Therapy mengakui memang tidak semua anak autis mampu sekolah di sekolah umum. Karena kalau dipaksakan pun dengan alasan agar tidak ada diskriminasi justru si anak autis yang akan kesulitan mengikutinya.

Menurutnya, ada beberapa syarat jika orangtua anak autis ingin menyekolahkan anaknya di sekolah umum. Syarat-syarat tersebut adalah:

  1. Komunikasi klasikal (verbal atau non verbal)
  2. Gangguan perilaku sudah hilang, seperti temper tantrum (suka marah dan mengamuk), berteriak-teriak dan lainnya.
  3. Gangguan emosi sudah tidak ada lagi
  4. Tidak mendistraksi atau terdistraksi anak yang lain, dengan kata lain si anak sudah bisa berkontrasi
  5. Memiliki kemampuan akademis

Nah, jika anak autis belum bisa memenuhi syarat-syarat tersebut sekolah inklusi atau kebutuhan khusus menjadi jalan keluarnya.

"Sekolah inklusi memang menjadi jalan terbaik untuk anak autis yang kondisinya belum stabil," ujar Tri dalam acara Autism & Friends: Talent & Artwork Showcase di Senayan City yang diadakan London School of Public Relation, Jakarta, Jumat (30/7/2010).

Sekolah inklusi merupakan sekolah dengan sistem, guru, kurikulum adaptasi dan fasilitas sekolah yang memadai dan disesuaikan bagi anak autis.

Sekolah inklusi hanya mewajibkan 3 syarat teratas (komunikasi klasikal, perilaku dan emosi) dari 5 syarat untuk sekolah umum.

Namun bukan berarti anak autis tidak bisa bersekolah di sekolah umum. Dengan rajin melakukan terapi terlebih dahulu biasanya anak autis bisa menguasai 5 syarat di atas.

Selain syarat untuk sekolah, terapi juga wajib bagi anak autis karena bila tidak di terapi yang tumbuh hanya fisiknya, tapi perkembangan tidak terjadi (komunikasi, bahasa, emosi, perilaku, sensorik dan lainnya).

Anak autism idealnya mempunyai 3 terapis yang berbeda (termasuk orangtua) untuk sarana generalisasi agar lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya.

Terapi ini harus dipantau oleh ahlinya, dilaksanakan secara simultan dan kontinu baik di tempat terapi, rumah dan lingkungan sehari-hari.



(mer/ir)

Kaspar, Robot Teman Anak Autis

Kaspar, Robot Teman Anak Autis

Email Cetak PDF

Febrina Ayu Scottiati - detikinet

Jakarta - Mengajak anak autis bermain atau belajar bisa menjadi hal yang menyenangkan
bersama robot Kaspar asal Jepang. Kaspar, alias Kinesis and Synchronisation in Personal Assistant Robots adalah sebuah robot humanoid dalam wujud anak kecil yang digunakan di Jepang untuk membantu anak-anak autis.

Kaspar yang dikembangkan di Universitas Hertfordshire, Inggris ini memiliki
wajah dengan ekspresi minimal agar tidak terlalu mengagetkan para murid
autisnya. Namun ia akan membalas ekspresi anak-anak seperti senang, kaget maupun wajah biasa saja.

Seperti dikutip detikINET dari Cnet, Jumat (27/8/2010), Penggarapan Kaspar menghabiskan dana sebesar USD 2.500 atau sekitar Rp 22,4 juta. Menurut tim pencipta robot, biaya ini sudah ditekan seminimal mungkin agar kedepannya mudah dilakukan penelitan lanjutan.

Kaspar memiliki sedikit motor sehingga hanya mampu mensimulasikan gerakan sederhana ketika sedang berkomunikasi. Ia hanya bisa menggerakkan bagian kepala, leher, lengan dan tangan, mengedip sekaligus merekam video dan mulutnya pun bisa terbuka kemudian tersenyum.

Pada bagian luar tubuh Kaspar dibungkus manekin anak yang ditambah silikon kulit robot yang berfungsi membalut sensor sehingga robot bisa membedakan anak setiap kali disentuh.

Kaspar yang merupakan bagian dari proyek penelitian terapi robot untuk anak autis ini biasanya duduk di meja dengan kaki bersila sama seperti ketika anak-anak lain sedang duduk. Kaspar bahkan mampu menggerakan tangan dan wajah untuk bermain 'Ciluk Ba'.

Anak-anak autis sengaja dirangsang untuk menyentuh Kaspar agar bisa meningkatkan kesadaran diri serta mengurangi isolasi pada anak yang mengalami autis berat. ( feb / rns )

Hormon Cinta untuk Gejala Autisme

TEMPO Interaktif, Washington - Sebuah penelitian dari Lyon Perancis menyebutkan sebuah hormon cinta yang mengikat ibu dan anak dimungkinkan untuk menolong orang dewasa dengan Autisme.

Penelitian dilakukan oleh Angela Sirigu dari Pusat Ilmu Syaraf Cognitive dan timnya. Sebanyak 13 orang dewasa, 11 diantaranya laki-laki yang mempunyai gangguan perilaku autis diteliti dalam dua eksperimen. Sebelumnya mereka tidak diberikan pengobatan selama dua minggu dan diawasi kesehatannya secara setara.


Menurut periset kepada Journal Proceeding Akademi Science Nasional mereka menemukan pasien yang menghirup hormon oxytocin memperhatikan dan berekspresi ketika melihat gambar wajah dan lebih seperti mengerti isyarat sosial pada sebuah simulasi permainan.

"Jika oxytocin diatur lebih awal ketika diagnosis dibuat, kami mungkin dapat mengubah lebih awal gangguan pengembangan sosial dari pasien autis," ujar Sirigu.

Sirigu mengatakan studi difokuskan pada oxytocin karena telah dikenal menolong ikatan ibu dan bayi mereka saat menyusui. Juga karena penelitian lebih awal menunjukkan bahwa anak-anak dengan autisme mempunyai tingkat hormon yang rendah. Orang dengan sindrom Asperger dan gangguan spektruk autis lainnya sering mempunyai masalah dengan interaktsi sosial.

Perempuan ini juga mengatakan Oxytocin dapat menolong pasien autis yang memiliki fungsi intelektual normal dan kemampuan bahasa yang lumayan baik karena kemajuan kontak mata.

"Kontak mata dapat dipertimbangkan sebagai langkah awal dari pendekatan sosial," ujarnya, Tetapi orang dengan autisme sering terganggu melihat lainnya.

"Dalam studi kami menunjukkan bahwa oxytocin mempertinggi waktu kontak mata lebih lama melihat pada mata," ujarnya lagi.

Dia mengatakan hormon juga memperbaiki kemampuan pasien autisme untuk memahami bagaimana orang lain merespon mereka. Mereka dapat mempelajari respon yang cocok pada perilaku yang lain pula.

Para peneliti melihat pasien merespon lontaran bola dalam permainan virtual untuk mengukur perubahan perilaku. Dalam percobaan terpisah, tim Sirigu mengukur bagaimana pasien merespon ekspresi wajah ketika melihat gambar dari wajah manusia.

Mengembangkan Kelebihan Anak Autis

TEMPO Interaktif, Jakarta: Kini Adihutama Wirasatya, 9 tahun, sudah mahir memainkan gamelan. Bahkan ia sudah bisa mencari nada sendiri dari alat musik tradisional itu. Kemudian murid kelas III Sekolah Dasar Negeri I, Ngemplak, Klaten, ini memiliki pemahaman konsep abstrak yang tidak kalah dengan teman sebayanya. Padahal tidak banyak yang bisa dikerjakan Wira--panggilannya--saat usianya beranjak lima tahun. Kala itu bocah laki-laki ini cuma bisa mengamuk dan menangis. Dia tidak bisa duduk tenang, berbicara, bahkan kesulitan untuk buang air besar.

"Yang jelas, saraf motorik kasar dan halusnya tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya," ujar sang bunda, Lucy Catherine Isabella, 38 tahun, kepada Tempo saat dihubungi melalui telepon selulernya kemarin. Menurut Lucy, pada usia 18 bulan, Wira divonis dokter telah mengidap gangguan spektrum autistik.

Nah, pasca-vonis itu, Lucy mencoba beragam pilihan pengobatan demi anaknya. Awalnya, dokter menawari operasi anus buatan di perut Wira sebagai solusi kesulitan buang air besarnya. Padahal semua organ pencernaannya normal dan asupan seratnya pun tinggi. Karena itu, Lucy memutuskan tidak menuruti tindakan medis tersebut. Selain dokter, alumnus Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada 1996 ini mencoba terapi psikiater untuk membantu kemampuan bicara dan pengendalian emosi Wira. Tapi hasilnya, si kecil tidak mengalami kemajuan berarti.

Hingga suatu kali, saat Wira berusia 5,5 tahun, Lucy tertarik mendatangi Arogya Mitra Akupuntur, yang terletak di Dukuh Ngemplak, Kalikotes, Klaten, Jawa Tengah. "Ternyata hasilnya luar biasa," Lucy mengungkapkan. Baru dua bulan terapi tusuk jarum oleh Eko Tunggono, anaknya sudah mengeluarkan suara. Kemajuan pun terus diraihnya. Memasuki bulan keenam, Wira bisa bicara layaknya anak normal. "Buang air besarnya juga sudah bisa secara alami," mantan wartawati media harian di Ibu Kota ini memaparkan.

Seiring terapi, Lucy menjelaskan, dia selalu menumbuhkan persepsi positif terhadap anaknya. Ia pun selalu mengembangkan diri agar bisa memahami anaknya dengan baik. Yang terpenting, ia yakin kepada segala kemungkinan terbaik dan tidak pernah menyerah. Walhasil, kini Wira tumbuh menjadi anak sehat secara fisik maupun mental. Dan sebagai apresiasinya terhadap Eko Tunggono, Lucy menulis buku berjudul Dari Pulau Buru Menjadi Penyelamat Anak-anak Autis Hiperaktif pada Maret lalu. Apalagi di Klinik Arogya Mitra, Eko berusaha keras untuk mengembangkan kemampuan anak autis dan hiperaktif.

Sebetulnya, tidak cuma Lucy yang menghadapi problematika seperti ini. Masih banyak orang tua lain yang mencari solusi demi penyembuhan anak mereka sebagai pengidap autistik. Satu di antaranya adalah presenter televisi, Muhammad Farhan, 39 tahun. Anak pertamanya, Muhammad Ridzky Khalid, 10 tahun, divonis dokter mengidap autistik pada usia 18 bulan.

Sejak itu, bagi Farhan, yang terpenting adalah memberi pendidikan mengenai aturan dasar bagi Ridzky. "Paling tidak dia tahu norma dan sopan santun yang sudah berlaku umum," katanya saat ditemui seusai acara peduli autisme sedunia di Graha Sucofindo, Jakarta, Kamis pekan lalu, misalnya, seperti cara membersihkan diri setelah dari kamar mandi, memakai pakaian, dan cara makan yang benar. "Kan tidak mungkin saat usianya 20 tahun, (dia masih) dicebokin bapaknya."

Kemudian suami Nani Rubiyani ini selalu menumbuhkan sifat percaya diri kepada anaknya. Caranya dengan membawa Ridzky ke tempat-tempat umum, seperti pusat perbelanjaan. "Ada beberapa orang tua malu membawa anaknya ke luar rumah. Bahkan sampai ada yang disembunyikan," katanya. Hal itu semakin membuat si anak terasing dari lingkungannya. Selain itu, dia tidak membebani target bagi si kecil harus bisa apa dalam beberapa bulan setelah sekolah. Ridzky sendiri adalah siswa sekolah inklusi di Sekolah Global Mandiri, Jakarta.

Saat ini, Ridzky ahli dalam pengetahuan tentang klasifikasi hewan dan tumbuhan. Tidak itu saja, dia juga hafal letak kota setiap negara yang terpampang di peta dunia. "Sebab itu, kalau ke Singapura atau Bali, kami selalu menyempatkan pergi ke kebun binatangnya," ujar pria kelahiran Bogor ini. Yang jelas, kata Farhan, jika diarahkan ke jalur yang benar, anak autis berpotensi memiliki keahlian yang melebihi orang normal.

Hal itu sudah ada contohnya. Lihat saja kiprah seorang anak autis, Oscar Yura Dompas, 29 tahun, yang mampu menyabet gelar sarjana Sastra Inggris dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. Oscar berhasil mempertahankan scientific writing berjudul Plot Analyzes of Erich Maria Remarque's All Quiet On The Western Front. Selain itu, pemuda berkepala plontos ini telah menelurkan buku berjudul Autistic Journey pada 2004.

"Ke depan, saya lagi nulis naskah film mengenai anak autis sedang jatuh cinta," katanya saat ditemui Tempo di Graha Sucofindo, Jakarta, Kamis pekan lalu. Menurut sang ayah, Jeffrey Dompas, 52 tahun, sedari kecil Oscar tidak pernah mendapatkan terapi apa pun. Dia meyakini bahwa yang dibutuhkannya hanya naluri dasar orang tua untuk memahami dirinya. "Jadi, bagaimana memperlakukan dia layaknya anak normal saja," ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Profesor Komaruddin Hidayat pun menyebutkan, anak autis bisa berkembang lebih optimal lewat pendidikan. "Pendidikan dapat membangkitkan rasa percaya diri anak autis," katanya pada kesempatan yang sama. Untuk itu, ia menekankan, peranan keluarga sangat dibutuhkan bagi kemajuan kognitif si anak. "Keluarga adalah solusi bagi anak autis," ia menegaskan.

HERU TRIYONO

Kasih Sayang Terbukti Sembuhkan Autis

Kasih Sayang Terbukti Sembuhkan Autis

Email Cetak PDF
Sebuah penelitian di Prancis membuktikan bahwa hormon ‘cinta’ yang mendorong ikatan antara ibu dan bayi, ternyata dapat memperbaiki fungsi sosial para penderita autisme. Dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences dituliskan, bahwa para penderita autisme yang menghirup hormon oksitosin lebih memperhatikan dan menunjukan ekspresi ketika melihat gambar wajah serta lebih memahami isyarat-isyarat sosial dalam sebuah simulasi permainan.

Pemimpin penelitian, Angela Sirigu dari Center of Cognitive Neuroscience di Lyon, mengatakan terapi hormon ini sangat berpotensi pada orang dewasa ataupun anak-anak yang menderita autisme.

“Sebagai contoh, jika oksitosin diberikan lebih awal pada saat diagnosis dibuat, mungkin kita dapat mengubah gangguan perkembangan sosial pada penderita autis," kata Angela Sirigu lewat e-mail.

Angela mengatakan penelitian ini difokuskan pada oksitosin karena hormon ini dikenal sebagai hormon yang membantu ikatan ibu menyusui dengan bayinya. Dan penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa beberapa anak dengan autisme memiliki kadar hormon oksitosin rendah. Penderita Asperger's syndrome dan gangguan autisme spektrum lainnya sering mengalami masalah dengan interaksi sosial. Hormon ini terbukti dapat membantu pasien autisme yang memiliki fungsi intelektual yang normal dan kemampuan bahasa yang cukup baik karena dapat meningkatkan kontak mata, yang merupakan penanda penting dari interaksi sosial.

"Kontak mata dapat dianggap sebagai langkah pertama dalam pendekatan sosial. Namun orang-orang dengan autisme sering menghindari kontak mata dengan orang lain,” ujarnya.

"Penelitian kami menunjukkan bahwa oksitosin dapat meningkatkan kontak mata karena pasien terlihat sering melakukan kontak mata," katanya.

Hormon ini juga meningkatkan kemampuan penderita autisme dalam memahami respon orang lain terhadap mereka. Dalam penelitiannya, Angela dan koleganya melibatkan dua kelompok individu berusia 17-39 tahun. Kelompok pertama terdiri 13 orang, dimana 10 penderita di antaranya memiliki gejala spektrum autis dan tiga lainnya mengidap high functioning autisme (autisme dengan tingkat IQ tinggi). Sementara 13 orang lainnya masuk ke dalam kelompok dua, populasi kontrol.

Kedua kelompok ini kemudian diperintahkan bermain video game sepakbola di mana kelompok autisme mendapatkan inhaler oksitosin. Hasilnya, inhalasi oksitosin membuat pengidap Sindrom Asperger atau autisme IQ tinggi cenderung senang bermain dengan pasangan mereka yang lebih responsif secara sosial dalam permainan game sepakbola. (conectique/pit/ft:ilustrasi)

Apakah Autis itu dan Apa yang bisa Kita Lakukan?

Apakah Autis itu dan Apa yang bisa Kita Lakukan?

Email Cetak PDF

Autis adalah penyakit atau gangguan pada perkembangan otak yang diperkirakan menyerang 1 dari 1.000 orang di Amerika. Orang yang menderita autis biasanya kurang mampu berbahasa dan tidak mampu bergaul dengan lingkungan sosialnya. Sekitar 80% dari jumlah penderita autis adalah laki-laki. Mengapa demikian, alasannya tidak diketahui oleh para peneliti.

Hal yang juga tidak diketahui adalah penyebab autis. Segala sesuatu dari perubahan genetik hingga kontak kandungan ibu dengan penyakit sampai ketidakseimbangan kimia telah dipersalahkan. Namun ternyata, faktor-faktor orangtua bisa diabaikan sebagaimana yang dianjurkan oleh beberapa peneliti.

Walaupun diinformasikan bahwa mereka tidak ada hubungannya dengan penyakit anak mereka ini, beberapa orangtua terus-menerus mengatakan bahwa mereka merasa bersalah karena tidak mampu berinteraksi dengan anak mereka. Berikut ini adalah apa yang diketahui tentang autis.

  1. Kesulitan dengan kemampuan organisasi
    Penderita autis lepas dari kemampuan intelektual mereka, ternyata memiliki kesulitan mengatur diri mereka sendiri. Seorang pelajar autis mungkin bisa menyebutkan tanggal-tanggal bersejarah setiap perang yang terjadi, namun selalu lupa membawa pensil mereka ke kelas. Murid-murid ini bisa jadi seorang yang sangat rapi atau paling jorok. Orangtua harus selalu ingat untuk tidak memaksakan kehendaknya pada mereka. Mereka hanya tidak mampu mengatur diri mereka sendiri tanpa pelatihan yang spesifik. Seorang anak penderita autis memerlukan pelatihan kemampuan mengatur dengan menggunakan langkah-langkah kecil yang spesifik supaya berfungsi dalam situasi sosial dan akademis.

  2. Seorang penderita autis memiliki masalah dengan pemikiran yang bersifat abstrak dan konseptual
    Lepas dari apa yang dikatakan orangtua, beberapa penderita autis akhirnya memperoleh kemampuan abstrak, namun ada juga yang tidak. Pertanyaan: "Mengapa kamu tidak mandi?" nampaknya sesuai untuk dikatakan ketika sedang menghadapi anak yang tidak mau mandi. Dengan anak autis seringkali lebih baik menghindari kalimat pertanyaan yang mengundang perdebatan, sebaiknya Anda mengatakan: "Saya tidak suka kalau kamu tidak mandi. Ayo, masuk ke kamar mandi dan mandi sekarang. Kalau kamu butuh bantuan, saya akan menolongmu tapi saya tidak akan memandikan kamu." Hindari menanyakan pertanyaan yang panjang lebar. Para orangtua ataupun perawat harus sekonkret mungkin dalam seluruh interaksi mereka.

  3. Peningkatan tingkah laku tak wajar mengindikasikan peningkatan stres
    Dalam banyak situasi, terutama situasi yang tidak akrab, akan menyebabkan stres sehubungan dengan perasaan atau hilangnya kontrol. Dalam kebanyakan contoh, stres bisa dikurangi ketika anak-anak diizinkan untuk keluar dari situasi yang menekan. Membuat program untuk membantu anak-anak menghadapi stres di sekolah sangat disarankan.

  4. Perilaku mereka yang berbeda janganlah diambil hati
    Penderita autis seharusnya tidak dianggap sebagai seorang yang selalu berperilaku menyimpang atau ingin menyakiti perasaan orang lain atau mencoba membuat hidup jadi sulit bagi orang lain. Seorang penderita autis jarang bisa bersikap manipulatif. Umumnya perilaku mereka merupakan hasil dari usaha mereka keluar dari pengalaman yang menakutkan, atau membingungkan. Penderita autis, secara alami karena ketidakmampuan mereka, memiliki sifat egosentris. Kebanyakan penderita autis menghadapi masa-masa sulit untuk bisa memahami reaksi orang lain karena adanya ketidakmampuan persepsi.

  5. Gunakan kata-kata dengan makna sesungguhnya
    Secara sederhana, katakanlah apa yang Anda maksudkan. Jika pembicara tidak sangat mengenal si penderita autis, sebaiknya mereka menghindari penggunaan: singkatan/panggilan, ejekan, kalimat bermakna ganda, idiom, dan sebagainya.

  6. Ekspresi wajah dan isyarat-isyarat lainnya biasanya tidak berhasil
    Umumnya, mayoritas penderita autis memiliki kesulitan membaca ekspresi wajah dan mentafsirkan bahasa tubuh atau perilaku dengan kesan-kesan tertentu.

  7. Seorang penderita autis nampak tidak mampu mempelajari sebuah tugas
    Ini merupakan sebuah tanda bahwa tugas atau tugas-tugas itu terlalu sulit baginya dan perlu disederhanakan. Cara lainnya adalah menghadirkan tugas-tugas itu dengan cara yang berbeda -- baik secara visual, fisik, maupun verbal. Metode-metode ini seringkali diabaikan oleh guru-guru dan orangtua di rumah karena hal ini memerlukan kesabaran, waktu eksperimen, dan kemauan untuk mengubah metode atau kebiasaan lama.

  8. Hindari terlalu banyak informasi atau kata-kata
    Para guru dan orangtua harus jelas, menggunakan kalimat-kalimat pendek dengan bahasa yang sederhana untuk menyampaikan maksud mereka. Jika anak-anak tidak punya masalah pendengaran dan bisa memperhatikan Anda, ia mungkin kesulitan memisah-misahkan apa yang diajarkan dan informasi lainnya.

  9. Tetaplah konsisten
    Persiapkan dan berikan sebuah daftar pendek pelajaran yang akan Anda ajarkan. Tulislah pada sebuah grafik. Datangi mereka setiap hari pertama-tama dengan anak yang muda. Jika perubahan terjadi, katakan padanya dan ulangi informasi tentang perubahan itu.

  10. Aturlah sikapnya
    Meskipun rasanya mustahil, adalah mungkin untuk mengatur sikap anak autis. Kuncinya ialah konsistensi dan pengurangan stres pada anak. Juga dianjurkan untuk melakukan penambahan sikap sosial yang positif dilakukan secara rutin.

  11. Hati-hati dengan lingkungan
    Dalam banyak contoh, seorang penderita autis bisa sangat sensitif dengan apa yang ada dalam ruangan. Cat tembok warna cerah atau dengungan lampu pijar sangat mengganggu bagi para penderita autis. Untuk membuat perubahan yang berarti, guru dan orangtua perlu waspada dan berhati-hati terhadap lingkungan dan masalah- masalah yang ada.

  12. Anak yang memiliki perilaku menyimpang atau terus-menerus membangkang merupakan sebuah tanda masalah
    Sekalipun anak-anak kadang-kadang berperilaku menyimpang atau membangkang, seorang penderita autis seringkali bersikap demikian ketika dia kehilangan kendali. Ini bisa menjadi sinyal bahwa seseorang atau sesuatu di sekitarnya membuatnya marah atau terganggu. Hal yang sangat menolong ialah keluar dari lingkungan itu atau jika ia bisa menuliskan apa yang mengganggunya, tetapi jangan mengharapkan sebuah respon positif misalnya ia melanjutkan untuk mengerti apa yang sedang terjadi dan apa artinya. Metode keberhasilan lainnya adalah permainan peran dan mendiskusikan apa yang membuatnya marah atau berkelakuan buruk. Biarkan ia menjawab karena ia berpikir Anda akan meresponi tingkah lakunya. Memanfaatkan aktivitas ini akan menolong untuk mengurangi kepadatan sebuah situasi sehingga mengubah fokusnya dengan memperhatikan apa yang mengganggunya.

  13. Jangan menduga apa pun saat mengevaluasi kemampuan atau keahliannya
    Orang-orang yang menangani anak-anak autis melaporkan bahwa beberapa orang autis sangat pintar matematika, tetapi tidak mampu menghitung uang kembalian yang sederhana di kasir. Atau, mereka memiliki kemampuan mengingat setiap kata yang ada dalam sebuah buku yang dibacanya atau pidato yang ia dengar, tetapi tidak ingat untuk membawa kertas ke kelas atau dimana ia menaruh sepatu olahraganya. Perkembangan kemampuan yang tidak seimbang merupakan sifat autisme. Autisme, sebagaimana disebutkan di atas, tidak begitu diketahui atau dipahami dengan baik. Ini masih merupakan masalah yang membingungkan bagi orangtua, guru dan mereka yang bekerja dan mengobservasi anak-anak semacam ini.

  14. Kunci
    Kunci untuk bekerja dengan penderita autis ialah: BERSABARLAH, BERPIKIRAN POSITIF, KREATIF, FLEKSIBEL, dan OBJEKTIF.

Tips tambahan bagi para orangtua:

  1. Temuilah dokter
    Jika Anda menduga anak Anda menderita autis, temui seorang dokter ahli dan mintalah diagnosa. Mintalah penjelasan kepada mereka dan tanyakan sebanyak mungkin pertanyaan yang menurut Anda perlu ditanyakan. Bersikaplah kritis! Jangan menunggu mereka memberikan informasi kepada Anda karena Anda akan menunggu begitu lama tanpa jawaban.

  2. Pelajarilah hak-hak orang cacat
    Biasakanlah diri dengan tindakan-tindakan orang cacat. Jangan takut untuk mengajukan permintaan pada dokter medis, sekolah, pengurus sekolah atau para guru. Mereka hanya akan melakukan apa yang diperintahkan atau diminta pada mereka. Dalam hal ini, kesabaran, kegigihan, pengetahuan, dan sikap menghormati akan memberikan hasil yang baik.

  3. Carilah bantuan
    Banyak anak cacat tidak pernah memperoleh bantuan karena orangtua mereka merasa takut dan malu. Ingat, tidak ada hal yang telah Anda lakukan yang menyebabkan kecacatan ini terjadi. Orang lain juga punya masalah yang serupa. Ada pertolongan untuk anak Anda. Teruslah mencari informasi.

  4. Bersabarlah
    Jangan menyerah. Ingatlah bahwa anak Anda tidak suka bertindak seperti itu tetapi mereka hanyalah berusaha untuk mendapatkan perhatian dari dunia dan sekitar mereka.

  5. Jangan berulang-ulang berusaha melatih sebuah tugas kepada anak
    Penderita autis biasanya menolak perubahan aktivitas rutin. Memaksa anak autis melakukan sesuatu justru bisa jadi malapetaka. Lebih baik jika Anda melihat ia mengalami kesulitan, mundurlah dan cobalah untuk memecahkan tugas itu menjadi sesuatu yang lebih sederhana dan mudah dikerjakan. Ini artinya ia telah mencapai batasnya -- sebagaimana kita semua juga bisa demikian. Cobalah untuk memberikannya pilihan. Ini akan memberinya indera kontrol dan stabilitas diri. (T/Sil)

Usia Ibu Hamil Pengaruhi Risiko Anak Autis

Usia Ibu Hamil Pengaruhi Risiko Anak Autis

Email Cetak PDF

VIVAnews - Usia ayah dan ibu ternyata mempengaruhi risiko anak lahir dengan gangguan autisme. Ibu yang hamil di usia 40 tahun ke atas memiliki risiko tinggi melahirkan anak autis. Ayah usia 40 tahun ke atas juga dapat meningkatkan risiko kelahiran anak autis jika menghamili wanita usia di bawah 30 tahun.

Demikian studi terbaru yang dilakukan para peneliti dari Universitas California Amerika Serikat terhadap lima juta kelahiran, seperti dikutip dari laman Associated Press, Senin, 9 Februari 2010.


Ibu hamil usia 40 tahun ke atas memiliki risiko melahirkan anak autis sebesar 50 persen dibandingkan ibu hamil usia 20-an tahun. Sedangkan ayah usia 40 ke atas yang menghamili wanita usia 20-an tahun meningkatkan risiko anak lahir autis sebesar 36 persen.

Meski demikian, studi yang dipaparkan dalam Jurnal Penelitian Autisme pada Minggu pekan lalu itu menunjukkan bahwa wanita hamil usia 40 tahun ke atas yang melahirkan anak autis tergolong sedikit. Jumlahnya tak lebih dari empat anak autis dari setiap 1.000 kelahiran.

Studi dilakukan dengan mempertimbangkan faktor lain seperti terapi kesuburan yang banyak dilakukan wanita dan pria usia 40 tahun ke atas yang ingin memiliki anak. Juga kemungkinan penyakit degeneratif yang mulai menyerang usia itu seperti diabetes, dan racun kimia yang terakumulasi dalam tubuh.

"Kami juga mempelajari faktor lingkungan seperti produk rumah tangga yang digunakan, terapi medis, diet, suplemen yang dikonsumsi, dan adanya infeksi," kata Irva Hertz-Picciotto, salah satu peneliti.

Hertz-Picciotto mengatakan, studi tersebut bukan dalam rangka menyalahkan orangtua yang memproduksi anak di usia tua. Studi dilakukan lebih untuk mencari tahu kaitan usia orangtua dan gangguan autisme pada anak.

Maureen Durkin, peneliti dari Universitas Wisconsin yang juga mempelajari hubungan usia orangtua dan autisme pada anak, mengingatkan para orangtua agar tak terlalu cemas dengan hasil penelitian itu. Meski risiko ada, tetapi banyak ayah dan ibu usia lebih 40 tahun yang melahirkan anak sehat dan normal.

Pipiet Tri Noorastuti

Kenali Lebih Dekat Anak Autis

Kenali Lebih Dekat Anak Autis

Email Cetak PDF

APAKAH buah hati Anda memiliki rasa tertarik pada dunia lain? Atau apakah anak Anda sulit menatap mata lawan bicara? Bila iya, kemungkinan dia mengidap autisme. Segeralah bertindak.

Sepintas anak ini terlihat sangat normal, tetapi anak autis memiliki tingkah laku yang berbeda dari anak-anak lain. Penyebabnya tak lain karena sistem syaraf pusat mereka berkembang tidak sempurna sehingga mereka pun mengalami kesulitan dalam memahami bahasa, proses belajar, serta berkomunikasi. Butuh ketekunan serta kesabaran ekstra bagi para orangtua yang memiliki anak autis.


Direktur Intervention Services for Autism Development Delay Disorder (ISADD) yang berbasis di Australia, Jura Tender mengakui, betapa sulit mendeteksi autisme sejak dini. Karena secara fisik bayi tampak sehat-sehat saja. Seiring berjalannya waktu, orangtua hanya melihat sedikit saja perbedaan.

Misalnya anak tidak terlalu banyak bicara, tidak suka disentuh, dan posisi tubuhnya sering aneh. Masalahnya, banyak orangtua yang tidak terlalu memerhatikan sekaligus peduli akan hal itu. Mereka lantas menganggapnya sebagai suatu hal yang wajar. ”Padahal, orangtua seharusnya cepat bertindak dan hadapi kenyataan tersebut. Jangan sampai kondisi anak terlanjur parah hanya karena orangtua menganggapnya enteng,” ujar Jura mengingatkan.

Sedikitnya ada beberapa kriteria autisme yang dapat diperhatikan. Anak autis mengalami gangguan dalam interaksi sosial, di antaranya rendahnya kemampuan berinteraksi sosial melalui komunikasi nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi muka, dan gerakgerik tubuh. Anak pun tidak mampu berinteraksi sosial dalam kelompok selayaknya anak-anak seusianya.

Mereka juga tidak mampu memberikan reaksi secara sosial dan emosional atas apa yang terjadi. Misalnya tidak mampu menunjukkan simpati ketika orang lain bersedih ataupun tidak membalas ketika dipeluk. Anak autisme pun mengalami keterlambatan atau ketidakmampuan berbicara, bahasa yang digunakan cenderung berulang-ulang, kaku, khas, dan agak aneh. Mereka yang menderita autisme sering melakukan kegiatan, bertingkah laku, dan merasa tertarik pada sesuatu yang berulangulang serta terbatas. Seperti rasa tertarik yang cenderung abnormal dari segi fokus dan intensitas terhadap suatu kegiatan yang terbatas. Sebut saja kebiasaan me ngulang-ulang sebuah adegan dari film atau video secara terus-menerus atau berjalan tanpa henti dalam bentuk lingkaran.

Atau mungkin juga anak memiliki kebiasaan rutin yang harus diikuti dan sering kali tidak bermakna. ”Misalnya harus melalui jalan tertentu menuju ke sekolah atau hanya mau tidur dengan menggunakan baju tertentu,” kata Gayatri Pamoedji selaku pendiri Masyarakat Peduli Autisme Indonesia (MPATI) yang juga memiliki putra yang mengidap autis ini.

Sejatinya, autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak. Sering kali gejala tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Menurut sebuah penelitian di Amerika, autisme terjadi kurang lebih pada 10 anak dari 10.000 kelahiran. Kemungkinan terjadinya empat kali lebih sering pada bayi laki-laki dibandingkan perempuan.

Faktor genetik memang disebut sebagai salah satu kemungkinan terjadinya autisme. Namun, sampai sekarang belum ada penelitian lebih lanjut yang menyebutkan apakah faktor genetik ini berasal dari ayah atau ibu. Keduanya memiliki peluang yang sama. Hanya, sifat autis lebih terlihat nyata pada saudara sekandung lelaki dari pihak ibu maupun ayah, jika memang ada karakteristik autis pada keluarga tersebut.

Penyebab utama dari gangguan ini hingga saat kini memang masih terus diselidiki oleh para ahli. Kendati demikian, di samping faktor genetik, faktor-faktor berikut disebut-sebut sebagai pemicu penyakit ini, yakni keracunan logam berat, vaksinasi MMR (Mumps, Measles, Rubella), polusi lingkungan, alergi terhadap makanan tertentu seperti gandum dan produk susu, serta komplikasi sebelum dan setelah melahirkan.

Gayatri menyarankan orangtua yang memiliki anak dengan gangguan tersebut untuk melakukan terapi secara rutin. ”Menemukan terapi yang tepat bagi anak memang merupakan sebuah perjalanan panjang. Orangtua perlu mengetahui apa yang dibutuhkan dan apa yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya,” ujar wanita yang mengambil Master of Health Conselling dari Curtin University of Technology ini.

Terapi yang tepat, lanjut Gayatri, adalah terapi yang mengikis keterbatasan anak, melibatkan anak, sudah terbukti keabsahannya, dapat diukur hasilnya, mempertimbangkan kelebihan maupun keterbatasan, serta menggunakan hal-hal yang disukai oleh anak.

Terapi yang tepat justru akan membuat kehidupan keluarga lebih tidak stres karena anak sudah mulai mampu untuk mandiri dan berinteraksi dengan anggota keluarga.

Yang perlu orangtua ingat adalah, cocok atau tidaknya terapi untuk anak ditentukan oleh kebutuhan dan kemampuan sang anak. Jadi, sebaiknya orangtua mencari tahu, membuat daftar kebutuhan, serta keterbatasan dan kelebihan sang anak.

Untuk menjalani terapi ini, para ahli menyarankan agar anak autis diberikan terapi selama 25–40 jam dalam seminggu. Hal ini tidak menjadi masalah, sebab pada umumnya anak autis tidak mengalami gangguan perkembangan fisik sehingga tetap perlu diberi stimulasi.

Lamanya anak menjalani terapi, bisa dibilang hingga dia mampu mandiri dan berpartisipasi dalam lingkungan sosialnya. Semua ini ditentukan oleh kemampuan anak dan orangtua. Jika anak sudah mampu menerapkan atau mencapai target terapi tanpa harus diingatkan atau diarahkan, tidak hanya di kelas terapi tapi juga di rumah, maka dia terbilang sudah mampu dan kompeten.
(Koran SI/Koran SI/tty)

Detoks Pengusir Racun Logam pada Anak Autis

Detoks Pengusir Racun Logam pada Anak Autis

Email Cetak PDF

JAKARTA, KOMPAS.com - Anak-anak autis biasanya mengalami alergi dan MEMILIKI kondisi pencernaan yang jelek. Sekitar 88 persen anak autis memiliki kondisi usus rusak (autistic colistic). Ada kecurigaan mereka mengalami keracunan logam berat.

Pakar analisa rambut dari Australia, Dr.Igor Tabrizian, mengatakan, logam berat dalam tubuh anak autis baru bisa dikeluarkan melalui proses detoks. "Sebelum mengetahui program detoks yang tepat, perlu diketahui dulu tingkat keracunan yang dialami anak," paparnya dalam sebuah seminar autis 'Menyambut Hari Autisme Sedunia 2010' di Jakarta beberapa waktu lalu.

Analisa rambut dapat dilakukan untuk mengidentifikasi kekurangan nutrisi jangka panjang yang merupakan akar dari penyakit yang ada, serta menemukan logam berat beracun yang bisa mencetuskan penyakit.

Proses pembuangan racun (detoks), menurut Igor, dilakukan dengan pemberian suplemen yang dibagi menjadi beberapa kategori, yakni memperbaiki, memberi nutrisi esensial, pembersih racun, serta memperbaiki neurotransmitter.

Nutrisi yang mampu memperbaiki antara lain zinc, aloe vera, prebiotik dan probiotik, vitamin E, zat besi, magnesium, vitamin E, dan vitamin B. Program detoks ini dilakukan selama 6-48 bulan, tergantung derajat keparahan logam berat yang menumpuk.

Sebelum pemberian suplemen detoks, masalah pencernaan anak autis sebaiknya diperbaiki dengan cara melakukan pantang produk gluten atau tepung dan produk susu. Menurut Igor, sistem pencernaan pada anak autis tidak dapat memisahkan protein, sehingga beberapa jenis asam amino justru bergabung.

"Reaksi penggabungan ini akan ditangkap otak seperti narkotik sehingga menimbulkan halusinasi dan menimbulkan gangguan perilaku, akibatnya anak menjadi hiperaktif," paparnya.

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses detoks ini, orangtua bisa melakukan analisa rambut secara berkala. "Selama proses pembuangan racun, kadar polutan dalam tubuh anak akan naik turun. Jadi tak perlu kaget jika hasilnya menunjukkan kadar logam beratnya masih tinggi," katanya.

Penulis: AN | Editor: acandra

Anak dengan Autisme Bisa Maju

Anak dengan Autisme Bisa Maju

Email Cetak PDF

Jakarta, Kompas - Anak dengan autisme bisa mencapai kemajuan dan mengatasi ketertinggalan. Di Indonesia, akses masyarakat pada informasi ataupun tenaga pendukung penanganan anak penyandang autis masih terbatas. Hal ini menimbulkan rasa putus asa, keresahan, dan kebingungan orangtua.

Demikian diungkapkan Gayatri Pamoedji, pendiri Masyarakat Peduli Autisme (Mpati) sekaligus konselor keluarga, di sela acara ”Tanya Jawab Seputar Autisme”, Sabtu (3/4). Dalam kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Autisme Sedunia 2010 itu diluncurkan pula buku karya Gayatri Pertanyaan dan Jawaban Seputar Autisme.

Autisme merupakan gangguan perkembangan yang kompleks pada anak. Gejala kerap tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan itu memengaruhi kemampuan berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan perilaku (hidup dalam dunianya sendiri). Diperkirakan, sekitar 67 juta orang di dunia menyandang autisme. Autisme diyakini sebagai gangguan perkembangan serius yang meningkat pesat di dunia.

Gayatri mengatakan, anak dengan autisme dapat mencapai kemajuan. Untuk itu, dibutuhkan diagnosis akurat, pendidikan yang tepat, dan dukungan yang kuat. ”Hanya saja, orangtua harus bersabar. Tidak ada terapi bagus yang sifatnya memberi perbaikan secara instan,” ujar Gayatri, ibu dari remaja penyandang autis.

Dalam bukunya, Gayatri memaparkan, di negara maju tidak sedikit anak dengan autisme tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berhasil.

Tidak semua anak dengan autisme memiliki intelegensia rendah. Ada yang rata-rata, normal, bahkan di atas rata-rata. Secara umum, anak dapat dikatakan ”sembuh” jika mampu hidup mandiri (sesuai tingkat usia), berperilaku normal, berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan lancar. Hal itu bergantung pada derajat keparahan autis, usia, tingkat kecerdasan, dan kemampuan berbahasa anak. Ciri autisme tidak akan hilang sepenuhnya.

Gayatri meyakini, dengan tersedianya cukup informasi akurat, sarana pendidikan, dan pelatihan yang tepat serta dukungan kuat dari pemerintah dan masyarakat luas, masa depan anak penyandang autis akan lebih baik.

Belum bisa dipastikan

Igor Tabrizian, pakar autisme dan nutrisi dari Australia, yang menjadi salah satu pembicara, mengatakan, penanganan autisme pada dasarnya harus dilakukan secara sistemik dengan penekanan kepada perbaikan sistem pencernaan, otak, pengurasan racun, terutama logam berat dari dalam tubuh.

Dia juga meyakini, diet yang tepat dapat sangat bermanfaat bagi anak dengan autisme.

Sementara penyebab autisme masih belum dapat dipastikan. Beberapa pemicu yang dicurigai, antara lain genetik, kandungan logam berat, permasalahan selama dalam kandungan. (INE)

Risiko Anak Autisme Meningkat Sesuai Usia Ibu

Risiko Anak Autisme Meningkat Sesuai Usia Ibu

Email Cetak PDF

KOMPAS.com - Dibandingkan pria, wanita yang mempunyai bayi dalam usia yang tak muda lagi lebih meningkatkan risiko anak dengan austisme. Demikian hasil studi baru yang menganalisa temuan dari lebih dari 5 juta kelahiran.

Perbandingannya begini: wanita yang berusia di atas 40 tahun memiliki risiko 50 persen untuk mendapatkan anak dengan autisme daripada mereka yang melahirkan di usia 20 tahunan. Studi juga menyatakan, risiko terjadi kurang dari 4 dari 1.000 kelahiran. Sedangkan risiko pria berusia di atas 40 tahun lebih tinggi 36 persen daripada pria yang mempunyai anak di usia 20 tahunan.

Penemuan, yang dirilis di Journal Autism Research edisi Februari ini, bertentangan dengan penelitian lain yang mengatakan bahwa usia ayah memainkan peran yang lebih besar daripada usia ibu. Para peneliti dan pakar autisme lain mengatakan bahwa penelitian baru ini lebih meyakinkan, sebagian karena lingkup penelitian yang lebih luas. Ibu berusia matang diketahui memiliki risiko yang meningkat untuk mendapatkan anak dengan kelainan genetik, dan gen diperkirakan memegang peran dalam autisme.

Autisme adalah kelainan yang berkembang, yang menimbulkan masalah perilaku, komunikasi, dan sosialisasi yang ringan maupun berat.

Risiko kecil
Meskipun demikian, menurut Maureen Durkin, peneliti dari University of Wisconsin yang juga mempelajari pengaruh usia orangtua terhadap autisme, peningkatan risiko ini termasuk kecil. Banyak juga bayi yang lahir dari ibu berusia matang tidak mengalami autisme. Karena itu menurutnya, risiko rendah untuk autisme ini hanyalah merupakan pesan yang perlu dipertimbangkan oleh calon orangtua.

Studi ini mempelajari 5,6 juta kelahiran bayi di California antara 1 Januari 1990 dan 31 Desember 1999, dan kasus-kasus autisme yang didiagnosa sebelum usia 6 tahun. Secara total jumlahnya lebih dari 13.000; sedangkan studi tersebut menganalisa 12.159 anak autis dimana usia orangtuanya juga diketahui.

Para peneliti juga memperhitungkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diagnosis autisme, termasuk pendidikan dan ras orangtua.

Sementara itu Catherine Lord, direktur Autism and Communication Disorders Center di University of Michigan, mengatakan bahwa studi ini lebih kuat daripada penelitian sebelumnya yang memfokuskan pada usia ayah. Hal ini, menurutnya, memberikan gambaran yang lebih penuh mengenai apa yang sedang terjadi.

Data belakangan ini menyebutkan bahwa 1 dari 100 anak di Amerika mengalami autis, angka yang tampaknya telah meningkat dalam dekade terakhir. Para ahli meyakini bahwa peningkatan ini mencerminkan kesadaran yang lebih baik dan definisi autis yang meluas ketimbang peningkatan terhadap anak-anak yang mengidapnya.

Bayi yang dilahirkan oleh ibu berusia tua memang telah meningkat dalam tahun-tahun terakhir ini, tetapi mungkin hanya menyumbangkan sebagian kecil dari peningkatan dalam kasus-kasus, demikian pendapat salah satu penulis studi yang juga peneliti UC-Davis, Irva Hertz-Picciotto.

8 Prinsip Diet untuk Penyandang Autisme

8 Prinsip Diet untuk Penyandang Autisme

Email Cetak PDF

Tentang pola diet untuk pennyandang autisme, setidaknya ada delapan prinsip diet, yaitu:

8 Prinsip Diet untuk Penderita Autisme

1. Diet bebas gluten dan kasein

2. Diet bebas gula

3. Diet bebas jamur/fermentasi

4. Diet bebas zat adiktif

5. Diet bebas fenol dan salisilat

6. Diet rotasi dan eliminasi

7. Pengaturan cara memasak dan penyediaan makanan

8. Pemberian suplemen makanan

Mari kita bahas satu per satu.

Diet bebas gluten dan kasein minimal tiga bulan; yaitu dengan menghindari produk makanan yang mengandung gluten (biskuit, mie, roti, makanan yang mengandung terigu), produk makanan-minuman yang mengandung susu sapi (keju, mozzarella, butter, permen susu, dsb).

Diet bebas gula minimal 2 minggu dan probiotik. Hindari: gula pasir, sirup, soft drink, fruit juice kemasan, aspartam. Untuk pengganti gula, pakailah gula stevia dan xylitol secara bergantian, atau gula jagung (sorbitol). Gula palem (aren) nartural boleh ditambahkan sedikit untuk membuat kue sebatas aroma.

Diet bebas jamur/fermentasi, dengan menghindari: kecap tauco, keju, kue yang dibuat dengan vermipan/baking soda, termasuk makanan yang lama disimpan, buah-buahan yang dikeringkan (kismis, kurma).

Diet bebas zat adiktif, dengan menghindari semua pewarna, penambah rasa, pengawet, pengemulsi, penyedap rasa (MSG), kaldu kemasan, termasuk menghindari produk olahan (sosis, kormet, chicken nugget, dsb). Boleh memakai zat pewarna alami, seperti daun pandan/suji untuk warna hijau, kunyit untuk warna kuning, dan beet untuk warna merah.

Diet bebas fenol dan salisilat. Fenol terkandung di dalam buah berwarna cerah seperti: anggur, apel, cherry, prunes, plum, almond, dsb. Salisilat terkandung di dalam jeruk dan tomat. Adapun pepaya, mangga, beet, wortel aman dikonsumsi.

Diet rotasi dan eliminasi. Diet ini diberikan setelah memperoleh hasil tes sensitivitas makanan IgG (comprehensive food panel). Untuk makanan yang titer IgG-nya tinggi tidak boleh diberikan sama sekali (eliminasi). Sedangkan makanan yang titer IgG-nya rendah boleh diberikan dengan selang waktu 4 hari (rotasi).

Pengaturan cara memasak dan penyediaan makanan, misalnya:

1. Minum air minimal 8 gelas sehari dari air mineral kemasan atau air yang telah disaring (water purifying system).

2. Menu makanan banyak buah dan sayuran segar setiap hari, misalnya: pepaya, kiwi, nanas. Diberikan bergantian dan sesuai selera anak.

3. Sediakan makanan tinggi protein saat sarapan pagi.

4. Sebaiknya semua makanan dipersiapkan dari rumah, sebagai bekal di sekolah.

5. Pilih peralatan memasak yang terbuat BUKAN dari logam berat.

6. Gantilah peralatan yang terbuat dari alumunium dan teflon dengan alat yang terbuat dari STAINLESS STEEL atau KACA (PYREX).

7. Pisahkanlah semua peralatan ini agar tidak terkontaminasi/tercemari.

Pemberian suplemen makanan

Diberikan sesuai gejala klinis, hasil pemeriksaan laboratorium, dan kebutuhan harian anak sesuai dengan usia dan berat badan.Misalnya:

1. Kalsium (1000 mg/hari dosis terbagi).

2. Magnesium glisinat (200-300 mg/hari).

3. Zinc pikolinat dan alfa ketoglutarat (20-50 mg/hari).

4. Selenium (50-100 mg/hari).

5. Vitamin A natural dalam bentuk Cod Liver Oil (dosis sekitar 2500 IU/hari).

6. Vitamin B6 dengan P5P sekitar 50 mg/hari.

7. Vitamin C (dalam bentuk Ester C 500 mg/hari dalam dosis terbagi).

8. Vitamin E (100-200 IU/hari) sebagai antioksidan.

9. Asam Lemak Esensial, diberikan dalam bentuk EPA (Eicosapentoic Acid) 750 mg/hari, DHA (Docosahexanoic Acid) 250-500 mg/hari, dan GLA (Gamma Linoleic Acid) 50-100 mg/hari dalam EPO (Evening Primrose Oil) 1000-1500 mg/hari.

10. Asam amino dalam bentuk amino acid complex 1 kapsul/hari.

11. Kolustrum dalam bentuk liquid 1/2 sendok teh 2x sehari (2,5 gram).

12. Enzim, misalnya: Enzyme-Complete with DPP-IV, 3x sehari, diberikan pada awal makan.

13. Probiotik, diberi preparat yang mengandung 6 jenis mikroorganisme dalam satu kapsul, dosis 1-2 kapsul/hari.

14. Methylulfonylmethane (MSM), diberikan bila pada anak terdapat lingkaran hitam di sekitar atau di bawah mata.

15. Ubiquinone (30 mg 1-2 kapsul/hari).

16. Yeast Control, bila perlu dapat diberikan: oregano, golden seal, dsb.

17. Biotin (300 mg/hari).

18. Taurin, diberikan bila buang air besar (anak penderita autisme) berwarna pucat seperti dempul, sejumlah 1-3 kapsul/hari.

19. Reduced L-Glutathione, 1 kapsul/hari, untuk mencegah kerusakan sel, sebagai antioksidan, dan kelasi alami logam berat.

Setelah pemberian diet di atas, sebaiknya dievaluasi dengan cara mengidentifikasi setiap gejala yang timbul, lalu dibuat perbandingan sebelum dan sesudah melakukan diet.

Bentuk Anak Autis Berpikir Mandiri

Bentuk Anak Autis Berpikir Mandiri

Email Cetak PDF

MEMBESARKAN anak autis memang butuh kesabaran yang tinggi. Selain itu, orangtua juga harus menerapkan metode yang tepat untuk membuat mereka menjadi pribadi yang mandiri. Intinya adalah diagnosa akurat, pendidikan tepat, dan dukungan kuat.


Selama ini begitu banyak stigma negatif tentang autis beredar di masyarakat. Ada yang bilang autis disebabkan santet, autis hanya diderita oleh orang kaya, autis itu sama dengan gila, dan autis itu menular. Stigma tersebut muncul karena pemahaman masyarakat tentang autis ini masih sangat minim.


”Sebenarnya kita tidak juga harus menyalahkan masyarakat luas,” tandas seorang ibu dari anak autis sekaligus pendiri Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) Gayatri Pamoedji SE MHc. Malah, Gayatri mengatakan bahwa tidak sedikit juga orang yang mengatakan autis itu adalah penyakit. Padahal yang benar ialah, anak autis adalah anak yang mengalami gangguan dalam perkembangannya.

”Autis bukan penyakit, autis itu kondisi,” tuturnya dalam acara temu media bertema ”Menciptakan Masa Depan Mandiri bagi Anak Penyandang Autis” yang diadakan oleh MPATI, belum lama ini. Disarankan oleh Gayatri, segera tangani anak autis dengan benar, pastikan bahwa mereka mendapatkan pengasuhan yang tepat. Untuk menangani anak autis, inti dari penanganan itu ialah diagnosa, pendidikan, dan dukungan.

Dalam hal diagnosa, dibutuhkan diagnosa yang tepat dan akurat oleh dokter ahli. Di mana yang bisa dijadikan patokan bahwa seorang anak mengalami autis, bisa dilihat dari tujuh ciri anak autis, dan jika anak mengalami dua atau lebih dari ciri tersebut, maka bisa dikatakan anak tersebut alami autis.

”Lakukan sedini mungkin karena gejala autisme biasanya terlihat sebelum anak mencapai usia tiga tahun,” tutur wanita yang juga pendiri Sekolah Pantara untuk pelatihan para guru dan membuat kurikulum sekolah untuk anak-anak dengan AD/HD.

Selain itu, pendidikan tepat juga harus diberikan untuk membentuk anak autis menjadi mandiri. Gayatri menuturkan, jika anak autis diberikan pendidikan yang tepat, maka mereka mampu mandiri, dapat mengerti dan mengikuti perintah, mampu untuk duduk mendengarkan, serta patuh menunggu giliran.

”Dan itu semua merupakan kemampuan dasar yang sebaiknya dikuasai anak autis sebelum masuk sekolah,” ujar wanita yang mengambil gelar sarjana ekonomi di Universitas Indonesia ini.

Gayatri menyarankan, apabila ingin memasukkan anak ke sekolah, maka lakukan penanganan dini jauh sebelum anak ini pergi sekolah dan sebelum masuk pada usia sekolah. Ajarkan hal-hal kecil terlebih dahulu, seperti buang air sendiri, makan dan minum sendiri, hingga mampu memasang kancing baju sendiri.

“Ini sangat membantu gurunya kelak sehingga guru pun tidak kewalahan pada saat mereka masuk sekolah, di usia yang seharusnya mereka ada di sekolah,” ujar wanita lulusan Master of Health Conseling, Curtin University of Technology, Perth, Australia Barat ini.

Dan yang terakhir adalah dukungan yang kuat. Tidak hanya dari orangtua atau keluarga, melainkan dari lingkungan sekitarnya termasuk dukungan media.
Dalam bukunya yang bertajuk 200 Pertanyaan & Jawaban Seputar Autisme, Gayatri menuliskan bahwa dalam merawat anak autis, orangtua sebaiknya saling berbagi tugas.

Pembagian tugas ini bisa dijalankan sesuai dengan kelebihan dari masing-masing karakter ibu atau ayah serta waktu yang mereka miliki. Semisal jika ayah pandai matematika, maka tugas mendampingi anak membuat pekerjaan rumah matematika dilakukan sang ayah.

Sama halnya dengan ibu, jika ibu lebih mahir dalam hal berkomunikasi, ibulah yang menjadi manajer dan juru bicara (jubir) anak untuk urusan sekolah. Idealnya, dilakukan komunikasi yang jujur dan terbuka. Atau ibu juga bisa membantu agar ayah lebih percaya diri dan mau lebih dekat dengan anak, misal dengan melakukan tugas menyenangkan, seperti bermain video gamebersama.

Di saat ayah bermain dengan anak, ibu bisa menggunakan waktu senggang untuk beristirahat. Buatlah daftar dari pekerjaan atau tugas yang diperlukan untuk mendidik anak. ”Dengan penanganan terpadu, anak penyandang autis punya masa depan. Harapan selalu ada, pasti ada kemajuan jika orangtua mau terlibat,” pesannya.

Sementara psikolog dari Universitas Indonesia, Dra Dyah Puspita MSi menyatakan bahwa pola asuh dalam merawat anak autis sama saja dengan anak biasa.

“Namun, ada beberapa aturan yang harus dipatuhi serta ada konsekuensi untuk perilaku baik atau buruk,” ucap psikolog yang juga sebagai penanggung jawab pendidikan di Sekolah Khusus Autisma Mandiga. Dengan penuh semangat, percaya diri, serta kesabaran tinggi, maka yakinlah jika membesarkan anak autis menjadi pribadi yang mandiri bukanlah suatu impian belaka.
(Koran SI/Koran SI/tty)

Anak Autis Butuh Dorongan & Pendampingan

Anak Autis Butuh Dorongan & Pendampingan

Email Cetak PDF
BAGI anak yang menderita autis, maka orangtua sudah selayaknya memberikan dorongan penuh kepada sang anak, termasuk dalam minat dan hobi yang disukai. Membebaskan anak untuk menekuni hobi yang dipilihnya, memang sudah sepantasnya. Namun, itu saja belum cukup. Sebab, anak pun perlu mendapat pendampingan dan tidak terkecuali bimbingan dari orangtua langsung.

Hal ini dibenarkan oleh Ketua Yayasan Autisma Indonesia dr Melly Budhiman. Menurut dia, proses pendampingan anak ketika tengah melakukan hobi yang disukai, bertujuan memberikan motivasi kepada sang anak dalam mengembangkan karya mereka.

Melly menyayangkan, banyak orangtua yang hanya menyerahkan urusan pendampingan ini kepada terapis atau pengasuhnya semata. Jadi, mereka lantas menjadi lebih dekat dengan orang lain ketimbang orangtuanya sendiri.

Lebih jauh Melly menuturkan. Berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan bakat anak, bisa dipilih. Salah satunya dengan memasukkan anak ke sanggar melukis.

Bagi anak-anak autis, melukis bukan sekadar pemuas hobi. Lebih dari itu, melukis berfungsi sebagai terapi, untuk melatih motorik si anak.

”Karena motorik anak autis misalnya, jelek sekali. Mereka kalau mewarnai sering keluar garis. Nah, dengan latihan melukis, mereka menjadi lebih fokus dan tenang sekaligus melatih kepercayaan diri,” papar Melly.

Setali tiga uang dengan pendapat Theresia Tristini, orangtua dari Ayan, pelukis muda yang mengidap autis. Theresia mengaku, sejak mulai melukis, Ryan menjadi lebih tenang. ”Dia untuk berbicara susah, tapi lewat melukis dia seakan mengomunikasikan pikirannya dan membuatnya menjadi ekspresif,” ujarnya.

Uniknya, objek yang dilukis Ryan, cukup sekali dilihatnya kemudian langsung dituangkannya dalam kanvas dengan objek yang spesifik. ”Misalnya sedang dalam perjalanan dan melewati patung Pancoran. Dia akan menggambarnya sesampai di rumah,” tandas Theresia.

Perlu diketahui, setiap anak memiliki talenta berbeda. Karenanya, tugas orangtua untuk mencari tahu bakat anak. Boleh juga orangtua memasukkan anak ke kursus renang. Menurut Melly, berenang juga bermanfaat dalam melatih koordinasi motorik dan otot-otot serta berfungsi sebagai brain gym.
(Koran SI/Koran SI/tty)

Mendampingi Saudara Sekandung Autis

Mendampingi Saudara Sekandung Autis

Email Cetak PDF

HIDUP dengan saudara kandung yang mengalami gangguan autistik membuahkan kesan tersendiri. Pengertian dan kesabaran ekstra diperlukan dalam memahami saudara berkebutuhan khusus ini.

"Saya Nikita, adik kandung dari Oscar, seorang penyandang autis. Usia kami hanya terpaut setahun. Hobi kami sama, sama-sama suka sepak bola. Jadi kalau ngobrolseharusnya bisa nyambung, tapi terkadang Oscar suka berlagak lupa."

Itulah penuturan Nikita, pria berusia 28 tahun asal Jakarta yang sejak kecil hidup dan tumbuh bersama Oscar, kakak lelakinya yang mengalami gangguan autistik atau kerap disebut autis saja.


Dalam acara Autism & Friends yang diselenggarakan Stikom The London School Public Relations (LSPR) di Exhibition Hall Senayan City Jakarta, akhir pekan lalu, Nikita mengungkapkan suka-dukanya hidup berdampingan dengan sang kakak yang usianya setahun lebih tua itu.

Awalnya, Nikita kecil tidak tahu apa yang terjadi dengan kakaknya. Sewaktu umur 7 tahun, orangtua memberi tahu Nikita bahwa kakaknya autis. Namun, Nikita tidak paham dan hanya tahu bahwa sang kakak "berbeda" dengan orang lain.

"Kalau teman-teman sebaya lain kan biasanya suka pamer: 'kakakku bisa begini, kakakku bisa begitu'. Nah sayangnya kakak saya enggak bisa ngapa-ngapain, bisanya ngomong sendiri," kenang Nikita yang sejak playgroup sampai SMA selalu satu sekolah dengan kakaknya.

"Bahkan, waktu SD kami selalu sekelas. Penyebabnya, Oscar telat masuk SD," imbuhnya.

Sebagai seorang adik, tentu dia mendamba sosok kakak yang bisa membimbing dan melindunginya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Nikita lah yang selalu menjadi "pahlawan" bagi Oscar.

Misalnya, sewaktu SD Nikita hampir berkelahi gara-gara membela Oscar yang diganggu kakak kelasnya. Selama SD, keinginan Nikita untuk bermain juga agak terbatasi karena harus membantu menjaga sang kakak. Namun, dia mengaku ikhlas.

"Sebabnya enggak tahu kenapa, mungkin karena saya sayang, jadi enggak perlu tahu alasannya. Ya pokoknya sayang aja," tukasnya.

Menginjak SMP, sikap bullying seperti kasak-kusuk omongan tidak sedap dari teman-teman sekolah yang hanya bisa menghakimi daripada mengasihi, tak urung membuat telinga panas. Malu, aneh, dan rasa diperlakukan tidak adil sempat menyergap masa remaja Nikita.

"Syukurlah waktu SMP kelas 2 saya sudah tahu kebenaran bahwa kakak saya seperti itu, sebagai paket yang diberikan Tuhan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Setelah saya memahami, jadinya kalau orang ngomongin pun enggak masalah," beber Nikita.

Bullying memang sering terjadi pada anak autis di sekolah dasar dan menengah, yang mana hal ini sebenarnya dapat dicegah dengan melatih kemampuan berteman dan bergaul pada usia yang lebih dini. Namun, kemampuan berkomunikasi sebagai dasar bersosialisasi harus dikembangkan dulu.

Hal tersebut tentu membutuhkan usaha yang kontinu dan kesabaran. Pada tahap awal misalnya, penyandang autis bisa menunjukkan gejala kesulitan berbicara, penyendiri, dan suka melakukan tindakan yang sama berulang-ulang.

Menurut pengalaman Nikita, sang kakak juga cenderung cuek atau mengusulkan pemecahan masalah yang "tidak nyambung" dengan konteks masalah yang sedang dibicarakan. Setiap kali mau berantem atau mau melangkah ke adu fisik, dia (Oscar) mencetuskan jalan keluar yang "beda". Misalnya suatu ketika dia datang ke kamar Nikita lalu menulis di kertas: "daripada berantem mendingan main basket".

Atau tanpa ditanya dia mengemukakan fakta-fakta tentang basket. "Pokoknya hal yang enggak nyambung sering dia tanyakan atau ungkapkan. Mungkin memang begitu cara dia meredam emosi saya. Ya, ngapain juga diladeni, tapi anak autis biasanya jujur. Kalau rutinitas jangan ditanya, Oscar tiada duanya, benar-benar super!" tandasnya tentang sang kakak yang kini berada di Singapura.

Gina, gadis berusia 15 tahun mengungkapkan pengalaman berbeda. Resya, adik Gina yang baru berusia 5 tahun juga mengalami gangguan autistik.

"Mama yang bilang ke aku waktu Resya umur 3 tahun. Sampai sekarang adikku itu belum bisa ngomong, paling-paling menyebut mama dan papa. Kalau memilih baju sendiri di lemari dia bisa, lalu minta dipakaikan. Kami juga suka main bola dan berenang seminggu sekali," ungkapnya.

Dengan penuturan yang agak terbata-bata, Gina mengungkapkan rasa sedih dan "pengingkaran" dalam dirinya ketika tahu sang adik "berbeda". Pikirnya, masih banyak orang yang jauh lebih sabar untuk menerima cobaan itu.

"Tapi ternyata Tuhan sudah menitipi kami, jadi aku juga berlatih untuk lebih sabar. Untungnya, sebelumnya di sekolahku juga banyak anak autis, jadi enggak aneh lagi," ungkap sulung dari 3 bersaudara itu.

"Aku berusaha ngertiin Resya dan mengajak dia main lebih sering dari Fauzan, adik keduaku. Kadang kalau enggak sesuai keinginan atau frustrasi, Resya suka memukul-mukul atau menangis. Harapanku sekarang, Resya bisa ngomong dulu," katanya.

Bukan Pengganti Orangtua


Sebagai orangtua yang punya anak berkebutuhan khusus (ABK), perhatian dan kerja keras biasanya lebih tercurah ke ABK tersebut. Akibatnya, saudara kandung si autis jadi terlupakan. Adilkah?

"ABK memang butuh perhatian ekstra, tapi saudara kandungnya juga perlu diperhatikan," tandas pakar gangguan autistik, DR Adriana S Ginanjar MS.
(Koran SI/Koran SI/nsa)

Ajari Anak Autis Berenang

Ajari Anak Autis Berenang

Email Cetak PDF
TIDAK mudah mengajarkan sesuatu pada anak-anak yang memiliki kelainan mental atau autis. Seperti renang misalnya. Karena olahraga iniakan memberi stimulus otak yang bagus.

Bukan hanya anak normal yang bisa mendapatkan kesenangan. Seperti bermain dan berenang. Anak autis pun bisa melakukannya. Dengan ketelatenan orang tua, anak bisa berkembang dengan baik, termasuk bisa berenang di kolam renang umum atau water boom.

Banyak alasan yang baik untuk membawa anak-anak berenang sedini mungkin. Makin muda mereka makin mudah untuk belajar berenang. Berenang merupakan olahraga all round yang baik sekali. Membantu mengembangkan pengendalian pernapasan dan dapat sangat menyantaikan.

Berenang merupakan sesuatu kegiatan yang dapat bersama-sama dinikmati oleh keluarga dan sering merupakan cara yang baik untuk mempertemukan anak dengan orang tua.

Umumnya anak kecil berhasil paling baik jika diperkenalkan ke air oleh ibu atau bapaknya. Jika kita sendiri merasa cemas terhadap air, cobalah pergi bersama seorang dewasa yang lebih percaya diri.

Pergilah ke kolam renang anak-anak yang dangkal. Sasaran umumnya adalah membuat anak menikmati berada di dalam air dan bergerak bebas mundur, maju, dan ke samping, tengadah, telungkup, kalau mungkin dengan pelampung.

Jagalah agar tiap kegiatan berjalan singkat. Anak akan belajar lebih banyak dalam kunjungan singkat tetapi sering daripada kunjungan yang lama tetapi hanya kadang-kadang. Hal yang perlu dilakukan untuk mengembangkan percaya diri terhadap air pada anak-anak dengan keterbelakangan mental ini adalah, pada kunjungan pertama, ajaklah anak untuk berjalan-jalan tanpa benar-benar berenang.

"Ini akan memberinya peluang untuk anak agar menyaksikan apa yang akan terjadi dan membiasakan diri dengan suasana, kebisingan dan tempat yang baru. Itu akan membuat anak-anak merasanya punya kesempatan untuk beradaptasi." kata Psikolog Anak alumni Universitar Indonesia (UI), Dr Savitri Yulia, dihubungi beberapa waktu lalu.

Tidak sampai di situ saja, Yulia juga menyarankan anak-anak melihat kamar ganti, loker dan membahas apa yang akan dilakukan pada kunjungan berikutnya. Jika waktu kunjungan berikutnya hal-hal yang harus dilakukan di dalam air menurut Yulia adalah, pegang anak dekat-dekat dan naik turunkan anak dengan lembut ke dalam air. Secara bertahap dan perlahan, hingga kakinya basah. Perkenalkan anak di kolam dangkal terlebih dulu agar anak bisa duduk, merangkak atau sekedar berjalan maju mundur hingga bahunya basah.

Nantinya sesampai di kolam sedalam satu meter atau lebih, usahakan agar wajah orang tua dan wajah anak sama tinggi. "Pegangi tubuhnya di ketiaknya. Perlahan basahi kepalanya dan wajahnya. Lalu alihkan ke bawah dada dan pinggulnya, posisi anak tetap telungkup. Ini akan mampu membantu menenangkan anak," katanya.

Jika terasa anak sudah mulai tenang, usahakan agar tangan dan kakinya bisa bergerak di dalam air dengan menendang kaki dan mengayuhkan lengan. Lihat terus, apakah anak menikmatinya. Kalau bisa teruskan dengan memberinya semangat untuk menghembuskan air perlahan-lahan ketika menenggelamkan wajahnya dalam air. Kalau perlu dan memungkinkan, pakailah ban pelampung berbentuk lingkaran atau gelang lengan untuk keamanan. Kadangkala membawa mainan seperti bola atau perahu-perahuan akan membantu anak lebih tenang.

"Tenangkan anak jika mereka merasa panik, atau segera keluar dari kolam jika anak mulai gelisah dan berteriak. Tenangkan mereka dan cobalah kembali proses mengenalkan kolam pada anak," kata psikolog berjilbab tersebut.

Terapi lumba-lumba

Bila si kecil penderita autis sudah hobi berenang, mungkin Anda bisa mengajaknya untuk melakukan terapi lumba-lumba. Sebuah terapi yang disinyalir sangat bermanfaat untuk si autis. Selama berabad-abad, dolphin dikenal sebagai mahluk yang cerdas dan baik hati. Cerita mengenai kepahlawanan mereka menolong perenang-perenang yang kecapaian sudah ada sejak zaman dahulu.

Para dokter saat ini mencoba memakai dolphin untuk terapi bagi anak dengan kebutuhan khusus. Anak-anak ini suka berada dalam air yang hangat, menyentuh tubuh dolphin dan mendengar suara-suara yang dikeluarkan oleh dolphin-dolphin tersebut. Dalam 2 dekade terakhir ini beberapa terapis dan psikolog berpendapat bahwa berenang dengan dolphin mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan. Beberapa orang bahkan percaya bahwa getaran dolphin dapat menyembuhkan sel manusia.

Para dokter di Dolphin-Human Therapy Center percaya bahwa mahluk yang sangat cerdas ini dapat membantu anak-anak dengan berbagai gangguan saraf, bahkan anak dengan sindroma down dan autisme. Getaran sonar dolphin yang unik dapat mengindentifikasi gangguan saraf pada manusia, lalu menenangkannya sehingga lebih mudah bisa menerima pelajaran dan penyembuhan. Namun banyak pula para ilmuwan yang berpendapat bahwa anak-anak hanya menyukai bersentuhan dengan dolphin, dan berenang dengan dolphin hanya merupakan suatu rekreasi saja.

Sebuah penelitian dilakukan di Dolphin-Human Therapy Center di Key Largo, Florida. David Cole, seorang ilmuwan dalam bidang neurology menciptakan alat khusus untuk mengukur effek dari dolphin pada otak manusia. Cole mendapatkan bahwa ada suatu perubahan bila manusia berinteraksi dengan dolphin. Setelah berinteraksi dengan dolphin didapatkan bahwa anak-anak tersebut menjadi lebih tenang. Banyak peneliti berpendapat bahwa relaksasi inilah yang merupakan penyebab keberhasilan terapi lumba-lumba. Menurut beberapa peneliti, relaksasi merangsang sistem kekebalan tubuh.